• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data Mortalitas

Inokulasi virus AI secara intranasal akan mengakibatkan kematian pada ayam setelah kurang lebih 48 jam pasca inokulasi (Swayne & Jackwood 2008). Kematian disebabkan oleh kerusakan parah yang terjadi pada banyak organ. Kerusakan ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu: (1) replikasi langsung virus pada sel, jaringan dan organ; (2) akibat tidak langsung karena produksi mediator selular seperti sitokin; dan (3) iskemia yang disebabkan oleh trombosis pada pembuluh darah sisa replikasi virus (Swayne & Halvorson 2003).

Persentase ayam hidup pada masa observasi menunjukkan ketahanan ayam terhadap uji tantangan virus AI yang dilakukan pada ayam tersebut. Perhitungan persentase ayam hidup hanya dilakukan pada hari terakhir observasi. Pengitungan ini tidak mempertimbangkan jumlah ayam yang mampu bertahan pada hari-hari sebelumnya. Sebagai upaya menghindari kesalahan dalam pemilihan kelompok ayam yang memiliki ketahanan baik, maka pemilihan kelompok ayam dilakukan dengan metode skoring. Metode skoring dilakukan dengan mengalikan jumlah ayam yang tersisa dengan koefesien kekebalan setiap hari. Koefisien kekebalan akan berlipat 100% dimulai dari hari pertama hingga hari terakhir observasi, sesuai dengan asumsi bahwa hewan yang hidup lebih lama memiliki tingkat kekebalan lebih tinggi. Koefisien kekebalan pada observasi hari pertama adalah 1, observasi hari kedua memiliki koefisien kekebalan 2, observasi hari ketiga memiliki koefisien kekebalan 4 dan seterusnya sampai observasi hari terakhir. Kelompok perlakuan yang memiliki persentase ayam hidup dan total angka kekebalan yang tinggi menandakan kelompok tersebut memiliki ketahanan yang tinggi terhadap infeksi virus AI. Data mortalitas ayam perlakuan yang diinfeksi virus AI terdapat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data mortalitas broiler yang diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang

Kelompok Total

Ayam

Total Ayam yang Bertahan Hari Ke- Setelah Uji Tantang Virus

Persentase Hewan Hidup (%) Total Perolehan Angka Kekebalan* 1 2 3 4 5 6 7 Kontrol 8 8 8 8 8 8 7 7 87.5 920 Formula 5% 8 8 8 8 8 8 8 8 100 1016 Formula 7.5% 8 8 8 7 7 6 6 6 75 780 Formula 10% 8 8 8 6 5 4 4 4 50 536 *Total perolehan angka kekebalan = hasil penjumlahan angka kekebalan setiap hari. Angka kekebalan = jumlah ayam yang bertahan hingga hari ke- dikali koefisien kekebalan pada hari tersebut (koefisien kekebalan hari ke-1 (kk 1) = 1, kk 2= 2, kk 3= 4, kk 4= 8, kk 5= 16, kk 6= 32, kk 7= 64).

Hasil uji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 secara intranasal dengan dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor menunjukkan bahwa virus ini mengakibatkan mortalitas pada ayam broiler. Mortalitas tertinggi diamati pada kelompok ayam formula 10% diikuti oleh kelompok ayam formula 7.5% kemudian kelompok kontrol. Ayam pada formula 5% mampu bertahan seluruhnya (100%) hingga 7 hari pasca infeksi. Hal ini menandakan ayam pada kelompok formula 5% memiliki ketahanan paling besar terhadap uji tantang infeksi virus AI dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Perolehan angka kekebalan tertinggi terlihat pada ayam kelompok formula 5%, diikuti oleh kontrol, formula 7.5%, dan perolehan angka kekebalan terendah diamati pada ayam kelompok formula 10%. Hasil perolehan angka kekebalan menunjukkan bahwa ayam pada kelompok formula 5% memiliki tingkat ketahan terhadap infeksi virus AI paling baik dibanding kelompok lainnya.

Data jumlah kematian dan perolehan angka kekebalan ayam menunjukkan bahwa pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah serta vaksin mampu menekan jumlah kematian ayam yang diinfeksi virus AI. Pemberian vaksin secara tunggal tanpa pemberian ekstrak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI yang ditandai dengan tidak adanya kematian sampai hari ke-5 pasca infeksi. Namun kombinasi pemberian vaksin dan 5% formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan aktivitas penghambatan yang lebih baik terhadap infeksi virus AI sehingga semua ayam yang ditantang mampu hidup sampai hari terakhir masa observasi. Aktivitas penghambatan infeksi oleh vaksin yang

25

dikombinasikan dengan 5% formula ekstrak tanaman obat disebabkan oleh adanya sinergisme antara zat-zat yang terkandung pada ekstrak tanaman obat dengan vaksin. Vaksin influenza menginduksi antibodi primer yang melawan glikoprotein permukaan virus, yaitu haemaglutinin dan neuramidase (Anthony et al. 2009). Senyawa aktif yang terdapat pada formulasi 5% tanaman obat, yaitu andrografolid dan piperin memiliki kemampuan menstimulasi sistem imun (Suhirman & Winarti 2007; Pathah & Khandelwal 2009), sedangkan anetol memiliki aktivitas sebagai antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel (Astani et al. 2011).

Data Serologis

Antibodi merupakan protein globular yang melawan infeksi dengan cara berikatan dengan epitop yang terdapat di permukaan agen penginfeksi (Frank 2002). Antibodi berperan dalam menetralisasi mikroorganisme dengan mengaktifasi sistem komplement dan atau merangsang opsonisasi oleh Natural Killer Cell (NKC), makrofag, dan monosit (Schijns et al. 2008). Virus yang telah dinetralisasi tidak mampu memasuki sel, sehingga tidak dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi inangnya (Sherwood 2001). Dengan kata lain, antibodi dapat mengurangi jumlah virus yang menginfeksi sel dan menahan terjadinya infeksi ulang (Hilleman 2002).

Pengukuran titer antibodi dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum vaksinasi, sesudah vaksinasi, dan setelah uji tantang. Hewan yang memiliki antibodi spesifik terhadap AI dengan titer yang tinggi akan memiliki ketahanan yang tinggi terhadap infeksi virus AI. Titer antibodi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji serologis broiler dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman

obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor

Kelompok Total

Ayam

Titer Antibodi terhadap Virus AI (GMT) Sebelum Vaksinasi

(log 2)

Setelah Vaksinasi (log 2)

Setelah Uji Tantang (log 2)

Kontrol 8 0 4 6.5

Formula 5% 8 0 6.1 7

Formula 7.5% 8 0 <2 4

Pengukuran titer antibodi dilakukan sebanyak tiga kali. Pengukuran pertama dilakukan sebelum vaksinasi pada saat ayam berumur 21 hari. Hal ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan antibodi yang spesifik terhadap virus H5N1 baik yang berasal dari maternal antibodi ataupun antibodi akibat infeksi di lingkungan. Maternal antibodi merupakan antibodi induk yang ditransfer ke embrio melalui kantong kuning telur dan berperan sebagai pelindung anak ayam dari infeksi hingga sistem kekebalannya mampu berfungsi secara optimal (Davidson et al. 2008). Maternal antibodi mampu bertahan hingga ayam berumur 3-4 minggu (Schijns et al. 2008). Antibodi ini mengakibatkan kegagalan respon imunitas pada hewan yang divaksin (Schijns et al. 2008).

Data serologis memperlihatkan bahwa semua kelompok ayam perlakuan menunjukkan titer nol pada pemeriksaan pertama. Hasil ini menandakan bahwa tidak ada ayam yang memiliki antibodi yang protektif terhadap virus H5N1 baik yang berasal dari maternal antibodi maupun antibodi akibat infeksi di lingkungan. Sehingga penelitian dapat dihindari dari bias dan vaksinasi dapat dilakukan.

Pemberian ekstrak tanaman obat telah dilakukan 14 hari sebelum pengukuran titer antibodi pertama. Pemberian tanaman obat ini tidak berpengaruh pada pembentukan antibodi yang spesifik terhadap virus H5N1. Titer antibodi semua kelompok perlakuan memperlihatkan hasil yang sama.

Pengukuran titer antibodi kedua dilakukan sebelum uji tantang dan sesudah vaksinasi. Pengukuran titer ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi yang dilakukan. Menurut Susetyo dan Wibowo (2008), pengukuran titer antibodi terhadap vaksin AI sebaiknya dilakukan 21 hingga 28 hari setelah vaksinasi. Pengukuran titer antibodi pada penelitian ini dilakukan pada hari ke 23 setelah vaksinasi. Data titer antibodi memperlihatkan hasil yang beragam. Antibodi terhadap AI dinyatakan protektif bila titer yang terbentuk lebih besar dari 4 (log 2) (OIE 2009). Kelompok formula 5% dan kelompok kontrol memperlihatkan titer yang protektif sedangkan kelompok formula 7.5% dan formula 10% memperlihatkan titer yang tidak protektif. Pembentukan antibodi dengan titer yang protektif pada ayam kelompok kontrol menandakan kegiatan vaksinasi yang dilakukan berhasil.

27

Perbedaan titer antibodi pada setiap kelompok perlakuan memberikan gambaran bahwa pemberian ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat memberikan pengaruh terhadap titer antibodi yang terbentuk setelah vaksinasi. Ayam yang diberi formula ekstrak tanaman obat konsentrasi 5% memperlihatkan titer antibodi yang paling tinggi dengan nilai Geometric Mean Titer (GMT) 6.1 (log 2). Hal ini diduga karena adanya aktivitas bahan aktif yang terdapat pada sambiloto, yaitu andrografolid dan bahan aktif pada sirih merah, yaitu piperin. Andrografolid memiliki kemampuan menstimulasi sistem imun (Suhirman & Winarti 2007), dan piperin memiliki kemampuan meningkatkan kerja sistem imun baik humoral maupun seluler (Pathah & Khandelwal 2009).

Titer antibodi pada ayam yang diberi formula ekstrak tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10% lebih rendah dibandingkan dengan titer antibodi kelompok kontrol. Hal ini diduga karena formula tanaman obat pada konsentrasi yang terlalu tinggi mengakibatkan gangguan pada proses pembentukan antibodi sehingga titer antibodi yang dihasilkan menjadi relatif lebih rendah.

Pengukuran titer antibodi ketiga dilakukan pada hari terakhir observasi, yaitu pada hari ke-7 post infeksi (p.i). Ayam yang diperiksa titer antibodinya adalah ayam yang masih bertahan sampai hari terakhir masa observasi, sehingga titer antibodi yang didapat merupakan titer antibodi yang protektif terhadap infeksi virus AI H5N1. Titer antibodi yang paling tinggi ditemukan pada kelompok 5% formula ekstrak tanaman obat dengan nilai GMT mencapai 7 (log 2). Titer antibodi yang tinggi hingga hari terakhir observasi menandakan bahwa senyawa-senyawa yang terdapat pada ekstrak tanaman obat yang memiliki aktivitas dalam merangsang sistem imun masih bekerja sampai 7 hari pasca uji tantang.

Data serologis menunjukkan bahwa pemberian formula ekstrak sambiloto, adas, dan sirih merah serta vaksin mampu merangsang pembentukan antibodi yang spesifik terhadap virus AI. Pemberian vaksin secara tunggal tanpa pemberian ekstrak tanaman obat mampu menginduksi pembentukan antibodi dengan titer antibodi pada 23 hari setelah vaksinasi adalah 4 (log 2) dan titer setelah uji tantang virus AI adalah 6.5 (log 2). Namun kombinasi pemberian vaksin dan 5% formula ekstrak tanaman obat memperlihatkan kemampuan yang lebih baik dalam merangsang pembentukan antibodi dengan titer antibodi pada 23

hari setelah vaksinasi adalah 6.1 (log 2) dan titer setelah uji tantang virus AI adalah 7 (log 2). Setiyono et al. (2010) menyatakan bahwa formula ekstrak tanaman obat dapat berperan sebagai perkusor (pendukung) imunomodulator untuk menjadi sediaan anti viral.

Histopatologi Organ Limforetikular

Limpa

Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam menyaring dan membuang partikel antigen (Oláh & Vervelde 2008). Parenkim limpa terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa putih berisi sel-sel limfoid yang terakumulasi di sekitar cabang terakhir arteri limpa. Pulpa putih berperan dalam limfositopoiesis, menangkap antigen, dan memproduksi antibodi. Pulpa merah terdiri atas sinus venosus dan jaringan yang terdiri dari sel-sel limfosit, sel retikular, makrofag, plasma sel, dan sel darah merah. Pulpa merah berfungsi sebagai tempat fagositosis sel darah merah oleh makrofag, tempat penangkapan antigen, dan tempat pembentukan antibodi.

Evaluasi histopatologi pada limpa dilakukan pada pulpa putih, sedangkan pemeriksaan lesio dilakukan pada semua bagian limpa. Evaluasi histopatologi limpa dilakukan pada pulpa putih karena bagian inilah yang berperan dalam menyediakan sel-sel limfoid. Evaluasi pulpa putih pada tiap kelompok dilakukan dengan menghitung kepadatan sel pada 5 pulpa putih yang dipilih secara acak. Pulpa putih yang memiliki kepadatan sel tinggi menandakan bahwa pulpa putih tersebut berada dalam keadaan aktif untuk menghasilkan sel-sel limfoid. Hasil pengamatan histopatologi pada limpa disajikan pada Tabel 4.

29

Tabel 4 Hasil evaluasi histopatologi limpa ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor

Kelompok Luas Pulpa

Putih (µm2) Jumlah Sel Kepadatan Sel (sel/ 104 µm2) Lesio Kontrol 15401.64± 782.68 174.80± 40.34 115.3± 0.98d

Nekrosa folikel limfoid, splenitis, dan kongesti. Formula 5% 12166.72± 5218.64 313.80± 133.18 259.2± 0.93b

Edema subcapsular, kongesti ringan, dan hipertrofi arteriol sentral. Formula 7.5% 8983.58± 3135.06 279.00± 98.44 310.1± 0.78a

Pendarahan subcapsular, edema subcapsular, kongesti, folikel limfoid sekunder (banyak), dan splenitis. Formula 10% 10289.27± 3753.59 192.80± 41.10 194.7± 2.83c

Kongesti parah, edema subcapsular, deplesi, hipertrofi arteriol sentral, folikel limfoid sekunder (sedikit), dan splenitis.

Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05) Hasil pengamatan pulpa putih limpa memperlihatkan bahwa semua kelompok perlakukan memiliki kepadatan sel pada pulpa putih yang berbeda nyata (p<0.05). Kepadatan sel pulpa putih pada semua kelompok perlakukan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 8). Nilai tertinggi terdapat pada kelompok formula 7.5%, diikuti oleh kelompok formula ekstrak 5%, kelompok formula ekstrak 10%, dan paling rendah pada kontrol. Tingginya kepadatan sel pada pulpa putih formula 7.5% menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada pulpa putih limpa kelompok tersebut. Proliferasi pulpa putih merupakan salah satu tanda aktifnya limpa dalam pendewasaan sel-sel limfosit. Sel-sel limfosit memiliki peran dalam imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral maupun seluler mempunyai peranan yang sangat penting dalam menahan infeksi virus influenza. Antibodi dapat mengurangi jumlah virus yang menginfeksi sel dan menahan terjadinya infeksi ulang. Sel T sitotoksik berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan menekan jumlah sitokin (Hilleman 2002).

Infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya deplesi folikel limfoid dan nekrosa pada limpa (Swayne & Jackwood 2008). Tingginya kepadatan sel limfoid pulpa putih limpa pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol menandakan bahwa pemberian formulasi

tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat (5%, 7.5%, dan 10%) berperan dalam menghambat deplesi dan nekrosa pada limpa ayam perlakuan. Hambatan deplesi dan nekrosa pada limpa diduga akibat aktivitas bahan aktif sambiloto, bahan aktif adas (anetol), dan bahan aktif sirih merah (piperin) dalam formula. Piperin memiliki aktivitas sitoprotektif sel-sel limpa (Pathah & Khandelwal 2007), anetol memiliki kemampuan antiviral (Astani et al. 2011), sedangkan bahan aktif yang terdapat pada ekstrak sambiloto memiliki peranan dalam menghambat perlekatan virus AI pada sel (Taha 2009). Pengamatan pada pulpa putih limpa memperlihatkan bahwa formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% memperlihatkan aktivitas yang baik dalam mencegah terjadinya nekrosa dan deplesi pada limpa dibandingkan dengan konsentrasi 5% dan 10%.

Pengamatan mikroskopik pada limpa formula 5% memperlihatkan lesio yang lebih ringan dibandingkan dengan kelompok lainnya. Lesio yang diamati pada limpa formula 5% berupa edema subcapsular, kongesti ringan, dan hipertrofi arteriol sentral. Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel tubuh atau dalam rongga tubuh. Edema terjadi karena adanya kenaikan tekanan hidrostatik dalam mikrosirkulasi dan kenaikan permeabilitas pembuluh darah. Edema seringkali terjadi bersamaan dengan kongesti. Edema dan kongesti merupakan tanda terjadinya reaksi peradangan akut (Price & Wilson 2006). Hipertrofi arteriol sentral juga terjadi karena proses peradangan. Menurut Swayne dan Jackwood (2008), infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya peradangan pada limpa. Peradangan disebabkan oleh replikasi virus AI yang terjadi pada sel endotel pembuluh darah. Lesio peradangan yang terjadi pada limpa ayam kelompok formula 5% memperlihatkan tingkat keparahan yang lebih rendah dibandingkan dengan lesio yang terjadi pada kelompok lainnya. Hal ini menandakan aktivitas formulasi tanaman obat dengan konsentrasi 5% lebih baik dalam mengurangi keparahan peradangan pada limpa yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10%.

31

Gambar 8 Histopatologi limpa broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Nekrosa folikel limfoid, 2. Kongesti, 3. Deplesi folikel limfoid, 4. Splenitis, pewarnaan HE.

Evaluasi histopatologi pada limpa memperlihatkan hasil yang beragam. Kepadatan sel tertinggi pada pulpa putih limpa terdapat pada kelompok formula 7.5%. Hal ini menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 7.5% memiliki aktivitas paling baik dalam menghambat nekrosa dan deplesi folikel limfoid serta meningkatkan proliferasi sel limfoid pada pulpa putih dibandingkan dengan formulasi ekstrak 5% dan 10%. Tingkatan lesio yang paling ringan terdapat pada kelompok formulasi 5%, yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 5% memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada limpa yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5% dan 10%.

A B

C D

1 2 2 3 4

Bursa Fabricius

Bursa Fabricius merupakan organ limfoid primer yang bertugas dalam memproduksi sel limfosit B. Sel limfosit B bertugas dalam membentuk antibodi. Bursa Fabricius terdiri atas plika yang berisi folikel limfoid. Folikel limfoid terdiri dari korteks dan medula yang dipisahkan oleh membran basal.

Evaluasi histopatologi pada bursa Fabricius dilakukan pada bagian yang berperan dalam menghasilan sel-sel limfoid yaitu folikel limfoid. Folikel limfoid tersebut terdapat di dalam plika. Pengamatan dilakukan pada 2 plika yang dipilih secara acak. Kepadatan folikel limfoid yang tinggi berarti terjadinya proliferasi pada sel-sel limfoid bursa Fabricius yang menandakan aktifnya bursa Fabricius dalam memproduksi sel limfosit B. Pemeriksaan lesio pada bursa Fabricius dilakukan dengan mengamati preparat histopatologi bursa Fabricius secara keseluruhan. Hasil pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil evaluasi histopatologi bursa Fabricius ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dosis 106 EID50/0.1 ml per ekor

Kelompok Luas Plica

(µm2) Luas Folikel Limfoid (µm2) Persentase Kepadatan Folikel Limfoid (%)* Lesio Kontrol 1370225.60± 365812.25 495671.17± 113385.59 36.37±1.44 bc Peradangan parah, nekrosa, dan deplesi folikel limfoid. Formula 5% 1716509.80± 540698.51 573248.18± 170019.65 33.50±0.65 c Kongesti, edema ringan, peradangan, dan banyak kista. Formula 7.5% 3118693.67±

710503.35

1712650.88± 669123.63

53.87±9.19 a Edema, peradangan, dan tedapat sedikit kista. Formula 10% 1675141.57± 244844.10 826434.28± 150576.64 48.93±2.19 ab Kongesti, edema ringan, peradangan ringan, dan deplesi folikel limfoid. *Persentase kepadatan folikel limfoid= luas folikel limfoid/ luas plika x 100%

Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05) Hasil pengamatan pada bursa Fabricius memperlihatkan bahwa persentase kepadatan folikel limfoid berbeda nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Kelompok formula 5% memiliki persentase kepadatan folikel limfoid terkecil, diikuti oleh kelompok kontrol, kelompok formula 10%, dan yang paling besar

33

adalah kelompok formula 7.5%. Kepadatan folikel limfoid pada kelompok formula 5% memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kontrol, dan kepadatan folikel limfoid kelompok formula 7.5% memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok formula 10%. Rendahnya kepadatan sel limfoid pada bursa Fabricius kelompok formula 5% menandakan rendahnya proliferasi sel-sel limfoid pada bursa Fabricius. Tingkat proliferasi yang rendah terjadi karena organ limfoid sekunder seperti limpa telah mampu menyediakan sel limfosit B yang dibutuhkan tubuh untuk menghadapi infeksi. Kemampuan limpa yang mencukupi dalam menghasilkan sel-sel limfoid yang dibutuhkan tubuh terlihat pada kepadatan sel yang tinggi pada pulpa putih limpa kelompok formula 5%. Rendahnya kepadatan folikel limfoid pada kelompok kontrol disebabkan karena sel-sel limfoid pada bursa Fabricius tidak mampu lagi melakukan proliferasi akibat organ ini terlalu sering memproduksi sel-sel limfoid. Bursa Fabricius yang tidak mampu menghasilkan sel-sel limfoid terlihat dari sedikitnya cadangan sel limfoid pada organ limfoid sekunder seperti limpa. Kepadatan sel pada pulpa putih limpa ayam kontol memperlihatkan hasil yang kecil.

Kepadatan folikel limfoid bursa Fabricius yang besar pada kelompok formula 7.5% dan kelompok formula 10% menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada bursa Fabricius. Hal ini merupakan indikasi aktifnya bursa Fabricius untuk memproduksi sel limfosit B. Aktifasi pada organ limfoid primer terjadi karena organ limfoid sekunder kekurangan cadangan sel-sel limfoid. Sel-sel limfoid yang berasal dari organ limfoid primer akan mengisi cadangan sel limfoid pada organ limfoid sekunder. Sel-sel limfoid pada organ limfoid sekunder kemudian akan mengalami pematangan sehingga siap dilepaskan ke sirkulasi (Price & Wilson 2006).

Bursa Fabricius pada ayam yang terinfeksi virus AI akan mengalami hemoragi, nekrosa, dan deplesi (Swayne & Jackwood 2008). Pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius kontrol memperlihatkan terjadinya peradangan, nekrosa, dan deplesi folikel limfoid, sedangkan lesio yang diamati pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% memperlihatkan tingkat kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 9). Kerusakan

yang terjadi pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% didominasi oleh kongesti, edema, dan peradangan. Tingkat kerusakan bursa Fabricius yang lebih ringan pada kelompok formula 5%, formula 7.5%, dan formula 10% dibandingkan dengan kelompok kontrol menandakan pemberian tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat (5%, 7.5%, dan 10%) berperan dalam menghambat kerusakan yang terjadi pada bursa Fabricius. Hambatan kerusakan bursa Fabricius oleh formulasi tanaman obat berkemungkinan disebabkan oleh andrografolid dan anetol yang terdapat pada formulasi tanaman obat. Andrografolid berperan dalam menghambat perlekatan virus AI pada sel (Taha 2009), dan anetol memiliki kemampuan antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel (Astani et al. 2011).

Lesio bursa Fabricius paling ringan diamati pada kelompok formula 5%. Pengamatan mikroskopik pada bursa Fabricius kelompok formula 5% memperlihatkan adanya lesio berupa edema, kongesti, peradangan, dan kista. Kista yang terdapat pada bursa Fabricius terbentuk karena adanya proses kematian sel-sel limfoid bursa. Ruangan yang tersisa setelah kematian sel kemudian diisi oleh cairan sehingga terbentuklah kista pada bursa Fabricius. Proses pembentukan kista adalah proses normal yang dilalui sel-sel limfoid saat bursa Fabricius mengalami atrofi. Pengamatan mikroskopik pada bursa Fabricius kelompok formula 5% yang memperlihatkan adanya edema dan kongesti menandakan terjadinya peradangan akut pada organ ini. Terjadinya peradangan pada organ ini juga didukung dengan terdapatnya sel-sel radang pada jaringan interstisial, baik jaringan interstisial yang terdapat dibawah epitel bursa Fabricius maupun diantara folikel limfoid. Peradangan disebabkan oleh infeksi virus AI. Virus bereplikasi pada sel endotel pembuluh darah sehingga kerusakan tersebar di berbagai organ (Swayne & Jackwood 2008).

35

Gambar 9 Histopatologi bursa Fabricius broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1/Ngk/2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat (A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5%, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5%, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10%), 7 hari p.i. 1. Peradangan, 2. Deplesi folikel limfoid, 3. Kista, 4. Edema, pewarnaan HE.

Evaluasi histopatologi pada bursa Fabricius memperlihatkan bahwa kepadatan folikel limfoid terendah terdapat pada kelompok formula 5% yang

Dokumen terkait