• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protozoa merupakan jenis mikroorganisme yang menempati populasi kedua terbesar di dalam rumen. Berdasarkan hasil sidik ragam, tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) antar perlakuan terhadap populasi protozoa dalam rumen. Populasi protozoa yang dihasilkan dari perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Populasi Protozoa Dalam Rumen Perlakuan Total Protozoa ( 104 sel/ml ) M0 9,10 MJ 6,92 MIL 7,31 MILT 12,95 SEM 1.37

Keterangan: M0 = pakan kontrol (tanpa minyak),

MJ = pakan yang mengandung 1,5% minyak jagung, MIL = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru,

MILT = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi. SEM = standard error of mean

Populasi protozoa dalam rumen yang tidak berbeda secara nyata menandakan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap populasi protozoa dalam rumen. Populasi protozoa yang diperoleh pada penelitian ini antara 6,92–12,95 (×104 sel/ml), masih rendah dibandingkan standar populasi protozoa menurut Ogimoto dan Imai (1981) yang menyatakan populasi protozoa optimal adalah 105–106 sel/ml. Populasi protozoa pada penelitian ini sejalan dengan populasi protozoa yang diperoleh oleh Adawiah et al. (2007), yakni 6,5–10,4 (×104 sel/ml). Hasil yang diperoleh Zain et al. (2008) menunjukkan bahwa penggunaan minyak jagung mampu mengeliminasi protozoa rumen secara signifikan sampai 11,72% dari 1,45 105 sel/ml menjadi 1,28

105 sel/ml dan mengakibatkan peningkatan populasi bakteri rumen dari 8,80 1010 koloni/ml menjadi 11,40 1010 koloni/ml, atau naik sebesar 29,5%.

Fermentabilitas Volatile Fatty Acid (VFA)

Pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA dalam rumen yang tertera di Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan berbagai jenis minyak yang digunakan pada penelitian ini sangat nyata mempengaruhi produksi VFA dalam rumen (P<0,01). Rataan produksi VFA pada perlakuan MJ dan MIL sangat berbeda nyata (P<0,01) meningkat dibandingkan dengan M0 dan MILT. Hal ini menggambarkan bahwa pemberian MJ dan MIL dapat meningkatkan efisiensi metabolisme energi di dalam rumen. Menurut Sutardi (1997), penggunaan minyak jagung dalam ransum menghasilkan efisiensi penggunaan energi (VFA) sebesar 81% dan gas CH4 sebesar 20,8%. Hartati (1998) juga menyatakan konsentrasi VFA total meningkat secara linear apabila ransum mendapat penambahan minyak ikan lemuru. Rataan produksi VFA pada penelitian ini berkisar dari 110,24–171,49 mM. Rataan yang dihasilkan masih berada dalam kisaran normal, sesuai dengan pernyataan Fathul dan Wajizah (2010) yang mengatakan bahwa konsentrasi VFA total yang mencukupi untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah 80–180 mM.

Tabel 6. Produksi VFA dan NH3 Dalam Rumen

Parameter Perlakuan SEM

M0 MJ MIL MILT

VFA (mM) 118,59c 171,49a 141,42b 110,24c 8,40

NH3 (mM) 6,49 7,48 6,90 5,47 0,48

Rasio VFA/NH3 18,40 25,66 21,28 21,19 1,53

Keterangan: M0 = pakan kontrol (tanpa minyak),

MJ = pakan yang mengandung 1,5% minyak jagung, MIL = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru,

MILT = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi. SEM = standard error of mean

Rataan dengan superskrip huruf kecil dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Kedua pemberian lemak pada perlakuan MJ dan MIL sangat nyata (P<0,01) meningkatkan VFA dalam rumen domba. Hal tersebut dikarenakan populasi protozoa yang diperoleh pada domba yang diberi perlakuan MJ dan MIL cenderung menurun (Tabel 5). Penurunan jumlah protozoa akibat penambahan minyak sebagai sumber asam lemak tak jenuh diduga akan meningkatkan populasi bakteri dalam

rumen. Zain et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan minyak jagung sebagai agen defaunasi mampu mengeliminasi protozoa rumen dari 1,45 105 sel/ml menjadi 1,28 105 sel/ml dan mengakibatkan peningkatan populasi bakteri rumen dari 8,80 1010 koloni/ml menjadi 11,40 1010 koloni/ml, atau naik sebesar 29,5%. Menurut Fathul dan Wajizah (2010), bertambahnya jumlah bakteri rumen sebanyak satu milyar sel/ml akan meningkatkan produk VFA sebanyak 0,1592 mM. Jumlah bakteri mempengaruhi produk VFA sebanyak 85%, sedangkan sebanyak 15% oleh faktor lain.

Produksi VFA pada MJ nyata lebih tinggi (P<0,05) daripada VFA yang diproduksi oleh MIL. Tingginya VFA yang diperoleh oleh MJ dibandingkan MIL sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Adawiah et al. (2007), yang mendapatkan nilai VFA pada ransum yang diberi minyak jagung lebih tinggi 10 mM dibandingkan yang diberi minyak ikan ((MJ = 105±28 mM; MIL = 95±23 mM). Lebih tingginya konsentrasi VFA yang dihasilkan oleh MJ dibandingkan MIL diduga disebabkan selain karena populasi protozoa yang dihasilkan perlakuan MIL lebih rendah dari yang dihasilkan perlakuan MJ (Tabel 5), namun dapat juga disebabkan oleh konsumsi pakan domba. Konsumsi bahan kering konsentrat MJ (348,05 g/e/h) cenderung lebih tinggi dibandingkan konsumsi bahan kering konsentrat MIL (336,59 g/e/h) (Ici, 2012). Konsumsi yang cenderung lebih rendah dengan pemberian MIL dibandingkan dengan MJ mungkin disebabkan oleh bau amis dari MIL yang kurang disukai oleh ternak.

Lemak juga diketahui mengandung energi yang lebih tinggi daripada karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang lebih rendah (Sudarman et al., 2008). Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi pada pemberian pakan yang mengandung minyak ikan lemuru terproteksi (MILT). Produksi VFA pada minyak yang terproteksi (MILT) nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tidak terproteksi (MIL) (P<0,01). Produksi VFA MILT tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan pakan kontrol (M0) yang tanpa penambahan minyak (P>0,05), bahkan nilainya cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh proses perlindungan dengan saponifikasi minyak ikan lemuru menjadi garam karboksilat. Proses saponifikasi tersebut ikut berperan dalam melindungi lemak, terutama asam lemak tak jenuh dari proses hidrogenasi di dalam rumen. Dalam

rumen sabun garam karboksilat itu belum mencair karena sabun yang terbentuk berupa kristal padat dan kompak tersebut mudah mencair pada pH 3. Pada kondisi lingkungan yang netral seperti rumen, sabun dapat melewati rumen tanpa mengganggu aktifitas rumen. Saat melewati omasum sampai usus halus (yang memiliki pH 4-3) sabun akan terurai menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya asam lemak diserap melalui usus halus untuk digunakan sebagai energi (Joseph, 2007). Penurunan kadar VFA pada lemak yang diproteksi juga dilaporkan oleh Tiven et al. (2011), yang melaporkan terjadinya penurunan terhadap kadar asetat, propionat, butirat, serta total VFA pada perlindungan sumber lemak dari crude palm oil (CPO) dengan formaldehida.

Amonia (NH3)

Amonia (NH3) merupakan sumber nitrogen utama yang penting untuk sintesis protein mikroba. Pemberian berbagai minyak sebagai sumber asam lemak di pakan yang tertera pada Tabel 6 tidak mempengaruhi konsentrasi NH3 dalam rumen secara nyata (P>0,05). Hal tersebut menandakan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama dalam proses degradasi protein dalam rumen, sehingga tidak mempengaruhi pasokan nitrogen untuk mikroba rumen.

Kadar NH3 yang dihasilkan oleh domba yang diberi minyak lemuru yang diproteksi cenderung menghasilkan nilai NH3 yang terendah. Konsentrasi NH3 pada minyak lemuru terproteksi sejalan dengan yang hasil penelitian Tiven et al. (2011), yang mendapatkan kenaikan level formaldehida sebagai agen perlindungan terhadap CPO menyebabkan kadar amonia mengalami penurunan. Hal tersebut karena partikel minyak dikelilingi oleh ikatan antara protein dengan formaldehida. Ikatan tersebut tidak terpecah pada kondisi pH yang netral (6–7) di dalam rumen, sehingga minyak tidak mengganggu aktivitas fermentasi di dalamnya.

Kisaran konsentrasi yang didapat (5,47–7,48 mM) masih berada dalam kisaran normal konsentrasi NH3, menurut McDonald et al. (2002) yaitu 5–17,65 mM. Walaupun kisaran NH3 yang dihasilkan masih berada dalam kisaran normal, tetapi konsentrasi NH3 dari keempat perlakuan ini dapat dikatakan rendah. Adawiah et al. (2007) mendapatkan nilai NH3 pada perlakuan 1,5% minyak jagung sebesar 8,3 mM dan perlakuan 1,5% minyak ikan sebesar 8,0 mM. Cenderung rendahnya konsentrasi

NH3 tersebut diduga disebabkan sumber protein utama yang dipakai pada penelitian ini adalah bungkil kelapa sebesar 49%–50,50% dari total ransum. Hal tersebut dikarenakan menurut Sampath (1990), bungkil kelapa tergolong sebagai bahan pakan dengan kandungan undegradable dietary protein (UDP) tinggi, yakni 70%–81%, dengan nilai rata-rata yakni 76% dari protein kasar. Protein sulit terdegradasi (UDP) merupakan protein pakan yang tidak terdegradasi dalam rumen sehingga menjadi protein bypass lalu sampai ke usus halus untuk diserap. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan McDonald et al. (2002) yang menyatakan jika protein pakannya sulit didegradasi dalam rumen, maka konsentrasi NH3 dalam rumen akan rendah.

Penelitian ini menggunakan onggok sebagai sumber karbohidrat yang mudah terfermentasi. Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi NH3, karena terjadi kenaikan penggunaan NH3 untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3, dengan cara menyediakan karbohidrat nonstruktural atau readily available carbohydrate (RAC) dan nitrogen secara seimbang (Syahrir et al., 2009). Diharapkan pada saat NH3 terbentuk, terdapat produk fermentasi asal karbohidrat (VFA) yang akan digunakan sebagai sumber kerangka karbon dari asam amino protein mikroba yang prekursor utamanya berasal dari NH3. Mikroba rumen memiliki kemampuan untuk mengubah urea sebagai sumber non protein nitrogen (NPN) menjadi protein, karena ketika memasuki rumen urea segera dihidrolisis menjadi NH3 oleh enzim urease dari bakteri (McDonald et al., 2002).

Rasio VFA dan Amonia (NH3)

Rasio VFA dan NH3 merupakan perbandingan antara konsentrasi VFA dan konsentrasi NH3 yang dihasilkan di dalam rumen. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) antar sumber asam lemak tak jenuh, baik yang diproteksi maupun yang tidak diproteksi dengan kontrol terhadap rasio VFA dan NH3. Hal tersebut menandakan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap produk fermentasi yang terjadi di dalam rumen. Rasio VFA dan NH3 yang dihasilkan dari perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Menurut Prayuwidayati dan Widodo (2007), rasio antara VFA terhadap NH3 mempengaruhi kecukupan kebutuhan mikroba rumen untuk metabolisme optimal di dalam rumen. Pada penelitian Prayuwidayati dan Widodo (2007), didapatkan rasio VFA dan NH3 sebesar 9,75–14,55. Rasio antara VFA dan NH3 yang dihasillkan dari penelitian ini berkisar antara 18,40–25,66. Rasio pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan hasil Prayuwidayati dan Widodo (2007). Hal tersebut dikarenakan konsentrasi VFA yang dihasilkan pada penelitian ini (110,24–171,49 mM) lebih tinggi dibandingkan hasil Prayuwidayati dan Widodo (2007) (70,00–90,00 mM), sementara konsentrasi NH3 yang dihasilkan (5,47–7,48 mM) lebih rendah dibandingkan konsentrasi NH3 yang dihasilkan Prayuwidayati dan Widodo (2007) yang berkisar antara 5,84–9,36 mM. Konsentrasi VFA yang tinggi sementara konsentrasi NH3 yang rendah diduga mengurangi efisiensi pembentukan protein mikroba, karena banyak tersedianya kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba tidak diimbangi dengan sumber nitrogen utama bagi sintesis protein mikroba.

Alantoin

Alantoin dapat digunakan untuk memperkirakan produksi protein mikroba rumen, karena alantoin dikeluarkan oleh ternak dalam jumlah yang lebih konstan dari derivat purin lainnya (Orellana-Boero et al., 2001). Lebih lanjut Chen dan Gomes (1995) menyatakan bahwa dalam 100% derivat purin yang diekskresikan di urin, 85%-nya merupakan senyawa alantoin. Kadar alantoin dalam urin yang dihasilkan dari perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Alantoin Domba Perlakuan

Parameter Perlakuan SEM

M0 MJ MIL MILT

Ekskresi Alantoin (mmol/l) 0,19 0,15 0,17 0,25 0,02 Ekskresi Derivat Purin (mmol/l) 0,22 0,18 0,20 0,30 0,02

Keterangan: M0 = pakan kontrol (tanpa minyak),

MJ = pakan yang mengandung 1,5% minyak jagung, MIL = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru,

MILT = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi. SEM = standard error of mean

Pada Tabel 7, alantoin yang diekskresikan oleh domba tidak dipengaruhi secara nyata (P>0,05) perlakuan sumber asam lemak tak jenuh yang diberikan. Ekskresi alantoin yang tidak berbeda secara nyata menandakan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% masih termasuk dalam level yang aman dan memiliki pengaruh yang sama terhadap proses pembentukan derivat purin pada ternak. Walaupun tidak berbeda secara statistika, namun pemberian sumber asam lemak tak jenuh cenderung menurunkan ekskresi alantoin dibandingkan kontrol. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Jalč et al. (2006) yang menyatakan pemberian lemak yang tinggi dapat membatasi sintesis yang dilakukan oleh mikroba rumen. Asam lemak tidak jenuh memiliki efek toksik bagi bakteri.

Nilai kisaran yang didapatkan dari penelitian ini (0,15–0,25 mmol/l) lebih rendah dibandingkan penelitian Nurlaela (2006) yang membandingkan derivat purin antara domba dan kambing lokal, dengan nilai yang diperoleh pada alantoin domba lokal adalah 0,22–0,24 mM. Perbedaan nilai ekskresi alantoin ini diduga karena kecepatan bahan keluar dari rumen, kecepatan absorpsi amonia, kecepatan pemecahan nitrogen pakan, dan jenis fermentasi mikroba berdasarkan jenis pakannya. Besarnya mikroba yang tersedia untuk ternak kemungkinan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan (Chen et al., 1992).

Neraca Nitrogen (N) Konsumsi Nitrogen (N)

Hasil pengukuran konsumsi nitrogen (N) dapat dilihat pada Tabel 8. Ransum perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05), saat nilainya dihitung per gram per ekor per hari maupun per bobot badan metabolis terhadap konsumsi N ternak percobaan.

Konsumsi N yang tidak berbeda pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap palatabilitas ternak terhadap bahan pakan. Nilai konsumsi N yang didapatkan pada penelitian ini berkisar antara 11,59– 13,56 g/e/h. Pada penelitian yang dilaporkan oleh Khoerunnisa (2006) yang membandingkan metabolisme N pada domba dan kambing lokal, didapatkan hasil

konsumsi protein domba lokal betina sebesar 72,87±15,92 g/e/h. Jika konsumsi protein tersebut dikonversikan menjadi konsumsi N, akan dihasilkan nilai konsumsi N sebesar 11,66±2,55 g/e/h. Nilai tersebut serupa dengan yang dihasilkan dari penelitian tersebut.

Tabel 8. Nilai Neraca Nitrogen Domba Perlakuan

Parameter Perlakuan SEM

M0 MJ MIL MILT Konsumsi N g/e/h 13,56 13,16 12,42 11,59 0,86 g/kg BB0,75/h 1,62 1,52 1,44 1,45 0,03 Ekskresi N Feses g/e/h 3,77 3,81 3,87 3,19 0,32 g/kg BB0,75/h 0,46 0,44 0,44 0,40 0,02 Urin g/e/h 0,79 0,98 1,13 0,88 0,10 g/kg BB0,75/h 0,09 0,11 0,13 0,11 0,01 N Tercerna g/e/h 9,78 9,35 8,55 8,40 0,64 g/kg BB0,75/h 1,17 1,08 1,00 1,05 0,03 Kecernaan N (%) 71,76 70,99 69,25 72,65 1,45 Retensi N g/e/h 9,00 8,37 7,42 7,52 0,59 g/kg BB0,75/h 1,07 0,97 0,86 0,95 0,04 EPN (%) 65,93 63,64 59,87 65,36 1,72

Keterangan: M0 = pakan kontrol (tanpa minyak),

MJ = pakan yang mengandung 1,5% minyak jagung, MIL = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru,

MILT = pakan yang mengandung 1,5% minyak ikan lemuru terproteksi. SEM = standard error of mean, EPN = efisiensi pemanfaatan N.

Menurut Purbowati et al. (2007), faktor yang mempengaruhi konsumsi protein kasar adalah kandungan protein kasar dalam pakan dan konsumsi bahan kering. Nilai konsumsi N berbanding lurus dengan nilai konsumsi protein, karena

nilai konsumsi N didapatkan dari hasil perkalian antara konsumsi N dengan 0,16; yang merupakan kandungan N rata-rata dalam protein. Jika dilihat dari kandungan protein kasar hasil analisis laboratorium, pola konsumsi N dalam gram per ekor per hari mengikuti pola kandungan protein kasar ransum, walaupun hasilnya tidak berbeda secara statistika. Konsumsi N tertinggi penelitian ini diperoleh oleh domba kontrol, dengan kandungan protein kasar yang tertinggi. Sementara konsumsi N terendah diperoleh domba MILT, dengan kandungan protein kasar yang terendah. Tidak berbeda nyatanya konsumsi N dapat disebabkan karena tidak berbedanya konsumsi bahan kering yang diperoleh. Rataan konsumsi bahan kering yang didapatkan antara lain M0 458,09 g/e/h; MJ 482,91 g/e/h; MIL 470,48 g/e/h; dan MILT 437,78 g/e/h (Ici, 2012).

Nitrogen (N) Feses

Perlakuan yang diberikan tidak menimbulkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap jumlah N dalam feses dihitung per gram per ekor per hari maupun per bobot badan metabolis ternak (Tabel 8). Ekskresi N dalam feses yang tidak berbeda pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap proses pencernaan nitrogen ternak.

Kandungan N dalam feses yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu 3,19– 3,87 g/e/h. Kandungan N tersebut masih berada dalam kisaran kadar N yang dikeluarkan dari feses domba lokal betina pada penelitian Khoerunnisa (2006) yang membandingkan metabolisme N antara domba dan kambing lokal, yakni 3,05±1,25 g/e/h.

Pengeluaran N melalui feses dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tipe makanan yang dikonsumsi, tipe saluran pencernaan (Pond et al., 1995), hasil pencernaan oleh mikroba, dan efisiensi pemeliharaan bakteri (Van Soest, 1982). Sehingga tidak berbedanya ekskresi N dalam feses pada penelitian ini mungkin dipengaruhi oleh tidak berbedanya kecernaan N. Van Soest (1982) juga menyatakan bahwa N yang hilang dalam feses ruminansia ±0,6% dari konsumsi bahan kering atau ±4% dari protein ransum. Sementara pada penelitian ini didapatkan hasil N yang hilang dan terkandung dalam feses lebih tinggi dibandingkan pernyataan Van Soest (1982), yakni 0,84% pada perlakuan kontrol, 0,79% pada perlakuan MJ, 0,81% pada

perlakuan MIL, dan 0,72% pada perlakuan MILT dari konsumsi bahan kering domba. Hal tersebut diduga karena pemakaian bungkil kelapa sebagai bahan yang sulit didegradasi dalam pakan penelitian ini. Swanson et al. (2000) yang melaporkan adanya kecenderungan untuk kehilangan N melalui feses lebih banyak pada tambahan yang lambat didegradasi dibandingkan dengan tambahan yang cepat didegradasi.

Nitrogen (N) Urin

Berdasarkan hasil sidik ragam, tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai nitrogen (N) urin per gram per ekor per hari atau per bobot badan metabolis dari perlakuan yang diberikan. Ekskresi N dalam urin yang tidak berbeda pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap proses metabolisme nitrogen ternak. Nitrogen yang diekskeresikan dalam urin tertera di Tabel 8.

Pengeluaran N melalui urin memiliki korelasi linier dengan tingkat konsumsi ransum dan pengeluaran N feses (Smith et al., 1992). Hasil samping dari proses metabolisme protein di dalam tubuh dikeluarkan di urin dalam bentuk kreatinin, amonia, asam amino, urea, (Banerjee, 1982), dan derivat purin (asam urat, alantoin, xanthine, dan hipoxanthine) (Chen dan Gomes, 1995). Menurut Roy (1970), faktor- faktor yang mempengaruhi kadar N dalam urin antara lain tingkat konsumsi N, penyerapan nitrogen dalam tubuh, sumber N, tingkat protein ransum, koefisen cerna protein, bentuk fisik dan macam bahan pakan, tingkat energi ransum, serta fase pertumbuhan ternak.

Nitrogen yang terkandung dalam urin di penelitian ini berkisar antara 0,79– 1,13 g/e/h. Jumlah N urin tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan studi komparatif yang dilakukan Khoerunnisa (2006) yang menghasilkan jumlah N dalam urin domba lokal betina sebesar 0,029±0,013 g/e/h. Hal tersebut diduga disebabkan karena penambahan urea pada pakan. Karena Mehrez dan Ørskov (1978) melaporkan suplementasi urea pada pakan jerami-gandum menghasilkan efek yang sedikit terhadap ekskresi N dalam feses, namun meningkatkan ekskresi N dalam urin, yang dihubungkan dengan degradasi urea yang tinggi dalam rumen.

Kecernaan Nitrogen (N)

Nilai nitrogen (N) tercerna per gram per ekor atau per bobot badan metabolis serta nilai kecernaan N yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal tersebut menandakan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap proses pencernaan nitrogen ternak.

Kecernaan N dipengaruhi oleh ransum perlakuan yang diberikan, karena McDonald et al. (2002) menyebutkan bahwa kecernaan protein tergantung pada banyaknya kandungan protein di dalam pakan. Secara lengkap nilai N yang tercerna dan persentase kercernaan N disajikan pada Tabel 8. Dari tabel tersebut diketahui bahwa nilai kecernaan N berkisar antara 69,25%–72,65%. Hasil tersebut serupa dengan yang dilaporkan oleh Khoerunnisa (2006), yang menyatakan bahwa kecernaan protein pada domba lokal betina memiliki nilai 69,45%±6,53%.

Retensi Nitrogen (N)

Retensi nitrogen N merupakan selisih perhitungan antara N yang dikonsumsi dengan N yang diekskresikan melalui feses dan urin. Perhitungan retensi N dapat digunakan untuk menilai kualitas pakan yang diberikan, apakah pakan tersebut telah memenuhi kebutuhan hidup pokok bagi ternak ataukah ternak harus merombak N yang berada di jaringan tubuhnya untuk menutupi kekurangan dari pakan.

Pengaruh ransum perlakuan terhadap retensi N disajikan pada Tabel 8, yang menunjukkan ransum perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi N yang teretensi dalam tubuh ternak. Retensi N yang tidak berbeda pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian minyak yang berbeda sebagai sumber asam lemak tak jenuh pada level 1,5% memiliki pengaruh yang sama terhadap proses pemanfaatan nitrogen dalam tubuh ternak.

Retensi N yang tidak berbeda dapat disebabkan karena tidak terjadi perbedaan tingkat konsumsi N dan tingkat ekskresi N dalam feses dan urin pada keempat ransum. Peningkatan laju deposisi protein (N) dalam jaringan pada ternak sangat dipengaruhi oleh suplai protein (N) ransum (Rimbawanto dan Iriyanti, 2000), dengan hubungan yang positif (Melaku et al., 2004). Walaupun tidak terdapat perbedaan secara statistika, tetapi nilai retensi N domba yang diberi perlakuan asam lemak tak jenuh cenderung turun dibandingkan nilai retensi N kontrol. Hal tersebut

mungkin dapat menjadi suatu indikator bahwa level 1,5% penambahan sumber asam lemak tak jenuh masih kurang untuk kebutuhan ternak. Tidak berbedanya nilai retensi N menandakan defisiensi tersebut tidak terlalu besar. Menurut McDonald et al. (2002), defisiensi asam lemak tak jenuh dalam pakan dapat menurunkan nilai retensi nitrogen dalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan MJ yang banyak mengandung asam linoleat dan asam linolenat serta MIL yang banyak mengandung asam arakhidonat, merupakan prekursor dari prostaglandin yang berfungsi dalam penyerapan nutrien (Adawiah et al., 2006). Khoerunnisa (2006) mendapatkan nilai retensi N bagi ternak domba lokal berjenis kelamin betina yakni 8,00±1,23 g/e/h. Pada penelitian ini didapatkan nilai retensi N domba yang diberi perlakuan tidak berbeda dari retensi N yang diperoleh Khoerunnisa (2006), yakni antara 7,42–9,00 g/e/h.

Pemberian minyak sebagai sumber asam lemak tak jenuh dalam pakan dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan N. Pemberian lemak yang tinggi kalorinya akan meningkatkan kandungan energi di dalam pakan. Jika energi yang terdapat dalam pakan telah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi ternak, maka ternak dapat mendepositkan nitrogen dan nutrien lainnya ke dalam jaringan tubuh. Namun jika energi dalam pakan masih kurang untuk memenuhi kebutuhan ternak, kemungkinan ternak akan merombak protein tubuhnya menjadi sumber energi.

Pemberian sumber asam lemak tak jenuh berbeda ke dalam pakan domba perlakuan menghasilkan nilai retensi N yang positif. Jumlah retensi N yang positif menunjukkan banyaknya N yang tertahan di dalam tubuh ternak karena dimanfaatkan oleh ternak (Prayuwidayati dan Widodo, 2007). Hermon (2009) menyatakan jika energi dari karbohidarat dan lemak cukup tersedia dalam tubuh, asam amino akan ditimbun dalam tubuh yang dikenal dengan retensi N. Tetapi jika suplai energi dari karbohidat dan lemak kurang, maka asam amino akan dioksidasi dan kadar asam amino plasma darah akan meningkat (Hermon, 2009). Nilai retensi N

Dokumen terkait