• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi dan seleksi khamir isolat unggul

Proses ini diawali dengan mengisolasi khamir dari 5 macam buah yang mengandung air dan gula sederhana dalam jumlah tinggi yaitu apel, melon, nenas, pepaya dan semangka yang telah membusuk dengan asumsi bahwa proses pembusukan diakibatkan oleh khamir. Gambar 9 berikut adalah kondisi buah yang digunakan sebagai sumber isolat.

Gambar 9 Buah-buahan busuk sebagai sumber isolat. (a) apel, (b) melon, (c) nenas, (d) pepaya, (e) semangka.

Buah-buahan merupakan bahan pangan yang mengandung glukosa cukup tinggi sehingga khamir dapat tumbuh optimal dalam gula sederhana seperti glukosa maupun gula kompleks disakarida yaitu sukrosa. Lathar et al. (2010) menyatakan bahwa khamir dapat diisolasi dari berbagai sumber alami seperti daun, bunga dan buah. Kerusakan buah-buahan akibat benturan dapat menyebabkan kerusakan struktur jaringan pada buah, sehingga menjadi inang yang tepat bagi khamir untuk tumbuh. Kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan khamir ditandai dengan terbentuknya bau asam dan bau alkohol,

(a) (b) (c)

serta terbentuknya lapisan pada permukaan, misalnya kerusakan pada sari buah (D’Mello 2003). Akibat dari pertumbuhan khamir tersebut buah-buahan mengalami kebusukan.

Isolasi khamir dari buah dilakukan menggunakan media YMEA (Yeast Malt Extract Agar) pada suhu 30 oC selama 48 jam hingga diperoleh 23 isolat. Gambar 10 berikut merupakan isolat khamir yang tumbuh pada media YMEA.

Gambar 10 Pertumbuhan isolat dari buah pada media YMEA. (a) apel, (b) melon, (c) nenas, (d) pepaya, (e) semangka.

Isolat yang diperoleh kemungkinan merupakan campuran beberapa jenis mikroba seperti khamir, bakteri atau kapang karena YMEA merupakan media umum untuk pertumbuhan khamir. Lathar et al. (2010) juga melakukan isolasi khamir dari 17 jenis buah pada media MYPG (malt extract 0.3%, yeast extract 0.3%, peptone 0.5%, glucose 1%, agar 3%) pH 6.5, suhu 26 o

Bervariasinya isolat yang diperoleh menyebabkan perlunya dilakukan isolasi khamir dari mikroba lain. Isolasi ini dilakukan dengan menumbuhkan isolat pada media YGC (Yeast Glucose Chloramphenicol) yang diperkaya C selama 48 jam. Isolat yang diperoleh bukan hanya khamir tetapi juga terdapat kapang dan bakteri. Hal ini terjadi karena kadar gula dan air yang tinggi pada buah-buahan menjadi pendukung bagi pertumbuhan mikroba selain khamir.

(a) (b)

21

tetrasiklin (Lampiran 4). Pertumbuhan isolat pada media YGC yang diperkaya tetrasiklin juga cukup bervariasi, beberapa isolat dapat tumbuh dengan baik dan beberapa yang lain tidak tumbuh (Gambar 11). Isolat yang tidak tumbuh diduga bakteri atau jamur karena tidak mampu tumbuh pada media yang mengandung kloramfenikol dan tetrasiklin yang berfungsi sebagai antibiotik.

Gambar 11 Pertumbuhan isolat khamir dari buah busuk pada media YGC yang diperkaya tetrasiklin (0.05 g/l).

Dari hasil isolasi didapatkan 12 isolat dengan ciri-ciri terlihat pada Lampiran 5. Isolat ini kemudian dimurnikan dan diseleksi berdasarkan kemampuannya menggunakan substrat glukosa dan campuran glukosa-xilosa (1:1). Fermentasi dilakukan Selama 72 jam pada suhu 30 o

Tabel 6 Hasil pengukuran konsumsi substrat dan kadar etanol pada fermentasi menggunakan gula murni

C sehingga diperoleh 4 isolat dengan persentase penggunaan substrat terbesar (Tabel 6).

% Penggunaan substrat Kadar etanol (%)

Isolat Glukosa Glukosa-xilosa Glukosa Glukosa-xilosa

MP 60.9 36.0 2.49 1.58

H 64.2 27.7 3.13 1.51

SB 71.1 48.2 1.68 1.14

K 65.9 32.8 1.09 1.32

Dari hasil seleksi terlihat bahwa isolat MP dan H menghasilkan etanol dua kali lebih besar pada substrat glukosa dibandingkan campuran glukosa-xilosa. Hal ini diduga bahwa kedua isolat hanya mampu mengkonversi glukosa saja pada substrat campuran. Isolat SB dan K menghasilkan etanol dalam kadar tidak jauh berbeda baik pada substrat glukosa maupun campuran glukosa-xilosa. Hal ini

Isolat tumbuh

Isolat tidak tumbuh

diduga bahwa kedua isolat tersebut mampu menggunakan kedua jenis substrat. Isolat khamir yang mampu mengkonversi xilosa juga dilaporkan oleh Rao et al. (2008) yang berhasil mengisolasi 374 isolat khamir dari buah-buahan dan 27 diantaranya mampu mengasimilasi xilosa.

Kemampuan khamir dalam mengkonversi substrat menjadi etanol juga dapat dilihat dari peningkatan volume CO2 yang dihasilkan selama fermentasi (Gambar 12). Berdasarkan kurva akumulasi pertambahan volume CO2 pada isolat MP dan H terlihat bahwa pertambahan volume CO2 baik pada substrat glukosa maupun campuran glukosa-xilosa menunjukkan hasil yang hampir sama. Isolat MP dan H mengkonversi substrat glukosa 5% dalam campuran glukosa-xilosa (1:1) maupun glukosa 10% menjadi etanol dengan konsentrasi yang hampir sama. Ini menunjukkan bahwa kedua isolat memiliki kemampuan penggunaan substrat yang rendah. Gambar 12 berikut adalah akumulasi pertambahan volume CO2 pada isolat MP dan H.

Gambar 12 Akumulasi pertambahan volume CO2 pada fermentasi glukosa dan glukosa-xilosa (1:1). (a) isolat MP, (b) dan isolat H.

(b) (a)

23

Pengamatan CO2

C

yang terbentuk selama proses fermentasi oleh kedua isolat merupakan pendekatan untuk mengetahui kadar etanol secara tidak langsung berdasarkan reaksi fermentasi berikut:

6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Dari persamaan reaksi tersebut dapat dijelaskan bahwa kadar etanol yang dihasilkan oleh glukosa setara dengan kadar CO2 yang dihasilkan. Pengamatan terhadap volume CO2 yang dihasilkan selama fermentasi juga dilakukan oleh Bonciu et al. (2010). Perubahan CO2 tersebut secara tidak langsung digunakan untuk menentukan kadar etanol yang dihasilkan oleh isolat khamir dari hidrolisat inulin. Kadar etanol ditentukan dari volume CO2 dikalikan dengan 1.045 hasil persamaan Gay-Lussac. Secara teoritis setiap molekul glukosa diubah menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2

Pengamatan terhadap perubahan volume CO

atau dalam dasar berat 51.1% gula diubah menjadi etanol dan 48.9% diubah menjadi karbondioksida.

2 digunakan sebagai data pendukung bahwa kedua isolat mampu menghasilkan CO2 sebagai produk samping dari fermentasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kedua isolat mampu menghasilkan CO2 dalam fermentasi dan diduga hasil tersebut sebanding dengan etanol yang dihasilkan karena sistem fermentasi disusun agar reaksi berlangsung secara anaerob. Seiring dengan lama fermentasi terjadi peningkatan akumulasi CO2

Pada awal fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhan, tetapi setelah terjadi akumulasi CO

yang dihasilkan hingga pada waktu tertentu peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat mampu mengkonversi gula hasil hidrolisis enzimatis menjadi etanol dan ketika substrat mulai habis terjadi penurunan laju pembentukan etanol.

2 reaksi berubah menjadi anaerob. Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol, sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof Parnas. Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0,51 g etanol. Pada kenyataannya etanol yang dihasilkan biasanya tidak melebihi 92-95% dari hasil teoritis karena sebagian nutrisi digunakan untuk sintesis biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping

juga dapat terjadi dan menghasilkan gliserol, asam asetat, asam laktat, suksinat, asetaldehid, furfural, dan 2,3-butanediol. Etanol yang dihasilkan merupakan toksin bagi sel khamir saat konsentrasinya mencapai 8-18% berat. Namun hal ini dipengaruhi jenis khamir dan kondisi metabolik dari kultur. Fermentasi oleh khamir mengalami hambatan saat konsentrasi etanol mencapai 11% volume (Glazer dan Nikaido 2007).

Penyiapan enzim.

Penelitian ini menggunakan empat jenis enzim hidrolisis dimana dua diantaranya yaitu selulase dan xilanase diperoleh dari isolat lokal hasil penelitian sebelumnya. Tabel 7 berikut menyajikan karakteristik masing-masing enzim yang digunakan.

Tabel 7 Karakteristik enzim

Jenis enzim pH optimum Suhu optimum (o Aktivitas C) (U/ml) α-amilase1) 5.2 95 1327.52 Amiloglukosidase2) 4.5 60 145 Selulase3) 6.5 60 0.057 Xilanase4) 5.0 90 0.27

Sumber: 1)Wibisono (2004), 2)Akyuni (2004), 3)Sinaga (2010), 4)

Berdasarkan karakteristik enzim di atas, pada tahap likuifikasi digunakan enzim α-amilase yang berlangsung pada suhu optimum dari α-amilase yaitu 95

Meryandini et al. (2008)

o C. Pada tahap sakarifikasi digunakan konsorsium tiga enzim yaitu amiloglukosidase, selulase dan xilanase pada suhu 60 oC. Pemilihan suhu tersebut didasarkan pada suhu optimum terendah dari ketiga enzim tersebut yaitu amiloglukosidase dan selulase pada suhu 60 oC. Enzim xilanase memiliki kestabilan pada kisaran suhu 50-75 oC, namun memiliki aktivitas 41 % dari aktivitas maksimumnya. Suhu mempengaruhi kinerja enzim dimana enzim akan bekerja optimum pada suhu optimumnya. Penurunan suhu optimum tidak menurunkan kinerja enzim sedrastis peningkatan suhu proses. Suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas katalitik enzim dan mendenaturasi enzim (Winarno 1995).

25

Penggunaan amiloglukosidase dan selulase secara bersamaan akan menyebabkan rusaknya granula pati sehingga terbentuk rongga untuk penetrasi enzim. Jika hanya digunakan enzim amiloglukosidase atau selulase saja, hanya bagian permukaan granula pati yang akan diserang (Wong et al. 2007). Enzim selulase akan berperan pada awal proses yaitu menjadikan granula pati lebih terbuka sehingga amiloglukosidase berkesempatan menghidrolisis bagian dalam granula pati (Safitri et al. 2009). Selanjutnya enzim xilanase akan bekerja menghidrolisis komponen xilan pada serat menjadi xilosa sehingga meningkatkan perolehan gula-gula sederhana.

Hidrolisis empulur sagu

Perlakuan pendahuluan (pre-treatment) pada empulur sagu

Bahan baku yang berupa empulur sagu yang digunakan berasal dari industri rakyat di daerah Cihampar, Bogor dengan kadar air yang masih cukup tinggi yaitu 17.9% sehingga perlu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50 o

Tabel 8 Komposisi proksimat empulur sagu

C selama 24 jam. Empulur kering kemudian dihancurkan menggunakan hammer mill hingga lolos ayakan 35 mesh. Pengecilan ukuran pada empulur sagu dapat meningkatkan luas permukaan bahan sehingga nantinya akan mempermudah akses enzim penghidrolisis. Pati dan serat harus dikecilkan ukurannya agar dapat berinteraksi dengan air secara baik (Retno et al. 2009). Selanjutnya empulur sagu dianalisis komposisinya yang meliputi komponen proksimat dan kandungan pati seperti tersaji pada Tabel 8.

Komponen Nilai

Air (% basis basah) 3.60

Abu (% basis kering) 4.49

Lemak (% basis kering) 4.26

Serat (% basis kering) 7.84

Protein (% basis kering) 2.36

Karbohidrat (by difference) (% basis kering) 78.12

Empulur sagu merupakan bahan baku untuk produksi pati sagu. Dari hasil analisis proksimat diketahui bahwa empulur sagu mengandung 73% pati. Kandungan pati yang tinggi ini juga dilaporkan oleh Fujii et al. (1986) bahwa empulur sagu kering didominasi oleh pati (81.51- 84.72%), sedangkan menurut Safitri et al. (2009) tepung empulur sagu mengandung pati sebesar 57.25%. Kandungan pati pada tanaman sagu bergantung pada jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Selain pati juga terdapat komponen serat sebesar 7.84 %. Fujii et al. (1986) juga melaporkan bahwa empulur sagu kering mengandung komponen serat 3.20-4.20%, sedangkan Safitri et al. (2009) menyatakan bahwa tepung empulur sagu mengandung 31.59% serat. Serat kasar merupakan komponen yang terdiri atas dinding sel, pektin, selulosa, hemiselulosa, lignin dan pentosan. Komposisi serat pada empulur sagu disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi serat empulur sagu

Komponen Nilai

Selulosa (%) 10.36

Hemiselulosa (%) 2.24

Lignin (%) 1.40

Berdasarkan analisis komposisi serat, empulur sagu mengandung bagian selulosa terbesar yaitu 10.36% dibandingkan dengan hemiselulosa 2.24%. Selain itu, ternyata empulur sagu masih mengandung lignin sebesar 1.40% sehingga diperlukan proses pre-treatment diperlukan untuk meningkatkan akses enzim dalam melakukan hidrolisis. Akses enzim dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan lignin, menurunkan kristalinitas selulosa, meningkatkan porositas dan luas permukaan bahan (Taherzadeh dan Karimi 2008). Pre-treatment dilakukan dengan pemanasan konvensional dan pemanasan microwave. Setelah pre-treatment terjadi perubahaan pada komponen empulur. Gambar 13 berikut memperlihatkan struktur empulur sagu sebelum dan setelah pre-treatment.

27

Gambar 13 Struktur empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi perbesaran 100x. (a) sebelum pre-treatment, (b) setelah pemanasan konvensional, (c) setelah pemanasan microwave.

Empulur sagu sebelum pre-treatment memperlihatkan bahwa struktur granula pati masih utuh dan serat masih kompak (Gambar 13a). Hal ini dapat dilihat dari sifat birefringence granula pati yang berwarna biru kuning dan juga warna serat yang masih biru, yang memperlihatkan sifat kristalinitasnya. Warna kehitaman pada serat merupakan komponen fenolik dari lignin. Lignin memiliki struktur yang sangat kompak dan tahan terhadap hidrolisis.

Berbeda dengan empulur sagu setelah pre-treatment (Gambar 13b dan 13c) yang memperlihatkan struktur dari granula pati yang telah mengalami gelatinisasi sehingga terjadi proses swelling yang menyebabkan hilangnya sifat birefringence pati. Pemanasan menyebabkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari daya tarik-menarik antara molekul pati dalam granula, sehingga air dapat masuk ke dalam pati dan pati akan membengkak. Granula pati dapat membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali pada kondisi semula. Dalam kondisi ini granula pati akan lebih mudah diserang oleh enzim-enzim hidrolisis.

Begitu pula dengan struktur serat yang mulai rusak (kristalinitasnya menurun) sehingga menjadi lebih amorf dan menjadi lebih rentan terhadap hidrolisis. Hal ini dapat dilihat dari perubahan warna biru pada serat yang mulai memudar bahkan ada yang menjadi kekuningan. Pembengkakan ukuran yang merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang mikro memungkinkan masuknya enzim dan air ke bagian lebih dalam serat dan memberikan kesempatan enzim untuk infiltarsi dan menghidrolisis serat menjadi gula sederhana (Magara dan Koshijima 1990). Pada struktur lignin juga mulai rusak dan dapat dilihat dari

warna hitam yang mulai menghilang setelah pretreatment. Iradiasi microwave menyebabkab pemanasan terjadi pada suhu tinggi sehingga menghasilkan karbohidrat, oligosakarida dan monosakarida serta melarutkan lignin akibat putusnya ikatan eter (β-O-4) dan lignin-karbohidrat(Tsubaki et al. 2009).

Struktur pati dan serat pada pemanasan konvensional atau microwave tidak memperlihatkan perbedaan yang jelas (Gambar 13b dan 13c). Namun menurut Palav dan Seetharaman (2006), pada pemanasan microwave granula pati akan kehilangan birefringence sebelum swelling sedangkan pada pemanasan konvensional, swelling dan kehilangan birefringence granula terjadi hampir bersamaan. Selama konduksi panas, terjadi perusakan pada susunan rantai amilopektin yang membantu swelling pada daerah amorf granula pati. Pada pemanasan microwave, pecahnya granula pati terjadi akibat gerak vibrasi molekul polar selama pemanasan. Kehilangan kristalinitas pada pemanasan microwave juga dapat terjadi pada suhu yang lebih rendah dibandingkan pemanasan konvensional. Hal ini terjadi karena pemanasan microwave secara langsung akan mempengaruhi kristalinitas dan merusak susunan lamela amilopektin akibat vibrasi molekul polar selama iradiasi. Kristalinitas akan hancur sebelum membentuk transisi gelas pada daerah amorf granula sehingga tidak terjadi swelling.

Likuifikasi dan Sakarifikasi

Proses hidrolisis dapat dilakukan menggunakan asam maupun secara enzimatis. Hidrolisis menggunakan asam memiliki kelemahan karena dapat menimbulkan masalah korosi pada reaktor dan menghasilkan produk samping yang dapat menghambat produk fermentasi (Gozan et al. 2007). Hidrolisis enzimatis bersifat spesifik dan ramah lingkungan. Pada tahap likuifikasi digunakan enzim α-amilase yang akan memecah amilosa dan amilopektin pada molekul pati. Pemecahan amilosa oleh α-amilase terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilosa menjadi amilosa rantai pendek kemudian menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi terjadi sangat cepat dan diikuti dengan penurunan viskositas dengan cepat. Tahap kedua berjalan lambat dengan membentuk glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dengan cara

29

yang tidak acak. Kerja α-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α-limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang mengandung ikatan α-1,6 (Winarno 1995).

Selanjutnya hidrolisis molekul maltosa menjadi glukosa dilakukan oleh enzim amiloglukosidase. Selain mengkonversi komponen maltosa menjadi glukosa, enzim ini juga memutus ikatan α-1,6 pada dekstrin. Amiloglukosidase bekerja lebih lambat dibandingkan enzim α-amilase. Pada tahap sakarifikasi digunakan konsorsium 3 enzim yaitu amiloglukosidase, selulase dan xilanase. Dengan ini diharapkan memperbesar perolehan gula sederhana karena xilanase dan selulase diharapakan mampu mengkonversi komponen serat menjadi gula sederhana. Tabel 10 memperlihatkan perubahan komposisi karbohidrat selama proses sakarifikasi.

Tabel 10 Pengaruh waktu sakarifikasi terhadap total gula, gula perduksi dan derajat polimerisasi (DP) yang dihasilkan

Tahap/ Pemanasan konvensional Pemanasan microwave

Jam ke- Gula

pereduksi (mg/ml) Total gula (mg/ml) DP Gula pereduksi (mg/ml) Total gula (mg/ml) DP Awal 24.06 2.28 10.6 24.06 2.28 10.6 Likuifikasi 34.60 5.63 6.1 32.79 3.72 8.8 Sakarifikasi 31.07 15.42 2.0 32.35 15.55 2.1 24 33.69 23.61 1.4 35.05 24.24 1.4 48 37.23 23.06 1.6 38.33 22.42 1.7 72 31.29 24.41 1.3 33.60 25.77 1.3 96 35.63 24.81 1.4 31.24 24.56 1.3 120 38.75 20.92 1.9 30.52 21.77 1.4

Pada Tabel 10 terlihat bahwa proses likuifikasi baik pada pemanasan konvensional maupun microwave dapat meningkatkan konsentrasi gula pereduksi akibat pemecahan molekul pati menjadi glukosa. Peningkatan total gula juga terjadi pada tahap ini akibat terbentuknya gula selain pati seperti glukosa, maltosa atau dekstrin. Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya waktu sakarifikasi maka

konsentrasi gula pereduksi juga mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan enzim amiloglukosidase memecah maltosa, maltotriosa dan dekstrin yang merupakan hasil proses likuifikasi menjadi glukosa. Peningkatan konsentrasi gula pereduksi akibat penambahan enzim amiloglukosidase juga dilaporkan oleh Wong et al. (2007). Konsentrasi gula pereduksi pada pati sagu tergelatinisasi setelah hidrolisis dengan amiloglukosidase meningkat sebesar 76,80%. Selain akibat kerja amiloglukosidase, peningkatan konsentrasi gula pereduksi pada proses sakarifikasi juga disebabkan oleh enzim penghidrolisis serat (selulase dan xilanase). Enzim selulase akan memecah selulosa menjadi glukosa. Enzim xilanase juga akan memecah monomer-monomer xilan dari hemiselulosa menjadi xilosa.

Sebaliknya selama proses hidrolisis baik pada pemanasan konvensional maupun microwave, terjadi penurunan nilai derajat polimerisasi (DP). Penurunan nilai DP disebabkan oleh meningkatnya monomer-monomer yang terbentuk selama hidrolisis molekul pati dan serat oleh enzim. Setelah 72 jam hidrolisis, terjadi peningkatan kembali nilai DP kemungkinan disebabkan oleh penggabungan kembali monomer-monomer (repolimerisasi) menjadi polidekstrosa (Safitri et al. 2009).

Waktu sakarifikasi terbaik berada pada jam ke 72, baik pada pemanasan konvensional maupun microwave yang dapat dilihat dari nilai DP terendah. Nilai DP yang dihasilkan oleh pemasan konvensional dan microwave adalah sama yaitu DP 1.3. Namun efisiensi penggunaan microwave terlihat dari waktu kontak yang singkat. Pemanasan dengan microwave dapat mengkonversi langsung pati menjadi gula dalam waktu yang relatif rendah. Dibandingkan dengan pemanasan konvensional, laju reaksi hidrolisis pati menjadi glukosa meningkat 100 kali dengan penggunaan iradiasi microwave (Kunlan et al. 2001). Selanjutnya Nikolic et al. 2008 menyatakan bahwa pemanasan microwave mempengaruhi swelling dan gelatinisasi granula pati dan sangat efisien merusak susunan kristalin pati dan serat. Hal ini dapat meningkatkan susceptibility (sifat penerimaan) enzim yang diperlukan agar proses hidrolisis berlangsung efisien sehingga meningkatkan perolehan gula sederhana.

31

Struktur serat empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan bahwa sebelum hidrolisis komponen serat masih cukup banyak yang utuh (Gambar 14.1.a dan 14.1.b). Ini dapat dilihat dari warna biru pada serat yang masih cukup banyak. Setelah hidrolisis terlihat bahwa struktur serat menjadi rusak akibat kerja enzim penghidrolisis serat (selulase dan xilanase). Pada pemanasan konvensional, hidrolisis serat hanya terjadi pada sisi-sisi serat. Hal ini dapat dilihat dari warna kekuningan hanya ada pada bagian sisi serat. Berbeda dengan pemanasan microwave, serat mengalami kebocoran dan warna kuning cukup banyak hingga bagian tengah serat. Hal ini menunjukkan bahwa pada pemanasan microwave menyebabkan struktur kristalinitas serat berubah menjadi amorf sehingga penerimaan enzim meningkat dan enzim selulase dan xilanase mampu mengkonversi serat menjadi oligosakarida. Struktur serat empulur sagu sebelum dan setelah hidrolisis disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Struktur serat empulur sagu menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi perbesaran 100x. (1a) pemansan konvensional sebelum hidrolisis, (1b) pemanasan microwave sebelum hidrolisis, (2a) pemanasan konvensional setelah hidrolisis, (2b) pemanasan microwave setelah hidrolisis.

Produksi etanol

Gula-gula sederhana hasil tahap sakarifikasi difermentasi menjadi etanol dengan penambahan starter khamir (10%) dan nutrient pupuk (NPK dan ZA).

(a) (b)

(1)

Fermentasi berlangsung pada suhu 30 o

Tabel 11 Hasil pengukuran parameter fermentasi empulur sagu

C, pH 5, selama 72 jam. Pemanfaatan substrat (∆S/S) oleh isolat MP dan H memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda, baik pada pemanasan konvensional maupun microwave. Hal ini menunjukkan bahwa kedua isolat mampu menggunakan substrat. Selain kemampuan isolat dalam memanfaatkan substrat juga dilihat rendemen produk yang terbentuk setiap gram substrat yang terpakai oleh mikroba (Yp/s). Dari nilai Yp/s terlihat bahwa isolat MP menghasilkan rendemen produk yang lebih besar dibandingkan isolat H. Hal ini menunjukkan bahwa isolat MP mengkonversi substrat menjadi etanol, sedangkan isolat H selain mengkonversi substrat menjadi etanol juga memanfatkannya untuk pembentukan asam organik, seperti asam piruvat, asam laktat, atau asam asetat yang merupakan hasil reaksi samping pada produksi etanol (Glazer dan Nikaido 2007). Kecenderungan isolat khamir mengubah substrat menjadi asam organik dapat dilihat dari total asam dan kadar etanol yang dihasilkan. Isolat H memiliki nilai total asam yang lebih tinggi dibandingkan isolat MP, sebaliknya kadar etanol yang dihasilkan oleh isolat H justru lebih kecil dibandingkan isolat MP. Hasil pengukuran parameter fermentasi disajikan pada Tabel 11.

Isolat MP Isolat H

Parameter Pemanasan Pemanasan Pemanasan Pemanasan

Konvensional Microwave Konvensional Microwave

∆S/S 0.68 0.67 0.71 0.73

Yp/s 0.85 0.61 0.47 0.42

Total asam (mg/ml) 85.33 104.53 98.13 119.46

Kadar etanol (%) 8.11 7.06 5.77 4.28

Kadar etanol (g/l) 63.95 55.69 45.54 33.78

Jika membandingkan proses pre-treatment, total asam pada pemanasan microwave lebih tinggi dibandingkan dengan pemanasan konvensional. Hal ini berkebalikan dengan kadar etanol yang dihasilkan oleh pemanasan microwave justru lebih kecil dari pemanasan konvensional. Ini diduga bahwa penggunaan microwave menghasilkan senyawa inhibitor akibat radiasi gelombang mikro.

33

Iradiasi microwave menyebabkan terbentuknya senyawa hidroksi metil furfural (HMF) yang merupakan inhibitor dalam proses fermentasi etanol. Senyawa ini terbentuk akibat degradasi lebih lanjut dari monosakarida karena reaksi menggunakan microwave terjadi pada suhu yang sangat tinggi yaitu 200 oC (Tsubaki et al. 2009). Selain itu lignin yang terlarut akibat pemanasan pada suhu tinggi juga merupakan senyawa inhibitor dalam proses fermentasi. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh akumulasi pertambahan volume CO2 hasil fermentasi (Gambar 15). Pertambahan volume CO2 pada pemanasan konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan pemansan microwave baik pada isolat MP maupun H.

Gambar 15 Akumulasi pertambahan volume CO2 pada fermentasi etanol menggunakan empulur sagu. (a) isolat MP, (b) dan isolat H.

SIMPULAN

Isolat khamir yang berasal dari buah melon (MP) dan pepaya (H) busuk memiliki kemampuan untuk memanfaatkan substrat glukosa, serta mampu mengkonversi hasil hidrolisis empulur sagu menjadi etanol.

Perlakuan pendahuluan/pretreatment menggunakan microwave tidak memberi pengaruh yang nyata dalam menghasilkan gula sederhana, yaitu total gula (24-25 mg/ml) dan DP 1.3. Namun perlakuan microwave mempengaruhi struktur mikroskopik serat yang membuatnya menjadi lebih amorf.

Empulur sagu mengandung pati (73%) dan serat kasar (7.8%) dalam jumlah yang cukup tinggi, sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pada proses likuifikasi digunakan enzim α-amilase, namun proses sakarifikasi digunakan konsorsium enzim yang diperoleh dari isolat lokal (selulase dan xilanase) serta amiloglukosidase komersial pada suhu 60o

Isolat MP mampu menghasilkan etanol lebih tinggi (7.06-8.11%)

Dokumen terkait