• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Mikroskopis Paru-paru

Rataan bobot basah paru-paru tikus setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan (P<0.05) terhadap bobot basah paru-paru. Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot basah paru-paru. Semua kelompok yang dipapar asap rokok memberikan bobot paru-paru yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok N. Penurunan bobot basah paru-paru dalam penelitian ini diduga karena terjadinya atropi paru-paru-paru-paru akibat kematian sel yang diakibatkan oleh senyawa toksik asap rokok.

3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemberhentian pemaparan asap rokok sesuai kelompok = T2 3 ekor dinekropsi

pada hari ke 40 = T2

Aklimasi kandang selama 1 minggu 24 ekor tikus jantan dibagi dalam 4 kelompok

Dipapar asap rokok 10 batang /ekor/hari 20h = lama pemaparan 20 hari (6 ekor) 40h = lama pemaparan 40 hari (6 ekor) 60h = lama pemaparan 60 hari (6 ekor) Kelompok N = 6 ekor

Pemberhentian pemaparan asap rokok 20h = lama pemberhentian pemaparan 20 hari (3 ekor) 40h = lama pemberhentian pemaparan 40 hari (3 ekor) 60h = lama pemberhentian pemaparan 60 hari (3 ekor)

3 ekor dari setiap kelompok dinekropsi setelah selesai pemaparan asap rokok sesuai kelompok = T1 3 ekor dinekropsi

pada hari ke 20 = T1

Tabel 4. Rataan bobot basah paru-paru tikus jantan setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 N 2.35±0.01b 2.58±0.02a 2.46a 20h 2.09±0.01c 2.09±0.01c 2.10b 40h 1.96±0.02d 2.02±0.01cd 1.99c 60h 1.63±0.06e 1.66±0.10e 1.65d Rataan 2.01b 2.09a P<0.05

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p<0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Keadaan ini diduga karena senyawa toksik yang terkandung dalam asap rokok dapat menurunkan fungsi-fungsi sel pada tubuh termasuk sel-sel pada jaringan paru-paru. Pengaruh asap rokok pada saluran pernapasan dapat menimbulkan: a) perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas, b) penyempitan saluran napas, c) turunnya tegangan permukaan alveolus, dan d) perubahan pada ultrastruktur pneumosit tipe I, tipe II dan sel clara yang mengarah pada kematian sel (Widodo 2006). Kematian sel inilah yang diduga dapat menyebabkan penurunan bobot basah paru-paru. Lama waktu pemberhentian pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot basah paru-paru. Namun demikian, lamanya waktu pemberhentian pemaparan terhadap semua kelompok yang dipapar tidak dapat mengembalikan bobot basah paru-paru. Hal ini menunjukkan bahwa pemberhentian pemaparan sesuai dengan waktu pemaparan belum dapat mengembalikan kondisi paru-paru ke keadaan semula.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok menyebabkan terjadinya perubahan struktur paru-paru yaitu peningkatan partikel hitam yang menempel pada dinding alveolus paru-paru tikus setelah dipapar asap rokok selama 40 hari dan 60 hari (Gambar 8). Partikel hitam ini diduga merupakan zat-zat toksik yang ikut bersama asap rokok. Droge (2002) melaporkan bahwa tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang dapat menempel pada paru-paru. Hal inilah yang diduga terjadi pada organ paru-paru setelah pemaparan asap rokok. Droge (2002) menambahkan bahwa tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada saluran pernapasan dan paru-paru yang terdiri dari dua fase yaitu fase tar dan fase gas. Pada fase tar merupakan pembentuk radikal bebas seperti quinon, semiquinon dan hydroquinon dalam bentuk matriks polimer. Pada fase gas mengandung nitrit oxida dan nitrit peroksida yang dapat mengubah oksigen menjadi radikal bebas superoksida dan selanjutnya menjadi radikal bebas hidroksil yang sangat merusak.

1

2 Gambar 8. Fotomikrograf paru-paru setelah pemaparan asap rokok menunjukkan peningkatan

partikel berwarna coklat tua atau hitam ( ) pada 40h dan 60h. A (N=kelompok yang tidak diberi perlakuan), B (20h=Pemaparan asap rokok selama 20 hari ), C (40h=Pemaparan asap rokok selama 40 hari) dan D (60h=Pemaparan asap rokok selama 60 hari). Bar = 10 µm. Pewarnaan HE.

Hasil pengamatan juga memperlihatkan peningkatan sel radang dan terjadi pembesaran pada alveoli pada perlakuan 60h (Gambar 9). Pneumonia adalah peradangan pada jaringan alveoli paru-paru. Alveoli bertanggung jawab terhadap pertukaran O2 dan CO2 pada proses pernafasan. Ahmad et al. (2001)menemukan bahwa paparan radikal bebas menyebabkan terjadinya gangguan pada mitokondria paru, jantung, dan otak. Gangguan pernapasan atau perubahan pada epitel saluran napas akibat asap rokok dapat berupa: a) hilangnya silia, b) hipertrofi kelenjar lendir dan peningkatan jumlah sel goblet, c) penurunan lapisan epitel bronkiolus, dan d) penurunan kandungan glutation peroksidase (GSH) jaringan paru. Asap rokok juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah sel makrofag dan perubahan ketebalan jaringan kolagen pada alveolus, proliferasi sel fibroblast dan peningkatan kandungan malondialdehid pada paru (Guyton 1997).

Gambar 9. Fotomikrograf paru-paru setelah pemaparan asap rokok menunjukan peningkatan sel-sel radang pada alveoli paru-paru (1) dan terjadi pembesaran alveoli (2) pada perlakuan 60h. A (N= kelompok yang tidak diberi perlakuan), B (60h=Pemaparan asap rokok selama 60 hari). Bar = 5 µm. Pewarnaan HE.

D C

A B

Gambaran Darah

Rataan jumlah butir darah merah/BDM (eritrosit), kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit/PCV setelah perlakuan pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah BDM dan kadar Hb tidak dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok. Hasil berbeda ditunjukkan oleh nilai PCV, terdapat interaksi antara lama pemaparan dan waktu pengambilan (P<0.05).

Tabel 5. Rataan Jumlah BDM (Juta/mm3), Kadar Hb (gr %) dan Nilai PCV (%) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Parameter Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 Jumlah BDM (Juta/mm3) N 7.59±0.68 7.58±1.36 7.59 20h 7.50±1.62 7.99±0.43 7.75 40h 7.65±0.62 7.41±0.50 7.53 60h 7.57±0.17 6.96±0.11 7.27 Rataan 7.58 7.48 tn Kadar Hb (gr%) N 13.79±0.32 13.94±0.54 13.87 20h 14.12±0.82 14.69±0.31 14.41 40h 14.01±0.23 13.92±0.32 13.96 60h 14.60±0.44 13.75±0.53 14.18 Rataan 14.13 14.07 tn Nilai PCV (%) N 41.83±0.35a 41.56±0.44a 41.69b 20h 43.25±0.25a 43.01±0.63a 43.13a 40h 41.50±1.72a 38.35±0.59b 39.92c 60h 38.92±1.37b 39.48±1.04b 39.20c Rataan 41.37 40.59 P<0.05

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Perbedaan hanya terjadi pada pemaparan 60 hari bila dibandingkan dengan kelompok N. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asap rokok diduga dapat menyebabkan permeabilitas pembuluh darah meningkat. Berkurangnya cairan akan membuat persentasi zat padat darah terhadap cairannya naik sehingga nilai PCV juga meningkat. Viskositas dalam darah akan meningkat ketika PCV meningkat yang mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat (Guyton 1997). Secara umum, lama pemberhentian tidak mempengaruhi nilai PCV. Namun demikian bila dilihat lebih jauh pemberhentian 40 hari dan 60 hari akan mempengaruhi nilai PCV dibandingkan dengan sesaat setelah pemaparan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah pemberhentian pemaparan, tubuh berusaha untuk mempertahankan keadaan homeostatisnya agar semua proses berjalan sempurna.

Indeks eritrosit adalah gambaran rata-rata ukuran eritrosit dan banyaknya hemoglobin pereritrosit (Guyton 1997). Indeks eritrosit terdiri atas : MCV (mean corpuscular volume atau volume eritrosit rata-rata), MCH (mean corpuscular hemoglobin atau hemoglobin eritrosit rata-rata), dan konsentrasi MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata).

Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macam anemia (Riswanto 2009).

Rataan indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC) setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa indeks eritrosit MCV dan MCH tidak dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok. Hasil berbeda ditunjukkan oleh indeks eritrosit MCHC menunjukkan interaksi antara lama pemaparan dan waktu pengambilan (P<0.05). Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan indeks eritrosit MCHC. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kelompok yang dipapar asap rokok selama 60 hari memiliki nilai MCHC yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang dipapar asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan kelompok N. Hal ini menjelaskan bahwa pemaparan asap rokok 60 hari memiliki sifat toksik yang lebih tinggi dan menetap sehingga dapat menurunkan fungsi jaringan. Penurunan fungsi jaringan ini dapat meningkatkan kadar Hb dalam sel-sel darah merah sehingga indeks eritrosit MCHC meningkat. Namun demikian, peningkatan indeks eritrosit MCHC dari nilai normal 32.9 – 33.5 gr% pada tikus menjadi 34.8– 37.8 gr% mengindikasikan bahwa pemaparan asap rokok tidak menyebabkan terjadinya anemia, karena jumlah eritrosit masih dalam batas normal. Menurunnya jumlah eritrosit berakibat pada menurunnya suplai oksigen ke jaringan dan terhambatnya penyaluran bahan organik ke sel yang secara tidak langsung mengganggu metabolisme tubuh (Guyton 1997).

Tabel 6. Rataan indeks eritrosit setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Parameter Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 MCV (µ m3) N 55.43±5.29 55.95±9.71 55.69 20h 59.60±13.60 53.95±3.46 56.77 40h 54.48±5.15 52.04±2.70 53.26 60h 51.54±1.46 56.68±1.98 54.11 Rataan 55.26 54.65 tn MCH (pg) N 18.24±1.22 18.75±3.22 18.49 20h 19.65±5.80 18.44±1.42 19.04 40h 18.39±1.54 18.82±1.39 18.60 60h 19.44±0.18 19.74±0.77 19.59 Rataan 18.93 18.94 tn MCHC (gr %) N 32.98±1.07c 33.53±0.96c 33.25b 20h 32.66±2.07c 34.16±0.67bc 33.41b 40h 33.77±0.82c 36.15±1.48ab 34.96a 60h 37.87±1.62a 34.83±0.66bc 36.35a Rataan 34.32 34.67 P<0.05

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Lama waktu pemberhentian pemaparan tidak mempengaruhi rataan indeks eritrosit MCHC. Kelompok pemberhentian pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari lebih rendah dibandingkan kelompok N, walaupun tidak

berbeda nyata. Hal ini menjelaskan bahwa lamanya pemberhentian pemaparan tidak dapat mengembalikan nilai indeks eritrosit dikarenakan sifat toksik asap rokok yang menetap.

Rataan jumlah butir darah putih/BDP (Leukosit) setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan terhadap jumlah BDP. Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap jumlah BDP. Semua kelompok yang dipapar asap rokok menunjukkan jumlah BDP yang lebih tinggi dibandingkan kelompok N.

Tabel 7. Rataan Jumlah BDP (Juta/mm3) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 N 13.40±0.79c 13.36±0.50c 13.38c 20h 18.45±0.84a 18.47±0.77a 18.46a 40h 15.54±1.25b 15.55±1.32b 15.55b 60h 19.08±0.65a 19.17±0.62a 19.12a Rataan 16.62 16.64 tn

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Asap rokok yang terhirup akan masuk ke saluran pernafasan sehingga senyawa-senyawa kimia yang bersifat toksik dapat mengganggu metabolisme darah dan dapat menyebabkan peradangan. Banyaknya asap rokok yang masuk ke tubuh tikus pada perlakuan 60h, mengakibatkan peradangan pada paru-paru tikus menyebabkan jumlah BDP meningkat. BDP berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Masuknya partikel-partikel asing yang bersifat toksik pada asap rokok dapat menyebabkan peningkatan BDP untuk menangkap partikel-partikel tersebut.

Tubuh mempunyai sistem pertahanan melawan infeksi yaitu BDP. BDP tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara amoeboid, dan dapat menembus dinding kapiler. Di dalam tubuh, BDP tidak berasosiasi dengan organ atau jaringan tertentu, bekerja sendiri seperti organisme sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas, berinteraksi dan menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme asing (Guyton 1997). BDP yang terdapat dalam darah meliputi neutrofil, limfosit, eosinofil, basofil dan monosit. Proses pertahanan dilakukan dengan cara menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis (neutrofil) dan membentuk antibodi (limfosit). Dalam kondisi terpapar asap rokok, jumlah BDP mengalami peningkatan karena harus bertugas menangkap benda asing. Lama pemberhentian pemaparan asap rokok berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan jumlah BDP. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa toksik asap rokok bersifat menetap sehingga walaupun diberhentikan sesuai waktu pemaparan, tidak dapat menurunkan jumlah BDP.

Analisis Mikroskopis Testis

Rataan bobot testis setelah pemaparan asap rokok dan pemberhentian pemaparan disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan terhadap bobot testis.

Tabel 8. Rataan bobot testis tikus setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 N 2.91±0.01a 2.91±0.03a 2.91a 20h 2.57±0.03ab 2.59±0.01ab 2.58b 40h 2.42±0.01b 2.39±0.01b 2.41b 60h 2.29±0.55b 1.92±0.01c 2.11c Rataan 2.55 2.46 tn

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan, 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot testis. Semua kelompok yang dipapar asap rokok memberikan bobot testis yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok N. Hal ini menjelaskan bahwa terjadi penurunan bobot testis pada perlakuan pemaparan asap rokok. Penurunan bobot testis diduga karena adanya karbon monoksida (CO) yang berasal dari asap rokok di dalam darah sehingga tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian sel serta lesio pada testis. Pemaparan asap rokok yang mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik diduga dapat menghambat spermiogenesis yang diikuti oleh atropi testis. Atropi testis adalah pengecilan testis dari ukuran normal, diduga akibat senyawa-senyawa toksik yang masuk melalui darah ke testis sehingga dapat menyebabkan penurunan bobot testis. Ukuran testis merupakan indikator yang digunakan untuk memperkirakan kapasitas produksi spermatozoa hewan jantan (Axner & Forsberg 2002). Lama pemberhentian pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan bobot testis. Semua kelompok pemberhentian pemaparan asap rokok tidak kembali pada kondisi normal bahkan pemberhentian pemaparan asap rokok selama 60 hari menunjukkan adanya penurunan yang lebih rendah dibandingkan setelah dipapar asap rokok. Fenomena ini menjelaskan pemaparan asap rokok selama 60 hari dapat menurunkan bobot testis dan setelah diberhentikan pemaparan selama 60 hari akan terus terjadi penurunan.

Pada penelitian ini tidak terlihat adanya kerusakan yang nyata pada tubulus seminiferus testis (Gambar 10). Sel-sel penyusun tubulus seminiferus yaitu sel-sel spermatogenik dan sel mioid dapat diamati dengan baik pada penelitian ini, namun terlihat berkurangnya susunan sel spermatogenik pada tubulus seminiferus testis dalam penelitian ini diduga adanya kerusakan sel-sel spermatogenik. Untuk mengetahui gangguan organ testis secara lebih lanjut, maka dilakukan penghitungan sel-sel spermatogenik.

menunjukkan bahwa setelah dilakukan pemberhentian perlakuan, jumlah sel-sel spermatogenik tidak mengalami perubahan yang lebih baik.

Tabel 9. Rataan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Parameter Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 Spermatogonium N 37.00±1.00a 38.33±0.58a 37.67a 20h 31.66±0.58b 32.33±0.58b 32.00b 40h 22.33±1.53c 20.33±0.58d 21.33c 60h 19.00±1.00de 18.33±0.58e 18.67d Rataan 27.50 27.33 P<0.05 Spermatosit Primer N 48.00±1.00a 47.33±1.53a 47.67a 20h 48.67±1.15a 47.67±1.15a 48.17b 40h 32.00±1.00b 30.67±1.15b 31.33b 60h 27.67±1.15c 25.00±1.00d 26.33c Rataan 39.08a 37.67b tn Spermatid Akhir N 61.33±1.15a 60.33±0.58a 60.83a 20h 37.33±1.15b 37.00±1.00b 37.17b 40h 27.67±1.53c 27.33±0.58c 27.50c 60h 20.33±0.58d 20.67±0.58d 20.50d Rataan 36.67 36.33 tn

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan (kontrol), 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) menurun seiring dengan lamanya pemaparan asap rokok dan kondisi ini bersifat menetap meskipun pemaparan telah diberhentikan. Hal ini menjelaskan bahwa pemberhentian pemaparan asap rokok tidak mengembalikan jumlah sel-sel spermatogenik pada tahapan spermatogenesis tikus yang pernah terpapar asap rokok. Turunnya jumlah sel-sel spermatogenik pada tahapan spermatogenesis diduga akibat adanya senyawa-senyawa yang bersifat toksik pada asap rokok yang dapat menghambat spermatogenesis.

Berkaitan dengan temuan ini, maka dapat dijelaskan bahwa asap rokok yang mengandung toksik dapat masuk melalui paru-paru ke sistem peredaran darah menuju jaringan tubuh termasuk organ reproduksi yaitu testis, melewati membran basalis (menembus blood testis barrrier) dan akhirnya sampai di tubulus seminiferus yang merupakan tempat produksi spermatozoa (Bearden et al. 2004). Pada testis, senyawa-senyawa toksik asap rokok menghambat pembentukan spermatid akhir di dalam tubulus seminiferus dikarenakan penghambatan pengaktifan sel-sel yang memproduksi FSH dan LH pada hipofisis anterior. FSH akan terhambat dalam menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. LH terhambat dalam merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron. Gangguan yang terjadi pada mekanisme kerja FSH dan LH dapat menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis. Asap rokok bersifat toksik karena mengandung bahan

karsinogen, tar, nikotin, nitrosamin, karbonmonoksida, senyawa PAH (Polynuclear Aromatic Hydrogen), fenol, karbonil, klorin dioksin, dan furan (Fowles dan Bates 2000). Revel et al. (2001) melaporkan bahwa PAH menyebabkan atropi testis, menghambat spermatogenesis, dan merusak morfologi spermatozoa. Radikal bebas dapat menyebabkan gangguan kronik pada tahapan spermatogenesis (Rajpurkar et al. 2000; Rajpurkar et al. 2002; Fitriani et al. 2010).

Kualitas Spermatozoa

Hasil pengamatan terhadap konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa disajikan pada Tabel 10. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan (P<0.05) terhadap viabilitas spermatozoa, namun tidak terdapat interaksi antara lama pemaparan asap rokok dengan lama pemberhentian pemaparan terhadap konsentrasi spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa.

Tabel 10. Rataan kualitas spermatozoa (konsentrasi spermatozoa, viabilitas Spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa) setelah pemaparan asap rokok dan setelah pemberhentian perlakuan.

Parameter Perlakuan Waktu Pengambilan Rataan

T1 T2 Konsentrasi Spermatozoa (Juta/ml) N 243.53±1.95a 246.29±5,82a 244.74a 20h 171.11±13.17b 178.10±0,96b 174.60b 40h 67.35±1.34c 67,68±3,53c 67.42c 60h 46.86±0,18d 49.18±0,02d 47.99d Rataan 132.06 135.31 tn Viabilitas Spermatozoa (%) N 75,91±0,14b 77,61±0,29a 76.76a 20h 39,86±0,01c 39,63±0,09c 39.75b 40h 27,14±0,01e 27,55±0,22d 27.34c 60h 8,46±0,02f 8,07±0,01g 8.27d Rataan 37.84b 38.21a P<0.05 Abnormalitas Spermatozoa (%) N 24,74±0,01e 24,79±0,42e 24.76d 20h 49,53±0,46d 49,75±0,23d 49.64c 40h 70,03±0,02c 70,77±0,01c 70.40b 60h 84,96±0,21a 84,61±1,99b 85.29a Rataan 57.56 57.48 tn

Keterangan: Data yang ditampilkan merupakan nilai rataan ± standar deviasi. Huruf yang berbeda pada baris yang sama atau kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p < 0.05). T1 = waktu setelah pemaparan, T2 = waktu setelah pemberhentian perlakuan, N = kelompok yang tidak diberi perlakuan (kontrol), 20h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 20 hari, 40h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 40 hari, dan 60h = kelompok yang dipapar asap rokok 10 batang/ekor/hari selama 60 hari.

Lama pemaparan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap rataan konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa. Pemaparan asap rokok akan menurunkan jumlah konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa dan meningkatkan abnormalitas spermatozoa. Lama pemberhentian pemaparan selama 60 hari berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap viabilitas spermatozoa dan abnormalitas spermatozoa. Hal ini menunjukkan bawah terjadi

penurunan kualitas spermatozoa setelah pemaparan asap rokok. Penurunan kualitas spermatozoa sejalan dengan lamanya pemaparan asap rokok.

Pemaparan asap rokok diduga dapat menyebabkan penurunan konsentrasi spermatozoa sebagai akibat dari penurunan sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosid primer dan spermatid akhir) di dalam tubulus seminiferus akibat radikal bebas asap rokok dapat menghambat pembentukan ATP mitokondria. Mitokondria merupakan tempat proses perombakan atau katabolisme untuk menghasilkan energi bagi spermatozoa (Anbasari et al. 2005; Fitriani et al. 2010). Menurut Dewi (2011), radikal bebas asap rokok yang terpapar pada tikus dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa. Kualitas spermatozoa setelah pemaparan asap rokok yang tidak berbeda dengan kualitas spermatozoa setelah pemberhentian pemaparan menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok 20 hari, 40 hari dan 60 hari menyebabkan penurunan fungsi reproduksi.

SIMPULAN

1. Pemaparan asap rokok pada tikus jantan menunjukkan peningkatan partikel hitam yang menempel pada dinding alveolus paru-paru 40h dan 60h, dan peningkatan radang pada alveoli paru-paru pada 60h serta peningkatan nilai PCV.

2. Pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari pada tikus jantan dapat menyebabkan penurunan bobot basah paru-paru, bobot testis dan jumlah sel-sel spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer dan spermatid akhir) dan kualitas spermatozoa.

3. Pemberhentian pemaparan asap rokok selama 20 hari, 40 hari dan 60 hari pada tikus jantan tetap berada pada kondisi yang sama seperti pada parameter bobot basah paru-paru, gambaran darah PCV, bobot testis, jumlah sel-sel spermatogenik dan kualitas spermatozoa setelah dipapar asap rokok.

4. Tikus yang dipapar asap rokok dapat dijadikan sebagai hewan model penurunan fungsi reproduksi jantan.

KAJIAN PEMBERIAN EKSTRAK RUMPUT KEBAR

Dokumen terkait