• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) Pengertian GAKI

Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan unsur iodium secara terus menerus, dalam jangka waktu yang relatif lama (Depkes, 2000).

Zat iodium adalah zat kimia yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghasilkan hormon thyroid. Hormon ini diproduksi oleh dua buah kelenjar gondok yang terletak di leher bagian depan di bawah dagu. Hormon ini diangkut oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengatur proses kimiawi yang terjadi dalam sel-sel berbagai organ tubuh termasuk sel-sel otak dan susunan syaraf pusat. Selain berfungsi dalam metabolisme energi, iodium juga sangat berpengaruh dalam perkembangan otak dan sistem susunan syaraf (Soekirman, 2000).

Definisi lain menyebutkan bahwa penyakit gondok atau nama ilmiahnya

struma simplex adalah salah satu manifestasi gambaran penyakit kekurangan zat iodium yang terjadi karena kekurangan hormon thyroid yang dihasilkan kelenjar thyroid (Sediaoetama, 1993).

Prevalensi GAKI dan Cara Penentuan

Prevalensi GAKI diukur dengan mengukur pembesaran kelenjar gondok yang dapat dilakukan dengan palpasi. Tingkat keparahan GAKI dapat diukur dengan derajat pembesaran hasil palpasi, dengan kriteria sebagai berikut :

Grade 0 : apabila tidak terlihat atau teraba artinya tidak ada gondok.

Grade 1A : apabila pembesaran gondok lebih besar dari ibu jari.

Grade 1B : gondok membesar dan dapat dilihat pada posisi kepala

menengadah ke atas.

Grade 2 : gondok kelihatan nyata membesar dengan posisi leher biasa.

Grade 3 : gondok membesar dan kelihatan dari jarak 10 meter.

Grade 2 dan 3 keduanya disebut gondok yang nyata (Visible Goitre). Bila semua

grade dijumlahkan (1A+1B+2+3) disebut gondok total (Total Goitre), dan angka

prevalensinya disebut TGR (Total Goitre Rate) (Soekirman, 2000).

Total Goitre Rate (TGR) adalah angka prevalensi gondok yang dihitung berdasarkan seluruh stadium pembesaran kelenjar gondok, baik yang teraba (palpable) maupun yang terlihat (visible). TGR digunakan untuk menentukan tingkat endemisitas GAKI (Depkes, 2000). Pengukuran lain yang dianggap lebih obyektif dan teliti adalah dengan mengukur kadar iodium dalam urine. Dengan

mengukur kadar iodium dalam urine dapat diperkirakan kadar iodium dalam makanan yang baru dikonsumsi. Klasifikasi kadar iodium dalam urine dalam populasi adalah sebagai berikut :

- Median 100 – 200 mikrogram/liter : normal

- Median 50 – 99 mikrogram/liter : ringan

- Median 20 – 49 mikrogram/liter : sedang

- Median < 20 mikrogram/liter : berat.

Bila dirinci menurut keparahan GAKI, di Indonesia diperkirakan masih terdapat 3.8 juta orang (18.8 %) menderita GAKI ringan, 8.2 % menderita GAKI sedang, dan 4.5 % menderita GAKI berat (Soekirman, 2000).

Hasil survei pemetaan GAKI nasional 1998 menunjukkan bahwa 9.8 % anak usia sekolah menderita GAKI. Disamping itu diketahui pula terdapat 354 kecamatan endemik GAKI berat, 299 kecamatan endemik GAKI sedang dan 1169 kecamatan endemik GAKI ringan (Depkes & WHO, 2000).

Klasifikasi Endemik GAKI

Daerah endemik GAKI (selanjutnya disebut daerah GAKI) adalah daerah dimana penduduknya mengalami pembesaran kelenjar gondok dengan klasifikasi sebagai berikut (Soekirman, 2000):

a. Daerah endemik GAKI berat : bila TGR ≥ 30.0 %

b. Daerah endemik GAKI sedang : bila TGR 20.0 – 29.9 %

c. Daerah endemik GAKI ringan : bila TGR 5.0 – 19.9 %

d. Daerah non endemik : bila TGR < 5.0 %.

Pengaruh Hormon Tiroid Pada Sistem Saraf

Pada hipotiroid, pergerakan lamban dan kadar protein dalam cairan otak meningkat. Sebagian efek hormon tiroid terhadap otak mungkin bersifat sekunder terhadap meningkatnya kepekaan terhadap katekolamin yang diikuti

dengan peningkatan aktivitas “sistem retikularis” barrier darah otak tidak

berkembang pada saat lahir dan hormon tiroid mempunyai efek nyata pada perkembangan otak. Pada bayi hipotiroid, sinaps-sinaps berkembang tidak normal, mielinisasi terganggu, dan perkembangan mental terhambat. Perubahan

mental adalah irreversibel bila terapi pengganti tidak dimulai segera setelah lahir.

Hormon tiroid juga menunjukkan pengaruhnya terhadap susunan saraf tepi, dan waktu untuk timbulnya reaksi terhadap refleks peregangan memanjang pada hipotiroid (Syahbudin, 2006).

Konsumsi Iodium dalam Tubuh

Kebutuhan iodium seseorang dipengaruhi beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal. Secara umum dalam Widyakarya

Nasional Pangan dan Gizi VI (1998) kebutuhan iodium per hari sekitar 1-3 μg per

Kg BB. Perkiraan kecukupan yang dianjurkan sekitar 40–120 μg per hari untuk

anak sampai usia 10 tahun dan 150 μg per hari untuk orang dewasa, dan untuk

ibu hamil dan menyusui dianjurkan tambahan masing-masing 25 μg per hari

(Depkes, 1998).

Faktor Penyebab GAKI

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya GAKI antara lain : 1. Defisiensi Iodium dalam Makanan

Rendahnya konsumsi iodium pada masyarakat sangat dipengaruhi oleh tempat tumbuhnya bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Bahan makanan yang tumbuh pada daerah yang tanahnya miskin akan iodium maka bahan makanan yang dihasilkan juga miskin iodium. Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan iodium dalam tanah antara lain:

a. Faktor Geografis

Rendahnya kandungan iodium dalam tanah secara geografis disebabkan oleh adanya erosi yang menyebabkan iodium terkikis, tanah sarang (tanah lahar, kapur) yang tidak dapat menyimpan air, sehingga air bersama iodium yang larut di dalamnya akan meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam. Hal tersebut menyebabkan akar tanaman pangan dan sayuran tidak dapat menjangkaunya sehingga kadar iodium dalam tanaman itu akan rendah pula. Disamping itu eksploitasi tanah yang berlebihan dan pencemaran limbah tanah pertanian yang berat menyebabkan tanah menjadi terlalu asam atau basa (Hetzel dalam Bambang, Merryana, & Inong, 2001)

b. Faktor non-Geografis

Rendahnya kandungan iodium dalam makanan di suatu daerah dapat disebabkan oleh rendahnya kandungan iodium tanah di daerah lain akibat dari daerah tersebut bahan makanan sehari-harinya sangat tergantung pada daerah yang minim iodium. Daerah importer ini biasanya adalah daerah pinggiran kota yang tanah pertaniannya mengalami penyempitan karena industrialisasi (Soegianto,1996 dalam Bambang, Merryana, & Inong, 2001).

2. Zat Goitrogenik dalam Makanan

Menurut Winarno (1997) goitrin merupakan senyawa anti tiroid, terdapat

pada tanaman dalam bentuk calon (precursor) yang disebut progoitrin yang

dapat berubah menjadi bahan goitrin dengan pertolongan enzim. Bahan ini terdapat pada bahan makanan seperti kol dan sebangsa kubis lainnya. Pada umumnya bahan ini mudah rusak akibat pemanasan. Bahan makanan yang banyak dikonsumsi di negara berkembang yang bersifat goitrogenik adalah singkong yang kadar sianidanya bervaiasi antara 70 mg – 400 mg per kg bahan, sedangkan batas aman sianida menurut FAO/WHO adalah kurang dari 10 mg per 100 gr bahan mentah.

Kadar sianida dalam sayuran dapat dikurangi lebih banyak dengan cara direbus. Cara rebus dapat menghilangkan kadar sianida hingga 100 %. Dengan cara tumis atau kukus sisa kadar sianida masih sekitar 60-90 %. Cara

lainnya adalah dalam pengolahan bahan diiris tipis-tipis lalu direbus. Mayun, et

al. (1996) dalam Depkes (1998) dalam penelitiannya tentang pengaruh cara

pemasakan terhadap kandungan asam sianida dan zat gizi ubi kayu melaporkan bahwa daun ubi kayu jenis karet kadar asam sianida dan vitamin C-nya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kuning atau putih. Kadar sianida ketiga jenis daun ubi kayu tersebut berturut-turut 388.33 mg, 80.66 mg dan 85.14 mg. Kadar vitamin C 508.78 mg, 430.72 mg dan 325.56 mg, sedangkan kadar protein dari ketiga jenis tersebut tidak berbeda bermakna. Berdasarkan hasil penelitian ini juga disarankan dalam menghidangkan daun ubi kayu sebaiknya dipilih jenis putih dan kuning, cara memasaknya dengan direbus kemudian airnya ditiriskan.

3. Konsumsi Garam

Garam beriodium adalah garam natrium klorida (NaCl) yang diproduksi melalui proses iodisasi yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mengandung iodium antara 30-80 ppm untuk konsumsi manusia atau ternak,

pengasinan ikan dan bahan penolong industri kecuali pemboran minyak, chlor

alkali plan (CAP) dan industri kertas pulp. SNI garam konsumsi diterapkan secara wajib terhadap produsen dan distributor sesuai dengan Kepres no 69 tahun 1994 tentang pengadaan garam beriodium untuk melindungi kesehatan masyarakat (Depkes, 2000).

Dampak GAKI

Pada ibu hamil penderita GAKI berat untuk kurun waktu lama, dampak buruk mulai terlihat pada kehamilan trimester II tetapi masih dapat diperbaiki dengan suplemen zat iodium. Bila terjadi pada kehamilan tua dampak buruknya tidak dapat diperbaiki. Artinya kelainan yang terjadi pada janin atau bayi akan bersifat permanen sampai dewasa. Dampak buruknya antara lain keguguran, lahir mati, lahir cacat, kretin, kelainan psikomotor dan kematian bayi. Pada usia sekolah dan orang dewasa GAKI dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok, cacat mental dan fisik.

Dampak buruk GAKI tingkat ringan ternyata lebih mengejutkan. Pada tingkat ini sudah terjadi kelainan perkembangan sel-sel saraf yang mempengaruhi kemampuan belajar anak, seperti ditunjukkan dengan rendahnya IQ anak penderita GAKI. Perkembangan sel otak terjadi dengan pesat pada janin dan anak sampai usia 2 tahun, karena itu ibu hamil penderita GAKI meskipun hanya pada tahap ringan, dapat berdampak buruk pada perkembangan saraf motorik dan kognitif janin yang berkaitan dengan kecerdasan anak (Soekirman, 2000).

Secara ringkas UNICEF menggambarkan dampak GAKI dalam suatu piramida. Sebanyak 1-10 % sebagai puncak gunung es (yang kelihatan) adalah dampak fisik dalam bentuk kretin dan pembesaran kelenjar gondok, sedangkan dibawahnya (5–30 %) sedikit tersembunyi tetapi apabila diperhatikan dengan seksama mereka sudah menderita gondok tingkat sedang dan ringan (1A dan 1B) dan pengurangan tingkat kecerdasan, dan bagian kaki piramida sebesar 30-70 % adalah dampak GAKI yang tersembunyi yaitu kerusakan sel-sel otak, hilangnya produktivitas kerja dan gangguan metabolisme energi.

Usaha Pencegahan dan Penanggulangan GAKI

Kegiatan penanggulangan GAKI yang dilakukan oleh pemerintah antara lain :

1. Penanggulangan Jangka Panjang

Berbagai upaya jangka panjang yang dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1970-an adalah fortifikasi zat iodium dalam garam, tetapi baru beberapa tahun menunjukkan hasilnya. Dari hasil survei garam 1996-1998 diketahui bahwa 65 % garam di Indonesia telah mengandung iodium sesuai dengan peraturan pemerintah. Program fortifikasi ini dikatakan berhasil bila 90-100 % garam yang dikonsumsi manusia dan hewan telah mengandung

zat iodium dalam takaran (dosis) yang disyaratkan yaitu 30-80 ppm (part per million) atau 30-80 miligram dalam 1 kilogram garam. Program jangka panjang lainnya yang dilakukan pemerintah untuk penanggulangan GAKI pada daerah endemik berat adalah dengan memasukkan zat iodium ke

dalam air minum. Suatu larutan zat Iodium (KIO3) yang pekat diteteskan

langsung dengan aturan tertentu pada tempat air minum seperti tempayan, bak penyimpanan air namun masih sebatas penelitian.

2. Penanggulangan Jangka Pendek

Upaya jangka pendek yang dilakukan oleh pemeintah berupa pemberian kapsul minyak beriodium pada daerah GAKI sedang dan berat. Dosis pemberian kapsul iodium tersebut adalah sebagai berikut (Depkes, 2000) :

a. Pada Daerah GAKI Sedang :

Wanita Subur : 2 kapsul/tahun

Ibu Hamil : 1 kapsul/tahun

Ibu Meneteki : 1 kapsul/tahun

b. Pada Daerah GAKI Berat :

Wanita Subur : 2 kapsul/tahun

Ibu Hamil : 1 kapsul/tahun

Ibu Meneteki : 1 kapsul/tahun

Anak SD (kelas 1-6) : 1 kapsul/tahun.

Karakteristik Keluarga Tingkat Pendidikan Orangtua

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi tingkat konsumsi, dimana tingkat pendidikan yang cukup tinggi biasanya mempunyai kemampuan dalam menyusun ataupun pengadaan bahan makanan dalam rangka pemenuhan kebutuhan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kemampuan tersebut erat kaitannya dengan kebiasaan makan individu atau keluarga yang dipelajari sejak dini dan pengetahuan gizi (Suhardjo, 2003).

Peran orangtua dalam rumahtangga sangat penting dalam membentuk kebiasaan makan keluarga, terutama peran ibu rumahtangga. Ibu rumahtangga harus menguasai pengetahuan tentang pemilihan bahan makanan, sehingga dapat melatih kebiasaan makan yang sehat kepada anak-anaknya sedini mungkin. Pengetahuan tentang pemilihan bahan makanan sangat penting

dikuasai untuk memperoleh makanan yang sehat dan sesuai dengan standar (Nasoetion & Riyadi, 1994).

Pendapatan Keluarga

Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan paling sedikit selama satu jam dalam satu minggu dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Pekerjaan orangtua berkaitan erat dengan pendapatan yang didapatkan oleh keluarga dan menjadi faktor penting bagi kemampuan daya beli pangan keluarga (Sayogyo, 1986). Seorang ibu rumahtangga yang bekerja cenderung mempunyai waktu yang sedikit untuk memperhatikan konsumsi keluarga (Sanjur, 1981).

Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sayogyo, 1986). Namun terdapat keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup akan tetapi sebagian anaknya menderita gizi kurang. Hal ini karena belum adanya perencanaan pengeluaran keluarga sehingga hasilnya belum memuaskan. Masalah lainnya yang sering ditemui adalah keluarga mampu menyediakan bahan makanan yang cukup untuk keluarga tetapi keterampilan dalam mengolah bahan makanan tersebut kurang memenuhi syarat, sehingga zat gizi yang dihasilkan dari bahan makanan tersebut kurang memenuhi kebutuhan zat gizi keluarga. Pengukuran pendapatan menggunakan klasifikasi ukuran kemiskinan Sayogyo adalah, cukup atau tidak miskin apabila pendapatan

≥ 320 kg beras/tahun, dikatakan kurang atau miskin apabila pendapatan < 320

kg beras/tahun, sedangkan menurut BPS Propinsi Sulawesi Utara tahun 2006, keluarga dikatakan miskin jika pendapatan perbulan kurang dari Rp 400.000,- .

Suhardjo (1986) menyatakan bahwa pada umumnya jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung meningkat pula. Peningkatan pendapatan perorangan akan menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Namun pengeluaran uang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi.

Pola Konsumsi dan Kebiasaan Makan

Pola makan menurut Hong dan Kardjati (1989) adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Dapat dikatakan pula bahwa kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi dan menggunakan

makanan-makanan yang tersedia, dan didasarkan kepada faktor-faktor sosial dan budaya di mana mereka hidup.

Tingkat konsumsi makanan merupakan macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi oleh seseorang dalam suatu waktu tertentu. Tingkat konsumsi makanan ini merupakan penerapan pola konsumsi makan yaitu susunan jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang berupa makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, buah-buahan, dan susu. Dalam susunan menu ini mengandung energi, protein, karbohidrat, vitamin dan mineral yang sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Suhardjo (1989) menegaskan pula bahwa pola makan suatu negara atau daerah tertentu, umumnya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang.

Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang, dengan demikian diharapkan konsumsi pangan yang beraneka ragam dapat memperbaiki mutu gizi makanan seseorang. Tiap-tiap jenis pangan atau makanan mempunyai cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi dan daya cerna masing-masing.

Oleh sebab itu tiap-tiap jenis komoditi dapat memberikan sumbangan zat gizi yang unik (Suhardjo, 1989). Di negara-negara berkembang konsumsi iodium paling banyak diperoleh dari makanan yang berasal dari laut mengingat air laut mengandung iodium tinggi. Oleh karena itu bahan makanan seperti rumput laut, ikan, kepiting, udang dan tanaman yang ada didekat laut merupakan sumber yang baik akan iodium, selain itu konsumsi iodium juga dapat diperoleh dari garam yang telah difortifikasi iodium dan air (Muchtadi, 1992).

Status Gizi Pengertian

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat penyerapan, pemakaian dan penggunaan makanan. Makanan yang memenuhi kebutuhan tubuh akan zat-zat gizi umumnya menghasilkan status gizi yang memuaskan. Kekurangan dan kelebihan zat gizi esensial dalam makanan untuk waktu lama di sebut gizi salah. Bentuk dari gizi salah tersebut dapat berupa gizi lebih atau gizi kurang.

Gizi normal adalah suatu keadaan sebagai akibat adanya keseimbangan antara kebutuhan akan zat gizi untuk kelangsungan kehidupan, pertumbuhan dan pemeliharaan fungsi normal tubuh (Suhardjo, 1986). Status gizi dan kesehatan anak sekolah sangat penting artinya sebagai gambaran keadaan gizi anak untuk dapat digunakan dalam meningkatkan program UKS (Lamid, 1992).

Penilaian Status Gizi

Antropometri adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi yang umum digunakan di Indonesia adalah pengukuran antropometri. Pengukuran antropometri ini dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

1. Ukuran Linier adalah pengukuran antropometri dengan menggunakan

parameter tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB), lingkar dada (LD) dan lingkar kepala (LK). Parameter ini digunakan untuk menilai keadaan gizi seseorang pada masa lampau.

2. Ukuran masa jaringan adalah pengukuran antropometri dengan

menggunakan parameter berat badan (BB), lingkar lengan atas (LILA), indek masa tubuh (IMT) dan tebal lemak dibawah kulit (TLBK). Parameter ini digunakan untuk menilai status gizi seseorang pada saat dilakukan pengukuran.

Pengukuran antropometri sangat umum digunakan untuk menilai status gizi didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut :

a. Pertumbuhan dan perkembangan badan mencerminkan kecukupan gizi dan kesehatan.

b. Bila pertumbuhan dan perkembangan badan baik berarti anak itu mendapat cukup zat gizi.

c. Bila zat gizi kurang, anak menderita KEP, cadangan tubuh digunakan (lemak atau protein) akibatnya tubuh tampak kurus dan ototnya tipis.

d. Apabila berlangsung lama dan disertai dengan kekurangan zat gizi lain, mengakibatkan pertumbuhan terhambat, badannya pendek, badannya kecil, Lingkar dada/kepala juga kecil dibandingkan anak yang normal.

Penilaian status gizi baik langsung maupun tidak langsung dapat digunakan secara terpisah ataupun secara bersama-sama tergantung metode yang akan dipakai, biaya dan fasilitas yang tersedia serta tujuan yang hendak dicapai. Namun dengan mengkombinasikan kedua penilaian di atas dan tergantung dari hasil yang diperoleh maka dapat memberikan gambaran dan

keadaan yang lebih jelas mengenai status gizi masyarakat (Roedjito, 1987). Berat badan memberikan gambaran konstitusi tubuh atau masa jaringan dan sering digunakan untuk menilai pertumbuhan berat badan, berat badan tersebut sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu, karena sangat mudah dipengaruhi oleh keadan yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Dengan demikian berat badan baik dalam hubungannya dengan tinggi badan maupun umur memberikan gambaran status gizi masa kini. Sedangkan tinggi badan tidak begitu terpengaruh oleh perubahan keadaan yang terjadi dalam waktu singkat. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik untuk status energi dan protein masa lalu (Handajani, 1994).

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan dalam penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan terhadap berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.

Dalam menginterpetasikan atau memantau pertumbuhan anak dari waktu ke waktu diperlukan suatu baku antropometri. Hingga saat ini nilai ambang batas

(Cut of Point) diekspresikan dalam tiga cara yaitu %tase terhadap median, %til dan unit simpang baku (SD) (Aritonang, 1996). Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Tinggi badan menurut umur tidak sensitif terhadap defesiensi gizi dalam jangka pendek, sehingga pengaruh defesiensi gizi terhadap tinggi badan akan muncul setelah beberapa waktu yang cukup lama, seperti pada GAKI. Status gizi diperoleh dengan mengukur IMT per umur anak, kemudian dibandingkan data referensi NCHS/WHO berdasarkan persentil pada umur yang sama dengan kriteria;

1. Kurus atau IMT/U rendah : < persentil ke-5

2. Berisiko overweight : ≥ persentil ke-85

Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terhadap anak sekolah baik di kota maupun di pedesaan di Indonesia, didapatkan kenyataan bahwa pada umumnya berat badan dan tinggi badan rata-rata anak sekolah dasar ini berada di bawah ukuran normal. Tidak jarang pula pada anak-anak ini ditemukan adanya tanda-tanda penyakit gizi, baik dalam bentuk ringan maupun dalam bentuk agak berat (Riyadi, 2003).

Prestasi Belajar Pengertian

Prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku karena memperoleh pengalaman belajar berupa pengetahuan. Prestasi belajar menggambarkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Untuk mengetahui seberapa jauh materi pelajaran tersebut dikuasai dan dipahami siswa , dilakukan evaluasi hasil belajar. Melalui evaluasi belajar juga dapat diketahui apakah proses belajar mengajar telah berjalan secara efektif. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan guru untuk mengetahui prestasi belajar anak adalah mengajukan pertanyaan secara lisan, memberikan pekerjaan rumah, memberikan tes tertulis dan penampilan aktual dari tugas keterampilan (Hawadi, 2001).

Soemantri (1978) dalam Supriyadi (1995) menyebutkan bahwa prestasi belajar dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran tersebut meliputi PMP, Bahasa Indonesia, Matemátika, IPA, dan IPS. Dari kelima mata pelajaran tersebut sudah dapat diperoleh gambaran nilai kognitif anak, dan hasil pengukurannya dinyatakan dalam angka.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat berasal dari dalam dirinya (faktor internal) dan dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi:

a. Kemampuan intelektual. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif dan cukup kuat antara taraf intelegensi dengan prestasi belajar, yaitu sebesar 0.70.

b. Minat. Pada umumnya seseorang akan merasa senang melakukan sesuatu sesuai dengan minatnya.

c. Bakat. Bakat merupakan kapasitas untuk belajar, oleh karena itu baru terwujud ketika mendapatkan latihan.

d. Sikap. Seseorang akan menerima atau menolak sesuatu berdasarkan peneilaiannya terhadap suatu obyek.

e. Motivasi berprestasi. Semakin tinggi motivasi seseorang, maka semakin baik prestasi yang akan diraihnya.

f. Konsep diri. Konsep diri menunjukkan bagaimana seseorang memandang dirinya serta kemampuan yang ia miliki. Siswa yang memiliki konsep diri yang positif akan lebih berhasil di sekolah.

g. Sistem nilai. Sistem nilai merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang tentang cara bertingkah laku dan kondisi akhir dari yang diinginkannya.

Dokumen terkait