• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

(

Paraserianthes falcataria

(L.) Nielsen)

ADISTI PERMATASARI PUTRI HARTOYO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul: Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Adisti Permatasari Putri Hartoyo

(4)

ADISTI PERMATASARI PUTRI HARTOYO. Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO dan SRI WILARSO BUDI R.

Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan 847.16 ribu ton biji kering atau mengalami peningkatan sebesar 4.00 ribu ton (0.47%) dibandingkan tahun 2012 dengan produksi sebesar 843.15 ribu ton biji kering. Konsumsi kedelai di Indonesia sebesar 2.25 juta ton/tahun dan kekurangan pasokan kedelai diperoleh dengan melakukan impor . Impor kedelai memberikan dampak negatif terhadap ketahanan pangan, karena mengakibatkan ketergantungan kepada negara lain. Beberapa upaya untuk menekan laju impor tersebut adalah melalui strategi perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas (varietas unggul). Luas lahan untuk budidaya tanaman semakin menyempit. Salah satu strategi perluasan areal tanam kedelai adalah dengan menerapkan sistem agroforestri di hutan rakyat. Agroforestri kedelai di bawah tegakan sengon memiliki faktor pembatas yakni intensitas cahaya. Beberapa varietas kedelai yang diujicobakan untuk ditanam di bawah naungan adalah Wilis, Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis respon fisiologi, pertumbuhan dan produksi kedelai varietas Wilis, Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan berbasiskan agroforestri sengon, serta menganalisis pengaruh penanaman kedelai terhadap pertumbuhan diameter batang dan panjang akar sengon. Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dua faktor dan lima ulangan. Faktor utama adalah naungan yang terdiri atas naungan tegakan sengon (N1) dan tanpa naungan (N0). Faktor kedua sebagai anak petak adalah perbedaan varietas kedelai. Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pelaksanaan penelitian adalah selama 4 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai dengan bulan April 2014.

Kedelai pada perlakuan N1 mengandung klorofil a, b, karoten dan total klorofil yang lebih tinggi dari pada perlakuan N0. Serapan hara N, P, dan K oleh kedelai N0 jauh lebih tinggi dari pada kedelai N1. Pertumbuhan varietas Grobogan di lahan terbuka memiliki persen tumbuh, dan tinggi tanaman tertinggi, serta berumur paling genjah. Varietas Pangrango di lahan terbuka memiliki bobot basah dan kering tertinggi. Produksi varietas Pangrango pada perlakuan N0 lebih unggul dibandingkan varietas lainnya pada perlakuan yang sama, yakni sebesar 2.29 ton/ha. Varietas kedelai yang ditanam pada agroforestri sengon 4 tahun dengan jarak tanam (3x2.5) m menghasilkan produksi yang lebih rendah 3-4 kali dari hasil kedelai di lahan terbuka.

Perbedaan pola tanam sengon tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan (riap) diameter sengon. Akar horisontal sengon lebih banyak ditemukan pada lahan agroforestri dari pada lahan monokultur. Kedalaman akar <20 cm lebih banyak ditemukan juga pada lahan agroforestri dari pada lahan monokultur.

(5)

ADISTI PERMATASARI PUTRI HARTOYO. Growth and Production of Soybeans (Glycine max (L.) Merrill) Based on Agroforestry of Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen. Supervised by NURHENI WIJAYANTO and SRI WILARSO BUDI R.

Soybean productions in Indonesia (2013) is estimated to 847.16 thousand tons of dry beans and has increased by 4.00 thousand tons (0.47%), compared with production in 2012 amounted to 843.15 thousand tons of dry beans. The consumption is about 2.25 million tons per year and lack of the stock is obtained by importing. The import generates negative influences to food security, because it brings about the dependence to other countries. Some efforts to suppress the rate of import are by expanding plantation area and increasing productivity (superior varieties). Land area for plant cultivation faces decreasing. One of the strategies for increasing area of the cultivation is through agroforestry in community forest. Agroforestry of soybean under the stands of sengon has a restricting factor which is light intensity. Some varieties of soybeans are Wilis, Pangrango, Argomulyo, and Grobogan.

The objective of this research were to analyze physiological response, growth, and production of soybeans, as well as the influence of soybeans planting on the stem diameter and root length of sengon. The research was conducted by split plot design with 2 factors and 5 replications. The main factor was shading which comprised of without sengon shading (N0) and with sengon shading (N1). The second factor was the differences of soybeans varieties. Those are Wilis, Pangrango, Argomulyo, and Grobogan. The research was conducted at Cikarawang Village, Dramaga District, Bogor Regency during 4 mounth in January to April 2014.

The results showed the chlorophyll a, b, carotene and total chlorophyll on N1 treatment were higher than soybeans on N0. The N, P, and K nutrients absorbtion on N0 treatment were higher than soybeans on N1 treatment. The growth of Grobogan varieties on N0 treatment had growth percent and the highest height plant over the others, as well as most early maturing age. Pangrango varieties on N0 treatment had the highest wet and dry weights. The production of Pangrango varieties on N0 treatment was better than the others varieties in both of shading treatment. This production was about 2.29 ton/ha. The production of soybeans in sengon (aged 4 year) with 3 m x 2.5 m of planting distance produced lower production 3-4 times over soybeans treated without shading.

The differences of cropping pattern in sengon did not give significant effect on the growth of sengon diameter. Sengon horizontal roots in agroforestry were more than monoculture. The depth of the roots that <20 cm in agroforestry were more than monoculture.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

(7)

(

Paraserianthes falcataria

(L.) Nielsen)

ADISTI PERMATASARI PUTRI HARTOYO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen)

Nama : Adisti Permatasari Putri Hartoyo NIM : E451130246

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 4 Juli 2014 Tanggal Lulus: Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS

Ketua

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala berkah karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai dengan bulan April 2014 ini ialah agroforestri, dengan judul Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Berbasiskan Agroforestri Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dan Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS selaku pembimbing, kepada Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah memberikan saran, serta kepada Pak Parjo dan Pak Sarta yang telah banyak memberikan ilmunya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa Fresh Graduate tahun 2013/2014, Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB atas beasiswa alumni tahun 2013/2014, Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP) yang telah memberikan beasiswa tesis tahun 2014. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, dan kakak-kakak tercinta atas kasih sayang dan doa yang tak henti-hentinya, serta kepada temen-teman Silvikultur 46 (M. Firdaus Imran, Opik, Mpit, Nummy, Yoyog, Lilla, Devhi, Fio, Nizza, Azzam, Bai, Panji, dan lain-lain), Pak Dino, Loli A2 yang telah membantu penelitian, juga kepada Rizka Taqiyudin, Q2, Yi, Mbak Rara, dan Mbak Alisa atas kasih sayang dan dukungannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(11)

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Hipotesis Penelitian 3

METODE PENELITIAN 4

Lokasi dan Waktu Penelitian 4

Alat dan Objek Penelitian 5

Prosedur Penelitian 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Kondisi Umum 12

Respon Fisiologi Kedelai 17

Pertumbuhan Kedelai 21

Produksi Kedelai 31

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 36

(12)

1 Data biofisik hutan rakyat sengon 5 2 Pengamatan aspek biofisik, diameter batang dan perakaran sengon,

peubah vegetatif serta generatif tanaman kedelai

9

3 Perbandingan aspek biofisik lokasi ternaungi dan tanpa naungan 13 4 Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai 13 5 Beberapa hama penting dan pola infestasi selama pertumbuhan

tanaman kedelai

15

6 Rekapitulasi hasil analisis ragam respon fisiologi kedelai yang diberikan perlakuan naungan dan varietas

17

7 Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun kedelai 18 8 Pengaruh varietas terhadap kandungan klorofil daun kedelai 19 9 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang

diberikan perlakuan naungan dan varietas

21

10 Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan kedelai 23 11 Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai 24 12 Interaksi antara perlakuan naungan dan varietas terhadap

pertumbuhan kedelai

25

13 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan perlakuan naungan dan varietas

31

14 Pengaruh naungan terhadap komponen hasil kedelai 31 15 Pengaruh varietas terhadap komponen hasil kedelai 32 16 Interaksi antara perlakuan naungan dan varietas terhadap

komponen hasil kedelai

32

17 Perbandingan hasil kedelai per ha 34

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 3

2 Desain plot ternaungi 10

3 Desain plot tanpa naungan 11

4 Lokasi penanaman kedelai monokultur (A), agroforestri kedelai dengan sengon (B), sengon monokultur (C)

12

5 Intensitas cahaya 14

(13)

7 Hama dan penyakit kedelai pada fase vegetatif, ulat grayak fase muda (Spodoptera litura) (A), daun yang terserang ulat penggulung daun (B), belalang (Valanga sp.) (C), kepik tungkai besar (Anoplocnemis phasina) (D), ulat grayak fase dewasa (Spodoptera litura) (E), SMV (Soybean mosaic virus) (F)

16

8 Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif, ulat grayak fase muda (Spodoptera litura) (A), kutu kebul (B), telur ulat penggulung daun (C), ulat polong (Etiela zinchenella) (D)

17

9 Serapan hara 20

10 Pertumbuhan riap diameter sengon di monokultur dan agroforestri 20

11 Kedalaman perakaran sengon 21

12 Jumlah akar horisontal dan vertikal pada dua lokasi tanam 21 13 Kecambah varietas Pangrango (P), Wilis (W), Argomulyo (A), dan

Grobogan (G).

26

14 Persen daya tumbuh benih 26

15 Gejala etiolasi (A) dan pemasangan ajir (B) 27 16 Perbandingan batang kedelai di N1 (A) dan N0 (B) 28 dan Grobogan (d) pada umur 7 MST

30

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi varietas Argomulyo 42

2 Deskripsi varietas Grobogan 43

3 Deskripsi varietas Pangrango 44

4 Deskripsi varietas Wilis 45

5 Hasil analisis tanah plot ternaungi 46

6 Hasil analisis tanah plot tanpa naungan 46

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai termasuk salah satu sumber protein yang harganya relatif murah jika dibandingkan dengan sumber protein hewani. Kandungan protein kedelai lebih tinggi daripada jenis kacang-kacangan lainnya (Koswara 1995 dan Kamsiati 2006). Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan 847.16 ribu ton biji kering atau mengalami peningkatan sebesar 4.00 ribu ton (0.47%) dibandingkan tahun 2012 dengan produksi sebesar 843.15 ribu ton biji kering. Peningkatan produksi ini diperkirakan terjadi karena kenaikan luas panen seluas 3.94 ribu hektar (0.69%), meskipun produktivitas diperkirakan mengalami penurunan sebesar 0.03 kwintal/hektar (0.20%) (BPS 2013). Menurut data Kementerian Perdagangan RI, konsumsi kedelai di Indonesia sebesar 2.25 juta ton/tahun dan kekurangan pasokan kedelai diperoleh dengan melakukan impor dari Amerika Serikat (Nugrayasa 2013). Impor kedelai memberikan dampak negatif terhadap ketahanan pangan, karena mengakibatkan ketergantungan kepada negara lain. Beberapa upaya untuk menekan laju impor tersebut adalah melalui strategi perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas (varietas unggul).

Luas lahan untuk budidaya tanaman kedelai semakin menyempit. Luas tanam kedelai nasional menurun dari 1.6 juta ha pada tahun 1992, menjadi 580.534 ha pada tahun 2006–2007 (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2008). Hal ini dapat mengakibatkan peluang penanaman kedelai secara monokultur akan menurun. Salah satu strategi perluasan areal tanam kedelai adalah dengan menerapkan sistem agroforestri di hutan rakyat. Beberapa hutan rakyat sengon di Kabupaten Bogor masih menerapkan pola monokultur. Hal ini menunjukkan bahwa optimalisasi lahan belum sepenuhnya diterapkan oleh masyarakat.

Kedelai mampu tumbuh optimal di daerah terbuka, sedangkan agroforestri kedelai di bawah tegakan sengon memiliki faktor pembatas yakni intensitas cahaya. Uji coba terhadap beberapa varietas kedelai unggul telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi (Balitkabi), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan), dan Dinas Pertanian. Beberapa varietas kedelai unggul tersebut adalah varietas Argomulyo, Grobogan (Puslibangtan 2012), Pangrango, dan Wilis (Balitkabi 2012, Dinas Pertanian 2013).

(16)

Rumusan Masalah

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang penting dan strategis. Konsumsi kedelai masyarakat Indonesia semakin meningkat tiap tahunnya. Di sisi lain, suplai kedelai dalam negeri belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Kebijakan pemerintah dalam menanggulangi kesenjangan tersebut adalah dengan impor kedelai. Impor kedelai memberikan dampak negatif terhadap ketahanan pangan, karena mengakibatkan ketergantungan terhadap negara lain. Upaya untuk menekan laju impor tersebut adalah melalui strategi perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas (varietas unggul).

Perluasan areal tanam memiliki hambatan yakni luas budidaya tanaman yang semakin menurun. Optimalisasi lahan perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai dengan keterbatasan lahan. Agroforestri merupakan salah satu sistem yang memadukan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian/semusim. Agroforestri kedelai dengan sengon memiliki faktor pembatas berupa intensitas cahaya yang mampu diserap oleh kedelai, karena karakter kedelai yang dapat tumbuh optimal di lahan terbuka.

Balitkabi, Puslitbangtan, dan Dinas Pertanian telah mengembangkan varietas kedelai unggul, antara lain: varietas Argomulyo (Lampiran 1), Grobogan (Lampiran 2), Wilis (Lampiran 3), dan Pangrango (Lampiran 4). Uji coba penanaman kedelai di bawah tegakan sengon belum pernah dilakukan. Di sisi lain, sengon merupakan tanaman dominan yang dikembangkan di hutan rakyat Kabupaten Bogor.

Intensitas cahaya yang rendah dan curah hujan yang cukup tinggi di daerah Bogor dapat berpengaruh terhadap fisiologi, pertumbuhan, dan produksi kedelai. Respon fisiologi, pertumbuhan, dan produksi kedelai tersebut dimungkinkan berbeda dengan hasil penelitian dari Balitkabi (2012), Puslitbangtan (2012), dan Dinas Pertanian (2013) terhadap keempat varietas kedelai. Diagram alir dari respon utama tersebut yang diamati, yakni respon fisiologi, pertumbuhan dan produksi kedelai disajikan pada Gambar 1.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah respon fisiologi dari kedelai yang ditanam di bawah tegakan sengon?

2. Bagaimanakah pertumbuhan dan produksi kedelai yang ditanam di bawah tegakan sengon?

(17)

Gambar 1 Diagram alir penelitian

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis respon fisiologi kedelai, yakni varietas Wilis, Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan berbasiskan agroforestri sengon.

 Pengambilan data biofisik ke-3: suhu, kelembaban, intensitas cahaya

Pengukuran pertumbuhan kedelai: persen tumbuh benih, tinggi tanaman, persen hidup, jumlah daun trifoleat, umur berbunga kedelai, bobot basah, bobot kering.

Beberapa varietas kedelai yang diuji coba:  Varietas Grobogan, Argomulyo, Pangrango (Puslitbangtan 2012)  Varietas Wilis (Balitkabi 2012)

Pengadaan benih varietas Grobogan, Argomulyo, Pangrango, Wilis dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber daya Genetik, Bogor.

Penentuan lokasi penelitian

 Terbuka: Desa Cikarawang, Bogor

 Ternaungi: hutan rakyat sengon umur 4 tahun dengan jarak tanam (3x2.5)m, Desa Cikarawang, sifat fisik-kimia tanah, intensitas cahaya.

Penyiapan lahan dan penanaman

Pemupukan, pemeliharaan, pengendalian hama-penyakit

Pengamatan respon fisiologi I: analisis hara kedelai, analisis klorofil daun kedelai, diameter batang sengon.

 Pengambilan data biofisik ke-2 (ketika penelitian berlangsung): suhu, kelembaban, intensitas cahaya

Pengukuran komponen hasil kedelai: jumlah tanaman panen petak bersih, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong terserang hama, bobot biji kering (per tanaman, per petak bersih, per petak pinggir).

Pengamatan respon fisiologi II: perakaran sengon, diameter batang sengon.

(18)

2. Menganalisis pertumbuhan dan produksi kedelai, yakni varietas Wilis, Pangrango, Argomulyo, dan Grobogan berbasiskan agroforestri sengon.

3. Menganalisis pengaruh penanaman kedelai terhadap pertumbuhan diameter batang dan panjang akar sengon.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui varietas kedelai yang mampu menghasilkan pertumbuhan dan komponen hasil tertinggi di bawah tegakan sengon. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu mendorong penelitian lebih lanjut terhadap agroforestri kedelai dengan sengon.

Informasi mengenai pertumbuhan dan produksi kedelai berbasiskan agroforestri sengon diharapkan juga bisa bermanfaat sebagai masukan bagi masyarakat maupun pemerintah untuk mengembangkan potensi hutan rakyat. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan kedelai di antara tanaman kehutanan.

Hipotesis

Penelitian ini dilaksanakan dengan didasarkan pada beberapa hipotesis : 1. Kandungan klorofil dan karoten kedelai di bawah naungan lebih tinggi dari

pada kedelai tanpa naungan.

2. Penyerapan hara N, P, dan K pada kedelai di bawah naungan lebih tinggi dari pada kedelai tanpa naungan.

3. Pertumbuhan dan produksi kedelai di bawah naungan lebih tinggi dari pada kedelai tanpa naungan.

4. Penanaman kedelai mampu meningkatkan pertumbuhan diameter batang dan panjang akar sengon.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian yang digunakan adalah ternaungi oleh tegakan sengon berumur 4 tahun (N1) dan tanpa naungan (N0). Rata-rata intensitas cahaya N1 dan N0 selama penelitian adalah 78.02 lux dan 403.78 lux. Analisis kandungan klorofil dan hara dilakukan di Marker Molecular and Spechtrophotomatry Laboratory, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB. Pelaksanaan penelitian adalah selama 4 bulan, yaitu dari bulan Januari sampai dengan bulan April 2014.

(19)

plot yang digunakan pada lahan ternaungi dan terbuka adalah masing-masing 180 m2. Penutupan tajuk pada bulan Juli 2013 sebesar 64.05%, sedangkan penutupan tajuk pada bulan Desember 2013 sebesar 50.1%. Beberapa data biofisik mengenai lokasi penelitian yang diambil sebelum penelitian disajikan pada Tabel 1.

Alat dan Obyek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaliper, pita ukur, meteran jahit, GPS (Global Positioning System), software Microsoft Word, software Microsoft Excel, kamera, cangkul, garpu tanah, golok, ring tanah, bor tanah, altimeter, hygrometer, lux meter, tally sheet, penggaris, dan timbangan. Objek dalam penelitian ini adalah sengon dan 4 varietas kedelai, yakni Wilis, Argomulyo, Pangrango, dan Grobogan.

Tabel 1 Data biofisik hutan rakyat sengon

Data biofisik Deskripsi

Lokasi Cikarawang

Umur (tahun) 4

Luas (hektar) 0.20

Jarak tanam (m) 3x2.5

Suhu rata-rata (0C) 28.8

Kelembaban rata-rata (%) 61

Ketinggian (m) 193

Kemiringan (%) 1.5

Tanaman sela Tidak ada

Latitude S: 060 33' 03,2"

E: 1060 43' 59."

Prosedur Penelitian Penyiapan Benih Kedelai

Benih kedelai diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Genetika Cimanggu, Bogor. Varietas kedelai yang digunakan, terbagi manjadi 2 jenis, yakni kedelai biji sedang (Wilis dan Pangrango), kedelai biji besar (Grobogan dan Argomulyo). Jumlah biji ukuran sedang yang dibutuhkan kurang lebih 3 000 biji/varietas/lokasi atau kira-kira 300 gram/varietas/lokasi. Jumlah biji ukuran besar yang dibutuhkan kurang lebih 4i500 biji/varietas/lokasi atau kira-kira 450 gram/varietas untuk tiap lokasinya.

Penyiapan Lahan dan Penanaman

(20)

Furadan ditaburkan pada lubang tanam yang telah berisi biji kedelai dengan dosis 20 kg/ha. Kemudian lubang tanam ditutup dengan menggunakan tanah lapisan permukaan (Sito 2010).

Aplikasi Pemupukan, Pemeliharaan, dan Pengendalian Hama-Penyakit Menurut Sito (2010), pupuk NPK diberikan dengan dosis urea 75 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pupuk yang diberikan pada lokasi ternaungi dan terbuka adalah urea 75 kg/ha, dan ditambah pupuk SP36 100 kg/ha, serta pupuk KCl 100 kg/ha. Pupuk kandang (kotoran ayam) diberikan sebanyak 1 000 kg/ha. Pemberian pupuk kandang ayam dapat meningkatkan produksi dan pertumbuhan vegetatif kedelai (Melati et al. 2005). Pupuk-pupuk tersebut ditaburkan dengan membuat rorak di dekat lubang dengan jarak 5–7 cm dari lubang tanam. Pupuk diberikan saat penanaman.

Penyiangan dilakukan pada umur 15 hari setelah tanam, 45 hari setelah tanam, dan disesuaikan dengan keadaan. Penyiangan dapat dilakukan secara manual dengan mencabut gulma di sekitar tanaman. Guludan dapat dibuat saat penyiangan. Kirana et al. (2009) dan Balittan (2000) menyebutkan bahwa setelah penjarangan, jumlah kedelai adalah 1 tanaman per lubang. Pada umur 2 MST, dilakukan penjarangan dan tiap lubang tanam berisi 1 tanaman. Pengendalian hama kedelai dilakukan dengan pemberian Decis berbahan aktif Deltamethrin 25 g/l. Pengendalian penyakit kedelai, yakni dengan pemberian Dithane M-45 berbahan aktif Mankozeb.

Panen

Waktu panen ditentukan apabila polong telah kehilangan warna hijaunya, kurang lebih 90% daun telah berwarna kuning, dan rontok, serta biji telah mengeras (Jufri 2006, Sito 2010). Panen kedelai dilakukan sebanyak 2 kali panen, yakni pada umur kedelai 10 MST dan 12 MST. Pada umur kedelai 10 MST, kedelai yang dipanen adalah N0G, N1A, dan N1G, dan selebihnya dipanen pada umur 12 MST.

Analisis kandungan klorofil dan hara

Analisis kandungan klorofil menggunakan 2 sampel daun/ulangan/varietas. Daun yang diambil adalah daun yang sudah terbuka secara sempurna. Daun tersebut kemudian disimpan dalam plastik dan dimasukkan ke cool box untuk dibawa ke laboratorium.

Analisis kandungan hara menggunakan 3 sampel daun per perlakuan. Sampel daun tersebut kemudian dihaluskan dan dikompositkan. Selanjutnya sampel daun dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan kandungan hara. Menurut Agung dan Rahayu (2004), serapan hara dihitung dengan menggunakan rumus:

Metode Pengumpulan Data

(21)

a. Data Primer, terdiri dari: 1). informasi mengenai umur sengon, dan penggunaan lahan sebelumnya, 2). pengukuran biofisik hutan rakyat, antara lain: suhu, kelembaban, ketinggian, latitude, dan karakteristik sifat fisik-kimia tanah, dan curah hujan, 3). pengukuran dimensi sengon, yaitu diameter dan perakaran pohon, 4). analisis hara dan klorofil daun kedelai, 5). pengukuran pertumbuhan kedelai yang terdiri atas: persen tumbuh benih, tinggi tanaman, % hidup, jumlah daun trifoleat, umur berbunga kedelai, bobot basah, bobot kering, 6). pengukuran komponen hasil yang terdiri dari: jumlah tanaman panen petak bersih, jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong terserang hama, bobot biji kering per tanaman, bobot biji kering per petak bersih, bobot biji kering per petak pinggir (Tabel 2).

b. Data sekunder berasal dari studi pustaka.

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan tiap bulan di 2 lokasi selama penelitian. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan tiap minggu. Masing-masing pengukuran dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari, serta diulang sebanyak 3 kali. Pengambilan sampel tanah melalui metode tanah terusik dan metode tanah utuh (BLSDLP 2006).

Pengambilan sampel tanah menggunakan metode systematic sampling

(SyS). Pengambilan sampel tanah melalui dua metode, yaitu metode tanah terusik dan metode tanah utuh (ring contoh). Contoh tanah terusik diambil menggunakan bor sedalam 0–20 cm. Contoh tanah ini digunakan untuk pengamatan sifat kimia tanah dan sifat fisik tanah. Sifat fisik yang diamati pada contoh tanah tak terusik/utuh meliputi tekstur, struktur dan warna tanah. Sifat fisik tanah lainnya yang diamati melalui metode tanah utuh, yaitu bobot isi, porositas dan air tersedia. Pengamatan

terhadap sifat fisik tanah menggunakan metode yang dikembangkan oleh Balai Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BLSDLP 2006). Sifat kimia tanah seperti pH, KTK, kandungan nutrisi berupa C-organik, N, P tersedia, K dan unsur hara lain dianalisis di SEAMEO BIOTROP services laboratory.

Diameter sengon diukur setinggi dada atau 1.3 m. Pengukuran tersebut dilakukan sebanyak 2 kali, yakni sebelum penanaman kedelai dan setelah pemanenan kedelai. Sebagai pembanding, diukur juga diameter sengon yang ditanam secara monokultur dan terletak satu hamparan dengan plot penelitian.

Pohon sengon yang diamati pada lahan agroforestri dan monokultur masing-masing sebanyak 8 pohon. Pengamatan yang dilakukan adalah arah sebaran akar (vertikal atau horisontal) di dalam tanah yang terdekat dengan batang pokok (proximal root). Tanah di sekeliling pohon digali dengan hati-hati hingga akar utama di sekeliling pohon nampak dengan jelas percabangannya, kedalaman lubang yang terbentuk sekitar 0.2 m. Setelah perakaran tanaman kelihatan lalu diukur diameter akar pada panjang akar 20 cm dari pangkal batang, selanjutnya dipisahkan antara akar horizontal (>45°) dengan akar vertikal (<45°) (Harjadi dan Pramono 2012).

Analisis Data

(22)

Faktor perbedaan varietas terdiri atas: W : Wilis

P : Pangrango G : Grobogan A : Argomulyo

Desain percobaan disajikan pada Gambar 2 dan 3. Luas percobaan yang digunakan kurang lebih 180 m2. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), model statistik untuk analisis gabungan antar lokasi adalah:

Y

ijk

+ β + α

i

+ м

k

+

j

+ (α

i

) (

j

) + ε

ijk

Keterangan:

Yijk : variabel respon yang diamati µ : nilai tengah sebenarnya

β : pengaruh ulangan/blok

α : pengaruh lingkungan ke-i

м : pengaruh galat main plot

j : pengaruh perlakuan faktor varietas

i

) (

j

)

: pengaruh interaksi lingkungan ke-i varietas ke-j

εijk : pengaruh galat lingkungan ke-i, ulangan ke-j dan varietas ke-k.

(23)

Tabel 2 Pengamatan aspek biofisik, diameter batang dan perakaran sengon, peubah vegetatif serta generatif tanaman kedelai

No. Peubah Satuan Waktu Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Situgede, Bogor.

Diamati pada 8 pohon di plot monokultur dan AF

Peubah fisiologi, fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai

1. Persen tumbuh benih % 1 MST -

2. Persen hidup % Setelah panen -

3. Tinggi tanaman cm Tiap minggu 3–8 MST 4. Jumlah daun trifoleat helai Tiap minggu -

5. Umur berbunga kedelai MST - -

(24)

Ulangan V Ulangan IV Ulangan III Ulangan II Ulangan I

Keterangan:

Gambar 2 Desain plot ternaungi : sengon

: sengon yang diamati

: larikan kedelai

: drainase

A : varietas Argomulyo G : varietas Grobogan P : varietas Pangrango W : varietas Wilis

A P

A P W

U

S

T B

P

W

G

A G

A P W

G P

A

P

(25)

Keterangan:

: larikan kedelai : drainase

A : varietas Argomulyo G : varietas

Grobogan P : varietas

Pangrango W : varietas

Wilis

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Lokasi penelitian yang digunakan sebanyak 2 lokasi, yakni ternaungi oleh tegakan sengon berumur 4 tahun (N1) dan tanpa naungan (N0). Lokasi berada di sekitar Kampus IPB, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pemanfaatan lahan di lokasi ternaungi (N1) adalah agroforestri kedelai di bawah tegakan sengon, sedangkan di lokasi tanpa naungan (N0) adalah budidaya kedelai secara monokultur (Gambar 4).

Jenis tanah pada kedua lokasi penelitian ini adalah tanah latosol. Menurut Sumarno dan Hartono (1983), pada jenis tanah aluvial, regosol, grumosol atau latosol, kedelai dapat tumbuh dengan baik. pH di lokasi N1 adalah sebesar 6.30 (agak masam), sedangkan di lokasi N0 adalah sebesar 5.70 (agak masam). Berdasarkan kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai, nilai pH pada kedua lokasi tersebut tergolong sangat sesuai (Sumarno 1985).

Pada lokasi N1, kandungan N-total, P2O5, dan K2O berturut-turut tergolong

pada kriteria sedang, rendah, dan sangat tinggi (Lampiran 5). Menurut kriteria kesesuaian agroklimat tanaman kedelai, kandungan N-total, dan P2O5 tersebut,

tergolong pada kategori sangat sesuai, namun jika dilihat pada nilai K2O masih

tergolong pada kategori kurang sesuai (Sumarno 1985). Pada lokasi N0, kandungan N-total, P2O5, dan K2O berturut-turut tergolong pada kriteria rendah,

sangat rendah, dan tinggi (Lampiran 6). Berdasarkan kesesuaian agroklimat tanaman kedelai, kandungan N-total dan P2O5 tergolong pada kategori kurang

sesuai, sedangkan kandungan K2O tergolong pada kategori sangat sesuai

(Sumarno 1985).

Gambar 4 Lokasi penanaman kedelai monokultur (A), agroforestri kedelai dengan sengon (B), sengon monokultur (C)

Aspek biofisik dari kedua lokasi penelitian juga diukur dan diamati. Aspek biofisik tersebut, terdiri atas intensitas cahaya per minggu (Gambar 5), curah hujan per minggu, suhu dan kelembaban per bulan (Tabel 3).

Tanaman kedelai sangat sesuai tumbuh optimal dan produktivitas maksimal (sekitar 2 ton/ha biji kering) jika ditanam di wilayah yang curah hujannya 300−400 mm/3 bulan dan ketinggian tempat 1−700 m di atas permukaan laut (m

A

(27)

dpl). Tumbuh sesuai (tumbuh normal dan produktivitas di atas rata-rata namun masih di bawah produktivitas maksimal) pada curah hujan 200−300 atau 400−600 mm/3 bulan dengan elevasi 700–1000 m dpl, sesuai bersyarat pada curah hujan 100−200 atau 600−900 mm/3 bulan dengan elevasi 1000−1300 m dpl. Kurang sesuai pada curah hujan kurang dari 100 atau lebih dari 900 mm/3 bulan dengan elevasi di atas 1300 m dpl. Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai menurut Sumarno (1985) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3 Perbandingan aspek biofisik lokasi ternaungi dan tanpa naungan

No. Aspek biofisik Waktu

Tabel 4 Kriteria kesesuaian agroklimat untuk tanaman kedelai Faktor

Agropedoklimat

Sangat sesuai Sesuai Agak Sesuai Kurang sesuai

Suhu rata-rata oC 25−28 29−35

20−25 36−3818−19 >38 <18

Curah hujan mm/tahun 1500−2500 1000−1500 2500−3500

700−1000 >3500 <700 Curah hujan selama

musim kedelai (mm/3 bulan)

250−300 250−300

400−500 200−250500−700 <200 >700

Ketersediaan irigasi

Drainase tanah Baik Sedang Agak lambat

Agak cepat

Sedang Agak rendah Rendah Kemasaman tanah (pH) 5.8−6.9 5.0−5.8 4.5−5.0 < 4.5

(28)

Suhu optimum bagi pertumbuhan kedelai adalah 25oC–30oC dengan lama penyinaran matahari 12 jam/hari, dan kelembaban rata-rata 65% (Fachruddin 2000). Ketinggian lokasi penelitian adalah 193 m dpl. Ketinggian lokasi tersebut tergolong sebagai tempat tumbuh optimal dengan produktivitas maksimal. Namun dengan curah hujan 457.8 mm/4 bulan bulan (BMKG 2014), lokasi penelitian dikategorikan sebagai tempat tumbuh normal dengan produktivitas kurang dari produktivitas maksimal. Tanaman kedelai dapat menghasilkan produksi yang optimal dengan curah hujan antara 100−200 mm/bulan (Fachruddin 2000, Warintek 2012).

Curah hujan pada awal tanam, yakni bulan Januari adalah sebesar 702.0 mm/bulan. Pada umumnya, varietas kedelai dalam penelitian ini melakukan pembungaan dan berpolong pada bulan Februari, dengan curah hujan sebesar 337.4 mm/bulan. Saat panen kedelai berada pada bulan Maret dan April. Curah hujan bulan Maret adalah sebesar 281.4 mm/bulan, sedangkan bulan April adalah 510.3 mm/bulan (Gambar 6). Curah hujan yang sangat tinggi selama penelitian, diduga menyebabkan kedelai menerima pasokan air yang berlebihan, sehingga hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai.

Gambar 5 Intensitas cahaya

Gambar 6 Curah hujan per bulan (BMKG 2014)

(29)

Tanaman kedelai sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit serta gulma dalam fase pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum jenis hama yang menyerang pada seluruh pertanaman kedelai baik konvensional maupun organik adalah hama jenis lalat bibit, ulat grayak, kepik pengisap pucuk, kepik pengisap polong, belalang pedang, sedangkan jenis penyakit yang dominan menyerang adalah penyakit karat dan penyakit hawar daun bakteri (Kusheryani dan Azis 2006). Hama yang menyerang tanaman kedelai tercatat sebanyak 111 jenis (Okada et al. 1988), namun Tengkano et al. (1985) menyatakan tidak semua hama tersebut menimbulkan kerugian. Jenis hama penting dan sering menimbulkan kerugian pada tanaman kedelai disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Beberapa hama penting dan pola infestasi selama pertumbuhan tanaman kedelai

Jenis hama Penyerangan tanaman pada berbagai umur (hari) <10 11−30 31−50 51−70 >70

+: kurang membahayakan; ++: membahayakan; +++: sangat membahayakan (Marwoto et al. 1999).

Hama dan penyakit menyerang kedelai baik yang ditanam di bawah naungan maupun tanpa naungan. Penyerangan tersebut terjadi pada fase vegetatif dan generatif.

Beberapa hama yang menyerang kedelai pada fase vegetatif (Gambar 7) adalah ulat grayak, ulat penggulung daun, belalang, dan lain-lain. Hama yang dominan adalah belalang dan ulat penggulung daun (Lamprosema indicata). Serangan hama lebih tinggi dari pada penyakit. Penyakit soybean mosaic virus

(SMV) menyerang beberapa tanaman di perlakuan kedelai tanpa naungan.

(30)

Gambar 7 Hama dan penyakit kedelai pada fase vegetatif, ulat grayak fase muda (Spodoptera litura) (A), daun yang terserang ulat penggulung daun (B), belalang (Valanga sp.) (C), kepik tungkai besar (Anoplocnemis phasina) (D), ulat grayak fase dewasa (Spodoptera litura) (E), SMV (Soybean mosaic virus) (F)

A

F E

D C

B

(31)

Gambar 8 Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif, ulat grayak fase muda (Spodoptera litura) (A), kutu kebul (B), telur ulat penggulung daun (C), ulat polong (Etiela zinchenella) (D)

Respon Fisiologi Kedelai

Tahap awal pertumbuhan tanaman, cahaya merupakan faktor penting, karena selain berperan dominan pada proses fotosintesis, juga sebagai pengendali, pemicu dan modulator respon morfogenesis (McNellis dan Deng 1995). Berdasarkan ketergantungannya terhadap cahaya (light dependent), pola perkembangan suatu tanaman (tanaman tingkat tinggi) dapat digolongkan menjadi pola skotomorfogenesis dan fotomorfogenesis. Pola skotomorfogenesis (etiolated) merupakan pola perkembangan awal tanaman yang akibat tidak mendapatkan cahaya (in dark-grown) secara terus menerus selama perkecambahan. Tanaman memiliki karakteristik: hipokotil panjang, apikal hook, kotiledon yang tertutup, kandungan klorofil rendah, dan tingkat ekspresi gen fotosintesis yang rendah. Pola fotomorfogenesis (deetiolated) merupakan pola perkembangan awal tanaman yang selama perkecambahan mendapatkan cahaya penuh terus menerus (in light-grown). Pola perkembangan ini dicirikan antara lain hipokotil yang pendek, tidak mempunyai apikal hook, kedua kotiledon membuka dan berkembang dengan baik, kandungan klorofil tinggi, dan tingkat ekspresi gen fotosintesis yang tinggi (Staub dan Deng 1996, Sullivan dan Gray 1999).

Naungan dan varietas memberikan pengaruh yang berbeda terhadap respon fisiologi. Respon tersebut, terdiri atas kandungan klorofil daun kedelai, serapan hara kedelai, akar sengon, dan diameter sengon. Hasil analisis ragam kandungan klorofil kedelai disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Rekapitulasi hasil analisis ragam respon fisiologi kedelai yang diberikan perlakuan naungan dan varietas

Peubah Naungan Varietas Interaksi KK R2 (N)a (V)a (NxV)a

1. Kandungan klorofil a * tn tn 19.99 0.57

2. Kandungan klorofil b ** tn tn 19.85 0.68 3. Kandungan antosianin tn tn tn 11.78t 0.25t

4. Kandungan karoten * tn tn 19.17 0.55

5. Kandungan total klorofil ** tn tn 19.81 0.61 a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%, KK: koefisien keragaman; b(t): hasil transformasi √( +0.5); MST: minggu setelah tanam.

(32)

Kandungan Klorofil Daun Kedelai

Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya. Peningkatan kandungan klorofil b yang pada kondisi ternaungi berkaitan dengan peningkatan protein klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al. 1992). Klorofil b berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger 1991).

Berdasarkan penelitian Kisman (2008), kandungan klorofil a dipengaruhi oleh faktor cahaya, inhibitor plastida, dan interaksi antara cahaya dan inhibitor. Sedangkan kandungan klorofil b dan panjang hipokotil hanya dipengaruhi oleh faktor cahaya saja. Hal ini menunjukkan bahwa faktor cahaya berperan sangat dominan terhadap kandungan klorofil maupun pertumbuhan panjang hipokotil selama pertumbuhan awal tanaman kedelai.

Pada tanaman kedelai, karakter fotosintetik daun seperti kandungan klorofil a, b, dan rasio klorofil a/b, serta luas daun merupakan karakter penting bagi adaptasi kedelai terhadap naungan (Khumaida 2002, Handayani 2003, Jufri 2006). Terdapat perbedaan yang jelas antara genotipe toleran dan peka dalam mekanisme adaptasinya terhadap naungan, seperti pada kandungan klorofil, luas daun dan ketebalan daun (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003, Soverda 2002, Lautt 2003).

Kandungan klorofil yang diamati adalah klorofil a, b, antosianin, karoten, dan total klorofil. Naungan berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, dan karoten, serta berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan klorofil b, dan total klorofil (Tabel 7). Varietas memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kandungan klorofil daun kedelai (Tabel 8).

Tabel 7 Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun kedelai

Peubah Uji Fa Naungan

b

N0 N1

1. Kandungan klorofil a * 1.70a 2.14b

2. Kandungan klorofil b ** 0.63a 0.88b

3. Kandungan antosianin tn 0.29a 0.32a

4. Kandungan karoten * 0.54a 0.66b

5. Kandungan total klorofil ** 2.32a 3.02b a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

(33)

pemanenan cahaya yang meningkat sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis (Evans dan Lawlor 1987, Hidema et al. 1992, Djukri dan Purwoko 2003). Nisbah klorofil a/b pada perlakuan N1 lebih rendah daripada N0 merupakan respon fisiologis agar daun tetap mampu menyerap radiasi bergelombang panjang yang lebih banyak untuk fotosintesis (Jones 1992).

Tabel 8 Pengaruh varietas terhadap kandungan klorofil daun kedelai

Peubah Uji Fa Varietas

b

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis 1. Kandungan klorofil a tn 1.87a 1.86a 2.03a 1.92a taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Serapan Hara Kedelai

Nitrogen dibutuhkan pada fase vegetatif untuk perkembangan akar, daun dan batang yang baru, sedangkan fosfor berperan dalam pembungaan dan pembuahan biji, perkembangan akar, dan kekuatan batang. Sebaliknya, kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen dan dapat mengurangi pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor, menjamin ketegaran tanaman, membuat tanaman labih tahan terhadap berbagai penyakit, dan merangsang pertumbuhan akar (Buckman dan Brady 1982).

Serapan hara pada kedelai N0 dan N1 berbeda-beda. Serapan hara N, P, dan K oleh kedelai N0 jauh lebih tinggi dari pada kedelai N1 . Hal ini diduga disebabkan oleh berkurangnya intensitas cahaya matahari yang mampu diserap tanaman akibat naungan. Williams et al. (1976) dan Baharsyah et al. (1985) menjelaskan bahwa cahaya matahari berperan penting dalam proses fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, pembukaan dan penutupan stomata, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan. Berkurangnya cahaya yang diterima oleh tanaman dapat memengaruhi pengurangan pertumbuhan akar, serta tanaman menunjukkan gejala etiolasi. Perkembangan bagian tanaman yang terhambat akibat naungan, diduga juga menghambat penyerapan unsur hara pada tanaman tersebut.

(34)

Gambar 9 Serapan hara

Akar dan Diameter Sengon

Peubah dimensi sengon yang diamati adalah diameter sengon dan perakaran. Sengon berada pada 2 tipe pola tanam, yakni monokultur dan agroforestri. Pola tanam agroforestri tersebut merupakan kombinasi sengon dengan kedelai.

Berdasarkan hasil inventarisasi tegakan tinggal yang dilakukan oleh Perum Perhutani KPH Kediri, rata-rata diameter sengon berumur 4 tahun adalah 14.15 cm (Riyanto dan Pamungkas 2010). Rata-rata tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata diameter sengon pada penelitian ini, yakni rata-rata diameter sengon pada pola agroforestri sebesar 11.52 cm dan pola monokultur sebesar 13.29 cm. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan ketersediaan hara pada masing-masing lokasi, iklim, asal bibit sengon (genetik), juga teknik pemeliharaan terhadap sengon .

Rata-rata riap diameter sengon tiap tahun berfluktuasi sampai dengan umur 6 tahun sekitar 4–5 cm (Krisnawati et al. 2011). Rata-rata riap diameter sengon yang ditanam pada pola agroforestri sebesar 0.35 cm. Rata-rata tersebut lebih tinggi daripada rata-rata riap diameter sengon yang ditanam secara monokultur, yakni 0.23 cm, meskipun demikian perbedaan pola tanam sengon tersebut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan (riap) diameter sengon yang telah diamati selama 3 bulan. Hal ini diduga disebabkan oleh pengamatan dimensi sengon dalam kurun waktu yang singkat, yakni 3 bulan (Gambar 10).

Gambar 10 Pertumbuhan riap diameter sengon di monokultur dan agroforestri

0.00

Argomulyo Pangrango Grobogan Wilis

(35)

Berdasarkan perhitungan akar primer di 2 lokasi tanam, jumlah akar horisontal lebih banyak ditemukan pada lahan dengan pola tanam agroforestri, sedangkan akar dengan kedalaman <20 cm lebih banyak daripada akar dengan kedalaman >20 cm. Sebaliknya, jumlah akar horisontal lebih sedikit daripada jumlah akar vertikal pada lahan monokultur (Gambar 11 dan 12). Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan hara yang berbeda pada kedua lokasi tanam tersebut.

Gambar 11 Kedalaman perakaran sengon

Gambar 12 Jumlah akar horisontal dan vertikal pada dua lokasi tanam

Pertumbuhan Kedelai

Perlakuan naungan terdiri atas naungan (N0) dan tanpa naungan (N1). Perlakuan varietas terdiri atas varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis. Perlakuan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap peubah pertumbuhan kedelai (Tabel 9).

Kedalaman akar <20 cm Kedalaman akar >20 cm

(36)

Tabel 9 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang

Naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persen tumbuh benih, tinggi kedelai kecuali pada umur 4 dan 5 MST, jumlah daun trifoleat umur 5−7 MST, bobot basah (daun, batang, akar), bobot kering (daun, batang, akar), umur berbunga kedelai dan memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering bintil akar, namun tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap persen hidup, jumlah daun trifoleat pada umur 2−4 MST, dan bobot basah bintil akar. Pengaruh yang diberikan oleh tingkat naungan tertentu dapat dilihat pada Tabel 10.

(37)

Interaksi antara naungan dan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman umur 8 MST, umur berbunga kedelai, bobot basah akar, bobot kering akar, dan memberikan pengaruh nyata terhadap persen tumbuh benih, tinggi tanaman umur 7 MST, bobot basah daun dan batang (Tabel 12).

Tabel 10 Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Uji Fa Naungan taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); MST: minggu setelah tanam.

Persen Tumbuh Benih

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persen tumbuh benih. Persen tumbuh benih pada kedelai yang diberikan perlakuan N0 adalah sebesar 83.86%. Persen tumbuh tersebut lebih tinggi dari pada kedelai yang diberikan perlakuan N1, yakni 70.50%. Faktor yang memengaruhi persen tumbuh benih adalah daya kecambah tinggi, murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, bersih atau tidak tercampur biji-bijian tanaman lain dan kotoran, bersih, tidak keriput, dan tidak luka/tergores, baru (umur benih tidak lebih dari 6 bulan sejak dipanen). Selain itu, faktor yang memengaruhi persen tumbuh benih adalah iklim.

(38)

30−40 hari suhu di dalam dan di permukaan tanah pada musim panas sekitar 350−390C, dengan kelembaban sekitar 60−70% (Andrianto dan Indarto 2004). Pada awal tanam, suhu pada perlakuan N1 adalah 29.160C, sedangkan suhu pada perlakuan N0 adalah 34.670C. Suhu tersebut sesuai dengan Warintek (2008) yang menjelaskan, bahwa suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 210−340C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 230−270C.

Tabel 11 Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Uji

Fa

Varietasb

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis 1. Persen tumbuh benih (%) ** 82.44a 79.50a 64.45b 82.33a taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); MST: minggu setelah tanam.

(39)

Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap persen tumbuh benih. Persen tumbuh benih varietas Argomulyo, Grobogan, dan Wilis tidak berbeda nyata, namun berbeda sangat nyata terhadap varietas Pangrango. Varietas Argomulyo memiliki persen tumbuh tertinggi (82.44%) dibandingkan varietas lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan varietas Grobogan dan Wilis.

Faktor yang memengaruhi mutu benih antara lain faktor genetik, dan status benih (kondisi fisik dan fisiologi benih). Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda. Faktor kondisi fisik dan fisiologi benih berkaitan dengan performa benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat keusangan (hubungan antara vigor awal dan lamanya disimpan), tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia, struktur, tingkat kadar air dan dormansi benih (Wirawan dan Sri 2002).

Tabel 12 Interaksi antara naungan dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai

Peubah Naungan Varietas

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis

1. Persen tumbuh benih N0 83.99a 85.78a 80.00a 85.67a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); MST: minggu setelah tanam.

Berdasarkan ukuran benih/biji, Wilis dan Pangrango termasuk kedelai biji sedang, sedangkan Grobogan dan Argomulyo termasuk kedelai biji besar. Ukuran kecambah Grobogan juga lebih besar dari tiga varietas lainnya (Gambar 13).

(40)

Gambar 13 Kecambah varietas Pangrango (P), Wilis (W), Argomulyo (A), dan Grobogan (G)

Gambar 14 Persen tumbuh benih

Pertumbuhan Tinggi Kedelai

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, faktor naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 3 MST, dan 6−8 MST. Namun, memberikan pengaruh tidak berbeda nyata pada 4−5 MST. Pada 4−5 MST, terdapat faktor lain sebesar 51−55% yang memengaruhi tinggi tanaman. Hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 45−49%. Faktor-faktor yang diduga memengaruhi kondisi tersebut adalah intensitas cahaya yang rendah dan curah hujan yang cukup tinggi.

Cahaya matahari mempunyai peranan besar dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, menutup dan membukanya stomata, dan perkecambahan tanaman, metabolisme tanaman hijau, berbagai pergerakan tanaman dan perkecambahan sehingga ketersediaan cahaya matahari menentukan tingkat produksi tanaman. Hubungan antara penyinaran matahari dengan hasil adalah kompleks terutama untuk tanaman kedelai yang memang pada dasarnya merupakan tanamanyang menyukai cahaya matahari penuh (Baharsyah et al. 1985, Salisbury dan Ross 1992).

Morfologi tanaman kedelai yang dipengaruhi oleh naungan adalah batang tidak kokoh, karena garis tengah batang lebih kecil sehingga tanaman menjadi

N0A N1A N0G N1G N0P N1P N0W N1W

(41)

mudah rebah Adisarwanto (1999). Williams et al. (1976) menyatakan bahwa berkurangnya cahaya yang diterima oleh tanaman akan dapat memengaruhi pengurangan pertumbuhan akar, serta tanaman menunjukkan gejala etiolasi dengan ditunjukkan pertambahan panjang batang pada intensitas cahaya rendah. Gejala etiolasi terlihat pada kedelai yang ditanam di bawah naungan, sehingga diperlukan ajir untuk menegakkan kedelai-kedelai tersebut (Gambar 15 dan 16). Elfarisna (2000) menyatakan bahwa kondisi naungan berat (tingkat naungan 50%) dapat meningkatkan tinggi tanaman, luas daun, dan jumlah klorofil tanaman kedelai, tetapi menurunkan jumlah cabang, ketebalan daun, kerapatan stomata, polong isi, polong hampa, ukuran biji dan bobot biji per tanaman.

Gambar 15 Gejala etiolasi (A) dan pemasangan ajir (B)

Pengaruh varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 3 MST, dan 6−8 MST, serta memberikan pengaruh yang nyata pada 4−5 MST. Jarak perbedaan pengaruh varietas berbeda-beda tiap minggunya. Semakin bertambah umur kedelai, semakin lebar pula jarak perbedaan tinggi pada tiap varietas. Pada umur 8 MST, tinggi varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis secara berturut-turut adalah 58.04 cm, 51.51 cm, 47.24 cm, dan 47.99 cm. Deskripsi tinggi varietas Argomulyo, Grobogan, Pangrango, dan Wilis secara berturut-turut adalah 40 cm, 50−60 cm, ± 65 cm, ± 50 cm (Deptan 2000, Balitkabi 2012, Balitkabi 2008). Hasil penelitian ini sesuai dengan kisaran tinggi dari deskripsi masing-masing varietas, kecuali varietas Pangrango yang memiliki tinggi kurang dari deskripsi tersebut.

Interaksi antara faktor naungan dan varietas (NxV) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 8 MST, dan pengaruh nyata pada umur 7 MST. Pada umur 7 MST, varietas Grobogan dengan perlakuan N0, memiliki tinggi tanaman terbesar, yaitu sebesar 52.72 cm, sedangkan tinggi tanaman terendah adalah varietas Pangrango dengan perlakuan N1 (30.09 cm).

(42)

Gambar 16 Perbandingan batang kedelai di N1 (A) dan N0 (B)

Jumlah Daun Trifoleat

Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun trifoleat umur 5-7 MST. Kedelai dengan perlakuan N0, memiliki jumlah daun trifoleat lebih banyak dibandingkan kedelai dengan perlakuan N1. Jumlah daun trifoleat yang lebih sedikit pada perlakuan N1, diduga disebabkan oleh kurangnya cahaya yang didapatkan oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis dan pembentukan jaringan tanaman menjadi terganggu.

Daun kedelai tanpa naungan lebih tebal dan hijau dari pada daun kedelai yang ditanam di bawah naungan (Gambar 17). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Taiz dan Zeiger (2002), bahwa daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar dari pada daun yang ditanam pada areal terbuka, karena pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Khumaida (2002) dan Sopandie

et al. (2003) menjelaskan bahwa, kedelai toleran naungan mengalami pengurangan lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan.

Gambar 17 Perbandingan daun kedelai Argomulyo dengan perlakuan N1 (A) dan N0 (B) pada umur 7 MST

Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun trifoleat pada umur 6 dan 7 MST. Varietas Grobogan memiliki rata-rata jumlah daun terbanyak pada umur 6 MST dan 7 MST secara berturut-turut adalah 4.7 daun dan 6.31 daun. Varietas Wilis memiliki rata-rata jumlah daun terkecil pada umur 6 MST dan 7 MST secara berturut-turut adalah 4.08 daun dan 5.49 daun. Hal ini diduga disebabkan oleh varietas Grobogan merupakan jenis kedelai berumur

A B

(43)

genjah, sehingga diduga pembentukan jaringan tanaman lebih cepat dari varietas Wilis yang bukan termasuk kedelai berumur genjah.

Umur Berbunga Kedelai

Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap umur berbunga kedelai. Kedelai dengan perlakuan N0 lebih cepat berbunga dari pada N1. Hal ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ballare (1999), Morelli dan Ruberti (2002), dan Handayani (2003), bahwa naungan memicu perubahan morfologi dan anatomi seperti merangsang pertumbuhan panjang hipokotil dan petiole, penurunan dan perkembangan daun, pengurangan percabangan,percepatan pembungaan dan pengurangan sumber cadangan untuk disimpan dan reproduksi. Akibatnya, kedelai-kedelai di bawah naungan menjadi berumur lebih genjah. Perbedaan hasil tersebut diduga karena perbedaan intensitas naungan yang digunakan dan curah hujan masing-masing lokasi penelitian. Menurut Susanto dan Adie (2006), perbedaan iklim dan elevasi dapat memengaruhi perbedaan pula terhadap umur tanaman.

Susanto dan Adie (2006) mengemukakan bahwa umur berbunga yang cepat dapat menurunkan hasil. Board et al. (1997) mengemukakan bahwa pengaruh langsung jumlah polong terhadap hasil memiliki nilai negatif (-3.26). Pengaruh tidak langsung melalui tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah biji akan memperkuat karakter jumlah polong, namun diperlemah oleh karakter umur berbunga, umur polong masak, dan bobot 100 biji.

Tiap varietas pada penelitian ini memiliki umur berbunga berbeda-beda. Umur berbunga tercepat secara berturut-turut adalah Grobogan, Argomulyo, Pangrango, dan Wilis, dengan umur berbunga 4.90 MST, 5.20 MST, 5.90 MST, dan 6.50 MST. Hal ini sesuai dengan kisaran umur berbunga menurut deskripsi secara berturut-turut dari varietas Grobogan, Argomulyo, Pangrango, dan Wilis adalah ± 4 MST (Puslitbangtan 2010), ± 5 MST (Deptan 2000), ± 5 MST, ± 5 MST (Balitkabi 2005). Interaksi (NxV) berpengaruh sangat nyata terhadap umur berbunga kedelai. Umur berbunga tercepat adalah varietas Grobogan dengan perlakuan N0, dan terlama adalah varietas Wilis dengan perlakuan N1.

Bobot Basah Kedelai

Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot basah daun, batang, dan akar. Bobot basah kedelai daun, batang, dan akar tanpa naungan lebih tinggi sekitar 85−90% dari pada ternaungi (Gambar 18). Hal ini diduga disebabkan oleh kedelai di bawah naungan menerima cahaya dengan intensitas yang lebih rendah dari kedelai tanpa naungan, sehingga daun lebih tipis, batang lebih kecil dan panjang (etiolasi), dan perkembangan akar juga lebih terhambat pada kedelai di bawah naungan.

(44)

batang utama sehingga jumlah dan berat daun juga lebih rendah. Interaksi antara naungan dan varietas menghasilkan bobot basah daun, batang, dan akar tertinggi pada varietas Wilis dengan perlakuan N0, dan terendah adalah varietas Grobogan dengan perlakuan N1. Seluruh kedelai yang ditanam dengan perlakuan N1, memiliki bobot basah yang jauh lebih rendah dibandingkan kedelai dengan perlakuan N0. Intensitas cahaya sangat memengaruhi kondisi tersebut.

Bobot Kering Kedelai

Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot kering daun, batang, akar, dan bintil akar. Bobot kering kedelai tanpa naungan lebih tinggi dari pada kedelai di bawah naungan. Hal ini diduga disebabkan oleh kebutuhan cahaya matahari pada kedelai tanpa naungan dapat terpenuhi secara optimal (403.78 lux), sehingga pertumbuhannya menjadi normal dan bobot kering yang dimiliki juga lebih besar. Varietas dan interaksi antara naungan dengan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap bobot kering akar. Varietas Wilis memiliki bobot kering akar tertinggi dan varietas Grobogan memiliki bobot kering terendah.

Gambar 18 Perbandingan kedelai yang ternaungi (A) dan tanpa naungan (B) pada umur 7 MST

Gambar 19 Perbandingan varietas Argomulyo (a), Wilis (b), Pangrango (c), dan Grobogan (d) pada umur 7 MST

b c d

a

(45)

Produksi Kedelai

Hasil analisis ragam produksi kedelai disajikan pada Tabel 13. Naungan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah cabang produktif, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong terserang hama, bobot biji kering per tanaman, bobot biji kering per petak bersih, dan bobot biji kering per petak pinggir. Naungan memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tanaman panen petak bersih (Tabel 14).

Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong isi, jumlah polong hampa, bobot biji kering per tanaman, dan bobot biji kering per petak bersih.Varietas memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah tanaman panen petak bersih, jumlah polong terserang hama, serta bobot biji kering per petak pinggir (Tabel 15). Interaksi antara naungan dan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah cabang produktif, polong isi, bobot biji kering per tanaman dan per petak bersih (Tabel 16).

Tabel 13 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan perlakuan naungan dan varietas 8. Bobot biji kering per petak

pinggir ** tn tn 28.80 0.90

a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%, KK: koefisien keragaman; b(t): hasil transformasi √( +0.5); MST: minggu setelah tanam.

Tabel 14 Pengaruh naungan terhadap komponen hasil kedelai

Peubah Uji Fa Naungan

b

N0 N1

1. Jumlah tanaman panen petak bersih tn 23.90a 23.65a

2. Jumlah cabang produktif/tanaman ** 3.05a 1.22b

3. Jumlah polong isi/tanaman ** 35.49a 2.07b

4. Jumlah polong hampa/tanaman ** 2.97a 0.79b

5. Jumlah polong terserang hama/tanaman ** 3.19a 0.51b 6. Bobot biji kering per tanaman (gram tanaman

(46)

Tabel 15 Pengaruh varietas terhadap komponen hasil kedelai

Peubah Uji Fa Varietas

b

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis 1. Jumlah tanaman panen

7. Bobot biji kering per petak

bersih (gram) ** 22.12c 18.04c 46.63a 28.22b

8. Bobot biji kering per petak

pinggir (gram) tn 12.24a 9.64a 16.15a 7.27a

a

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**): berbeda sangat nyata pada taraf uji 1%; bAngka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Tabel 16 Interaksi antara naungan dan varietas terhadap komponen hasil kedelai

Peubah Naungan Varietas

Argomulyo Grobogan Pangrango Wilis 1. Jumlah cabang

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Jumlah Cabang Produktif

(47)

Varietas memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah cabang produktif. Varietas Pangrango memiliki cabang produktif terbanyak, yakni 2.96 cabang, sedangkan varietas Grobogan memiliki cabang produktif terendah, yakni 1.12 cabang. Cabang produktif dari varietas Pangrango, Wilis, Argomulyo dan Grobogan secara berturut- l 3−4 cabang (Balitkabi 2005), 3.65 cabang

(Y ss 2011), 3−4 c (D 2000), c

(Puslitbangtan 2010).

Kombinasi antara naungan dan varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap rata-rata jumlah cabang produktif. Varietas Pangrango pada perlakuan N0 memiliki jumlah cabang produktif tertinggi, dan varietas Argomulyo dengan perlakuan N1 memiliki cabang produktif terendah, namun cabang produktif terendah tersebut tidak berbeda nyata dengan varietas lain pada perlakuan N1. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh varietas pada perlakuan N1 memiliki cabang produktif terendah. Faktor intensitas cahaya diduga sangat memengaruhi hasil ini.

Jumlah Polong Isi

Naungan memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong isi. Kedelai pada N1 mengalami penurunan jumlah polong isi sekitar 94.17% dari jumlah polong isi pada kedelai N0. Wahyu dan Sundari (2010) menjelaskan, bahwa tingkat naungan yang berat, yaitu tingkat naungan 50% berpengaruh nyata

terhadap hasil biji varietas unggul kedelai. Hal ini didukung oleh Sopandie et al.

(2003), bahwa pengurangan intensitas cahaya sebesar 50% akan menurunkan jumlah polong isi dengan nilai tengah 72% dari kontrol (kondisi intensitas cahaya 100%).

Curah hujan pada awal tanam, yakni bulan Januari adalah sebesar 702.0 mm/bulan. Kedelai dalam penelitian ini melakukan pembungaan dan berpolong pada bulan Februari, dengan curah hujan sebesar 337.4 mm/bulan. Saat panen kedelai berada pada bulan Maret dan April, dengan curah hujan sebesar 281.4 mm/bulan, dan 510.3 mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100−200 mm/bulan (Warintek 2012). Curah hujan yang sangat tinggi selama penelitian, diduga menyebabkan kedelai menerima pasokan air yang berlebihan, sehingga hal ini berpengaruh terhadap komponen hasil kedelai.

Varietas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong isi. Varietas Pangrango memiliki jumlah polong isi tertinggi, yakni 35.34 polong/tanaman dan varietas Grobogan memiliki jumlah polong isi terendah, yakni 7.70 polong/tanaman. Varietas Grobogan memiliki jumlah cabang produktif yang terendah dibandingkan varietas lain, sehingga jumlah polong yang dihasilkan juga lebih rendah dibandingkan varietas lain. Hasil yang berbeda dari penelitian Wahyu dan Sundari (2010), bahwa varietas Wilis memiliki jumlah polong isi terbanyak, hasil biji lebih tinggi dan dinilai sangat toleran di naungan 50%, sedangkan varietas Grobogan dinilai agak toleran di naungan 50%. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh tingkat naungan yang berbeda, sehingga intensitas cahaya yang bisa digunakan oleh kedelai juga berbeda.

(48)

varietas dengan perlakuan N1 tidak berbeda nyata. Artinya, bahwa naungan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah polong isi pada masing-masing varietas.

Jumlah Polong Hampa dan Terserang Hama

Jumlah polong hampa pada kedelai tanpa naungan sebesar 2.97/tanaman, sedangkan pada kedelai yang ternaungi sebesar 0.79/tanaman atau dengan kata lain jumlah polong hampa pada perlakuan N0 lebih banyak sekitar 73.40% dari pada N1. Menurut Sumarno (1985), kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara 75–90% selama periode tanaman tumbuh sampai fase pengisian polong. Kelembaban udara di N1 berkisar antara 60–69.33% dan kisaran ini lebih tinggi dari pada kelembaban udara di N0, yakni sebesar 48.78– 59.78%. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor jumlah polong hampa pada perlakuan N0 lebih besar dari pada N1. Pada perlakuan N0, jumlah polong yang terserang hama juga lebih banyak dari pada perlakuan N1. Hal ini diduga karena sistem penanaman kedelai monokultur pada N0 merupakan sumber makanan berlimpah bagi hama penyakit.

Rata-rata jumlah polong hampa tertinggi adalah pada varietas Pangrango sebesar 2.42/tanaman dan terendah adalah varietas Grobogan sebesar 0.58/tanaman. Murty dan Sahu (1987) melaporkan bahwa peningkatan kandungan total amino-N dan N terlarut pada tanaman yang menyebabkan sintesis protein terganggu dan ketersediaan karbohidrat menjadi rendah dan tingkat kehampaan menjadi tinggi.

Bobot Biji Kering per Tanaman, per Petak Bersih, dan per Petak Pinggir Bobot biji kering per tanaman, per petak bersih, dan per petak pinggir pada perlakuan N1 secara berturut-turut mengalami penurunan sekitar 97.60%, 97.52%, dan 97.56% dari pada bobot biji kering di N0. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan Balitkabi (2012), kedelai varietas Wilis di bawah naungan paranet 50 % atau ± 221.46 lux mengalami penurunan hasil biji per tanaman sebesar 50.42%. Intensitas cahaya tersebut lebih tinggi dari intensitas cahaya pada N1, yakni sebesar 78.02 lux. Hal ini diduga menyebabkan semakin tingginya penurunan hasil pada N1.

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian
Tabel 1  Data biofisik hutan rakyat sengon
Tabel 2  Pengamatan aspek biofisik, diameter batang dan perakaran sengon, peubah vegetatif serta generatif tanaman kedelai
Gambar 2 Desain plot ternaungi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dipilihnya PeGI sebagai framework/ kerangka kerja dalam menyusun strategi pengembang e-government LAPAN adalah karena PeGI merupakan kerangka kerja yang digunakan

H0 = Tidak terdapat aktivitas hepatoprotektif dari pemberian ekstrak kurma ruthab ( Phoenix dactylifera ) terhadap sayatan histologi hepar mencit ( Mus musculus )

Berdasarkan hasil analisis peneliti dilapangan, dari penelitian yang berjudul (Strategi da’i dalam mengajarkan Al-Qur’an di desa Doda Kec. Lore tengah Kab. Pelaksanaan nya

pendidikan yaitu sebesar 70% yang mana ini menunjukan bahwa fungsi perpustakaan secara khusus yaitu Tri Dharma perguruan tinggi yang meliputi fungsi pendidikan

Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi, salinitas yang baik berkisar antara 28-35 ppt, untuk memperoleh kondisi perairan dengan kondisi salinitas tersebut

mengajarkan kepada peserta didik supaya memiliki rasa kepedulian dengan sesama, selain itu anak-anak juga mau menyisihkan uangnya untuk diinfaqkan. Hampir setiap

Teori yang digunakan untuk menganalisis pola adaptasi yang dilakukan oleh perempuan muda pasca bercerai di Kecamatan Koba Kabupaten Bangka Tengah adalah teori

 benih kedelai dalam proses produksi yaitu calon benih yang belum lulus uji laboratorium atau masih dalam pertanaman yang siap panen dan dapat disalurkan bulan juni