• Tidak ada hasil yang ditemukan

CALON INDUK YANG DIBERI SUMBER ASAM LEMAK TAK JENUH BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis dan makanan yang kualitasnya rendah, serta dapat beranak sepanjang tahun (FAO, 2002). Menurut Blakely dan Bade (1998), domba dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia (hewan)

Phylum : Chordata (hewan bertulang belakang) Kelas : Mammalia (hewan menyusui)

Ordo : Artiodactyla (hewan berkuku genap) Family : Bovidae

Genus : Ovis Spesies : Ovis aries

Domba memiliki sifat prolifik, yaitu mempunyai kemampuan melahirkan anak hingga empar ekor dalam satu kali kelahiran (Inounu, 1991). Sifat-sifat prolifik pada domba menurut Tiesnamurti (1992) tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat-sifat Domba Prolifik

Sifat Tunggal Kembar Dua Kembar > 3

Rata-rata bobot lahir (kg) 2,6 1,8 1,2

Rata-rata bobot sapih per ekor (kg) 15,2 10,3 8,1

Kematian prasapih (%) 10 17 30

Laju pertumbuhan prasapih (g/e/h) 130 95 75

Laju pertumbuhan lepas sapih (g/e/h) 119 124 135

Umur pubertas betina (hari) 359,1 359,2 312

Rata-rata bobot badan setahun (kg) 25 20 18

Sumber: Tiesnamurti (1992)

Erlita (2006) melakukan perbandingan antara penampilan umum dan kecernaan pakan domba dan kambing lokal. Hasil yang didapatkan adalah domba lokal betina memiliki konsumsi bahan kering dan bahan organik sebesar 527,65±89,36 g/e/h dan 427,24±72,35 g/e/h, kecernaan bahan kering dan bahan organik sebesar 59,67%±2,79% dan 62,35%±2,66%, serta pertambahan bobot badan

harian sebesar 59,03±12,57 g/e/h. Terdapat tiga jenis domba lokal di Indonesia, yaitu domba Javanese thin-tailed (domba ekor tipis), Javanese fat-tailed (domba ekor gemuk), dan domba priangan atau dikenal juga sebagai domba garut.

Domba Ekor Tipis

Domba ekor tips banyak ditemukan di Jawa Barat. Bobot rata-rata domba ekor tipis betina dewasa sekitar 20 kg, tetapi dengan banyak variasi. Domba yang diternakkan di dataran tinggi lebih tinggi bobotnya (rata-rata 27 kg) dibandingkan dengan domba yang diternakkan di daerah dataran rendah (rata-rata 16 kg) pada jenis ini. Tinggi pundak dari seekor domba betina dewasa sekitar 55 cm. Kebanyakan dari jenis domba ini berwarna putih dengan bercak gelap (Gatenby, 1991).

Domba ekor tipis memiliki sifat prolifik, sehingga induk dapat menghasilkan keturunan yang banyak dalam waktu yang singkat. Jumlah anak per kelahiran secara alami pernah dicatat sampai enam ekor, dan di peternakan kembar dua dan kembar tiga merupakan hal yang umum (Gatenby, 1991).

Domba Ekor Gemuk

Domba ekor gemuk (DEG) ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan di beberapa pulau lain di bagian tengah dan barat Indonesia. Domba ini sedikit lebih besar daripada jenis ekor tipis, memiliki wol yang sangat sedikit, dan mempunyai ekor yang gemuk dan panjang. Diduga domba ini dibawa oleh pedagang dari Pakistan atau Timur Tengah. Warna bulu normal adalah putih. Baik domba betina maupun domba jantan keduanya tidak bertanduk (Gatenby, 1991).

Yusran dan Komarudin-Ma’sum (1990) menyatakan bahwa berat badan induk DEG di saat kawin berkisar antara 19–33 kg, dengan umur induk yang kawin 1–4 tahun. Proporsi induk yang beranak kembar dua atau lebih meningkat dari 34,2% pada waktu beranak pertama naik menjadi 55,9% pada waktu beranak ketiga. Pada penelitian tersebut juga diperoleh rata-rata jumlah anak per kelahiran per induk untuk induk-induk DEG berkisar antara 1,0 ekor sampai 2,4 ekor dengan rata-rata 1,7 ekor; sehingga cenderung terjadi tipe kelahiran kembar dua.

Domba Garut

Salah satu keturunan dari domba ekor tipis dikenal sebagai domba priangan atau domba garut. Domba ini digunakan untuk pertarungan domba. Jenis domba ini

besar, memiliki telinga sangat kecil, dan sering berwarna hitam (Gatenby, 1991). Nurasa (2006) memperoleh hasil rataan lama birahi pada domba garut adalah 33,96±15,32 jam dengan angka service per conception (SPC) sebesar 1,53±0,73. Laju ovulasi pada penelitian tersebut sebesar 2,05±1,06 buah/ekor. Jumlah ovum yang terbuahi adalah 94,23%±6,56% dengan daya hidup embrio 89,23%±5,67%. Jumlah anak rata-rata dalam sekali kelahiran pada domba garut yaitu 1.63±0,85 ekor/induk dengan total bobot lahir 3,88±1,64 kg/induk.

Kebutuhan Pakan Domba

Nutrien atau zat-zat pakan adalah substansi kimia dalam bahan pakan ternak yang dapat dimanfaatkan untuk hidup pokok dan bila ketersediaannya cukup, maka digunakan untuk pertumbuhan, gerak dan kerja oleh otot ternak, reproduksi, serta laktasi (Purbowati, 2001). Pakan pada hewan ruminansia terbagi atas konsentrat dan hijauan. Menurut Ensminger et al. (1990), konsentrat adalah pakan yang tinggi kandungan Beta-N dan rendah kandungan SK-nya, yaitu lebih rendah dari 18%.

Menurut Haryanto dan Djajanegara (1993), energi dan protein merupakan kebutuhan nutrisi utama yang harus terpenuhi secukupnya, setelah kebutuhan bahan kering terpenuhi. Kebutuhan energi tergantung pada ukuran ternak, status fisiologis ternak, dan kondisi lingkungan, sementara protein penting untuk efisiensi penggunaan energi dan untuk pertumbuhan otot (Purbowati, 2001).

Menurut Prakoso et al. (2009), untuk dapat memberikan produk yang efisien dan optimal pada ternak domba, diperlukan imbangan protein kasar (PK) dan total digestible nutrients (TDN) yang tepat dalam pakan. Menurut Haryanto dan Djajanegara (1993), kebutuhan PK dan TDN untuk domba yang digemukkan adalah 14%–15% dan 45%–65%. Sementara Umberger (1997) menyebutkan bahwa untuk domba berbobot badan 13,5–31,5 kg yang sedang digemukkan memiliki kebutuhan PK sebesar 15% serta domba berbobot badan 22,5–33,75 kg memiliki kebutuhan TDN sebesar 70%–75%.

NRC (2007) menyatakan bahwa kebutuhan asam linoleat sebagai asam lemak esensial untuk ternak ruminansia kecil dalam fase pertumbuhan berkisar antara 0,055 g/kg BB0,75 hingga 0,043 g/kg BB0,75, dengan kebutuhan asam linoleat maksimum untuk ternak ruminansia kecil lepas sapih diperkirakan sebesar 0,055 g/kg BB0,75.

Bahan Pakan Rumput Lapang

Hijauan merupakan pakan utama sumber serat bagi ternak ruminansia. Hijauan yang umum digunakan sebagai pakan ternak terdiri atas leguminosa dan rumput. Menurut Maulidina (2011), rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang tumbuh alami dan mudah didapat, tetapi memiliki daya produksi dan kualitas nutrien yang rendah. Komposisi zat makanan rumput lapang berdasarkan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 2. Kandungan Nutrien Rumput Lapang Berdasarkan Bahan Kering

Nutrien Komposisi* ---%BK--- Abu (%) 6,46 Protein Kasar (%) 8,78 Lemak Kasar (%) 1,83 Serat Kasar (%) 27,78

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (%) 55,15

Keterangan: *Hasil analisis Laboratorium PAU IPB

Bungkil Kelapa

Salah satu manfaat dari upaya pembudidayaan tanaman kelapa adalah untuk memproduksi minyak kelapa yang berasal dari daging buah, yang menghasilkan hasil samping berupa bungkil kelapa. Bungkil kelapa diperoleh dari sisa kopra setelah proses pengepresan. Berdasarkan prosesnya, bungkil kelapa dibedakan menjadi bungkil kelapa yang diekstraksi dengan uap air dan tekanan (bungkil kelapa expeller) dan bungkil kelapa yang diekstraksi dengan pelarut organik (bungkil kelapa solvent) (Hamid et al., 1999).

Bungkil kelapa merupakan bahan baku pakan yang tergolong sebagai sumber protein. Bungkil kelapa mengandung bahan kering 90,6%; protein kasar 23,38%; lemak kasar 6,5%; kalsium 0,01%; dan 0,66% fosfor (Sinurat et al., 1998).

Komposisi asam lemak pada bungkil kelapa sama dengan yang ada di minyak kelapa, hanya saja berbeda dalam persentase jumlah lemak dalam kedua bahan tersebut. Menurut Barus (2006), komposisi dari asam lemak minyak kelapa terdiri

antara lain asam lemak jenuh (0,54% C6; 7,88% C8; 6,43% C10; 48,96% C12; 18,51% C14; 8,46% C16; dan 2,75% C18) serta asam lemak tak jenuh (5,18% C18:1 dan 1,15% C18:2).

Jordan et al. (2006) melaporkan bahwa terjadi penurunan gas metan harian (P<0,001) ketika dihitung per liter per hari maupun per kg konsumsi bahan kering dan nilai GE (gross energy) rata-rata yang lebih besar dengan penambahan bungkil kelapa dan minyak kelapa suling. Konsentrat dari bungkil kelapa menghasilkan fraksi NDF dan ADF lebih besar karena tingginya konsentrasi NDF (649 g/kg BK) dan ADF (331 g/kg BK) pada bungkil kelapa.

Onggok

Onggok merupakan hasil samping berupa padatan dari industri pengolahan ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) menjadi tepung tapioka. Onggok memiliki kandungan kadar air 12,73%; abu 9,1%; serat kasar 8,1%; protein kasar 2,5%; lemak kasar 1%; dan karbohidrat 65,9% (Kurniadi, 2010) serta 0,31% kalsium dan 0,05% fosfor (Wizna et al., 2008). Menurut Dixon (1986), onggok merupakan suatu bahan pakan yang mengandung gula dan pati yang mudah terfermentasi, yang akan memenuhi kebutuhan mikroorganisme rumen secara cepat setelah pemberian pakan, sehingga onggok termasuk sumber energi yang tergolong karbohidrat mudah terpakai (readily available carbohydrate/RAC).

Menurut FSANZ (2004), asam sianida (HCN) yang terdapat pada onggok dapat menyebabkan rendahnya kebuntingan, menurunkan bobot fetus, bobot lahir yang dihasilkan rendah, kematian anak yang tinggi, dan rusaknya fungsi tiroid. Tetapi penggunaan onggok dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Rasyid, 1996) karena harganya murah, tersedia cukup dalam jumlah banyak, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia.

Urea

Urea merupakan salah satu sumber nitrogen (N) bukan protein (Non Protein Nitrogen/NPN) yang paling banyak digunakan pada ternak ruminansia. Ternak ruminansia dapat memanfaatkan urea sebagai sumber NPN karena mikroorganisme dalam rumen ruminansia memiliki kemampuan untuk mengubah NPN yang terkandung dalam pakan menjadi protein (McDonald et al., 2002). Penggunaan urea

dalam ransum memiliki keuntungan karena harganya yang relatif murah untuk setiap unit protein ekuivalen (N 6,25), sehingga memungkinkan biaya pembuatan ransum yang relatif murah pula. Faktor konversi dari N ke protein kasar adalah konsentrasi N dikalikan dengan 6,25; karena protein rata-rata mengandung 16% N (Freer dan Dove, 2002). Urea megandung 46,7% N yang setara dengan 291,875% protein kasar (46% nitrogen 6,25). Penggunaan urea sebagai bahan pakan ternak maksimal 1% dari ransum atau 5% dari konsentrat, atau jangan menggunakan urea melebihi ¼ bagian dari seluruh kebutuhan N untuk ransum pertumbuhan. Selain itu, hendaknya pemberian urea disertai dengan penambahan mineral (Parakkasi, 1999).

Penggunaan urea dapat pula merugikan dan menyebabkan keracunan jika penggunaannya tidak semestinya. Tanda-tanda klinis keracunan urea antara lain kesukaran respirasi, salivasi, tetani urat daging, dan kadar urea atau amonia yang tinggi dalam darah (Parakkasi, 1999).

Minyak Jagung

Minyak jagung adalah minyak yang berasal dari lembaga biji jagung (Zea mays L) yang telah mengalami proses pemurnian dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan yang diizinkan (SNI, 1998).

Menurut Ducket et al. (2002), minyak jagung merupakan sumber asam lemak tak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) yang tinggi, dengan konsentrasi sebesar 86,05%. Komposisi asam lemak pada minyak jagung terdiri dari asam lemak jenuh yakni 10,59% asam palmitat; 1,96% asam stearat; 0,43% asam arakhidat; 0,14% asam beheneat; dan 0,18% asam tetrakosanoat; serta asam lemak tak jenuh antara lain 0,1 asam palmitoleat; 27,27% asam oleat; 57,47% asam linoleat; 0,97% asam linolenat; 0,24% asam eikosenoat; dan sebanyak 0,22% merupakan asam lemak yang tidak teridentifikasi.

Penggunaan minyak jagung dalam ransum menghasilkan gas CH4 sebesar 20,8% dan efisiensi penggunaan energi (VFA) sebesar 81% (Sutardi, 1997). Min et al. (2007) menyatakan bahwa penambahan minyak jagung pada sapi jantan yang digembalakan berbasis pakan gandum, tidak berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan harian dan aliran protein mikroba rumen, namun dapat menurunkan total hari bloat. Level maksimum pemberian minyak jagung dalam sekali pemberian adalah 15 gram minyak jagung per kg asupan bahan kering per hari.

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan lemuru merupakan hasil samping yang cukup banyak dari industri pengalengan ikan dan kaya akan asam lemak tidak jenuh dan omega-3 yang baik untuk kesehatan (Sudarman et al., 2008). Minyak ikan lemuru (Sardinella lemuru) merupakan sumber asam lemak tak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) yang mengandung 21,95% asam arakhidonat (Hartati, 2008). Sementara hasil penelitian dari Yogaswara (2008), menunjukkan bahwa ikan lemuru mengandung 90,88% asam lemak tak jenuh, antara lain 19,77% asam oleat; 22,89% asam linoleat; 20,72% asam linolenat; 22,83% asam eikosapentanoat (eicosapentaenoic acid/EPA); dan 4,67% asam dekosahexanoat (decosahexaenoic acid/DHA) dengan kandungan lemak sebesar 36,48%.

Doreau dan Chilliard (1997) mengemukakan bahwa pemberian 200 gram minyak ikan dalam sekali pemberian per hari tidak berpengaruh terhadap pola fermentasi rumen, sedangkan pemberian 400 gram minyak ikan merubah produk akhir fermentasi rumen (rasio asetat dan propionat).

Asam Lemak

Asam lemak adalah asam monokarboksilat yang berantai lurus dengan rantai asam mulai dari C1 sampai C3 (yang biasanya tidak terdapat dalam lemak tapi ditemukan sebagai hasil hidrolisis dari lemak) dan atom C4 (yang terdapat dalam lemak) (Barus, 2006).

Klasifikasi asam lemak dapat didasarkan pada beberapa hal. Menurut ada atau tidaknya ikatan rangkap pada rantai atom C, asam lemak dibedakan atas asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid/SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty Acid/MUFA), dan asam lemak tidak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA). Jika didasarkan atas panjang pendeknya rantai, asam lemak terdiri atas asam lemak rantai pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA), asam lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acid/MCFA), serta asam lemak rantai panjang (Long Chain Fatty Acid/LCFA). Berdasarkan isomer geometriknya terdapat isomer cis dan trans dari UFA (Barus, 2006).

Asam lemak jenuh dituding sebagai pemacu berbagai masalah kesehatan, seperti kolesterol, atherosclerosis (penyempitan pembuluh darah), atau jantung koroner. Asam lemak yang diklasifikasikan sebagai asam lemak jenuh antara lain

asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0), asam laurat (C12:0), asam miristat (C14:0), asam palmitat (C16:0), dan asam stearat (C18:0) (McDonald et al., 2002). Asam lemak tak jenuh dikenal memiliki peran yang penting dan positif yang berkaitan dengan aspek reproduksi (Abayasekara dan Wathles, 1999). Asam lemak yang diklasifikasikan sebagai asam lemak tak jenuh antara lain asam palmitoleat (C16:1), asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2), asam α-linolenat (C18:3), asam arakhidonat (C20:4), asam timnodonat (eicosapentaenoat) (C20:5), serta asam docosahexaenoat (C22:5) (McDonald et al., 2002).

Asam lemak esensial adalah asam lemak yang tidak dapat disintesis oleh tubuh ternak, sehingga harus terdapat dalam pakan ternak. Contoh dari asam lemak esensial adalah asam linolet, asam linolenat, dan asam arakhidonat. Struktur dari asam lemak dapat dilihat pada Gambar 1.

O R - C - OH

Gambar 1. Struktur Asam Lemak (McDonald et al., 2002)

Penelitian dari Encinias et al. (2004) mendapatkan hasil peningkatan daya tahan hidup anak domba yang induknya disuplementasi oleh 5,7% biji safflower yang mengandung asam linoleat tinggi. Lebih banyak anak domba yang dilahirkan oleh induk yang disuplementasi oleh level biji safflower yang lebih rendah (2,8%) yang mengalami kematian akibat kelaparan dan pneumonia.

Sistem Pencernaan Ruminansia

Proses pencernaan adalah suatu proses perubahan yang dialami bahan makanan baik secara fisik maupun kimiawi di saluran pencernaan menjadi zat-zat yang lebih sederhana yang dipersiapkan untuk diabsorbsi dan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Puastuti, 2005). Saluran pencernaan merupakan sebuah sistem kompleks yang dimulai dari organ mulut dan berakhir di rektum dan anus, dimana semua pakan yang tertelan mengalami mastikasi, fermentasi oleh mikroba, dan pencernaan enzimatis (NRC, 2007). Proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (proses pencernaan yang terjadi di mulut), fermentatif (proses pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba

rumen), dan hirolisis (proses pencernaan oleh enzim-enzim hewan induk semang (Puastuti, 2005).

Ternak ruminansia memiliki sistem pencernaan yang lebih kompleks dibandingkan ternak non-ruminansia, karena memiliki empat buah perut, yaitu perut handuk (rumen), perut jala (retikulum), perut buku atau perut kitab (omasum), dan perut sejati (abomasum). Retikulum merupakan bagian dimana bolus pakan masuk dari kerongkongan dan memiliki kemampuan berkontraksi yang memungkinkan pencampuran dan pergerakan pakan menuju rumen, regurgitasi digesta dari rumen kembali ke mulut, dan pengeluaran isi omasum. Rumen adalah bagian yang terbesar dari keempat kompartemen. Rumen berfungsi sebagai tempat penyimpanan, tempat proses fermentasi, dan tempat hunian bagi populasi mikroba yang jumlahnya besar dan beragam. Omasum merupakan perut yang mengeluarkan air dan mineral dari ingesta sebelum mencapai abomasum, walaupun aktivitas pencernaan yang terjadi di sini cukup sedikit. Abomasum dikatakan sebagai perut sejati, karena abomasum memiliki fungsi yang serupa dengan perut pada hewan non-ruminansia (NRC, 2007).

Metabolisme Lemak

Pada ternak ruminansia, lemak pakan di dalam rumen akan mengalami proses lipolisis dan biohidrogenasi. Menurut NRC (2007), langkah awal perubahan lipida pakan dalam rumen adalah proses hidrolisis ikatan ester oleh enzim lipolitik mikroba yang melepaskan gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Gliserol kemudian dimetabolis oleh mikroorganisme dalam rumen menjadi untuk menghasilkan VFA.

Proses biohidrogenasi di dalam rumen selanjutnya akan mengubah FFA asam lemak tak jenuh yang terbentuk dari proses lipolisi menjadi asam lemak jenuh oleh rumen bakteri (NRC, 2007). Modifikasi lipid bahan pakan tersebut menyebabkan semua lipid yang memasuki duodenum terdiri dari asam lemak jenuh, yang sebagian besar adalah asam stearat (Parakkasi, 1999). Hidrogenasi merupakan proses dimana hidrogen ditambahkan pada ikatan rangkap dari asam lemak tak jenuh, dengan demikian mengubahnya menjadi bentuk jenuh (McDonald et al., 2002). Biohidrogenasi tidak hanya menghasilkan produksi asam lemak jenuh, tetapi juga menghasilkan dalam bentuk isomer terkonjugasi dari asam linoleat dan linolenat

Galaktosil Asil Gliserol Triasil Gliserol Lipolisis

Asam Lemak Galaktosa & Gliserol 18:3

(Cis. 9 Cis. 12 Cis. 15) 18:2

(Cis. 9 Cis. 12)

18:1 (Cis. 9)

18:3

(Cis. 9 Trans. 11 Cis. 15)

18:2 (Cis. 9 Trans. 11) 18:1 (Trans. 11) 18:0 (Stearat)

sebagai hasil dari proses biohidrogenasi tidak lengkap (NRC, 2007). Skema proses metabolisme lemak dalam rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 2.

+

Gambar 2. Proses Metabolisme Lemak dalam Rumen Ternak Ruminansia (Scott dan Ashes, 1993)

Menurut NRC (2007), bakteri merupakan mikroorganisme yang paling bertanggung jawab untuk proses biohidrogenasi di dalam rumen. Beberapa faktor dari pakan yang mempengaruhi proses biohidrogenasi antara lain rasio konsentrat:hijauan dalam pakan, kandungan nitrogen pakan, umur hijauan, spesies hijauan, metode panen dan pengolahan, dan penambahan ionophore.

VFA Lemak Pakan

Kebanyakan lipida di dalam pakan memasuki lacteal dalam bentuk chylomicron, yang memasuki pembuluh darah vena melalui saluran thorac. Bagian dari triasilgliserol pakan sangat sedikit yang dihidrolisis menjadi gliserol dan asam berbobot molekul rendah dan kemudian langsung diserap ke aliran darah. Chylomicron yang beredar lalu diserap oleh hati dan triasilgliserol dihidrolisis. Asam lemak yang dihasilkan oleh mikroba rumen, bersama dengan asam lemak bebas diserap dari darah oleh hati, lalu dimasukkan kembali ke aliran darah dalam bentuk lipoprotein dan dibawa menuju ke berbagai organ dan jaringan (McDonald et al., 2002).

Proteksi terhadap Lemak

Proses biohidrogenasi yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia mengakibatkan semua lipida pakan yang memasuki duodenum didominasi oleh asam lemak jenuh, yang menyebabkan lemak ruminansia menjadi lebih keras dan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular pada konsumennya. Untuk mencegah terjadinya biohidrogenasi oleh mikroba rumen terhadap asam lemak tidak jenuh maka perlu dilakukan proteksi terhadap pakan yang diberikan (Tiven et al., 2011). Lemak yang diproteksi dapat menghindari efek negatif lemak pada mikroba rumen dan memasok asam lemak esensial pada pascarumen (Adawiah et al., 2007).

Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan proteksi terhadap lemak, antara lain proteksi dengan formaldehida (Tiven et al., 2011), proteksi dengan sabun mineral (Adawiah et al., 2007), dan proteksi dengan campuran garam karboksilat kering (CGKK) (Tasse, 2010). Hasil yang diperoleh pada proses proteksi menggunakan CGKK (Tasse, 2010) adalah peningkatan konsentrasi VFA total dan penurunan konsentrasi amonia.

Protozoa

Protozoa merupakan mikroorganisme yang jumlahnya terbanyak kedua di dalam rumen, yang perkiraan konsentrasinya sekitar 1×106 sel/ml cairan rumen untuk sebagian besar sapi dan domba (Dehority, 2004). Populasi protozoa lebih sedikit dari bakteri rumen, namun karena ukuran tubuhnya yang lebih besar, konsentrasinya sebesar 60% dari biomassa rumen (McDonald et al., 2002). Biomassa protozoa

dalam rumen bervariasi, tergantung jenis ransum yang dimakan ternak induk semang (Erwanto, 1995).

Menurut Freer dan Dove (2002), protozoa adalah mikrobiota rumen yang terbesar, anaerob obligatif, motil, dan mikroba eukariotik. Protozoa ciliata merupakan protozoa yang terbanyak, dan family Ophryoscolecidae adalah ciliata utama di rumen, dengan lebih dari 100 spesies (Freer dan Dove, 2002).

Menurut Brock dan Madigan (1991), protozoa lebih menggemari substrat yang mudah difermentasi seperti pati dan gula, walaupun protozoa juga menghidrolisis selulosa dan menghasilkan produk fermentasi seperti asam asetat, asam butirat, asam laktat, CO2, dan H2.

Protozoa mengandung 55% protein kasar, dan susunan asam aminonya tidak dipengaruhi oleh ransum (Parakkasi, 1999). Sementara menurut Dehority (2004), nilai biologis, kecernaan sejati, dan utilisasi protein netto protozoa rumen masing- masing sebesar 82%, 87%–91%, dan 71%.

Hasil penelitian dari Adawiah et al. (2007) menunjukkan bahwa suplementasi 1,5% minyak jagung dan 1,5% minyak ikan menghasilkan populasi protozoa sebanyak 6,5×104 sel/ml dan 10,4×104 sel/ml. Populasi protozoa dari domba yang diberi perlakuan minyak ikan yang diproteksi oleh sabun kalsium adalah 8×104 sel/ml. Menurut Tiven et al. (2001), minyak dapat berperan sebagai agen defaunasi bagi protozoa dalam rumen. Menurut Adawiah et al. (2007), penurunan jumlah populasi protozoa dalam rumen disebabkan karena protozoa tidak dapat memproduksi enzim lipolisis. Lemak yang diberikan akan menyelimuti protozoa dan tidak dapat dirombak, sehingga tegangan permukaan dalam sel protozoa lebih rendah dibandingkan dengan luar sel, yang berakibat protozoa mengalami lisis (Adawiah et al., 2007).

Menurut Suharti et al. (2010), tingginya populasi protozoa dalam rumen diduga dapat meningkatkan produksi gas metan. Di dalam rumen, protozoa merupakan inang bagi archaea methanogen pada proses transfer hidrogen, sehingga archaea methanogen menggunakan H2 yang dihasilkan oleh protozoa dan kemudian mengubahnya menjadi CH4 (metan) (Suharti et al., 2010).

Selulosa Pati Selobiosa

Glukosa-1-phosphate Pektin Asam Uronat

Fruktosa-6-phosphate Hemiselulosa Pentosan Pentosa Fruktosa-1,6-phosphate Glukosa-6-phosphate Maltosa Isomaltosa Glukosa Sukrosa Fruktosa Fruktan Format CO2 H2 Metan Asetil phospate Asetat Malonil CoA Piruvat Asetil CoA Asetoasetil CoA -hidroksibutiril CoA

Krotonil CoA Suksinil CoA

Metilmalonil CoA Suksinat Fumarat Malat Oksalasetat Propionat Propionil CoA Akrilil CoA Laktil CoA Laktat Butirat Butiril CoA

Volatile Fatty Acid (VFA)

Volatile Fatty Acid (VFA) atau asam lemak terbang yang dihasilkan dari fermentasi dalam rumen digunakan sebagai sumber energi utama pada ternak ruminansia. Skema proses metabolisme karbohidrat dalam rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002).

Dari total VFA rumen, proporsi molar asetat, propionat dan butirat sekitar 95% (Sun dan Zhao, 2009). Lebih lanjut Schlegel (1994) menyatakan proses fermentasi dalam rumen menghasilkan asam asetat (C2) paling banyak sekitar 50-

70%, diikuti oleh asam propionat (C3) berkisar antara 17-21%, asam butirat (C4) diproduksi sekitar 14-20% dari VFA total, serta asam valerat (C5) dan asam format hanya terbentuk dalam jumlah kecil.

Menurut McDonald et al. (2002), di dalam rumen karbohidrat pakan dipecah melalui dua tahap. Tahap pertama adalah proses pencernaan karbohidrat kompleks menjadi gula-gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa yang dihasilkan oleh enzim ekstraselular mikroba. Tahap kedua, gula-gula sederhana tersebut kemudian didegradasi, sehingga menghasilkan hasil akhir utama dari proses pencernaan karbohidrat dalam rumen, antara lain VFA (asam asetat, asam propionat, dan asam butirat), CO2 (karbon dioksida), serta CH4 (metana). Selain dihasilkan dari pencernaan karbohidrat, VFA juga dapat dihasilkan dari deaminasi asam amino,

Dokumen terkait