• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Lokasi penelitian yang digunakan sebanyak 2 lokasi, yakni ternaungi oleh tegakan sengon berumur 4 tahun (N1) dan tanpa naungan (N0). Lokasi berada di sekitar Kampus IPB, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pemanfaatan lahan di lokasi ternaungi (N1) adalah agroforestri kedelai di bawah tegakan sengon, sedangkan di lokasi tanpa naungan (N0) adalah budidaya kedelai secara monokultur (Gambar 4).

Jenis tanah pada kedua lokasi penelitian ini adalah tanah latosol. Menurut Sumarno dan Hartono (1983), pada jenis tanah aluvial, regosol, grumosol atau latosol, kedelai dapat tumbuh dengan baik. pH di lokasi N1 adalah sebesar 6.30 (agak masam), sedangkan di lokasi N0 adalah sebesar 5.70 (agak masam). Berdasarkan kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai, nilai pH pada kedua lokasi tersebut tergolong sangat sesuai (Sumarno 1985).

Pada lokasi N1, kandungan N-total, P2O5, dan K2O berturut-turut tergolong pada kriteria sedang, rendah, dan sangat tinggi (Lampiran 5). Menurut kriteria kesesuaian agroklimat tanaman kedelai, kandungan N-total, dan P2O5 tersebut, tergolong pada kategori sangat sesuai, namun jika dilihat pada nilai K2O masih tergolong pada kategori kurang sesuai (Sumarno 1985). Pada lokasi N0, kandungan N-total, P2O5, dan K2O berturut-turut tergolong pada kriteria rendah, sangat rendah, dan tinggi (Lampiran 6). Berdasarkan kesesuaian agroklimat tanaman kedelai, kandungan N-total dan P2O5 tergolong pada kategori kurang sesuai, sedangkan kandungan K2O tergolong pada kategori sangat sesuai (Sumarno 1985).

Gambar 4 Lokasi penanaman kedelai monokultur (A), agroforestri kedelai dengan sengon (B), sengon monokultur (C)

Aspek biofisik dari kedua lokasi penelitian juga diukur dan diamati. Aspek biofisik tersebut, terdiri atas intensitas cahaya per minggu (Gambar 5), curah hujan per minggu, suhu dan kelembaban per bulan (Tabel 3).

Tanaman kedelai sangat sesuai tumbuh optimal dan produktivitas maksimal (sekitar 2 ton/ha biji kering) jika ditanam di wilayah yang curah hujannya 300400 mm/3 bulan dan ketinggian tempat 1700 m di atas permukaan laut (m

A

dpl). Tumbuh sesuai (tumbuh normal dan produktivitas di atas rata-rata namun masih di bawah produktivitas maksimal) pada curah hujan 200300 atau 400600 mm/3 bulan dengan elevasi 7001000 m dpl, sesuai bersyarat pada curah hujan 100200 atau 600900 mm/3 bulan dengan elevasi 10001300 m dpl. Kurang sesuai pada curah hujan kurang dari 100 atau lebih dari 900 mm/3 bulan dengan elevasi di atas 1300 m dpl. Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai menurut Sumarno (1985) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3 Perbandingan aspek biofisik lokasi ternaungi dan tanpa naungan

No. Aspek biofisik Waktu

pengukuran (BST) Ternaungi (N1) Tanpa naungan (N0) 1. Suhu (0C) 1 29.16 34.67 2 31.20 33.68 3 31.99 32.16 2. Kelembaban udara (%) 1 61.00 48.78 2 51.56 59.78 3 53.11 57.00

BST: bulan setelah tanam

Tabel 4 Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai Faktor

Agropedoklimat

Sangat sesuai Sesuai Agak Sesuai Kurang sesuai

Suhu rata-rata oC 25−28 29−35

20−25 36−3818−19 >38 <18

Curah hujan mm/tahun 1500−2500 1000−1500 2500−3500

700−1000 >3500 <700 Curah hujan selama

musim kedelai (mm/3 bulan)

250−300 250−300

400−500 200−250500−700 <200 >700 Ketersediaan irigasi

selama musim pengairan

5−6 l pengairan 4 kali pengairan 2−3 l pengairan 1 kali pengairan Tekstur tanah Lempung

berdebu Lempung berpasir Liat berdebu Pasir, krikil, liat padat

Drainase tanah Baik Sedang Agak lambat

Agak cepat

Sangat cepat Sangat lambat Kedalaman lapisan olah

(mm)

≥ 50 30−49 15−29 ≤ 10

Bahan organik tanah T −

sedang

Sedang Agak rendah Rendah Kemasaman tanah (pH) 5.8−6.9 5.0−5.8 4.5−5.0 < 4.5

>7 N tanah T −s Sedang Agak rendah Rendah

P2O5 Tinggi Sedang Agak rendah Rendah

K2O T −s Sedang Agak rendah Rendah

Ca, Mg Tinggi Sedang Agak rendah Rendah

Kejenuhan Al (%) <5 5−10 10−15 >15 Topografi Datar 5−10% 10−20% >20% Naungan Tanpa <10% 10−20% >20% Elevasi (m dpl) 100−800 800−1200 1−100 1200−1500 1500 Sumber: Sumarno (1985)

Suhu optimum bagi pertumbuhan kedelai adalah 25oC–30oC dengan lama penyinaran matahari 12 jam/hari, dan kelembaban rata-rata 65% (Fachruddin 2000). Ketinggian lokasi penelitian adalah 193 m dpl. Ketinggian lokasi tersebut tergolong sebagai tempat tumbuh optimal dengan produktivitas maksimal. Namun dengan curah hujan 457.8 mm/4 bulan bulan (BMKG 2014), lokasi penelitian dikategorikan sebagai tempat tumbuh normal dengan produktivitas kurang dari produktivitas maksimal. Tanaman kedelai dapat menghasilkan produksi yang optimal dengan curah hujan antara 100200 mm/bulan (Fachruddin 2000, Warintek 2012).

Curah hujan pada awal tanam, yakni bulan Januari adalah sebesar 702.0 mm/bulan. Pada umumnya, varietas kedelai dalam penelitian ini melakukan pembungaan dan berpolong pada bulan Februari, dengan curah hujan sebesar 337.4 mm/bulan. Saat panen kedelai berada pada bulan Maret dan April. Curah hujan bulan Maret adalah sebesar 281.4 mm/bulan, sedangkan bulan April adalah 510.3 mm/bulan (Gambar 6). Curah hujan yang sangat tinggi selama penelitian, diduga menyebabkan kedelai menerima pasokan air yang berlebihan, sehingga hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai.

Gambar 5 Intensitas cahaya

Gambar 6 Curah hujan per bulan (BMKG 2014)

0 100 200 300 400 500 600 700 In te n sit as c ah ay a (lu x) Waktu Ternaungi (N1) Tanpa naungan (N0) 00 100 200 300 400 500 600 700 800

Januari Februari Maret April

Cu rah h u jan (m m /b u lan ) Bulan Curah hujan

Tanaman kedelai sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit serta gulma dalam fase pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum jenis hama yang menyerang pada seluruh pertanaman kedelai baik konvensional maupun organik adalah hama jenis lalat bibit, ulat grayak, kepik pengisap pucuk, kepik pengisap polong, belalang pedang, sedangkan jenis penyakit yang dominan menyerang adalah penyakit karat dan penyakit hawar daun bakteri (Kusheryani dan Azis 2006). Hama yang menyerang tanaman kedelai tercatat sebanyak 111 jenis (Okada et al. 1988), namun Tengkano et al. (1985) menyatakan tidak semua hama tersebut menimbulkan kerugian. Jenis hama penting dan sering menimbulkan kerugian pada tanaman kedelai disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Beberapa hama penting dan pola infestasi selama pertumbuhan tanaman kedelai

Jenis hama Penyerangan tanaman pada berbagai umur (hari) <10 11−30 31−50 51−70 >70 Ophiomya phaseoli +++ + Melanagromyza sojae + + Melanagromyza dolichostigma + Agrotis spp. ++ + Longitarsus suturellinus + + + + Aphis glycines +++ +++ ++ + Bemisia tabaci +++ +++ ++ ++ Phaedonia inclusa +++ +++ +++ Spodoptera litura + ++ +++ Chrysodexis chaleites + ++ ++ Lamprosema indicata + + + Helicoverpa sp. +++ ++ ++ Etiella spp. ++ +++ + Riptortus linearis +++ +++ ++ Nezara viridula +++ +++ ++ Piezodorus hubneri +++ +++ ++

+: kurang membahayakan; ++: membahayakan; +++: sangat membahayakan (Marwoto et al. 1999).

Hama dan penyakit menyerang kedelai baik yang ditanam di bawah naungan maupun tanpa naungan. Penyerangan tersebut terjadi pada fase vegetatif dan generatif.

Beberapa hama yang menyerang kedelai pada fase vegetatif (Gambar 7) adalah ulat grayak, ulat penggulung daun, belalang, dan lain-lain. Hama yang dominan adalah belalang dan ulat penggulung daun (Lamprosema indicata). Serangan hama lebih tinggi dari pada penyakit. Penyakit soybean mosaic virus

(SMV) menyerang beberapa tanaman di perlakuan kedelai tanpa naungan.

Serangan hama ulat penggulung daun dan kepik tungkai besar ada pada fase vegetatif juga generatif. Hama yang dominan pada fase pengisian polong adalah ulat penggulung, sedangkan pada saat pematangan polong adalah kepik polong (Gambar 8). Serangan hama dan penyakit baik pada fase vegetatif maupun generatif tidak sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai yang ditanam pada kedua lokasi.

Gambar 7 Hama dan penyakit kedelai pada fase vegetatif, ulat grayak fase muda (Spodoptera litura) (A), daun yang terserang ulat penggulung daun (B), belalang (Valanga sp.) (C), kepik tungkai besar (Anoplocnemis phasina) (D), ulat grayak fase dewasa (Spodoptera litura) (E), SMV (Soybean mosaic virus) (F) A F E D C B A C

Gambar 8 Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif, ulat grayak fase muda (Spodoptera litura) (A), kutu kebul (B), telur ulat penggulung daun (C), ulat polong (Etiela zinchenella) (D)

Respon Fisiologi Kedelai

Tahap awal pertumbuhan tanaman, cahaya merupakan faktor penting, karena selain berperan dominan pada proses fotosintesis, juga sebagai pengendali, pemicu dan modulator respon morfogenesis (McNellis dan Deng 1995). Berdasarkan ketergantungannya terhadap cahaya (light dependent), pola perkembangan suatu tanaman (tanaman tingkat tinggi) dapat digolongkan menjadi pola skotomorfogenesis dan fotomorfogenesis. Pola skotomorfogenesis (etiolated) merupakan pola perkembangan awal tanaman yang akibat tidak mendapatkan cahaya (in dark-grown) secara terus menerus selama perkecambahan. Tanaman memiliki karakteristik: hipokotil panjang, apikal hook, kotiledon yang tertutup, kandungan klorofil rendah, dan tingkat ekspresi gen fotosintesis yang rendah. Pola fotomorfogenesis (deetiolated) merupakan pola perkembangan awal tanaman yang selama perkecambahan mendapatkan cahaya penuh terus menerus (in light-grown). Pola perkembangan ini dicirikan antara lain hipokotil yang pendek, tidak mempunyai apikal hook, kedua kotiledon membuka dan berkembang dengan baik, kandungan klorofil tinggi, dan tingkat ekspresi gen fotosintesis yang tinggi (Staub dan Deng 1996, Sullivan dan Gray 1999).

Naungan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon fisiologi. Respon tersebut, terdiri atas kandungan klorofil daun kedelai, serapan hara kedelai, akar sengon, dan diameter sengon. Hasil analisis ragam kandungan klorofil kedelai disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Rekapitulasi hasil analisis ragam respon fisiologi kedelai yang diberikan perlakuan naungan dan varietas

Peubah Naungan Varietas Interaksi KK R2 (N)a (V)a (NxV)a

1. Kandungan klorofil a * tn tn 19.99 0.57

2. Kandungan klorofil b ** tn tn 19.85 0.68 3. Kandungan antosianin tn tn tn 11.78t 0.25t

4. Kandungan karoten * tn tn 19.17 0.55

5. Kandungan total klorofil ** tn tn 19.81 0.61 a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%, KK: koefisien keragaman; b(t): hasil transformasi √( +0.5); MST: minggu setelah tanam.

E D

Kandungan Klorofil Daun Kedelai

Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya. Peningkatan kandungan klorofil b yang pada kondisi ternaungi berkaitan dengan peningkatan protein klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al. 1992). Klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger 1991).

Berdasarkan penelitian Kisman (2008), kandungan klorofil a dipengaruhi oleh faktor cahaya, inhibitor plastida, dan interaksi antara cahaya dan inhibitor. Sedangkan kandungan klorofil b dan panjang hipokotil hanya dipengaruhi oleh faktor cahaya saja. Hal ini menunjukkan bahwa faktor cahaya berperan sangat dominan terhadap kandungan klorofil maupun pertumbuhan panjang hipokotil selama pertumbuhan awal tanaman kedelai.

Pada tanaman kedelai, karakter fotosintetik daun seperti kandungan klorofil a, b, dan rasio klorofil a/b, serta luas daun merupakan karakter penting bagi adaptasi kedelai terhadap naungan (Khumaida 2002, Handayani 2003, Jufri 2006). Terdapat perbedaan yang jelas antara genotipe toleran dan peka dalam mekanisme adaptasinya terhadap naungan, seperti pada kandungan klorofil, luas daun dan ketebalan daun (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003, Soverda 2002, Lautt 2003).

Kandungan klorofil yang diamati adalah klorofil a, b, antosianin, karoten, dan total klorofil. Naungan berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, dan karoten, serta berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan klorofil b, dan total klorofil (Tabel 7). Varietas memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kandungan klorofil daun kedelai (Tabel 8).

Tabel 7 Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun kedelai

Peubah Uji Fa Naungan

b N0 N1 1. Kandungan klorofil a * 1.70a 2.14b 2. Kandungan klorofil b ** 0.63a 0.88b 3. Kandungan antosianin tn 0.29a 0.32a 4. Kandungan karoten * 0.54a 0.66b

5. Kandungan total klorofil ** 2.32a 3.02b a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Pada perlakuan N1, kandungan-kandungan klorofil lebih tinggi dari pada perlakuan N0. Daun yang terbentuk pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan peningkatan jumlah klorofil dan mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas 4 sampai lima kali lebih banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah pada tanaman cahaya penuh karena memiliki kompleks

pemanenan cahaya yang meningkat sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis (Evans dan Lawlor 1987, Hidema et al. 1992, Djukri dan Purwoko 2003). Nisbah klorofil a/b pada perlakuan N1 lebih rendah daripada N0 merupakan respon fisiologis agar daun tetap mampu menyerap radiasi bergelombang panjang yang lebih banyak untuk fotosintesis (Jones 1992).

Tabel 8 Pengaruh varietas terhadap kandungan klorofil daun kedelai

Peubah Uji Fa Varietas

b

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis 1. Kandungan klorofil a tn 1.87a 1.86a 2.03a 1.92a 2. Kandungan klorofil b tn 0.74a 0.74a 0.79a 0.74a 3. Kandungan antosianin tn 0.34a 0.35a 0.28a 0.26a 4. Kandungan karoten tn 0.59a 0.55a 0.64a 0.62a 5. Kandungan total klorofil tn 2.60a 2.60a 2.81a 2.66a a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Serapan Hara Kedelai

Nitrogen dibutuhkan pada fase vegetatif untuk perkembangan akar, daun dan batang yang baru, sedangkan fosfor berperan dalam pembungaan dan pembuahan biji, perkembangan akar, dan kekuatan batang. Sebaliknya, kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor, menjamin ketegaran tanaman, membuat tanaman labih tahan terhadap berbagai penyakit, dan merangsang pertumbuhan akar (Buckman dan Brady 1982).

Serapan hara pada kedelai N0 dan N1 berbeda-beda. Serapan hara N, P, dan K oleh kedelai N0 jauh lebih tinggi dari pada kedelai N1 . Hal ini diduga disebabkan oleh berkurangnya intensitas cahaya matahari yang mampu diserap tanaman akibat naungan. Williams et al. (1976) dan Baharsyah et al. (1985) menjelaskan bahwa cahaya matahari berperan penting dalam proses fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, pembukaan dan penutupan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan. Berkurangnya cahaya yang diterima oleh tanaman dapat memengaruhi pengurangan pertumbuhan akar, serta tanaman menunjukkan gejala etiolasi. Perkembangan bagian tanaman yang terhambat akibat naungan, diduga juga menghambat penyerapan unsur hara pada tanaman tersebut.

Serapan hara N, P, dan K tertinggi pada lahan terbuka adalah varietas Pangrango. Serapan hara N dan P terendah pada lahan terbuka adalah varietas Grobogan, sedangkan serapan K terendah pada lahan terbuka adalah varietas Wilis. Serapan hara N tertinggi pada lahan ternaungi adalah varietas Argomulyo, sedangkan serapan hara P dan K tertinggi pada lahan ternaungi adalah varietas Wilis. Serapan hara N, P, dan K terendah pada lahan ternaungi adalah pada varietas Grobogan (Gambar 9).

Gambar 9 Serapan hara Akar dan Diameter Sengon

Peubah dimensi sengon yang diamati adalah diameter sengon dan perakaran. Sengon berada pada 2 tipe pola tanam, yakni monokultur dan agroforestri. Pola tanam agroforestri tersebut merupakan kombinasi sengon dengan kedelai.

Berdasarkan hasil inventarisasi tegakan tinggal yang dilakukan oleh Perum Perhutani KPH Kediri, rata-rata diameter sengon berumur 4 tahun adalah 14.15 cm (Riyanto dan Pamungkas 2010). Rata-rata tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata diameter sengon pada penelitian ini, yakni rata-rata diameter sengon pada pola agroforestri sebesar 11.52 cm dan pola monokultur sebesar 13.29 cm. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan ketersediaan hara pada masing-masing lokasi, iklim, asal bibit sengon (genetik), juga teknik pemeliharaan terhadap sengon .

Rata-rata riap diameter sengon tiap tahun berfluktuasi sampai dengan umur 6 tahun sekitar 4–5 cm (Krisnawati et al. 2011). Rata-rata riap diameter sengon yang ditanam pada pola agroforestri sebesar 0.35 cm. Rata-rata tersebut lebih tinggi daripada rata-rata riap diameter sengon yang ditanam secara monokultur, yakni 0.23 cm, meskipun demikian perbedaan pola tanam sengon tersebut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan (riap) diameter sengon yang telah diamati selama 3 bulan. Hal ini diduga disebabkan oleh pengamatan dimensi sengon dalam kurun waktu yang singkat, yakni 3 bulan (Gambar 10).

Gambar 10 Pertumbuhan riap diameter sengon di monokultur dan agroforestri

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 N P K N P K N P K N P K A P G W Pen y e rap an h ar a (m g /tan am an ) Perlakuan N0 N1

Argomulyo Pangrango Grobogan Wilis

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 t0 t1 Per tu m b u h an r iap d iam e te r sen g o n ( cm ) Pengukuran ke- Monokultur AF

Berdasarkan perhitungan akar primer di 2 lokasi tanam, jumlah akar horisontal lebih banyak ditemukan pada lahan dengan pola tanam agroforestri, sedangkan akar dengan kedalaman <20 cm lebih banyak daripada akar dengan kedalaman >20 cm. Sebaliknya, jumlah akar horisontal lebih sedikit daripada jumlah akar vertikal pada lahan monokultur (Gambar 11 dan 12). Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan hara yang berbeda pada kedua lokasi tanam tersebut.

Gambar 11 Kedalaman perakaran sengon

Gambar 12 Jumlah akar horisontal dan vertikal pada dua lokasi tanam

Pertumbuhan Kedelai

Perlakuan naungan terdiri atas naungan (N0) dan tanpa naungan (N1). Perlakuan varietas terdiri atas varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis. Perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap peubah pertumbuhan kedelai (Tabel 9).

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00

Kedalaman akar <20 cm Kedalaman akar >20 cm

Ju m lah ak ar Agroforestri Monokultur 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Jumlah akar horizontal Jumlah akar vertikal

R ata -r ata ju m lah ak ar Agroforestri Monokultur

Tabel 9 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang diberikan perlakuan naungan dan varietas

Peubah Naungan Varietas Interaksi KK R2 (N)a (V)a (NxV)a

Pertumbuhan:

1. Persen tumbuh benih (%) ** ** * 14.21 0.71 2. Persen hidup kedelai (%) tn tn tn 4.11 0.5 3. Tinggi tanaman (cm) 3 MST ** ** tn 17.22 0.8 4 MST tn * tn 12.88 0.45 5 MST tn * tn 18.38 0.49 6 MST ** ** tn 8.37 0.86 7 MST ** ** * 6.94 0.93 8 MST ** ** ** 8.04 0.87

4. Jumlah daun trifoleat

2 MST tn tn tn 0 0 3 MST tn tn tn 0 0 4 MST tn tn tn 0.53 0.38 5 MST ** tn tn 7.42 0.81 6 MST ** ** tn 7.58 0.93 7 MST ** ** tn 7.58 0.93

5. Umur berbunga kedelai (MST) ** ** ** 5.5 0.92 6. Bobot basah (g tanaman-1)

Daun ** ** * 24.91t 0.88t

Batang ** ** * 17.06t 0.92t

Akar ** ** ** 11.58t 0.92t

Bintil akar tn tn tn 26.68t 0.46t

7. Bobot kering (g tanaman-1)

Daun ** tn tn 18.53t 0.9t

Batang ** tn tn 13.14t 0.92t

Akar ** ** ** 8.31t 0.94t

Bintil akar ** tn tn 4.66t 0.76t

a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%, KK: koefisien keragaman; b(t): hasil transformasi √( +0.5); MST: minggu setelah tanam.

Naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persen tumbuh benih, tinggi kedelai kecuali pada umur 4 dan 5 MST, jumlah daun trifoleat umur 57 MST, bobot basah (daun, batang, akar), bobot kering (daun, batang, akar), umur berbunga kedelai dan memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering bintil akar, namun tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap persen hidup, jumlah daun trifoleat pada umur 24 MST, dan bobot basah bintil akar. Pengaruh yang diberikan oleh tingkat naungan tertentu dapat dilihat pada Tabel 10.

Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persen tumbuh benih, tinggi kedelai umur 3, 68 MST, umur berbunga kedelai, bobot basah (daun, batang, akar), dan bobot kering akar. Varietas memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi kedelai umur 45 MST, dan jumlah cabang produktif, namun memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap persen hidup tanaman, jumlah daun trifoleat umur 35 MST, bobot basah bintil akar, dan bobot kering (daun, batang, bintil akar) (Tabel 11).

Interaksi antara naungan dan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman umur 8 MST, umur berbunga kedelai, bobot basah akar, bobot kering akar, dan memberikan pengaruh nyata terhadap persen tumbuh benih, tinggi tanaman umur 7 MST, bobot basah daun dan batang (Tabel 12).

Tabel 10 Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Uji Fa Naungan

b

N0 N1

1. Persen tumbuh benih (%) ** 83.86a 70.50b

2. Persen hidup kedelai (%) tn 98.50a 98.00a

3. Tinggi tanaman (cm) 3 MST ** 10.55a 16.44b 4 MST tn 19.61a 19.89a 5 MST tn 21.86a 20.98a 6 MST ** 31.74a 28.77b 7 MST ** 41.16a 34.35b 8 MST ** 56.42a 45.97b

4. Jumlah daun trifoleat

3 MST tn 2.00a 2.00a

4 MST tn 2.99a 3.00a

5 MST ** 3.95a 3.15b

6 MST ** 4.84a 3.99b

7 MST ** 6.99a 4.58b

5. Umur berbunga kedelai (MST) ** 5.25a 6.00b

6. Bobot basah (g tanaman-1)

Daun ** 10.34a 1.08b

Batang ** 7.09a 0.98b

Akar ** 1.99a 0.30b

Bintil akar tn 0.28a 0.27a

7. Bobot kering (g tanaman-1)

Daun ** 4.99a 0.53b

Batang ** 2.69a 0.39b

Akar ** 1.18a 0.16b

Bintil akar ** 0.14a 0.01b

a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); MST: minggu setelah tanam.

Persen Tumbuh Benih

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persen tumbuh benih. Persen tumbuh benih pada kedelai yang diberikan perlakuan N0 adalah sebesar 83.86%. Persen tumbuh tersebut lebih tinggi dari pada kedelai yang diberikan perlakuan N1, yakni 70.50%. Faktor yang memengaruhi persen tumbuh benih adalah daya kecambah tinggi, murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, bersih atau tidak tercampur biji-bijian tanaman lain dan kotoran, bersih, tidak keriput, dan tidak luka/tergores, baru (umur benih tidak lebih dari 6 bulan sejak dipanen). Selain itu, faktor yang memengaruhi persen tumbuh benih adalah iklim.

Lamanya musim hujan sangat memengaruhi aktivitas bakteri tanah dalam menyediakan nitrogen namun ketergantungan ini dapat diatasi, asalkan selama

3040 hari suhu di dalam dan di permukaan tanah pada musim panas sekitar 350390C, dengan kelembaban sekitar 6070% (Andrianto dan Indarto 2004). Pada awal tanam, suhu pada perlakuan N1 adalah 29.160C, sedangkan suhu pada perlakuan N0 adalah 34.670C. Suhu tersebut sesuai dengan Warintek (2008) yang menjelaskan, bahwa suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 210340C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 230270C.

Tabel 11 Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Uji

Fa

Varietasb

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis 1. Persen tumbuh benih (%) ** 82.44a 79.50a 64.45b 82.33a 2. Persen hidup kedelai (%) tn 100.00a 98.00a 99.00a 96.00a 3. Tinggi tanaman (cm) 3 MST ** 14.98a 15.27a 11.95b 11.79b 4 MST * 20.65ab 21.43a 18.74b 18.20b 5 MST * 20.76b 24.67a 18.95b 21.29ab 6 MST ** 30.60b 37.49a 26.29c 26.64c 7 MST ** 39.39b 46.87a 32.40c 32.36c 8 MST ** 58.04a 51.51b 47.24c 47.99bc

4. Jumlah daun trifoleat

3 MST tn 2.00a 2.00a 2.00a 2.00a

4 MST tn 3.00a 3.00a 3.00a 2.99a

5 MST tn 3.64a 3.61a 3.55a 3.39a

6 MST ** 4.55ab 4.70a 4.31bc 4.08c

7 MST ** 5.71b 6.31a 5.64b 5.49b

5. Umur berbunga kedelai

(MST) ** 5.20c 4.90d 5.90b 6.50a

6. Bobot basah (g tanaman -1 ) Daun ** 4.76a 2.95b 9.21a 5.91ab Batang ** 3.82ab 2.38b 5.58a 4.36a Akar ** 1.07bc 0.66c 1.56a 1.29ab Bintil akar tn 0.19a 0.62a 0.18a 0.11a

7. Bobot kering (g tanaman -1 ) Daun tn 2.63a 1.91a 3.76a 2.74a Batang tn 1.51a 1.08a 1.87a 1.170a Akar ** 0.64b 0.42c 0.91a 0.72ab Bintil akar tn 0.10a 0.06a 0.08a 0.05a a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); MST: minggu setelah tanam.

Kedelai menghendaki air yang cukup pada masa pertumbuhannya, terutama pada saat pengisian biji. Curah hujan yang optimal untuk budidaya kedelai adalah 100200 mm/bulan, sedangkan tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100400 mm/bulan (Warintek 2008). Curah hujan saat awal tanam kedelai, yakni pada bulan Januari adalah sebesar 702.0 mm/bulan (Gambar 6). Nilai tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan curah hujan optimal untuk budidaya kedelai, sehingga diduga kedelai menerima pasokan air yang berlebihan dan memengaruhi persen tumbuh kedelai di lapang.

Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persen tumbuh benih. Persen tumbuh benih varietas Argomulyo, Grobogan, dan Wilis tidak berbeda nyata, namun berbeda sangat nyata terhadap varietas Pangrango. Varietas Argomulyo memiliki persen tumbuh tertinggi (82.44%) dibandingkan varietas lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan varietas Grobogan dan Wilis.

Faktor yang memengaruhi mutu benih antara lain faktor genetik, dan status benih (kondisi fisik dan fisiologi benih). Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Faktor kondisi fisik dan fisiologi benih berkaitan dengan performa benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat keusangan (hubungan antara vigor awal dan lamanya disimpan), tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia, struktur, tingkat kadar air dan dormansi benih (Wirawan dan Sri 2002).

Tabel 12 Interaksi antara naungan dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Naungan Varietas

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis

1. Persen tumbuh benih N0 83.99a 85.78a 80.00a 85.67a

N1 80.89a 73.22a 48.89b 79.00a 2. Tinggi tanaman 7 MST N0 42.75b 52.72a 34.63c 34.53c N1 36.02c 41.01b 30.09d 30.26d 8 MST N0 58.56ab 59.98a 52.64b 54.49ab N1 57.52ab 43.03c 41.83c 41.50c

3. Umur berbunga kedelai N0 5.00d 4.00e 6.00b 6.00b

N1 5.40c 5.80bc 5.80bc 7.00a

4. Bobot basah (gram)

Daun N0 8.35b 5.39c 17.32a 10.35b N1 1.17c 0.56c 1.11c 1.47c Batang N0 6.54bc 4.05cd 10.31a 7.48ab N1 1.11d 0.72d 0.86d 1.25d Akar N0 1.81bc 1.13c 2.85a 2.20ab N1 0.33d 0.20d 0.28d 0.38d

5. Bobot kering akar (gram) N0 1.11b 0.72c 1.67a 1.25b

N1 0.18d 0.12d 0.15d 0.20d

a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); MST: minggu setelah tanam.

Berdasarkan ukuran benih/biji, Wilis dan Pangrango termasuk kedelai biji

Dokumen terkait