• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jumlah Leukosit Total

Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung selama dua minggu masa adaptasi pasca hewan mengalami transportasi dapat dilihat pada Tabel 2. Kisaran jumlah leukosit total kerbau lumpur selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi adalah 8.91-18.83×10³/μl dengan jumlah neutrofil 4.87-10.41×10³/μl, eosinofil 0.66-1.75×10³/μl, limfosit 2.98-6.21×10³/μl, dan jumlah monosit 0.11-0.58×10³/μl.

Table 2 Rataan dan simpangan baku jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio N/L pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi

Berdasarkan Table 2 diperoleh rataan jumlah leukosit total keempat ekor kerbau betina selama masa adaptasi berkisar antara 8.91-18.83×10³/μl. Jumlah leukosit total pada kerbau lumpur normal di Malaysia menurut Sulong et al.

(1980) adalah 10.70×10³/μl. Kerbau penelitian yang mengalami transportasi menunjukkan peningkatan jumlah leukosit total dibandingkan dengan jumlah leukosit total normal. Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah leukosit total tertinggi terjadi pada hari ke-1 yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi. Jumlah leukosit total pada hari ke-1 mengalami peningkatan sabanyak 76% bila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980) yang melakukan penelitian pada kerbau lumpur di Malaysia. Jumlah leukosit total pada hari ke-1 mengalami Hari Suhu Kelembaban Leukosit Neutrofil Eosinofil Limfosit Monosit Rasio

Total Ke (0C) (%) (×10³/μl) (×10³/μl) (×10³/μl) (×10³/μl) (×10³/μl) N/L 1 27.5 82 18.83±1.60 10.41±2.76 1.64±1.45 6.21±2.81 0.58±0.40 2.08±1.36 2 24.5 91 14.16±3.65 9.16±2.49 1.10±0.99 3.65±1.36 0.34±0.19 2.77±1.03 3 25 91 15.21±3.15 9.29±1.14 1.51±0.69 3.87±2.56 0.54±0.28 3.49±2.36 4 26.5 84 12.76±3.70 6.59±2.65 0.84±0.65 4.99±2.31 0.34±0.17 1.64±1.12 5 24 91 12.86±5.61 6.55±3.80 1.22±1.29 4.78±2.86 0.38±0.41 1.86±1.23 6 28 70 13.02±1.27 6.94±1.59 1.16±0.49 4.68±1.14 0.49±0.12 1.63±0.83 7 28 85 17.06±7.78 9.67±5.92 1.75±1.10 5.34±2.03 0.41±0.28 2.02±1.14 8 27 77 10.46±5.99 6.19±4.04 1.05±0.88 3.12±1.39 0.13±0.04 1.98±0.89 9 26 84 11.32±5.22 5.89±4.39 0.66±0.56 4.64±0.41 0.18±0.19 1.23±0.86 10 26.5 84 14.48±3.46 7.59±1.69 1.27±0.52 5.30±2.56 0.29±0.15 1.57±0.46 11 23.5 91 11.79±2.43 6.56±1.39 1.17±0.56 4.00±1.39 0.11±0.04 1.75±0.57 12 25 92 10.85±3.83 5.67±2.90 1.24±0.80 3.73±1.13 0.29±0.27 1.69±1.32 13 24.5 84 8.91±4.91 4.87±2.61 0.90±0.65 2.98±2.19 0.15±0.10 1.89±0.94 14 25 92 11.24±2.26 6.03±3.36 1.04±0.50 3.85±1.85 0.32±0.17 2.27±2.19

17 peningkatan sebanyak 34% bila dibandingkan hari ke-2 selama dua minggu adaptasi pasca transportasi. Jumlah leukosit total dari hari ke-hari mulai menurun dan stabil hingga pada hari ke-7 yang kemudian mengalami peningkatan sebanyak 31%, akan tetapi masih rendah bila dibandingkan dengan hari ke-1. Jumlah leukosit total pada hari ke-8 mulai menurun dan menunjukkan nilai yang cenderung sama dengan jumlah leukosit total pada hari sebelumnya. Jumlah leukosit total pada hari ke-13 mengalami penurunan sebanyak 17.9% dibandingkan dengan hari sebelumnya dan mengalami penurunan sebanyak 16.72% bila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980) pada kerbau lumpur di Malaysia.

Transportasi darat merupakan salah satu bentuk stressor yang diduga menyebabkan peningkatan pada hari ke-1, dimana hewan baru saja mengalami transportasi selama 2 jam dengan jarak tempuh 15 km dengan menggunakan mobil bak terbuka berukuran 2x3 m pada siang hari. Hasil ini sesuai dengan hasil Kannan et al. (2000) yang mengatakan bahwa nilai kortisol akan mulai meningkat sejak preload (ternak dimasukkan ke dalam truk) dan mencapai puncaknya pada jam ke-0 yaitu saat postload (saat tiba di tujuan), kadar kortisol lalu mulai menurun pada jam ke-1 dan mencapai level dasar 3 jam setelah transportasi. Pelepasan hormon kortisol ini akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil matang, sehingga jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah meningkat yang menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total. Jumlah leukosit total dari hari ke hari mulai menurun hingga pada hari ke-7 mengalami peningkatan kembali. Peningkatan pada hari ke-7 diduga hewan mengalami heat stress akut. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada hari ke-7 suhu lingkungan mencapai 28ºC dengan kelembaban 85%. Suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan

heat stress (Marai & Haeeb 2010). Menurut Joseph (1996), kerbau merupakan hewan yang rentan terhadap heat stress karena kerbau memiliki kelenjar keringan yang sangat sedikit. Penurunan dari hari kehari diduga adanya penurunan dari salah satu atau beberapa jenis leukosit.

Peningkatan jumlah leukosit total dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor fisiologis dan faktor patologis. Faktor patologis pada umumnya disebabkan oleh infeksi agen penyakit dan perubahan kondisi lingkungan. Faktor fisiologis pada umumnya disebabkan oleh pertambahan umur, status kesehatan, dan kondisi stres (Gyton & Hall 2006). Selain itu, peningkatan jumlah leukosit total kemungkinan disebabkan oleh peningkatan dari salah satu atau beberapa jenis leukosit (Maheshwari et al. 2008).

Neutrofil

Neutrofil merupakan jenis leukosit dengan jumlah terbanyak di dalam peredaran darah. Neutrofil berfungsi sebagai garis pertahanan pertama (first line of defence) terhadap adanya benda asing yang masuk ke jaringan tubuh (Jungueira & Caneiro 2005). Pada Tabel 2 terlihat jumlah neutrofil yang sangat fluktuatif, dengan jumlah neutrofil berkisar antara 4.87-10.41×10³/μl. Nilai relatif atau persentase neutrofil pada penelitian ini berkisar antara 47-65%. Nilai relatif neutrofil pada kerbau lumpur di Malaysia sebesar 35.2% (Sulong et al. (1980). Jumlah neutrofil tertinggi terjadi pada hari ke-1 (10.41×10³/μl) dan jumlah neutrofil terendah terjadi pada hari ke-13 (4.87×10³/μl). Jumlah neutrofil normal pada kerbau lumpur di Malaysia menurut Sulong et al. (1980) sebesar

18

3.77×10³/μl. Jumlah neutrofil pada hari ke-1 lebih tinggi bila dibandingkan dengan hari lainnya selama dua minggu masa adaptasi. Jumlah neutrofil terus menurun hingga hari ke-4, setelah itu jumlah neutrofil relatif stabil kecuali pada hari ke-7, dimana jumlah neutrofil sempat meningkat lagi. Namun demikian, jumlahnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan hari ke-1. Secara keseluruhan jumlah neutrofil selama dua minggu adaptasi mengalami peningkatan sebanyak 29-176% apabila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980).

Tingginya jumlah neutrofil pada hari ke-1 ini dibarengi dengan tingginya pengamatan kadar kortisol oleh Andriani (2012). Tingginya dua parameter ini diduga akibat hewan mengalami stres transportasi yang termasuk tipe short transportation. Transportasi yang digunakan 4 ekor kerbau pada saat itu adalah transportasi darat dengan menggunakan truk terbuka berukuran 2x3 m pada siang hari selama 2 jam dengan jarak 15 km. Transportasi dengan waktu kurang lebih 1.5 jam merupakan jenis transportasi periode pendek. Transportasi periode pendek akan menyebabkan peningkatan dan penurunan konsentrasi kortisol secara signifikan dibandingkan periode panjang selama 7-10 jam (Honkavaara et al.

2003). Tingginya jumlah neutrofil pada hari selanjutnya selama dua minggu adaptasi diduga akibat stres yang disebabkan perubahan kondisi lingkungan, perubahan suhu dan kelembaban, dan kebiasaan berkubang yang terbatas. Saat stres, tubuh akan merangsang hipotalamus untuk mensekresikan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH). Pelepasan CRH ini akan merangsang hipofise anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Pelepasan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid berupa kortisol dan kortikosteron. Peningkatan glukokortikoid dapat menyebabkan destruksi kelenjar limfoid (timus) dan perpanjangan masa hidup neutrofil (Butcher & Lord 2004). Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah (Kim et al. 2005).

Penurunan jumlah neutrofil ini diduga hewan telah berhasil melakukan adaptasi terhadap lingkungan barunya sehingga tingkat stres hewan mulai berkurang. Berkurangnya tingkat stres dapat mengembalikan jumlah netrofil ke keadaan nilai normalnya. Penurunan jumlah neutrofil ini tidak menutup kemungkinan adanya infeksi parasit darah seperti Theileria. Hasil ini diperkuat dengan ditemukanya parasit darah seperti Babesia sp, Theileria sp dan Anaplasma sp pada kerbau lumpur yang sama selama dua minggu masa adaptasi (Imam 2012).

Eosinofil

Eosinofil merupakan jenis leukosit dengan persentase antara 1-10% dari seluruh jumlah leukosit total yang ada di dalam aliran darah. Secara umum fungsi eosinofil tidak sebanyak fungsi neutrofil dalam sistem pertahanan tubuh. Keberadaan eosinofil di mukosa saluran gastrointestinal, saluran pernafasan, dan saluran kemih berfungsi dalam mempertahankan serangan berbagai parasit (Ganong 2002).

Pada Tabel 2 terlihat jumlah eosinofil relatif stabil selama dua minggu masa adaptasi. Jumlah eosinofil hasil penelitian ini berkisar antara 0.66-1.75×10³/μl, dengan nilai relatif antara 5-11%. Menurut Sulong et al. (1980), jumlah eosinofil normal pada kerbau lumpur di Malaysia sebanyak 0.7×10³/μl, dengan nilai relatif sebesar 6.6%, sedangkan menurut Smith & Soesanto (1988)

19 nilai relatif kerbau di daerah tropis berkisar antara 1-10%. Jumlah eosinofil pada penelitian ini masih dalam nilai range normal menurut Sulong et al. (1980).

Peningkatan jumlah eosinofil di aliran darah dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya reaksi hipersensitivitas (alergi), parasit, degranulasi sel mast, dan hipoadrenokortisism (Guyton & Hall 2006). Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah tinggi pada saat terjadi infeksi oleh parasit. Penurunan jumlah eosinofil dapat terjadi karena hewan mengalami infeksi atau peradangan akut, atau hewan mengalami stres (Chastain & Ganjam 1986). Saat terjadi infeksi atau peradangan akut, akan memicu pelepasan kortikosteroid dan

catecholamine. Jumlah kortikosteroid yang berlebih dalam tubuh dapat menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dalam sirkulasi.

Monosit

Monosit merupakan jenis leukosit yang memiliki ukuran terbesar dibandingkan dengan jenis leukosit lainnya. Persentase monosit di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-12% dari jumlah leukosit total (Smith & Soesanto 1988). Fluktuasi jumlah monosit selama dua minggu masa adaptasi dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah monosit selama dua minggu masa adaptasi berkisar antara 0.11- 0.58 ×10³/μl, dengan nilai relatif berkisar 1-3.5%. Menurut Sulong et al. (1980), jumlah monosit pada kerbau lumpur normal sebesar 0.39×10³/μl, dengan nilai relatif sebesar 3.7%. Jumlah monosit hasil pengamatan relatif stabil sejak hari ke-1 hingga hari ke-7 masa adaptasi. Jumlah monosit kemudian menurun pada hari ke-8, setelah itu stabil hingga pengamatan selesai.

Monosit berperan penting dalam memfagosit benda asing dalam tubuh. Menurut Kannan et al. (2000), monosit tidak berpengaruh secara signifikan dalam respon stres terutama stres transportasi. Hal ini dapat dilihat dari persentase monosit yang masih di dalam nilai normal yaitu 3.7% (Sulong et al. 1980). Monosit berperan penting dalam membersihkan sel debris yang dihasilkan dari proses peradangan atau infeksi, memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag, dan menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Colville & Bassert 2008).

Basofil

Basofil adalah sel myeloid yang jumlahnya sangat sedikit di dalam peredaran darah hanya 0.02% pada kerbau sungai menurut Mahmmod et al.

(2011). Basofil mempunyai fungsi utama dalam membangkitkan reaksi hipersensitivitas dengan sekresinya yang bersifat vasoaktif. Tidak ditemukannya basofil pada penelitian ini bukan berarti tidak ada basofil di dalam aliran darah, akan tetapi karena jumlah basofil yang sangat sedikit di dalam sirkulasi. Basofil ada pada waktu tertentu seperti pada saat terjadi perbarahan, alergi, dalam metabolisme trigliserida, serta terjadinya degranulasi karena basofil memiliki reseptor IgE dan Ig G (Dharmawan 2002). Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Sulong et al. (1980), dimana persentase basofil pada kerbau lumpur di Malaysia hanya mencapai 0.3% dari seluruh jumlah leukosit total.

20

Limfosit

Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah dominan pada ruminansia dan babi, dibandingkan pada karnivora. Limfosit memiliki fungsi utama dalam memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000).

Jumlah limfosit selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah limfosit berkisar antara 2.98–6.21×10³/μl dengan nilai relatif berkisar antara 23-47%. Jumlah limfosit tertinggi terjadi pada hari ke-1 sebanyak 6.2ke-1×10³/μl dan jumlah limfosit terrendah terjadi pada hari ke-13 sebanyak 2.98×10³/μl. Menurut Sulong et al. (1980) jumlah normal limfosit kerbau lumpur di Malaysia sebanyak 5.78×10³/μl dengan nilai relatif sebesar 54.2% pada kerbau lumpur dan 56.7% pada kerbau sungai.

Jumlah limfosit pada hari ke-1 lebih tinggi bila dibandingkan dengan hari lainnya selama masa adaptasi. Setelah itu jumlah limfosit menurun, walaupun tampak adanya peningkatan jumlah limfosit pada hari ke-7 dan ke-10, namun jumlahnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan hari ke-1 masa adaptasi. Jumlah limfosit terrendah terjadi pada hari ke-13 masa adaptasi, dimana jumlah limfosit menurun sebanyak 48.4% bila dibandingkan dengan nilai normal menurut Sulong et al. (1980). Secara keseluruhan jumlah limfosit selama dua minggu adaptasi mengalami penurunan kecuali pada hari ke-1 dimana jumlah limfosit pengalami peningkatan sebanyak 8.48% bila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980).

Menurunnya jumlah limfosit diduga hewan dalam keadaan stres transportasi. Tingkat tekanan stres transportasi dapat disebabkan oleh lama penanganan selama perjalanan dan penurunan ternak, keterampilan pengemudi kendaraan, kondisi jalan, desain kandang pada kendaraan, kondisi cuaca, dan

kesehatan serta kondisi ternak yang diangkut (Greenwood et al. 1993). Stres yang

terjadi pada kerbau diduga akibat proses transportasi yang dilakukan pada siang hari dengan menggunakan truk terbuka. Penurunan jumlah limfosit pada hari-hari

selanjutnya selama dua minggu adaptasi diduga akibat stres yang disebabkan

perubahan kondisi lingkungan dari kerbau penelitian. Kerbau yang sebelumnya dibiarkan merumput di lahan luas, kemudian berubah menjadi kandang individu dengan luas 4x4 m sehingga kerbau tidak dapat berinteraksi secara bebas dengan kerbau lainnya. Kebiasaan berkubang yang biasanya dilakukan oleh kerbau di daerah asalnya juga tidak dapat dilakukan seperti biasanya. Hal lain yang dapat menyebabkan hewan stres adalah kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban kandang yang tidak sama setiap harinya. Perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan fungsi biologis dari hewan termasuk sekresi hormon, reaksi enzim, metabolit darah, penurunan nafsu makan, dan gangguan metabolisme (Marai & Haeeb 2010).

Adanya stres mengakibatkan tubuh banyak mengeluarkan glukokortikoid yang dapat menurunkan jumlah limfosit di dalam darah. Selain itu glukokortikoid juga dapat menurunkan sekresi sitokinin IL-2 yang dapat menyebabkan berkurangnya proliferasi limfosit dan sel limfosit mudah mengalami apoptosis (Ganong 2002). Perubahan fisiologis ini yang mengakibatkan jumlah limfosit selama dua minggu adaptasi mengalami penurunan.

21

Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L)

Nilai rasio N/L pada kerbau lumpur betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi berkisar antara1.23-3.49 yang dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Kannan et al. (2000), nilai rasio N/L yang melebihi 1.5 dapat mengindikasikan adanya stres atau cekaman. Tingginya rasio N/L terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke-3, setelah itu rasio N/L mulai menurun. Fluktuasi nilai rasio N/L ini sangat dipengaruhi oleh jumlah sel neutrofil dan limfosit, dan berhubungan erat dengan adanya pengaruh stres transportasi.

Hipotalamus akan mensekresikan Corticotropin Releasing Hormon (CRH) dalam kondisi stres, yang dapat merangsang hipofise untuk melepaskan

Adrenocorticotropin Hormon (ACTH). Adanya peningkatan sekresi ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Selain itu, adanya hambatan negative feedback ke hipotalamus dan hipofise menyebabkan sekresi CRH dan ACTH tetap berlangsung sehingga kortisol akan tetap meningkat. Tubuh akan mengesampingkan negative feedback mechanism pada kondisi stres. Negative feedback yang muncul pada awal stres akan menurunkan ketersediaan Ca2+ di intraselular hipofise anterior. Hal ini dapat menghambat pelepasan ACTH. Akan tetapi pelepasan AVP (Arginine Vasopresin) tidak terpengaruh oleh mekanisme negative feedback tersebut, akibatnya kadar AVP tetap. Hal ini mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior tidak terhambat, sehingga pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal tetap berlangsung (Norris 2010). Peningkatan glukokortikoid dapat menyebabkan destruksi kelenjar limfoid (timus) dan memperpanjang masa hidup neutrofil dalam aliran darah (Butcher & Lord 2004). Perubahan ini dapat meningkatkan rasio N/L dalam sirkulasi darah.

Peningkatan rasio N/L pada hari ke-1, 2 dan ke-3 dibarengi juga dengan peningkatan kadar kortisol (Andriani 2012). Selanjutnya nilai rasio N/L mulai menurun dan relatif stabil hingga pengamatan selesai pada hari ke-14. Hal ini dimungkinkan karena kerbau penelitian telah mengalami proses adaptasi sehingga tingkat stres menjadi menurun. Adaptasi merupakan suatu proses tanggapan fisiologis akibat adanya stimulus yang berulang, dengan demikian kerbau penelitian mulai dapat beradaptasi terhadap lingkungan barunya dan mulai menemukan zona nyamannya (Clark et al. 1997).

22

Dokumen terkait