• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina Selama Dua Minggu Adaptasi Pasca Transportasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina Selama Dua Minggu Adaptasi Pasca Transportasi"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANA KHOVIFAH. Profil Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina Selama Dua Minggu Adaptasi Pasca Transportasi. Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan ANITA ESFANDIARI.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) selama dua minggu adaptasi pasca transportasi. Sebanyak empat ekor kerbau lumpur betina berumur sekitar 2 tahun digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil melalui vena jugularis setiap hari selama dua minggu, untuk dianalisis terhadap jumlah leukosit total, diferensiasi leukosit, dan rasio N/L. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah leukosit total berkisar antara 8.91-18.83×10³/μl. Jumlah neutrofil, eosinofil, monosit, dan limfosit masing-masing adalah 4.87-10.41×10³/μl, 0.66-1.75×10³/μl, 0.11-0.58×10³/μl, dan 2.98-6.21×10³/μl. Rasio N/L berkisar antara 1.23-3.49. Dapat disimpulan bahwa rataan keempat kerbau memiliki nilai rasio N/L>1.5 yang mengindikasikan bahwa hewan mengalami stres transportasi.

Kata kunci: leukosit, diferensial leukosit, kerbau lumpur, stres

ABSTRACT

ANA KHOVIFAH. Leukocyte Profile and Neutrophil/Lymphocyte Ratio of Female Swamp Buffaloes (Bubalus bubalis) in Two Weeks Post Transport Adaptation. Supervised by HERA MAHESHWARI and ANITA ESFANDIARI.

The objective of this experiment was to study the total leukocyte counts, leukocyte differential counts, and neutrophil/lymphocyte (N/L) ratio of swamp buffaloes in two weeks adaptation of post-transportation. Four female swamp buffaloes aged 2 years old were used in this experiment. Blood samples were collected from jugularis vein every day for two weeks to determine the total leukocyte counts, leukocyte differential counts, and N/L ratio. Results of this study showed that the total leukocyte counts was 8.91-18.83×10³/μl. The neutrophil, eosinophil, monocyte, and lymphocyte counts were 4.87-10.41×10³/μl,

0.66-1.75×10³/μl, 0.11-0.58×10³/μl, and 2.98-6.21×10³/μl, respectively. The N/L ratio was 1.23-3.49. In conclusion, the average of N/L ratio is 1.5 for 4 buffaloes, which indicated that animals were in stress condition after transportation.

(2)

PROFIL LEUKOSIT DAN RASIO

NEUTROFIL/LIMFOSIT (N/L) PADA KERBAU

LUMPUR (

Bubalus bubalis

) BETINA SELAMA DUA

MINGGU ADAPTASI PASCA TRANSPORTASI

ANA KHOVIFAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina Selama Dua Minggu Adaptasi Pasca Transportasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir diskripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Ana Khovifah

(5)

ABSTRAK

ANA KHOVIFAH. Profil Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina Selama Dua Minggu Adaptasi Pasca Transportasi. Dibimbing oleh HERA MAHESHWARI dan ANITA ESFANDIARI.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) selama dua minggu adaptasi pasca transportasi. Sebanyak empat ekor kerbau lumpur betina berumur sekitar 2 tahun digunakan dalam penelitian ini. Sampel darah diambil melalui vena jugularis setiap hari selama dua minggu, untuk dianalisis terhadap jumlah leukosit total, diferensiasi leukosit, dan rasio N/L. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah leukosit total berkisar antara 8.91-18.83×10³/μl. Jumlah neutrofil, eosinofil, monosit, dan limfosit masing-masing adalah 4.87-10.41×10³/μl, 0.66-1.75×10³/μl, 0.11-0.58×10³/μl, dan 2.98-6.21×10³/μl. Rasio N/L berkisar antara 1.23-3.49. Dapat disimpulan bahwa rataan keempat kerbau memiliki nilai rasio N/L>1.5 yang mengindikasikan bahwa hewan mengalami stres transportasi.

Kata kunci: leukosit, diferensial leukosit, kerbau lumpur, stres

ABSTRACT

ANA KHOVIFAH. Leukocyte Profile and Neutrophil/Lymphocyte Ratio of Female Swamp Buffaloes (Bubalus bubalis) in Two Weeks Post Transport Adaptation. Supervised by HERA MAHESHWARI and ANITA ESFANDIARI.

The objective of this experiment was to study the total leukocyte counts, leukocyte differential counts, and neutrophil/lymphocyte (N/L) ratio of swamp buffaloes in two weeks adaptation of post-transportation. Four female swamp buffaloes aged 2 years old were used in this experiment. Blood samples were collected from jugularis vein every day for two weeks to determine the total leukocyte counts, leukocyte differential counts, and N/L ratio. Results of this study showed that the total leukocyte counts was 8.91-18.83×10³/μl. The neutrophil, eosinophil, monocyte, and lymphocyte counts were 4.87-10.41×10³/μl,

0.66-1.75×10³/μl, 0.11-0.58×10³/μl, and 2.98-6.21×10³/μl, respectively. The N/L ratio was 1.23-3.49. In conclusion, the average of N/L ratio is 1.5 for 4 buffaloes, which indicated that animals were in stress condition after transportation.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PROFIL LEUKOSIT DAN RASIO

NEUTROFIL/LIMFOSIT (N/L) PADA KERBAU

LUMPUR (

Bubalus bubalis

) BETINA SELAMA DUA

MINGGU ADAPTASI PASCA TRANSPORTASI

ANA KHOVIFAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Skripsi : Profil Leukosit dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) pada Kerbau Lumpur (Bubalus bubalis) Betina Selama Dua Minggu Adaptasi Pasca Transportasi

Nama : Ana Khovifah NIM : B04080195

Disetujui oleh

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D., P.A.Vet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc

Pembimbing I

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Juni 2011 ini berjudul ―Profil leukosit dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama dua minggu adaptasi pasca transportasi‖.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc dan Ibu Dr. drh. Anita Esfandiari, M.Si selaku dosen pembimbing. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih kepada Monika DP, Sri WS, Ayu SA, Asep S, Veky H, Ahmad, Jasmin S, drh. Dedi, kak Anang, kak Aul, kak Bagus Setyawan dan Pak Kosasi dalam pelaksanaan penelitian. Terimakasih kepada Staf Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) dan Staf Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan atas dukungan lokasi penelitian. Terimakasih kepada MA Wahid Hasyim dan BUD Depag yang telah memberikan kesempatan untuk kuliah di FKH-IPB. Terimakasih kepada teman teman CSS Mora, Kpop (Nilam, Desi), Edelweis (para Yobo-yobo), Geng Parlente, dan JYJ (Xia junsu) yang selalu memberikan semangat dalam menjalani kuliah di IPB. Terimakasih kepada semua pihak tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberi doa dan bantuan hingga selesainya skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat sebagaimana mestinya.

Bogor, Maret 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA... 3

Kerbau Lumpur ... 3

Stres ... 4

Darah ... 6

Sel Darah Putih (leukosit) ... 6

Pembentukan Leukosit ... 7

Neutrofil ... 8

Basofil ... 9

Eosinofil ... 9

Limfosit ... 10

Monosit ... 11

Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) ... 12

METODE ... 13

Bahan ... 13

Alat ... 13

Prosedur Analisis Data ... 13

Tahap Persiapan ... 13

Tahap Pelaksanaan ... 14

Analisis data ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Jumlah Leukosit Total ... 16

Neutrofil ... 17

Eosinofil ... 18

Monosit ... 19

Basofil ... 19

Limfosit ... 20

Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L) ... 21

SIMPULAN DAN SARAN ... 22

Simpulan ... 22

Saran ... 22

(11)

DAFTAR TABEL

1. Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988) 4 2. Rataan dan simpangan baku jumlah leukosit total, diferensial leukosit,

dan rasio N/L pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama

dua minggu masa adaptasi pasca transportasi 16

DAFTAR GAMBAR

1. Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) (Robbani et al. 2010). 3 2. Skema Pengaruh stres terhadap sistem syaraf, endokrin dan sistem

imun. (Butcher & Lord 2004) 5

3. Pembentukan leukosit di sumsum tulang dan organ limfoid

(Department of Health and Human Services 2006). 7

4. Neutrofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012) 8

5. Eosinofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012) 10

6. Limfosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012) 11

7. Monosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012) 11

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berpenduduk terbanyak ketiga dengan kebutuhan gizi yang cukup tinggi. Pemerintah mencanangkan swasembada daging pada tahun 2014 dengan cara meningkatkan produksi ternak lokal untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Kerbau lumpur merupakan ternak lokal yang dikembangkan secara tradisional. Kerbau merupakan salah satu alternatif sumber daging selain sapi seperti yang dilakukan di Kalimantan Selatan (Rohaeni

et al. 2008). Sumber daging di Indonesia banyak bersumber dari ternak sapi dengan populasi 13 633 000 ekor pada tahun 2010 (BPS 2011). Populasi kerbau dari tahun ke tahun mulai mengalami penurunan. Populasi kerbau pada tahun 2004 mencapai 2 403 298 ekor, dan pada tahun 2007 turun menjadi 2 085 779 ekor (Ditjenak 2008). Jumlah ternak kerbau pada tahun 2010 hanya mencapai 2 005 000 ekor (BPS 2011). Penurunan populasi ini dikarenakan manajemen reproduksi yang buruk, lahan yang semakin sempit, dan pemanfaatan hewan kerbau sebagai alat pembajak sawah sudah mulai menurun (Herianti & Pawarti 2010)

Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak yang dapat dibudidayakan dengan mudah dan memiliki potensi sebagai sumber protein hewani dalam rangka memenuhi swasembada daging 2014. Kerbau dapat memanfaatkan sumber pakan dengan kualiatas rendah seperti limbah jagung, limbah tebu, dan jerami, karena kerbau memiliki kemampuan mengkonversi pakan lebih baik dibandingkan sapi (Zakaria et al. 2003). Selain itu, kerbau memiliki daging dengan kandungan lemak jenuh lebih rendah dibandingkan dengan sapi dan babi, dan kandungan bahan kering dalam susu sebesar 18-23%, lebih besar dibandingkan dengan susu sapi yang hanya sebesar 13-16% (APCHA 2000).

Ternak kerbau di Indonesia, selain digunakan sebagai sumber protein hewani, juga dapat digunakan sebagai tenaga kerja, dan sebagai ternak yang banyak digunakan dalam upacara-upacara adat di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di daerah Toraja, Sulawesi Selatan. Ternak yang secara genetik mudah beradaptasi terhadap kondisi lingkungan akan lebih produktif karena dapat dikembangkan dengan menggunakan biaya rendah, mendukung keanekaragaman pangan, pertanian, dan budaya, serta efektif dalam mencapai tujuan ketahanan pangan. Oleh karena itu kerbau merupakan ternak yang perlu ditingkatkan populasinya. Upaya meningkatkan populasi kerbau perlu dilakukan melalui pengembangan reproduksi dan manajemen ternak (APCHA 2000).

Proses transportasi kerbau yang kurang baik dapat mengakibatkan kerbau menderita stres, gangguan kesehatan dan kesejahteraan (Borell 2001). Stres transportasi akan berdampak pada pertumbuhan, penurunan berat badan dan produksi susu (Philips 2002). Stres juga mengakibatkan gangguan fisiologis pada sistem tubuh hewan, salah satu dampak fisiologis pada hewan yang mengalami stres adalah perubahan pada gambaran leukosit. Salah satu gambaran leukosit yang terlihat adalah peningkatan rasio neutrofil/limfosit (N/L) (Kannan et al.

(13)

2

domestik, regional, maupun internasional harus diperhatikan. Penanganan ternak saat transportasi pada umumnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan ternak tersebut. Proses transportasi yang buruk dapat menimbulkan efek emosional dan efek fisik yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari apakah proses transportasi dan masa adaptasi berpengaruh terhadap gambaran sel darah putih dan rasio neutrofil/limfosit sebagai parameter tingkat stres pada ternak.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari jumlah leukosit total, diferensiasi leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) sebagai indikator stres pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi.

Manfaat Penelitian

(14)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau Lumpur

Kerbau lumpur yang termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis, Genus

Bubalus, Subfamili Bovinae, Famili Bovidae, Subordo Ruminantia, Ordo Artiodactyla, Subkelas Theria, Kelas Mamalia, Filum Chordat, dan Kingdom Animalia (Roth 2004), merupakan hasil domestikasi dari kerbau Bubalus arnee

(Borghese & Mazzi 2005). Kerbau yang telah didomestikasi digolongkan atas

swamp buffaloes (kerbau lumpur) dan river buffaloes (kerbau sungai). Perbedaan diantara keduanya terletak pada jumlah kromosom. Kerbau lumpur memiliki jumlah kromosom 48 dan kerbau sungai memiliki jumlah kromosom 50 (Guimaraes et al. 1995).

Sebanyak 95% ternak kerbau di Indonesia merupakan kerbau lumpur dan sisanya 5% merupakan kerbau sungai. Secara umum kerbau memiliki karakteristik morfologi seperti bentuk tanduk melingkar ke belakang, warna kulit abu gelap, ubun-ubun dominan di bagian kepala, warna kaki putih, memiliki garis kalung ganda, dan kerbau betina mempunyai kecenderungan ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan kerbau jantan (Robbani et al. 2010). Kerbau memiliki tinggi tubuh 122 cm, panjang tubuh 144 cm, dan lingkar dada 178 cm (Triwulanningsih et al. 2004). Bobot tubuh kerbau liar jantan bisa mencapai 1200 kg, kerbau betina 800 kg (Roth 2004).

Gambar 1 Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) (Robbani et al. 2010).

(15)

4

Kerbau memiliki sedikit kelenjar keringat sehingga rentan terhadap stres akibat suhu yang terlalu tinggi. Joseph (1996) menyatakan bahwa kegiatan berkubang di dalam sungai atau rawa dapat menjaga termoregulasi dan osmolalitas. Selain itu, kegiatan berkubang pada kerbau dapat mengurangi kecepatan penguapan tubuh dan melindungi dari gigitan serangga (Roth 2004).

Table 1 Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988)

Lama hidup 20-30 tahun

Stres merupakan kondisi umum yang disebabkan oleh satu atau lebih stresor yang berasal dari dalam atau luar tubuh (Borell 2001). Stresor merupakan agen atau stimulus yang mempengaruhi terjadinya stres. Kondisi ini akan membaik atau menjadi sangat buruk tergantung kemampuan tubuh dalam mengembalikan homeostasis. Gejala yang sering muncul pada saat stres berupa kegelisahan, peningkatan denyut jantung, depresi dengan pernafasan yang cepat serta adanya gerakan pada telinga (Philips 2002).

Stres dapat disebabkan oleh banyak faktor. Fowler (1999) mengelompokkan beberapa faktor stressor diantaranya: 1) stressor somatic meliputi suara keras, cahaya, warna yang mencolok, transportasi, panas, dingin, tekanan, efek kimia dan obat; 2) stresor psikologik meliputi perkelahian, teror dan restraint; 3) stresor tingkah laku meliputi populasi kandang yang padat, teritori, dan hirarki. Selain itu, stres dapat disebabkan oleh malnutrisi, toksin, parasit, agen infeksius, pembedahan, dan imobilisasi fisik atau kimia. Diantara semua penyebab stres, stres trasnsportasi merupakan yang sangat umum terjadi pada hewan konsumsi seperti sapi, kambing, babi dan domba. Transportasi yang ekonomis dan umum digunakan adalah melalui jalur darat, tapi cara ini menyebabkan tingginya tingkat stres pada hewan. Stres transportasi dapat dipicu oleh beberapa stresor diantaranya cara penanganan, pencampuran dengan hewan lain, perubahan lingkungan, proses pengangkatan dan penurunan hewan dari truk yang kurang baik, rangsangan (cahaya, suara, getaran), kekurangan nutrisi dan hipertermia (Philips 2002).

(16)

5

kemudian akan diterima oleh reseptor dan akan disalurkan ke beberapa sistem tubuh seperti sistem saraf pusat, endokrin, dan imun (Borell 200) (Gambar 2).

Gambar 2 Skema Pengaruh stres terhadap sistem syaraf, endokrin dan sistem imun (Butcher & Lord 2004).

Respon stres melibatkan sistem saraf pusat, sistem endokrin dan sistem imun. Sistem endokrin yang mengatur adalah hipotalamus dan hipofise. Respon sistem saraf dalam menghadapi stres yaitu dengan rangsangan dari sistem limbik ke medulla adrenal untuk mensekresikan katekolamin sebagai respon akut. Katekolamin berperan sebagai respon aktif tubuh untuk mempersiapkan diri dalam mengatasi stres, dengan cara meningkatkan curah jantung dan meningkatkan tekanan darah (Borell 2001).

Adanya stres akan merangsang hipotalamus untuk mengaktifkan sekresi

corticotrophin releasing hormone (CRH). Pelepasan CRH ini akan merangsang hipofise anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Pelepasan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid berupa kortisol dan kortikosteron. Saat tubuh mengalami stres akut, akan terjadi peningkatan glukokortikoid 20 kali normal setelah 5-20 menit datangnya rangsangan (West et al. 2007). Efek dari kortisol berupa kalorinergik, peningkatan pembentukan energi, peningkatan respon simpatis, penurunan akumulasi sel darah putih dan reaksi peradangan, dan peningkatan sekresi asam lambung.

Tubuh dalam menghadapi kondisi stres, secara fisiologis akan merespon melalui dua cara yaitu :1) Local Adaptation Syndrome (LAS) dengan cara memusatkan terhadap area trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat dan proses penyembuhan dapat berlangsung cepat (Greenberg 2002); 2) dengan

(17)

6

seperti pengaktifan epineprin yang mengakibatkan peningkatan volume darah yang pada akhirnya menyiapkan invidu untuk bereaksi. Selain itu, dilepaskan juga glukokortikoid yang dapat meningkatkan kadar gula darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi. Jika terjadi kegagalan pada respon ini, maka akan berlanjut ke fase selanjutnya yaitu fase kehabisan tenaga; 2) Fase

exhaustion (kehabisan tenaga), dimana tubuh tidak memiliki cadangan energi. Kegagalan dalam mempertahankan cadangan energi ini akan berdampak pada kematian suatu individu (Greenberg 2002).

Darah

Darah merupakan media cair dengan suspensi sel yang diproduksi oleh jaringan hematopoietika yang disirkulasikan ke seluruh tubuh dari jantung melalui sistem arteri dan vena. Volume darah mamalia berkisar antara 7-8% dari berat badan (Dellman & Brown 1992). Darah terdiri atas 55% plasma (berupa air dan sisanya berupa fraksi-fraksi albumin, globulin, dan fibrinogen) dan 45% fase padat (berupa eritrosit, leukosit, dan trombosit) (Ganong 2002).

Darah, di dalam sirkulasi, berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap nutrien, membawa produk-produk yang tidak berguna, menghantarkan hormon, serta transpor O2 dan CO2 (Guyton & Hall 2006). Selain itu darah juga

berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh, dan membantu dalam proses pembekuan darah. Menurut Colville & Bassert (2008), fungsi darah adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan.

Sel Darah Putih (leukosit)

Leukosit atau sel darah putih berasal dari kata Yunani yaitu leukos (putih) dan kytos (sel), merupakan unit yang aktif dari suatu sistem pertahanan tubuh, yang sebagian dibentuk di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe (Guyton & Hall 2006). Leukosit merupakan komponen darah yang berperan dalam memproduksi sistem imun tubuh dan akan ditranspor secara khusus ke jaringan yang mengalami peradangan. Leukosit dapat meninggalkan pembuluh darah dan memasuki jaringan tubuh melalui kapiler dengan proses yang dinamakan diapedesis. Dellman & Brown (1992) membagi leukosit ke dalam dua kelompok yakni granulosit dan agranulosit.

Leukosit jenis granulosit merupakan populasi leukosit dengan jumlah terbanyak dari jumlah leukosit total (Swenson 1997). Leukosit granulosit memiliki granul yang khas dan jelas dalam sitoplasma. Granul merupakan komponen enzim membran lipid yang berfungsi melakukan proses endositosis. Inti sel granulosit yang masih muda berbentuk ―sepatu kuda‖, yang nantinya akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel (Ganong 2002).

Leukosit jenis granulosit dapat dibedakan berdasarkan afinitasnya terhadap zat warna. Eosinofil mempunyai sitoplasma berwarna merah cerah, basofil mempunyai granul biru gelap, dan netrofil dengan afinitas granul rendah terhadap zat warna sehingga granulnya relatif cerah dan bening (Swenson 1997).

(18)

7

sebagai lisosom. Leukosit jenis ini ditandai dengan adanya inti yang lonjong, bulat dengan lekuk khas (Dellman & Brown 1992).

Pembentukan Leukosit

Pembentukan leukosit granulosit dan leukosit jenis monosit terjadi dalam sumsum tulang pada saat dewasa. Pembentukan leukosit dimulai saat diferensiasi dini dari sel stem hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem (Guyton & Hall 2006). Proses pembentukan sel darah putih dapat dilihat pada Gambar 3 dengan dua jalur yang berbeda yaitu dengan jalur mielositik yang dimulai dengan mieloblas dan jalur limfositik yang dimulai dengan limfoblas. Mieloblas akan berkembang menjadi promielosit, lalu mielosit, dimana mielosit ini masing-masing akan berdiferensiasi menjadi mielosit neutrofil, mielosit eosinosil, dan mielosit basofil. Mielosit kemudian berkembang lagi menjadi metamielosit, sel muda dan kemudian sel dewasa.Tahap perkembangan monosit adalah monoblas, promonosit, monosit, dan selanjutnya akan menjadi makrofag di dalam jaringan (Ganong 2002).

Limfosit berasal dari sel stem dalam folikel limfatik pada nodus limfe, limpa, timus, kemudian berkembang menjadi limfoblas, prolimfosit, hingga tahap limfosit. Sel-sel yang telah terbentuk diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh. Secara umum fungsi leukosit adalah menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap bahan infeksius (Guyton & Hall 2006).

Gambar 3 Pembentukan leukosit di sumsum tulang dan organ limfoid (Department of Health and Human Services 2006).

Peningkatan jumlah leukosit total dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor fisiologis dan faktor patologis. Faktor fisiologis pada umumnya disebabkan oleh pertambahan umur, status kesehatan, dan kondisi stres (Gyton & Hall 2006). Peningkatan jumlah leukosit total secara fisiologis dapat disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah neutrofil dan atau limfosit didalam sirkulasi, peningkatan sekresi epinefrin dan kortikosteroid yang terjadi pada kondisi stres (Jain 1993).

(19)

8

hemolitik, penyakit parasit, stres karena pembedahan, gangguan emosi dan dapat pula disebabkan karena penggunaan obat-obatan seperti aspirin, epinefrin, dan tetrasiklin (Sutedjo 2006).

Penurunan jumlah leukosit total dalam sirkulasi darah dapat terjadi pada penderita infeksi tertentu terutama virus, Sistemik Lupus Eritematosus (SLE), penyakit hemopoietik dan penggunaan obat tertentu seperti asitaminofen, diuretika, dan antibiotika seperti penisilin, kloramfenikol (Sutedjo 2006). Menurunnya jumlah leukosit total dapat terjadi pada penggunaan obat-obatan tertentu, infeksi virus, dan adanya penurunan produksi sel limfoid (Stockham & Scott 2008).

Neutrofil

Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear, karena memiliki inti dengan berbagai jenis bentuk dan segmen. Neutrofil berupa sel bundar dengan diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranul halus dan di tengahnya terletak nukleus bersegmen yang terdiri dari 2-5 lobus (Tizard 2000). Neutrofil dewasa yang berada dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan neutrofil muda (neutrofil band) akan memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville & Bassert 2008).

Gambar 4 Neutrofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012)

Netrofil diproduksi di dalam sumsum tulang. Pelepasan neutrofil dipengarui oleh neutrophyl releasing factor (NRF). Neutrofil akan segera mati setelah melakukan fagositosis terhadap benda asing dan akan dicerna oleh enzim lisosom. Kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan asam hidrolasi dan asam lisosom yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoetik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman & Brown 1992).

Neutrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama (first line of defence) (Junqueira & Caneiro 2005). Granul neutrofil mengandung enzim yang dapat menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul ini sering disebut dengan lisosom (Colville & Bassert 2008). Selain itu neutrofil juga berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi dari proses peradangan akut (Guyton & Hall 2006).

(20)

9

penghancuran limfosit sehingga terjadi peningkatan rasio neutrofil/limfosit (Kim

et al. 2005).

Penurunan jumlah neutrofil dalam sirkulasi dapat terjadi karena faktor kongenital, penyakit infeksius, keracunan, mieloptisis dan irradiasi (Raskin 2000). Penurunan jumlah neutrofil juga dapat terjadi pada kasus leukemia, agranulositosis, anemia aplastik dan anemia defisiensi besi (Sutedjo 2006).

Basofil

Basofil adalah sel mieloid dengan jumlah paling sedikit di dalam sirkulasi darah. Persentase basofil berkisar antara 0.5–1.5% dari seluruh jumlah leukosit total dalam sirkulasi darah. Diameter antara 10-12 µm dengan inti terdiri dari 2 gelambir dengan bentuk tidak teratur. Basofil memiliki granul basofilik gelap (biru), tetapi juga sangat bervariasi pada tiap spesies (McCurnin & Bassert 2006).

Basofil di dalam sirkulasi darah memiliki fungsi yang sama dalam beberapa reaksi alergi, karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi yaitu Imunoglobulin E (IgE) yang cenderung melekat pada sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2006). Perbedaan antara sel mast dengan basofil yaitu : 1) sel mast ditemukan pada jaringan dan tidak bermigrasi ke peredaran darah, sedangkan basofil tidak ditemukan di dalam jaringan, dan 2) ukuran sel mast lebih besar dibandingkan dengan basofil, memiliki granul sitoplasma yang lebih banyak dan granul tidak larut air (Colville & Bassert 2008).

Basofil dan sel mast sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi. Hal ini disebabkan karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu IgE (Imunoglobulin E), mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2006). ImunoglobulinE memiliki bagian Fc yang unik yang memungkinkannya untuk berikatan dengan sel jaringan tertentu terutama sel mast dan basofil. Bersama-sama dengan antigen, IgE menyebabkan keluarnya zat vasoaktif dari sel mast dan basofil (Tizard 2000). Basofil memiliki beberapa fungsi penting sebagai mediator aktifitas perbarahan dan alergi, ikut berperan dalam metabolisme trigliserida, dan memiliki reseptor imunoglobulin E (IgE) serta imunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi (Dharmawan 2002). Basofil mempunyai fungsi utama dalam membangkitkan reaksi hipersensitifitas dengan sekresinya yang bersifat vasoaktif.

Eosinofil

(21)

10

Gambar 5 Eosinofil kerbau lumpur betina (Amanda 2012)

Eosinofil dibentuk di dalam sumsum tulang, bersifat sangat motil. Secara umum fungsi eosinofil dalam sistem pertahanan tubuh tidak sebanyak neutrofil. Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar jika terjadi infeksi oleh parasit. Eosinofil memiliki kemampuan melawan parasit cacing, dan bersamaan dengan basofil atau sel mast sebagai mediator peradangan dan berpotensi merusak jaringan inang (Weiss & Wardrop 2010). Eosinofil adalah sel multifungsi yang memegang peranan fisiologis, dan berfungsi melakukan fagositosis selektif terhadap kompleks antigen dan antibodi. Eosinofil tidak lama berada di peredaran darah dan akan bermigrasi dan tinggal di jaringan seperti kulit, paru-paru dan usus halus (Colville & Bassert 2008).

Eosinofil bekerja dengan melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit yang berukuran jauh lebih besar. Eosinofil melakukan proses tersebut melalui beberapa cara, yaitu: 1) dengan enzim hidrolitik dari granul yang dimodifikasi lisosom; 2) melepaskan bentuk oksigen yang sangat reaktif dan sangat mematikan untuk parasit; 3) melepaskan polipeptida yang sangat larvasidal (Guyton & Hall 2006).

Limfosit

Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah dominan pada ruminansia dan babi, dibandingkan pada karnivora. Berdasarkan ukuran sel, dapat dibedakan adanya limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit kecil berdiameter antara 6-9 µm, inti besar dan kuat mengambil zat warna, dikelilingi sedikit sitoplasma yang berwarna biru pucat. Limfosit besar berdiameter 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma dibandingkan dengan limfosit kecil (Junqueira & Caneiro 2005).

(22)

11

Gambar 6 Limfosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012)

Peningkatan jumlah limfosit dapat terjadi pada leukemia limfositik, infeksi virus, infeksi kronik, dan hipofungsi adrenokortikal (Sutedjo 2006). Raskin (2000), memaparkan bahwa jumlah limfosit akan mengalami peningkatan pada saat adanya induksi epinefrin, dan neoplasia.

Penurunan jumlah limfosit dapat terjadi karena induksi kortikosteroid, penyakit infeksius, kerusakan pada sistem limfatik, kongenital dan mastositosis (Raskin 2000). Penurunan jumlah limfosit juga dapat terjadi pada penderita kanker, leukemia mieloid, hiperfungsi adrenokortikal, anemia aplastik, agranulositosis, gagal ginjal, dan sindrom nefrotik (Sutedjo 2006).

Monosit

Monosit merupakan leukosit yang memiliki ukuran paling besar dengan diameter 15-20 µm. Persentase di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-12% dari seluruh jumlah leukosit total. Sitoplasma pada monosit lebih banyak dibandingkan dengan limfosit, dengan warna biru abu-abu pucat. Inti monosit berbentuk lonjong, seperti ginjal atau mirip tapal kuda dengan lekuk yang cukup dalam dan sangat jelas. Kromatin inti berwarna lebih pucat dibandingkan dengan limfosit, dengan inti satu sampai tiga nukleolus, akan tetapi pada ulas yang diwarnai tidak tampak. Selain itu pada monosit sering tampak adanya granul azurofil halus seperti debu (Dellman & Brown 1992).

Gambar 7 Monosit kerbau lumpur betina (Amanda 2012)

(23)

12

Fungsi monosit diantaranya; 1) membersihkan sel debris yang dihasilkan dari proses peradangan atau infeksi; 2) memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag; 3) menghancurkan zat asing yang masuk kedalam tubuh (Colville & Bassert 2008).

Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L)

(24)

13

METODE

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2011 di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis sampel darah dilakukan di Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), metanol, larutan Turk, minyak imersi, xylol, aquades, dan pewarna Giemsa.

Alat

Alat yang digunakan adalah spidol, kapas, tabung reaksi, kertas label, pulpen, selotip, ice box, ice pack, cover glass (gelas penutup), object glass, tisu,

blow pipe, syringe (spuit)¸ kamar hitung Neubauer, pipet kapiler, tabung vakum, bak pewarnaan, mikroskop cahaya, dan alat penghitung.

Prosedur Analisis Data

Tahap Persiapan

Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kerbau lumpur (Bubalus bubalis) sebanyak empat ekor, jenis kelamin betina berumur sekitar 2 tahun. Kerbau penelitian diperoleh dari daerah Tenjolaya Kabupaten Bogor. Selama penelitian, kerbau percobaan dipelihara di Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor di Dramaga.

Aklimatisasi

Aklimatisasi dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi kerbau penelitian menyesuaikan diri terhadap perubahan habitat dan aktivitas. Kerbau penelitian dibiarkan beraktivitas sesuai dengan habitat aslinya di daerah Tenjolaya Bogor. Kerbau penelitian diberi obat anti cacing Albenz-10® (2.5%) peroral dengan dosis 30ml/ekor (0.12ml/KgBB) dan vitamin B kompleks. Kerbau penelitian dirawat dengan sistem perkandangan individu. Selain itu, kerbau penelitian sesekali digembalakan ke padang rumput untuk mencari makan sendiri.

Perkandangan, Pakan, dan Minum

(25)

14

berupa rumput gajah yang berasal dari sekitar kandang. Air minum yang diberikan berasal dari Perusahaan Air Minum (PAM) daerah Dramaga. Pakan dan air minum diletakkan pada tempat khusus sehingga tidak bercampur dengan kotoran dan urin kerbau. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pada pagi dan sore hari (setelah kandang kerbau dibersihkan). Air minum diberikan ad libitum.

Tahap Pelaksanaan

Perlakuan

Kerbau, pada penelitian ini, mengalami transportasi sejauh 15 km selama 2 jam menggunakan truk terbuka berukuran 3x2 m. Selanjutnya selama dua minggu, kerbau dibiarkan beraktivitas normal di dalam kandang dan tidak diberikan perlakuan khusus. Kerbau hanya dikeluarkan dari kandang pada saat pengambilan darah pada pagi hari, selama satu jam. Kerbau dimandikan setiap pagi dan sore hari untuk mencegah dehidrasi.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan secara teratur setiap pagi hari pukul 07.00 – 08.00 WIB selama 2 minggu di kandang URR FKH IPB. Darah diambil dari vena jugularis sebanyak 2 ml dengan spuit 10 ml dan jarum berukuran 18 G. Darah dimasukkan ke dalam tabung yang mengandung EDTA. Setelah itu sampel disimpan di ice box dan dibawa ke laboratorium.

Penghitungan Jumlah Leukosit Total

Pemeriksaan jumlah leukosit total dilakukan menggunakan kamar hitung Neubauer. Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0.5 dilanjutkan dengan larutan turk hingga tera 11, lalu dihomogenkan. Selanjutnya sampel dibuang sekitar 2-3 tetes, setelah itu dimasukkan ke dalam kamar hitung dan ditutup dengan gelas penutup. Pembacaan jumlah leukosit total dilakukan pada kamar hitung untuk leukosit menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x40 kali. Leukosit yang dihitung adalah leukosit yang terdapat pada empat sudut kamar hitung bertuliskan huruf W yang masing-masing memiliki 16 kotak kecil (Gambar 8). Rumus penghitungan jumlah leukosit total adalah:

� �ℎ � ( / ³) = � ℎ ×200

4 = �ℎ × 50

(26)

15

Pembuatan Preparat Ulas Darah dan Diferensial Leukosit

Penghitungan diferensial leukosit secara manual dilakukan melalui pembuatan preparat ulas darah. Satu tetes darah diletakkan di bagian tepi gelas obyek pertama dengan posisi permukaan datar. Ujung gelas obyek kedua disentuhkan pada bagian gelas obyek pertama yang ditetesi darah tersebut. Darah akan menyebar diantara sudut gelas obyek 1 dan 2. Gelas obyek 2 selanjutnya didorong dengan membentuk susut 45º untuk membentuk ulas darah yang tipis (CDC 2007). Ulas darah yang telah dibuat kemudian dikeringkan. Setelah itu dilakukan fiksasi dengan metanol selama 5 menit, kemudian dikeringkan. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dengan menggunakan Giemsa 10% selama 30 menit. Preparat ulas kemudian dibilas dengan aquades dan dikeringkan.

Leukosit diperiksa dibawah mikroskop menggunakan minyak imersi dengan pembesaran 1000 kali. Masing-masing jenis leukosit dihitung sampai mencapai jumlah seratus. Penghitungan jumlah absolut dari masing-masing jenis leukosit dihitung dengan rumus:

� �ℎ ( / ³) = �ℎ �

100 × jumlah leukosit total

Analisis data

(27)

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Leukosit Total

Data hasil penghitungan jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada empat ekor kerbau lumpur betina yang dihitung selama dua minggu masa adaptasi pasca hewan mengalami transportasi dapat dilihat pada Tabel 2. Kisaran jumlah leukosit total kerbau lumpur selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi adalah 8.91-18.83×10³/μl dengan jumlah neutrofil 4.87-10.41×10³/μl, eosinofil 0.66-1.75×10³/μl, limfosit 2.98-6.21×10³/μl, dan jumlah monosit 0.11-0.58×10³/μl.

Table 2 Rataan dan simpangan baku jumlah leukosit total, diferensial leukosit, dan rasio N/L pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi

Berdasarkan Table 2 diperoleh rataan jumlah leukosit total keempat ekor kerbau betina selama masa adaptasi berkisar antara 8.91-18.83×10³/μl. Jumlah leukosit total pada kerbau lumpur normal di Malaysia menurut Sulong et al.

(1980) adalah 10.70×10³/μl. Kerbau penelitian yang mengalami transportasi menunjukkan peningkatan jumlah leukosit total dibandingkan dengan jumlah leukosit total normal. Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah leukosit total tertinggi terjadi pada hari ke-1 yaitu pada saat hewan baru saja mengalami transportasi. Jumlah leukosit total pada hari ke-1 mengalami peningkatan sabanyak 76% bila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980) yang melakukan penelitian pada kerbau lumpur di Malaysia. Jumlah leukosit total pada hari ke-1 mengalami Hari Suhu Kelembaban Leukosit Neutrofil Eosinofil Limfosit Monosit Rasio

(28)

17

peningkatan sebanyak 34% bila dibandingkan hari ke-2 selama dua minggu adaptasi pasca transportasi. Jumlah leukosit total dari hari ke-hari mulai menurun dan stabil hingga pada hari ke-7 yang kemudian mengalami peningkatan sebanyak 31%, akan tetapi masih rendah bila dibandingkan dengan hari ke-1. Jumlah leukosit total pada hari ke-8 mulai menurun dan menunjukkan nilai yang cenderung sama dengan jumlah leukosit total pada hari sebelumnya. Jumlah leukosit total pada hari ke-13 mengalami penurunan sebanyak 17.9% dibandingkan dengan hari sebelumnya dan mengalami penurunan sebanyak 16.72% bila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980) pada kerbau lumpur di Malaysia.

Transportasi darat merupakan salah satu bentuk stressor yang diduga menyebabkan peningkatan pada hari ke-1, dimana hewan baru saja mengalami transportasi selama 2 jam dengan jarak tempuh 15 km dengan menggunakan mobil bak terbuka berukuran 2x3 m pada siang hari. Hasil ini sesuai dengan hasil Kannan et al. (2000) yang mengatakan bahwa nilai kortisol akan mulai meningkat sejak preload (ternak dimasukkan ke dalam truk) dan mencapai puncaknya pada jam ke-0 yaitu saat postload (saat tiba di tujuan), kadar kortisol lalu mulai menurun pada jam ke-1 dan mencapai level dasar 3 jam setelah transportasi. Pelepasan hormon kortisol ini akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil matang, sehingga jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah meningkat yang menyebabkan peningkatan jumlah leukosit total. Jumlah leukosit total dari hari ke hari mulai menurun hingga pada hari ke-7 mengalami peningkatan kembali. Peningkatan pada hari ke-7 diduga hewan mengalami heat stress akut. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada hari ke-7 suhu lingkungan mencapai 28ºC dengan kelembaban 85%. Suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan

heat stress (Marai & Haeeb 2010). Menurut Joseph (1996), kerbau merupakan hewan yang rentan terhadap heat stress karena kerbau memiliki kelenjar keringan yang sangat sedikit. Penurunan dari hari kehari diduga adanya penurunan dari salah satu atau beberapa jenis leukosit.

Peningkatan jumlah leukosit total dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor fisiologis dan faktor patologis. Faktor patologis pada umumnya disebabkan oleh infeksi agen penyakit dan perubahan kondisi lingkungan. Faktor fisiologis pada umumnya disebabkan oleh pertambahan umur, status kesehatan, dan kondisi stres (Gyton & Hall 2006). Selain itu, peningkatan jumlah leukosit total kemungkinan disebabkan oleh peningkatan dari salah satu atau beberapa jenis leukosit (Maheshwari et al. 2008).

Neutrofil

(29)

18

3.77×10³/μl. Jumlah neutrofil pada hari ke-1 lebih tinggi bila dibandingkan dengan hari lainnya selama dua minggu masa adaptasi. Jumlah neutrofil terus menurun hingga hari ke-4, setelah itu jumlah neutrofil relatif stabil kecuali pada hari ke-7, dimana jumlah neutrofil sempat meningkat lagi. Namun demikian, jumlahnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan hari ke-1. Secara keseluruhan jumlah neutrofil selama dua minggu adaptasi mengalami peningkatan sebanyak 29-176% apabila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980).

Tingginya jumlah neutrofil pada hari ke-1 ini dibarengi dengan tingginya pengamatan kadar kortisol oleh Andriani (2012). Tingginya dua parameter ini diduga akibat hewan mengalami stres transportasi yang termasuk tipe short transportation. Transportasi yang digunakan 4 ekor kerbau pada saat itu adalah transportasi darat dengan menggunakan truk terbuka berukuran 2x3 m pada siang hari selama 2 jam dengan jarak 15 km. Transportasi dengan waktu kurang lebih 1.5 jam merupakan jenis transportasi periode pendek. Transportasi periode pendek akan menyebabkan peningkatan dan penurunan konsentrasi kortisol secara signifikan dibandingkan periode panjang selama 7-10 jam (Honkavaara et al.

2003). Tingginya jumlah neutrofil pada hari selanjutnya selama dua minggu adaptasi diduga akibat stres yang disebabkan perubahan kondisi lingkungan, perubahan suhu dan kelembaban, dan kebiasaan berkubang yang terbatas. Saat stres, tubuh akan merangsang hipotalamus untuk mensekresikan Corticotrophin Releasing Hormone (CRH). Pelepasan CRH ini akan merangsang hipofise anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropic Hormone (ACTH). Pelepasan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid berupa kortisol dan kortikosteron. Peningkatan glukokortikoid dapat menyebabkan destruksi kelenjar limfoid (timus) dan perpanjangan masa hidup neutrofil (Butcher & Lord 2004). Perubahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah neutrofil di dalam sirkulasi darah (Kim et al. 2005).

Penurunan jumlah neutrofil ini diduga hewan telah berhasil melakukan adaptasi terhadap lingkungan barunya sehingga tingkat stres hewan mulai berkurang. Berkurangnya tingkat stres dapat mengembalikan jumlah netrofil ke keadaan nilai normalnya. Penurunan jumlah neutrofil ini tidak menutup kemungkinan adanya infeksi parasit darah seperti Theileria. Hasil ini diperkuat dengan ditemukanya parasit darah seperti Babesia sp, Theileria sp dan Anaplasma sp pada kerbau lumpur yang sama selama dua minggu masa adaptasi (Imam 2012).

Eosinofil

Eosinofil merupakan jenis leukosit dengan persentase antara 1-10% dari seluruh jumlah leukosit total yang ada di dalam aliran darah. Secara umum fungsi eosinofil tidak sebanyak fungsi neutrofil dalam sistem pertahanan tubuh. Keberadaan eosinofil di mukosa saluran gastrointestinal, saluran pernafasan, dan saluran kemih berfungsi dalam mempertahankan serangan berbagai parasit (Ganong 2002).

(30)

19

nilai relatif kerbau di daerah tropis berkisar antara 1-10%. Jumlah eosinofil pada penelitian ini masih dalam nilai range normal menurut Sulong et al. (1980).

Peningkatan jumlah eosinofil di aliran darah dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya reaksi hipersensitivitas (alergi), parasit, degranulasi sel mast, dan hipoadrenokortisism (Guyton & Hall 2006). Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah tinggi pada saat terjadi infeksi oleh parasit. Penurunan jumlah eosinofil dapat terjadi karena hewan mengalami infeksi atau peradangan akut, atau hewan mengalami stres (Chastain & Ganjam 1986). Saat terjadi infeksi atau peradangan akut, akan memicu pelepasan kortikosteroid dan

catecholamine. Jumlah kortikosteroid yang berlebih dalam tubuh dapat menyebabkan penurunan jumlah eosinofil dalam sirkulasi.

Monosit

Monosit merupakan jenis leukosit yang memiliki ukuran terbesar dibandingkan dengan jenis leukosit lainnya. Persentase monosit di dalam sirkulasi darah berkisar antara 3-12% dari jumlah leukosit total (Smith & Soesanto 1988). Fluktuasi jumlah monosit selama dua minggu masa adaptasi dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah monosit selama dua minggu masa adaptasi berkisar antara 0.11- 0.58 ×10³/μl, dengan nilai relatif berkisar 1-3.5%. Menurut Sulong et al. (1980), jumlah monosit pada kerbau lumpur normal sebesar 0.39×10³/μl, dengan nilai relatif sebesar 3.7%. Jumlah monosit hasil pengamatan relatif stabil sejak hari ke-1 hingga hari ke-7 masa adaptasi. Jumlah monosit kemudian menurun pada hari ke-8, setelah itu stabil hingga pengamatan selesai.

Monosit berperan penting dalam memfagosit benda asing dalam tubuh. Menurut Kannan et al. (2000), monosit tidak berpengaruh secara signifikan dalam respon stres terutama stres transportasi. Hal ini dapat dilihat dari persentase monosit yang masih di dalam nilai normal yaitu 3.7% (Sulong et al. 1980). Monosit berperan penting dalam membersihkan sel debris yang dihasilkan dari proses peradangan atau infeksi, memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag, dan menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Colville & Bassert 2008).

Basofil

Basofil adalah sel myeloid yang jumlahnya sangat sedikit di dalam peredaran darah hanya 0.02% pada kerbau sungai menurut Mahmmod et al.

(31)

20

Limfosit

Limfosit merupakan leukosit agranulosit yang terdapat dalam jumlah dominan pada ruminansia dan babi, dibandingkan pada karnivora. Limfosit memiliki fungsi utama dalam memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000).

Jumlah limfosit selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah limfosit berkisar antara 2.98–6.21×10³/μl dengan nilai relatif berkisar antara 23-47%. Jumlah limfosit tertinggi terjadi pada hari ke-1 sebanyak 6.2ke-1×10³/μl dan jumlah limfosit terrendah terjadi pada hari ke-13 sebanyak 2.98×10³/μl. Menurut Sulong et al. (1980) jumlah normal limfosit kerbau lumpur di Malaysia sebanyak 5.78×10³/μl dengan nilai relatif sebesar 54.2% pada kerbau lumpur dan 56.7% pada kerbau sungai.

Jumlah limfosit pada hari ke-1 lebih tinggi bila dibandingkan dengan hari lainnya selama masa adaptasi. Setelah itu jumlah limfosit menurun, walaupun tampak adanya peningkatan jumlah limfosit pada hari ke-7 dan ke-10, namun jumlahnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan hari ke-1 masa adaptasi. Jumlah limfosit terrendah terjadi pada hari ke-13 masa adaptasi, dimana jumlah limfosit menurun sebanyak 48.4% bila dibandingkan dengan nilai normal menurut Sulong et al. (1980). Secara keseluruhan jumlah limfosit selama dua minggu adaptasi mengalami penurunan kecuali pada hari ke-1 dimana jumlah limfosit pengalami peningkatan sebanyak 8.48% bila dibandingkan dengan hasil Sulong et al. (1980).

Menurunnya jumlah limfosit diduga hewan dalam keadaan stres transportasi. Tingkat tekanan stres transportasi dapat disebabkan oleh lama penanganan selama perjalanan dan penurunan ternak, keterampilan pengemudi kendaraan, kondisi jalan, desain kandang pada kendaraan, kondisi cuaca, dan

kesehatan serta kondisi ternak yang diangkut (Greenwood et al. 1993). Stres yang

terjadi pada kerbau diduga akibat proses transportasi yang dilakukan pada siang hari dengan menggunakan truk terbuka. Penurunan jumlah limfosit pada hari-hari

selanjutnya selama dua minggu adaptasi diduga akibat stres yang disebabkan

perubahan kondisi lingkungan dari kerbau penelitian. Kerbau yang sebelumnya dibiarkan merumput di lahan luas, kemudian berubah menjadi kandang individu dengan luas 4x4 m sehingga kerbau tidak dapat berinteraksi secara bebas dengan kerbau lainnya. Kebiasaan berkubang yang biasanya dilakukan oleh kerbau di daerah asalnya juga tidak dapat dilakukan seperti biasanya. Hal lain yang dapat menyebabkan hewan stres adalah kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban kandang yang tidak sama setiap harinya. Perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan fungsi biologis dari hewan termasuk sekresi hormon, reaksi enzim, metabolit darah, penurunan nafsu makan, dan gangguan metabolisme (Marai & Haeeb 2010).

(32)

21

Rasio Neutrofil/Limfosit (Rasio N/L)

Nilai rasio N/L pada kerbau lumpur betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi berkisar antara1.23-3.49 yang dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Kannan et al. (2000), nilai rasio N/L yang melebihi 1.5 dapat mengindikasikan adanya stres atau cekaman. Tingginya rasio N/L terjadi pada hari ke-1 hingga hari ke-3, setelah itu rasio N/L mulai menurun. Fluktuasi nilai rasio N/L ini sangat dipengaruhi oleh jumlah sel neutrofil dan limfosit, dan berhubungan erat dengan adanya pengaruh stres transportasi.

Hipotalamus akan mensekresikan Corticotropin Releasing Hormon (CRH) dalam kondisi stres, yang dapat merangsang hipofise untuk melepaskan

Adrenocorticotropin Hormon (ACTH). Adanya peningkatan sekresi ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk meningkatkan sekresi kortisol. Selain itu, adanya hambatan negative feedback ke hipotalamus dan hipofise menyebabkan sekresi CRH dan ACTH tetap berlangsung sehingga kortisol akan tetap meningkat. Tubuh akan mengesampingkan negative feedback mechanism pada kondisi stres. Negative feedback yang muncul pada awal stres akan menurunkan ketersediaan Ca2+ di intraselular hipofise anterior. Hal ini dapat menghambat pelepasan ACTH. Akan tetapi pelepasan AVP (Arginine Vasopresin) tidak terpengaruh oleh mekanisme negative feedback tersebut, akibatnya kadar AVP tetap. Hal ini mengakibatkan pelepasan CRH ke kelenjar hipofise anterior tidak terhambat, sehingga pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal tetap berlangsung (Norris 2010). Peningkatan glukokortikoid dapat menyebabkan destruksi kelenjar limfoid (timus) dan memperpanjang masa hidup neutrofil dalam aliran darah (Butcher & Lord 2004). Perubahan ini dapat meningkatkan rasio N/L dalam sirkulasi darah.

(33)

22

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap empat ekor kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi dapat disimpulkan bahwa jumlah leukosit total berkisar antara 8.91-18.83 ×10³/μl. Jumlah neutrofil, eosinofil, limfosit, dan monosit, masing-masing berkisar antara 4.87-10.40×10³/μl, 0.66-1.75 ×10³/μl, 2.98-6.21×10³/μl , dan 0.11-0.58×10³/μl. Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) berkisar antara 1.23-3.49. Nilai rasio N/L >1.5 mengindikasihan bahwa hewan mengalami stres transportasi.

Saran

(34)

23

DAFTAR PUSTAKA

[APCHA] Animal Production and Health Commision for Asia and the Pasific. 2000. Buffalo anasset undervalued [internet]. [diacu 2012 Juli 02]. Tersedia dari: http:// www.aphca.org/publications/files/w_buffalo.pdf.

Amanda AS. 2012. Diferensial leukosit dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Andriani DM. 2012. Kadar kortisol, triiodotironin (T3), dan tiroksin (T4) kerbau

lumpur (Bubalus bubalis) selama dua minggu pasca transportasi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bhattacharya, R. 1993. Kerbau. In: Pengantar Peternakan di Daerah Tropis

(Williamson, W.G.A dan W.J.A Payne). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.

Borell EHV. 2001. The biology of stress and its application to livestock housing and transportation assessment. J Anim Sci. 79(5):260-267.

Borghese A, Mazzi M. 2005. Buffalo population and strategies in the world. Di dalam Borghhese A, editor. Buffalo Production and Research. Roma (IT): FAO. Hlm 1-41.

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2011. Basis data statistik populasi kerbau [internet]. [diacu 2012 Juli 01]. Tersedia dari: http://www.bps.com.

Butcher S K dan Lord J M. 2004. Stress responses and innate immunity: aging as a contributory factor. Blackwell Publishing Ltd. pp151-160Doi: 10.1111/j.1474-9728

[CDC] Center fot Disease Control. 2007. Preparation of blood smear [internet]. [diacu 2012 Juli 12]. Tersedia dari: http://dpd.cdc.gov/dpdx/html /PDF_Files/Malaria_procedures_benchaid.pdf.

Chastain CB, Ganjam VK. 1986. Clinical Endocrinology of Companion Animals.

Philadelphia (US): Lea & Febiger.

Department of Health and Human Services. 2006. Regenerative medicine chapter 2: bone marrow (hematopoietic) stem cells [internet]. [diacu 16 Juli 2012]. Tersedia dari http://stemcells.nih.gov/info/scireport/2006report.htm.

Dharmawan NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner. Cetakan II. Denpasar (ID): Pelawa sari.

[Ditjenak] Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Jakarta(ID): Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K,

penerjemah; Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari:

(35)

24

Fowler ME. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine. Ed ke-4 Philadelphia (US): W.B Saunders Company.

Guimaraes SEF, Pinheiro LEL, and Guimaraes JD. 1995. Meiotic peculiarities in hybrid buffalo. Theriogenology. 43:579-583.

Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah H M D, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

Greenberg JS. 2002. Comprehensive Stress Management. London (UK): Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

Greenwood P.L, May T.J, Finn J.A. 1993. Pre-Slaughter Management of Goat. Sydney (AU): Development of Objective Methods for Marketing and Promotion of Goat Meat.

Guyton AC, Hall J E. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati S, Ken AT, Alex S, penerjemah. Jakarta (ID): EGC. Terjemahan dari: Review of medical physiology.

Herianti I, Pawarti, 2010. Penampilan reproduksi dan produksi kerbau pada kondisi peternakan rakyat di Pringsurat, Kabupaten Temanggung. Di dalam: Pros. Semiloka Nasional Kerbau; 2009 Nopember 11–13. Brebes, Indonesia. Brebes (ID): Puslitbang Peternakan . hlm 119 – 127.

Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE. 2006. Essential Haematology. Ed ke-5. Massachusetts (US): Blackwell Scientific.

Honkavaara M, Rintasalo E, Ylonen J, Pudas T. 2003. Meat Quality and Transport Stress Of Cattle. Dtsch Tierarztl Wochenschr 110: 125-128. Imam ASJ. 2012. Studi kasus parasit intraseluler darah merah pada Kerbau

Lumpur (Bubalus bubalis) dari Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Jain NC. 1993. Essential of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea & Febiger.

Joseph G. 1996. Status asam-basa dan metabolisme mineral pada ternak kerbau lumpur yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan penambahan natrium [tesis]. Bogor (ID): InstitutPertanian Bogor.

Junqueira LC, Caneiro J. 2005. Basic Histology Text & Atlas. Ed ke-11. US: McGraw-Hill

Kannan G, Terrill TH, Kouakou B, Gazal OS, Gelaye S, Amoah EA, Samake S. 2000. Transportation of goats: effects on physiological stress responses and live weight loss. J. of Animal Sci. 78:1450-1457.

Kim CY, Han JS, Suzuki T, Han SS. 2005. Indirect indicator of transport stress in hematological values in newly acquired cynomolgus monkeys. J Med Primatol. 34:188–192.

Maheshwari H, Sjahfirdi L, Astuti P, Yulnawati. 2008. Rasio Netrofil/Limfosit (N/L) sebagai indikator stres pada Owa Jawa (Hylobates moloch audebert 1797) di tempat penangkaran. The Indonesian Journal of Physiology

7(2):74-154.

(36)

25

Marai I.F.M, Haeeb A.A.M. 2010. Buffalo's Biological Functions As Affected By Heat Stress — A Review. Livestock Sci 127 (2010):89–109.

McCurnin DM, Bassert JM. 2006. Clinical Textbook for Veterinarians Technicians. Ed ke-6. Philadelphia (US): Elsevier Science.

Norris DO. 2010. Vertebrate Endocrinology. Ed ke-4. Philadelphia (US): Elsevier Science.

Philips C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. London (UK): Blackwell Scientific

Raskin RE. 2000. Erytrocytes, Leukocytes, and Platelets. Di dalam Stephen J Birchard, Robert G. Sherding, editor. Saunders Manual of Small Aninzal Prectice, Ed ke-2. Philadelphia (US): WB Saunders

Robbani A R, Jakaria Sumantri C. 2010. Karakteristik fenotipik kerbau rawa di kabupaten Bogor. ProsidingSeminar dan Lokakarya nasional kerbau 2010. Bogor, Indonesia.

Rohaeni E S, Handiwirawan E, Najib M. 2008. Kerbau Rawa, Alternatif Ternak Potong Mendukung Program Swasembada Daging di Kalimantan Selatan.

Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak Kerbau. Kalimantan Selatan.

Roth J. 2004. Bubalis bubalus [internet]. [diacu 2012 Juli 12]. Tersedia dari: http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Bubalus_ bubalis.html.

Smith JB, Soesanto M. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Pr.

Schalm OW. 2010. Veterinary Hematology. Ed ke-6. US: Blackwell Scientific. Sulong A, Hilmi M, Jainudeen MR. 1980. Haematology of the Malaysian swamp

buffalo (Bubalus bubalis). Pertanika 3(2):66-70.

Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology. Oxford (UK): Blackwell Scientific.

Sutedjo AY. 2006. Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Yogyakarta (ID): Amara Books.

Swenson MJ. 1997. Duke’s Physiology of Domestic Animal. Ed ke-10. London (UK): Cornell Univ Pr.

Tizard 1. 2000. Veterinary Immunology An Introduction. 6th edition. Philadelphia (US): WB Saunders.

Triwulanningsih, E. Subandriyo, P. Situmorang, T. Sugiarti, R.G. Sianturi, D.A, Kusumaningrum, I Gede Putu, P. Sitepu, T. Panggabean, P. Mahyudin,61 Zulbardi, S.B. Siregar, U. Kusnadi, C. Thalib, A. R. Siregar. 2004. Data base kerbau di Indonesia. Laporan Penelitian. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak

VanSteenhouse JL. 2006. Clinical pathology. Di dalam: McCurnin DM, Bassert JM. Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Ed ke-6. Philadelphia (US): Elsevier Science.

West G, Heard D, Caulkett N. 2007. Zoo Animal and Wildlife Immobilization and Anesthesia. US: Blackwell Scientific.

Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. US: Blackwell Scientific.

(37)

26

(38)

27

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Merangin pada tanggal 21 Januari 1990 dan merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Sarbini dan Siti Khayatun. Pada tahun 1997, penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 260/6 Rawa Jaya dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 23 Tabir Selatan dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan formal selanjutnya ditempuh di MA Wahid Hasyim Yogyakarta pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008.

(39)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berpenduduk terbanyak ketiga dengan kebutuhan gizi yang cukup tinggi. Pemerintah mencanangkan swasembada daging pada tahun 2014 dengan cara meningkatkan produksi ternak lokal untuk mencukupi kebutuhan gizi masyarakat. Kerbau lumpur merupakan ternak lokal yang dikembangkan secara tradisional. Kerbau merupakan salah satu alternatif sumber daging selain sapi seperti yang dilakukan di Kalimantan Selatan (Rohaeni

et al. 2008). Sumber daging di Indonesia banyak bersumber dari ternak sapi dengan populasi 13 633 000 ekor pada tahun 2010 (BPS 2011). Populasi kerbau dari tahun ke tahun mulai mengalami penurunan. Populasi kerbau pada tahun 2004 mencapai 2 403 298 ekor, dan pada tahun 2007 turun menjadi 2 085 779 ekor (Ditjenak 2008). Jumlah ternak kerbau pada tahun 2010 hanya mencapai 2 005 000 ekor (BPS 2011). Penurunan populasi ini dikarenakan manajemen reproduksi yang buruk, lahan yang semakin sempit, dan pemanfaatan hewan kerbau sebagai alat pembajak sawah sudah mulai menurun (Herianti & Pawarti 2010)

Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak yang dapat dibudidayakan dengan mudah dan memiliki potensi sebagai sumber protein hewani dalam rangka memenuhi swasembada daging 2014. Kerbau dapat memanfaatkan sumber pakan dengan kualiatas rendah seperti limbah jagung, limbah tebu, dan jerami, karena kerbau memiliki kemampuan mengkonversi pakan lebih baik dibandingkan sapi (Zakaria et al. 2003). Selain itu, kerbau memiliki daging dengan kandungan lemak jenuh lebih rendah dibandingkan dengan sapi dan babi, dan kandungan bahan kering dalam susu sebesar 18-23%, lebih besar dibandingkan dengan susu sapi yang hanya sebesar 13-16% (APCHA 2000).

Ternak kerbau di Indonesia, selain digunakan sebagai sumber protein hewani, juga dapat digunakan sebagai tenaga kerja, dan sebagai ternak yang banyak digunakan dalam upacara-upacara adat di beberapa daerah di Indonesia, misalnya di daerah Toraja, Sulawesi Selatan. Ternak yang secara genetik mudah beradaptasi terhadap kondisi lingkungan akan lebih produktif karena dapat dikembangkan dengan menggunakan biaya rendah, mendukung keanekaragaman pangan, pertanian, dan budaya, serta efektif dalam mencapai tujuan ketahanan pangan. Oleh karena itu kerbau merupakan ternak yang perlu ditingkatkan populasinya. Upaya meningkatkan populasi kerbau perlu dilakukan melalui pengembangan reproduksi dan manajemen ternak (APCHA 2000).

Proses transportasi kerbau yang kurang baik dapat mengakibatkan kerbau menderita stres, gangguan kesehatan dan kesejahteraan (Borell 2001). Stres transportasi akan berdampak pada pertumbuhan, penurunan berat badan dan produksi susu (Philips 2002). Stres juga mengakibatkan gangguan fisiologis pada sistem tubuh hewan, salah satu dampak fisiologis pada hewan yang mengalami stres adalah perubahan pada gambaran leukosit. Salah satu gambaran leukosit yang terlihat adalah peningkatan rasio neutrofil/limfosit (N/L) (Kannan et al.

(40)

2

domestik, regional, maupun internasional harus diperhatikan. Penanganan ternak saat transportasi pada umumnya akan mempengaruhi kondisi kesehatan ternak tersebut. Proses transportasi yang buruk dapat menimbulkan efek emosional dan efek fisik yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari apakah proses transportasi dan masa adaptasi berpengaruh terhadap gambaran sel darah putih dan rasio neutrofil/limfosit sebagai parameter tingkat stres pada ternak.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari jumlah leukosit total, diferensiasi leukosit, dan rasio neutrofil/limfosit (N/L) sebagai indikator stres pada kerbau lumpur (Bubalus bubalis) betina selama dua minggu masa adaptasi pasca transportasi.

Manfaat Penelitian

(41)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau Lumpur

Kerbau lumpur yang termasuk ke dalam spesies Bubalus bubalis, Genus

Bubalus, Subfamili Bovinae, Famili Bovidae, Subordo Ruminantia, Ordo Artiodactyla, Subkelas Theria, Kelas Mamalia, Filum Chordat, dan Kingdom Animalia (Roth 2004), merupakan hasil domestikasi dari kerbau Bubalus arnee

(Borghese & Mazzi 2005). Kerbau yang telah didomestikasi digolongkan atas

swamp buffaloes (kerbau lumpur) dan river buffaloes (kerbau sungai). Perbedaan diantara keduanya terletak pada jumlah kromosom. Kerbau lumpur memiliki jumlah kromosom 48 dan kerbau sungai memiliki jumlah kromosom 50 (Guimaraes et al. 1995).

Sebanyak 95% ternak kerbau di Indonesia merupakan kerbau lumpur dan sisanya 5% merupakan kerbau sungai. Secara umum kerbau memiliki karakteristik morfologi seperti bentuk tanduk melingkar ke belakang, warna kulit abu gelap, ubun-ubun dominan di bagian kepala, warna kaki putih, memiliki garis kalung ganda, dan kerbau betina mempunyai kecenderungan ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan kerbau jantan (Robbani et al. 2010). Kerbau memiliki tinggi tubuh 122 cm, panjang tubuh 144 cm, dan lingkar dada 178 cm (Triwulanningsih et al. 2004). Bobot tubuh kerbau liar jantan bisa mencapai 1200 kg, kerbau betina 800 kg (Roth 2004).

Gambar 1 Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) (Robbani et al. 2010).

Gambar

Gambar 1 Kerbau lumpur (Bubalus bubalis) (Robbani et al. 2010).
Table 1 Data biologis kerbau (Smith & Soesanto 1988)
Gambar 2  Skema Pengaruh stres terhadap sistem syaraf, endokrin dan sistem
Gambar 3  Pembentukan   leukosit di sumsum tulang dan organ limfoid
+7

Referensi

Dokumen terkait