• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Desa Puasana dan Desa Ulu Benua terletak + 30 Km dari Ibu Kota Kabupaten Kendari (yang sekarang berubah menjadi Kabupaten Konawe) dan 17 Km di sebelah utara kota Kecamatan Pondidaha (yang sekarang berubah menjadi Kecamatan Amonggedo). Kedua Desa ini sebelumnya merupakan satu desa dengan nama Desa Tribudaya dengan latar belakang 3 budaya yaitu Jawa, Bali dan Lombok. Dalam pembahasan selanjutnya penyebutan kedua desa ini adalah dengan sebutan Desa Tribudaya.

Desa ini adalah desa transmigrasi sejak tahun 1981. Kedua Desa ini merupakan daerah dataran tinggi dengan luas daerah keseluruhan kurang lebih 10.000 Ha, dan terdiri atas 5 % daerah pemukiman dan fasilitas lainnya, 20 % areal persawahan, 15 % areal perkebunan dan 60 % merupakan hutan lindung.

Kepadatan penduduk mencapai 6,4 jiwa/Ha dengan tingkat pertumbuhan penduduk sekitar 0,03 %. Jumlah penduduk Desa Puasana dan Ulu Benua mencapai 3.176 jiwa. Adapun distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin

No. Kel. Umur (tahun)

Desa Puasana Desa Ulu Benua Jenis Kelamin Jumlah

Penduduk (jiwa)

Jenis Kelamin Jumlah Penduduk

(jiwa)

Laki Perempuan Laki Perempuan

n % n % n % n % n % n % 1 <1 32 4.3 33 4.3 65 4.3 49 5.9 54 6.5 103 6.2 2 1 - 5 84 11.2 68 8.9 152 10.0 92 11.0 77 9.3 169 10.2 3 6 - 14 129 17.2 135 17.7 264 17.4 142 17.0 156 18.8 298 17.9 4 15-35 156 20.7 149 19.6 305 20.1 183 22.0 164 19.8 347 20.9 5 36-45 186 24.7 193 25.3 379 25.0 176 21.1 168 20.3 334 20.1 6 46-65 106 14.1 117 15.4 223 14.7 123 14.8 161 19.4 254 15.3 7 > 65 59 7.8 67 8.8 126 8.3 68 8.2 79 9.5 147 8.8 Jumlah penduduk 752 100.0 762 100.0 1514 100.0 833 100.0 829 100.0 1662 100.0

Sumber Data : Monografi Desa Puasana dan Ulu Benua tahun 2007

Secara fisik geografis, kehidupan masyarakat di kedua desa ini lekat dengan kehidupan pertanian (85 %) yang telah menjadi pokok mata pencaharian (Tabel 2). Prasarana ekonomi yang tersedia di Desa Tribudaya belum baik, termasuk adanya jalan belum beraspal sehingga belum dapat menampung

beberapa jenis angkutan, baik penumpang maupun barang, sehingga akses ke fasilitas umum (pasar, puskesmas) masih terganggu.

Tabel 2. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian ayah

No. Mata Pencaharian Desa Puasana Desa Ulu Benua

n % n % 1. 2. 3. 4. 5. Pertanian Perdagangan Pertukangan Jasa Angkutan Pemerintahan/Guru 325 16 24 3 8 86,4 4,3 6,4 0,8 2,1 316 12 30 3 10 85,2 3,2 8,1 0,8 2,7 Jumlah 376 100 371 100

Sumber : Monografi Desa Puasana dan Ulu Benua Tahun 2007

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Puasana dan Ulu Benua sebagian besar adalah tamat SD, meskipun begitu masih terdapat penduduk dengan buta aksara (Tabel 3) .

Tabel 3. Distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan formal

No. Tingkat

Pendidikan

Desa Puasana Desa Ulu Benua

Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

n % n % n % n % 1 Buta Aksara 20 4.5 26 7.4 31 8.7 21 6.8 2 Tidak Tamat SD 50 11.3 65 18.4 42 11.8 37 12.0 3 Tamat SD 255 57.7 176 49.9 153 43.0 164 53.2 4 SLTP 67 15.2 46 13.0 70 19.7 49 15.9 5 SLTA/Sederajat 42 9.5 35 9.9 47 13.2 32 10.4 6 Diploma/Akademi 6 1.4 3 0.8 7 2.0 3 1.0 7 Perguruan Tinggi 2 0.5 2 0.6 6 1.7 2 0.6 Jumlah 442 100.0 353 100.0 356 100.0 308 100.0

Sumber Data : Monografi Desa Puasana dan Ulu Benua tahun 2007

Karakteristik Contoh dan Keluarga Contoh

Contoh yang merupakan anak usia sekolah adalah salah satu kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap dampak kekurangan iodium (GAKI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh (65.3 %) berjenis kelamin laki-laki. Usia contoh berkisar antara 10 – 12 tahun dengan sebagian besar contoh (63.9 %) berusia 10 tahun.

Hampir semua ayah contoh bekerja sebagai petani, yaitu sebesar 93.1 %. Hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai pedagang, PNS, dan wiraswasta. Pendidikan ayah contoh beragam mulai dari SD sampai SMA. Sebesar 38.9 % ayah contoh memiliki tingkat pendidikan SD, sedangkan ayah contoh yang memiliki tingkat pendidikan SMP sebesar 43.1 %. Berdasarkan BPS Sultra tahun

2006, dilihat dari besarnya pendapatan keluarga, sebagian besar keluarga contoh tergolong keluarga tidak miskin, yaitu sebesar 62.5 %.

Status GAKI Contoh

Pemeriksaan kelenjar gondok (palpasi) dilakukan oleh 2 tenaga palpator terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara dan Puskesmas Kecamatan Amonggedo. Palpasi dilakukan pada siswa kelas 4, 5 dan 6 SDN Tribudaya 1 dan 2, sesuai dengan jumlah yang hadir, yaitu sebanyak 134 siswa . Dari hasil palpasi kelenjar gondok , ditemukan 37 siswa (27.6 %) menderita gondok. Siswa dengan gradasi IA sebanyak 35 dan 2 anak (1.49 %) dengan gradasi IB, sedangkan 97 siswa (72 % ) dalam kondisi normal ( gradasi 0 ).

Status GAKI Contoh Berdasarkan Pekerjaan Ayah

Ayah contoh penderita GAKI dan bukan penderita GAKI sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani (transmigran), dengan kisaran masa tanam sebanyak dua kali dalam setahun, dengan luas tanah garapan kurang lebih 1 ha per kepala keluarga dan hanya dapat ditanami satu jenis komoditi tanaman pangan yaitu padi . Dalam hal ini sebesar 94.4 % pekerjaan ayah penderita GAKI adalah sebagai petani pemilik dan penggarap (Tabel 4). Demikian juga dengan ayah contoh bukan penderita GAKI, sebesar 91.7 % bekerja sebagai petani. Hanya 5.6 % ayah penderita GAKI yang bekerja sebagai pedagang, sedangkan 5.6 % ayah anak yang tidak menderita GAKI bekerja sebagai PNS. Tabel 4. Distribusi contoh menurut mata pencaharian ayah dan status GAKI

Pekerjaan Ayah Status GAKI Total

GAKI TIDAK GAKI

n % n % n % Dagang 2 5.6 0 0 2 2.8 PNS 0 0.0 2 5.6 2 2.8 Petani 34 94.4 33 91.7 67 93.1 Wiraswasta 0 0.0 1 2.8 1 1.4 Total 36 100.0 36 100 72 100.0

Status GAKI Contoh Berdasarkan Pendidikan Ayah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh (50 %) ayah contoh yang menderita GAKI hanya lulus SMP. Ayah contoh penderita GAKI yang berlatar belakang pendidikan SLTA/sederajat hanya sebesar 16.7 %. Pada contoh yang tidak menderita GAKI sebanyak 44,4 % tingkat pendidikan ayah contoh adalah SD, sedangkan yang memiliki tingkat pendidikan SLTA/sederajat hanya 19,4 %

(Tabel 5). Dengan demikian pendidikan ayah contoh baik yang menderita GAKI maupun yang tidak menderita GAKI sebagian besar adalah SD dan SMP.

Tabel 5. Distribusi tingkat pendidikan ayah contoh menurut status GAKI Tingkat Pendidikan Ayah

Status GAKI

Total

GAKI tidak GAKI

n % n % n % SD 12 33.3 16 44.4 28 38.9 SMP 18 50.0 13 36.1 31 43.1 SLTA/Sederajat 6 16.7 7 19.4 13 18.1 Total 36 100.0 36 100.0 72 100.0

Status GAKI Contoh Berdasarkan Pendapatan Kepala Keluarga

Berdasarkan status GAKI contoh, sebagian besar (64 %) pendapatan keluarga contoh penderita GAKI tergolong tidak miskin (Tabel 6). Sedangkan pendapatan keluarga contoh yang tidak menderita GAKI sebagian besar (61 %) juga tergolong tidak miskin. Dengan demikian pendapatan keluarga contoh yang menderita GAKI dan tidak menderita GAKI tidak jauh berbeda.

Pendapatan ayah contoh yang sebagian besar petani adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dari hasil bertani/panen. Pendapatan kepala keluarga contoh menunjukkan besarnya pendapatan keluarga, karena ibu rumahtangga pada contoh yang ayahnya bekerja sebagai petani tidak memiliki pekerjaan sampingan. Ibu rumahtangga bekerja membantu suaminya bekerja sebagai petani, sehingga besarnya pendapatan baik dari ibu maupun ayah contoh menunjukkan besarnya pendapatan keluarga contoh, yaitu dari dari hasil bertani/panen.

Tabel 6. Distribusi contoh menurut pendapatan orang tua dan status GAKI

Kategori pendapatan keluarga setara BPS Status GAKI Total

GAKI TIDAK GAKI

n % n % n %

Miskin 13 36 14 39 27 38

Tidak miskin 23 64 22 61 45 63

Status GAKI Contoh Berdasarkan Umur

Distribusi umur contoh yang terpilih sebagai sampel adalah umur 10 -12 tahun. Sebagian besar contoh penderita GAKI berada pada umur 10 tahun, yaitu sebesar 58.3 % (Tabel 7). Penentuan umur dilakukan dengan perhitungan tahun penuh. Prevalensi GAKI pada daerah endemik berat, meningkat dengan tajam mulai usia 10 tahun dan mencapai puncaknya di masa pubertas dan usia subur (Syahbudin, 2006 ).

Kebutuhan akan zat iodium pada kisaran umur kurang dari 11 tahun

sebesar 90-120 μg/hari, dan bertambah menjadi 150 μg/hari ketika remaja ,

sehingga apabila kebutuhan fisiologis pada umur tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi kelainan fungsi tiroid, gondok dan kretin endemik. Oleh karena itu, faktor usia sangat penting dalam peran terjadinya GAKI, karena semakin muda usia saat mulai terkena defisiensi iodium akan makin berat akibatnya, terutama pada susunan saraf pusat (Syahbudin, 2006).

Tabel 7. Distribusi contoh berdasarkan kelompok umur dan status GAKI

Umur Contoh Status GAKI Total

GAKI tidak GAKI

n % n % n % 10 21 58.3 25 69.5 46 63.9 11 11 30.6 4 11.1 15 20.8 12 4 11.1 7 19.4 11 15.3 Total 36 100.0 36 100.0 72 100.0

Status GAKI Contoh Berdasarkan Jenis Kelamin

Contoh dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita GAKI dibanding contoh perempuan, yaitu sebesar 63.9 % (Tabel 8). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi GAKI pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, terutama mulai usia 10 tahun (Syahbudin, 2006). Hal ini disebabkan rasio laki-laki yang menjadi sampel dalam penelitian ini lebih besar daripada perempuan. Dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa jumlah contoh laki-laki yang tidak menderita GAKI juga cukup besar, yaitu sebesar 66.7 %.

Tabel 8. Distribusi contoh berdasarkan jenis kelamin dan status GAKI

Jenis Kelamin Contoh Status GAKI Total

GAKI tidak GAKI

n % n % n %

Laki 23 63.9 24 66.7 47 65.3

Perempuan 13 36.1 12 33.3 25 34.7

Status Gizi Contoh

Status gizi pelajar SD diukur berdasarkan IMT/U. IMT/U digunakan sebagai data referensi karena merupakan indikator terbaik yang direkomendasikan untuk mengukur status gizi remaja. Hal tersebut dikarenakan penggunaan BB/TB dapat berubah menurut umur selama remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada contoh yang memiliki status gizi obes atau berisiko obes. Sebagian besar contoh memiliki status gizi tidak kurus (72.2 %), hanya 27.8 % yang berstatus gizi kurus.

Status Gizi Contoh Berdasarkan Status GAKI

Berdasarkan status gizi dengan perhitungan IMT/U, contoh dengan status gizi tidak kurus cenderung tidak menderita GAKI. Sebesar 97.2 % contoh yang tidak menderita GAKI memiliki status gizi tidak kurus. Sebesar 52.2 % contoh yang menderita GAKI memiliki status gizi kurus (Tabel 9). Dari Tabel 9 juga terlihat kriteria contoh dengan status gizi berisiko obes ataupun obesitas tidak ada.

Tabel 9. Distribusi contoh berdasarkan status gizi dan status GAKI Status gizi

IMT/U

Status GAKI

Total

GAKI TIDAK GAKI

n % n % n %

Kurus 19 52.8 1 2.8 20 27.8

Tidak kurus 17 47.3 35 97.2 52 72.2

Total 36 100 36 100 72 100

Hubungan antara status gizi dengan kejadian GAKI berdasarkan korelasi

Rank Spearman berhubungan negatif secara nyata (p<0.01) dengan koefisien korelasi -0.558. Artinya semakin baik status gizi contoh, prevalensi GAKI semakin rendah atau menurun. Status gizi adalah kondisi atau keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Dalam hal ini status gizi bisa buruk, kurang, baik, atau lebih. Status gizi yang baik menunjukkan tercukupinya kebutuhan energi dan zat-zat gizi yang diperlukan tubuh seseorang. Sehingga semakin baik pemenuhan gizi seseorang, maka status gizi dan kesehatan orang tersebut akan semakin baik. Sementara kekurangan energi dan zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap status gizi dan kesehatan (Almatsier, 2003).

Pada daerah endemik berat, penyebab utama terjadinya GAKI adalah kekurangan iodium secara terus menerus akibat rendahnya unsur iodium yang terdapat pada daerah tersebut Masyarakat di daerah endemik berat memiliki pola konsumsi makan yang rendah asupan iodium (Triyono & Gunanti, 2004). Dalam penelitian ini peneliti tidak mengukur besarnya asupan iodium dalam pola konsumsi contoh. Peneliti hanya menghitung frekuensi konsumsi makanan sumber iodium pada contoh. Status gizi yang baik menunjukkan telah tercukupinya kebutuhan zat-zat gizi dalam tubuh, dalam hal ini contoh yang memiliki status gizi yang baik bisa dianggap memiliki asupan iodium yang baik pula.

Prestasi Belajar Contoh

Prestasi belajar contoh diukur berdasarkan nilai relatif dengan kriteria baik dan kurang baik. Prestasi belajar berdasarkan nilai relatif menunjukkan kemampuan pelajar dalam memahami pelajaran yang diukur dalam angka. Kemampuan sesorang dalam memahami pelajaran yang diberikan dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk status GAKI. Studi di daerah endemik di Jawa

Tengah, mendapatkan adanya hubungan antara Minimal Brain Damage (MBD)

dengan gangguan kognitif dan psikomotor pada murid-murid sekolah dasar

(Soeharyo et al., 2002). Hal ini juga berkaitan dengan penurunan IQ pada

penderita GAKI hingga 13.5 point yang berdampak langsung pada prestasi belajar siswa (Djokomoeljanto, 1994). Hasil penelitian menunjukkan prestasi belajar contoh sebesar 58.3 % baik, sedangkan yang kurang baik sebesar 41.7 %. Angka tersebut menunjukkan jumlah pelajar SD yang prestasi belajarnya kurang baik di daerah endemik masih cukup besar.

Prestasi Belajar Contoh Berdasarkan Status GAKI

Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa contoh yang tidak menderita GAKI cenderung memiliki prestasi belajar yang baik. Sebesar 72.2 % contoh yang tidak menderita GAKI mempunyai prestasi belajar yang baik. Sedangkan contoh yang menderita GAKI 55.6 % memiliki prestasi belajar yang kurang baik. Hasil

uji korelasi Rank Spearman dalam penelitian ini menunjukkan bahwa status

GAKI berhubungan negatif secara nyata dengan prestasi belajar (p < 0.05) dengan koefisien korelasi -0.282. Dengan demikian status GAKI dapat menurunkan prestasi belajar anak SD.

Tabel 10. Distribusi contoh berdasarkan prestasi belajar dan status GAKI Kategori prestasi belajar anak

berdasarkan nilai relatif

Status GAKI

Total

GAKI tidak GAKI

n % n % n %

Baik (≥ Nilai Rata-Rata Kelas) 16 44.4 26 72.2 42 58.3

Kurang (< nilai rata-rata kelas) 20 55.6 10 27.8 30 41.7

Total 36 100 36 100 72 100

Tingkat Absensi Contoh Berdasarkan Status GAKI

Tingkat absensi contoh dalam satu semester sangat rendah, dan jumlahnya berimbang antara contoh yang menderita GAKI dengan yang tidak menderita GAKI. Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa status GAKI tidak berhubungan dengan tingkat absensi (p>0.05). Hal ini menyatakan bahwa GAKI tidak berdampak pada halangan untuk tidak hadir di sekolah. Persepsi contoh terhadap penyakit gondok tidak mempengaruhi aktivitas keseharian, seperti kehadiran dalam kelas. Hasil temuan kualitatif di Magelang, Jawa Tengah, memperlihatkan bahwa penyakit gondok dianggap bukan suatu penyakit, dan tidak menyebabkan hambatan untuk melakukan perilaku

keseharian (Soeharyo, et al., 2002). Sebagian besar contoh menderita GAKI

pada grade 1A, sehingga belum terlihat pembesaran kelenjar gondoknya dan hal ini dimungkinkan sebagai alasan untuk hadir di kelas.

Tabel 11. Distribusi contoh berdasarkan jumlah absen dalam 1 semester dan status GAKI

Jumlah absen dalam 1 semester

Status GAKI Total

GAKI Tidak GAKI

n % n % n %

Rendah 34 94.4 32 88.9 66 91.7

Tinggi 2 5.6 4 11.1 6 8.3

Total 36 100 36 100 72 100

Perbedaan Prestasi Belajar Contoh yang Menderita GAKI dengan Contoh yang Tidak Menderita GAKI

Perbedaan prestasi belajar contoh yang menderita GAKI dengan contoh

yang tidak menderita GAKI dianalisis dengan menempatkan prestasi belajar

sebagai variabel dependen, contoh penderita GAKI dan contoh tidak GAKI

sebagai independent variabel. Untuk pengujian ini level signifikansi yang

digunakan adalah 95 % dengan pengujian dua sisi. Karena jenis pengujian yang dilakukan adalah pengujian dua sisi, maka alpha dibagi dua sehingga tingkat

kepercayaan yang digunakan adalah 97,5 % dengan nilai alpha 2,5 % atau 0,025.

Dari hasil uji beda t-test diperoleh derajat signifikansi (0.017) yang lebih kecil dari alpha (0.025) berarti H0 tidak terbukti, maka kesimpulan yang bisa diambil adalah terdapat perbedaan nyata antara prestasi belajar pada contoh penderita GAKI dengan contoh bukan penderita GAKI. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Bleichordt et al. (1987) di daerah endemik di Las Hurdes

Spayol didapatkan bahwa perkembangan mental anak di daerah kekurangan iodium lebih rendah dari pada anak di daerah non endemik GAKI.

Pola Konsumsi dan Kebiasaan Makan

Pola konsumsi dan kebiasaan makan menunjukkan bagaimana individu memilih dan mengkonsumsi makanan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi tubuhnya. Pola konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat tidak terlepas dari ketersediaan pangan di tempatnya. Dengan adanya sumber-sumber pangan di tempat sekelilingnya, setiap anggota masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangannya.

Pada masyarakat di daerah endemik GAKI, kurangnya asupan iodium dari makanan selalu dikaitkan dengan rendahnya kandungan iodium di daerah tersebut. Rendahnya kandungan iodium pada air dan tanah di daerah tersebut menyebabkan rendahnya kandungan iodium pada setiap pangan yang tumbuh. Sehingga asupan iodium pada konsumsi pangan masyarakat juga rendah

(Soeharyo et.al., 2002).

Pada penelitian ini, peneliti tidak menghitung besarnya asupan iodium pada makanan yang dikonsumsi contoh. Pola konsumsi makanan hanya dilihat

dari frekuensi konsumsi yang diukur dengan metode food frequency. Frekuensi

konsumsi merupakan bagian dari pola konsumsi yang juga dapat mempengaruhi besarnya asupan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asupan iodium dalam tubuh tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi makanan sumber iodium, tetapi juga dipengaruhi oleh konsumsi makanan sumber zat goitrogenik yang dapat menghambat penyerapan iodium dalam tubuh. Oleh karena itu, selain mengukur frekuensi konsumsi makanan sumber iodium, peneliti juga mengukur frekuensi konsumsi makanan sumber zat goitrogenik pada contoh.

Frekuensi Makan Makanan Sumber Zat Iodium

Frekuensi konsumsi makanan sumber iodium yang diukur dalam penelitian ini adalah frekuensi konsumsi ikan tawar basah, ikan tawar kering, ikan laut basah, ikan laut kering, daging, susu, dan telur. Jenis makanan sumber iodium tersebut merupakan jenis makanan sumber iodium yang biasa dikonsumsi masyarakat dan mengandung iodium yang lebih banyak dibanding makanan sumber iodium lainnya (Triyono & Gunanti, 2004). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar contoh dengan status GAKI tidak pernah mengkonsumsi bahan makanan sumber iodium (Tabel 12).

Tabel 12. Sebaran contoh yang menderita GAKI dan tidak menderita GAKI berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber iodium

Pangan sumber iodium

Status GAKI

GAKI Tidak GAKI

Tidak pernah

Kadang-kadang Sering Total

Tidak pernah

Kadang-kadang Sering Total

n % n % n % n % n % n % n % n % Ikan tawar basah 23 59 7 19.4 6 16.6 36 100 18 50 13 36.1 5 13.9 36 100 Ikan tawar kering 28 77.8 3 8.3 5 13.9 36 100 17 47.3 3 8.3 16 44.4 36 100 Ikan laut basah 12 33.3 19 52.8 5 13.9 36 100 8 22.2 22 61.1 6 16.7 36 100 Ikan laut kering 11 30.6 7 19.4 18 50 36 100 8 22.2 8 22.2 20 55.6 36 100 Daging 24 66.7 7 19.4 5 13.9 36 100 19 52.8 9 25 8 22.2 36 100 Susu 15 41.7 19 52.8 2 5.5 36 100 4 11.1 21 58.3 11 30.6 36 100 Telur 21 58.3 9 25.1 6 16.6 36 100 2 5.5 18 50 16 44.5 36 100 Keterangan : Tidak pernah : 0

Kadang-kadang : 1 x /bulan – 1-2 x/minggu Sering : 3-6 x /minnggu - > 1 x/hari

Dari Tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa contoh penderita GAKI sebagian besar tidak pernah mengkonsumsi pangan sumber iodium berupa ikan tawar basah, ikan tawar kering, daging, dan telur. Pangan sumber iodium yang kadang-kadang dikonsumsi oleh sebagian contoh yaitu sebesar 52.8 % adalah ikan laut basah dan susu. Hanya 50 % contoh yang mengkonsumsi ikan laut kering lebih dari 1 kali dalam sehari. Dengan demikian, pangan sumber iodium

yang masuk dalam pola konsumsi anak SD penderita GAKI adalah ikan laut basah, ikan laut kering, dan susu.

Pada contoh bukan penderita GAKI hanya separuh contoh yang tidak pernah mengkonsumsi ikan tawar basah, ikan tawar kering, dan daging. Sebagian besar contoh bukan penderita GAKI mengkonsumsi ikan laut basah dan susu dalam frekuensi kadang-kadang. Sementara pangan sumber iodium yang dikonsumsi dalam frekuensi sering adalah ikan tawar kering, yaitu sebesar 44.4 % contoh, ikan laut kering sebesar 55.6 % contoh, dan telur sebesar 44.5 % contoh. Berdasarkan data tersebut pola konsumsi pangan anak SD bukan penderita GAKI telah memasukkan ikan laut basah, ikan laut kering, ikan tawar kering, telur, dan susu sebagai pangan sumber iodium. Hal ini menunjukkan pola konsumsi pangan sumber iodium anak SD bukan penderita GAKI lebih baik daripada anak penderita GAKI.

Frekuensi Makan Makanan Sumber Zat Goitrogenik

Yang dimaksud dengan bahan makanan sumber zat goitrogenik adalah bahan makanan yang mengandung suatu zat penghambat proses penyerapan iodium di dalam tubuh, sehingga iodium yang dikonsumsi tidak dapat diserap secara sempurna oleh tubuh. Bahan makanan sumber zat goitrogenik yang dikonsumsi sebagian besar dalam pola makan keseharian contoh antara lain adalah kol, singkong, dan sawi. Contoh dengan status GAKI mengkonsumsi sawi, singkong , dan kol dengan frekuensi lebih tinggi dibanding contoh dengan status tidak GAKI dalam pola makannya (Tabel 13).

Tabel 13. Sebaran contoh yang menderita GAKI dan tidak menderita GAKI berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber zat goitrogenik Pangan

sumber zat goitrogenik

Status GAKI

GAKI Tidak GAKI

Tidak pernah

Kadang-kadang Sering Total

Tidak pernah

Kadang-kadang Sering Total

n % n % n % n % n % n % n % n % Sawi 11 28.2 9 25 16 46.8 36 100 12 33.3 10 27.8 14 38.9 36 100 Singkong 6 16.7 8 22.2 22 61.1 36 100 17 47.2 9 25 10 27.8 36 100 Kol 19 52.8 8 22.2 9 25 36 100 19 52.8 14 38.9 3 7.9 36 100 Keterangan : Tidak pernah : 0

Kadang-kadang : 1 x /bulan – 1-2 x/minggu Sering : 3-6 x /minnggu - > 1 x/hari

Sebagian besar contoh penderita GAKI (61.1 %) mengkonsumsi singkong hampir lebih dari 1 kali dalam sehari. Sedangkan contoh bukan penderita GAKI hanya sebesar 27.8 %. Sebagian besar contoh bukan penderita GAKI tidak pernah mengkonsumsi sawi, singkong, dan kol, sedangkan contoh penderita GAKI mengkonsumsi pangan tersebut dalam frekuensi sering.

Sawi, singkong, dan kol memiliki kadar sianida bervariasi antara 70 mg – 400 mg per kg bahan. Kadar sianida, frekuensi, jumlah konsumsi, dan cara pengolahan bahan tersebut berpengaruh terhadap terjadinya efek goitrogenik. Pengolahan dengan cara merebus dapat mengurangi kandungan sianida pada singkong sampai 100 % (Kartasurya, 2006).

Pengaruh Konsumsi Makanan Sumber Iodium dan Zat Goitrogenik tehadap Status GAKI

Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa konsumsi

makanan sumber iodium yang berdampak secara signifikan terhadap penurunan angka kejadian GAKI pada contoh (p<0.01) adalah ikan tawar kering (r = -0.288),

susu (-0.329), dan telur (r = 0.302). Sedangkan Hasil uji korelasi Rank Spearman

dari bahan makanan sumber zat goitrogenik menunjukkan hanya singkong yang berdampak nyata terhadap kejadian GAKI (p<0.01) dengan koefisien korelasi 0.313.

Berdasarkan hasil tersebut besarnya pengaruh frekuensi konsumsi makanan sumber iodium dan makanan sumber zat goitrogenik dilihat dari besarnya angka koefisien determinasi dari frekuensi konsumsi ikan tawar kering, susu, telur, dan singkong tersebut. Angka koefisien determinasi menunjukkan frekuensi konsumsi ikan tawar kering mempengaruhi status GAKI contoh sebesar 9.1 %. Frekuensi konsumsi susu berpengaruh sebesar 10.6 % terhadap status GAKI contoh. Besarnya pengaruh frekuensi konsumsi telur terhadap status GAKI contoh adalah 9.1 %, sedangkan frekuensi konsumsi singkong mempunyai pengaruh terhadap status GAKI contoh sebesar 8.6 %.

Besarnya status GAKI contoh dapat dihitung dengan menggunakan model persamaan yang dihasilkan dari analisis regresi linier. Analisis regresi

yang dilakukan yaitu dengan metode stepwise dengan memasukkan variabel

frekuensi konsumsi ikan tawar kering, susu, telur, dan singkong sebagai

independent variable. Output dari hasil analisis tersebut hanya menghasilkan dua model persamaan.

Model persamaan pertama memiliki koefisien korelasi 0.325 dan koefisien determinasi 0.106 dengan variabel bebas frekuensi konsumsi susu. Model persamaan kedua memiliki koefisien korelasi sebesar 0.466 dan koefisien determinasi 0.217 dengan variabel bebas frekuensi konsumsi susu dan frekuensi konsumsi singkong. Masing-masing variabel pada kedua persamaan tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap status GAKI.

Persamaan pertama hasil analisis regresi linier adalah Y = 2.236 – 0.346X. Y adalah status GAKI dan X adalah frekuensi konsumsi susu.

Persamaan kedua adalah Y = 1.545 – 0.390X1 + 0.322X2 dimana Y adalah status

GAKI, X1 adalah frekuensi konsumsi susu, dan X2 adalah frekuensi konsumsi

singkong. Berdasarkan persamaan kedua, penambahan frekuensi konsumsi susu 1x akan mengurangi status GAKI sebesar 0.390. Sedangkan penambahan frekuensi konsumsi singkong 1x dapat meningkatkan status GAKI sebesar 0.322.

37

Dokumen terkait