• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara geografis, Provinsi Sulawesi Selatan berada pada 0o12‟-8o Lintang Selatan dan 116o48‟-122o36‟ Bujur Timur, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Timur. Batas Barat dan Timur berturut-turut adalah Selat Makassar dan Laut Flores. Luas wilayah Sulawesi Selatan meliputi 45.574,48 km2, memiliki 20 kabupaten dan 3 kota serta 263 kecamatan (Pemda Makassar, 2012). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Peta Provinsi Sulawesi Selatan

Empat etnis suku utama di Sulawesi Selatan meliputi Suku Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Bugis-Makassar menghuni Bagian Selatan dan Tengah wilayah, Pesisir Barat dan Timur Sulawesi Selatan. Suku Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Suku Mandar mendiami Pesisir Barat, bagian Utara dan Toraja mendiami daerah pegunungan di bagian Utara Sulawesi Selatan. Suku Bugis merupakan etnis dominan di Kabupaten Wajo dan etnis Makassar di Kabupaten Bulukumba.

Peran sektor-sektor tersebut dalam pembentukan PDRB atas dasar harga konstan berturut-turut dari tahun 2008 – 2010 adalah sektor industri memberikan sumbangan sebesar 8,34 persen, 8,12 persen, dan 8,11 persen. Industri Tekstil memiliki jumlah yang terbesar dengan unit usaha sebanyak 7.742. Hal ini menggambarkan bahwa hampir sebagian dari mata pencaharian penduduk memilih jenis usaha dalam bidang industri khususnya mengenai bahan sutera dan pembuatan kapal Phinisi. Hal ini disebabkan karena jenis mata pencaharian ini sudah merupakan jenis usaha yang turun temurun. Jenis Industri yang tersebar di Kabupaten Bulukumba masih dalam jenis industri rumah tangga dengan jumlah unit usaha sebanyak 422 unit (Lampiran 1-2 ).

Kabupaten Wajo cukup potensial sebagai daerah penghasil kerajinan sutera, memiliki cukup banyak jenis usaha sentra pertenunan Gedongan dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Di daerah ini terdapat sekitar 4.982 orang pengrajin gedongan dan 835 orang pengrajin ATBM dengan tenaga kerja 875 orang yang tersebar di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Wajo. Produksi sekitar 1.589.000 meter kain sutera pertahun. Untuk sentra pemintal benang sutera sebanyak 98 orang dengan tenaga kerja sebanyak 289 orang yang tersebar pada beberapa kecamatan di Kabupaten Wajo. Kepala keluarga yang bergerak di bidang penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 301 kepala keluarga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Gambaran lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan

No Uraian Sulawesi Selatan Ket.

Wajo Bulukumba 1 Secara geografis Posisi 30o39‟-40o16‟ LS dan 119o53‟-120o27‟ BT Posisi 119o58‟ 120o28‟ BT dan 05o20‟ 05o40‟ LS Peta Lamp. 3-4

2 Batasan Sebelah Utara : Kab. Luwu

dan Kab. Sidenreng Rappang, Sebelah Timur : Teluk Bone, Sebelah Selatan Kab. Bone dan Kab. Soppeng, Sebelah Barat : Kab. Soppeng dan Kab. Sidrap.

Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Sinjai, Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, Sebelah Selatan

berbatasan dengan Laut Flores. Sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Bantaeng.

3 Kecamatan Kec. Sabbangparu, Kec.

Tempe, Kec. Majauleng, Kec. Tanasitolo

Kec. Bonto bahari Peta

Lamp. 5-9

4 Desa Kel. Mattirotapparang, Kel.

Attakae, Pakkana, UjungE, Desa Tosora, Sompe

Desa Bira dan Desa Darubiah

Transek Lamp. 10- 15

5 Penduduk Penduduk tahun 2012

sebanyak 380.521 jiwa, dan terdiri dari penduduk laki– laki sebanyak 184.015 jiwa dan perempuan sebanyak 196.506 jiwa.

penduduk tahun 2012 sebanyak 395.268 jiwa yang terdiri dari 186.890 laki-laki dan 208.378 perempuan

Lamp. 16- 17

Di Kecamatan Tempe ada 16 desa/kelurahan yaitu Wiring Palennae, Sitampae, Attakae, Madudukkelleng, Siengkang, Paduppa, Pattirosompe, Cempalagi, Bulupabbulu, Lapongkoda, Teddaopu, Salomenraleng, Laelo, Watallipue, Tempe dan Mattirotappareng. Ada dua desa yang menjadi pusat produksi sutera yaitu Kelurahan Attakae dan Mattirotappareng. Di Kelurahan Mattirotappareng terdapat beberapa toko sutera dan pengusaha sutera serta pasar umum tempat dilakukan transaksi penjualan sutera. Banyak pengrajin ekonomi kreatif dari beberapa desa yang biasanya mengirimkan atau membawa kerajinan sutera pada toko, pasar dan pengusaha tersebut untuk dipasarkan hasil kerajinan sutera. Walaupun Kelurahan Mattirotappareng berada di Ibukota Kecamatan, tetapi masih terdengar sayup-sayup orang menenun sutera di daerah tersebut. (Lampiran 10 ).

Kelurahan Attakae merupakan lokasi pariwisata di Kecamatan Tempe tepatnya yaitu rumah adat Attakae. Perumahan adat Attakkae terdapat di pinggiran Danau Lampulung, Kelurahan Attakkae Kecamatan Tempe sekitar 3 km sebelah timur kota Sengkang. Pada tahun 1995 kawasan ini merupakan gambaran sebuah perkampungan Bugis dimana terdapat duplikat rumah tradisional yang dihimpun dari berbagai kecamatan sehingga kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksaan pameran, seminar dan antraksi budaya permainan rakyat. Jika akan menuju ke daerah kelurahan Attakae sepanjang jalan untuk menuju rumah adat Attakae sudah terdengar lentunan kayu pertanda pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera tengah beraktivitas melakukan pekerjaannya (Lampiran 11).

Kecamatan Tanasitolo khususnya di Desa Pakkana dan UjungE permintaan dari berbagai kecamatan setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa bahan sutera tumbuh dan berkembang di daerah ini. Oleh karena itu di Desa Pakkana Kecamatan Tanasitolo dijadikan sebagai sebuah perkampungan sutera. Sebagian besar warga desa ini adalah para peternak ulat sutera sekaligus pengrajin tenun sutera. Di desa ini bisa ditemui kebun-kebun murbei sebagai lahan tumbuh bagi ulat-ulat penghasil kepompong yang nantinya menjadi bahan baku utama „lippa sa‟bbe‟ setelah sebelumnya dipintal menjadi benang. Tak jarang kebun-kebun tersebut berada di bawah rumah-rumah kayu penduduk. Suara “Tenun Bola-Bola, demikian masyarakat setempat menyebut alat tenun mereka yang dioperasikan oleh para pengrajin bisa di dengarkan di hampir seluruh wilayah Kecamatan Tanasitolo (Lampiran 12).

Desa yang ada di Kecamatan Majauleng adalah Desa Tosora yang terletak sekitar 14 km di sebelah Timur Kota Sengkang. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor maupun mobil. Desa tosora adalah daerah bekas ibukota Kabupaten Wajo sekitar abad ke 17. Banyak peninggalan bersejarah dan kepurbakalaan yang terdapat di desa ini misalnya makam raja-raja Wajo, bekas gudang amunisi kerajaan (geddong) mesjid kuno yang dibangun pada tahun 1621. Di desa inilah pertama kali orang melakukan pekerjaan menenun sutera dengan alat gedongan hingga saat sekarang sudah menggunakan alat ATBM. Untuk usaha kerajinan rumah tangga di Desa Tosora sebanyak 200 unit dengan tenaga kerja 215 orang (Lampiran 13).

Desa Sompe berada di Kecamatan Sabbangparu, desa ini terdapat penanaman murbei hingga proses pembuatan kain sutera. Sejak dahulu menjadi obyek yang menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Kabupaten Wajo. Lokasi penanaman murbei terletak di Kecamatan Sabbangparu sekitar 10 Km dari

Kota Sengkang. Di tempat ini wisatawan dapat menyaksikan proses penanaman Murbei, pemeliharaan ulat sutera, proses pemintalan benang sutera, sampai pertenunan menjadi kain sutera (Lampiran 14).

Penduduk Desa Bira dan Darubiah merupakan bagian dari Suku Makassar dengan menggunakan dialek Konjo. Ditinjau dari sudut pendidikan umumnya pemuda-pemudi Desa Bira dan Darubiah memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah, sebab untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus ke ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten (Lampiran 15). Ketinggalan dalam hal fasilitas pendidikan ini boleh dikatakan sangat berpengaruh pada sektor lapangan kerja khususnya bagi yang putus sekolah sehingga dominan hanya dapat bekerja sebagai buruh kasar, nelayan, tukang kayu dan sebagian besar adalah pengrajin ekonomi kreatif. Khusus pada pekerjaan pengrajin ekonomi kreatif umumnya tersebar pada seluruh Desa Bira dan Desa Darubiah (transek) sehingga masyarakat atau pemuda-pemudi Bira dan Darubiah yang memiliki ketrampilan tersebut tidak hanya terbatas pada mereka yang putus sekolah tetapi sebahagian dari mereka yang berpendidikanpun juga dapat menenun. Hal ini disebabkan karena pengrajin ekonomi kreatif sudah menjadi pekerjaaan dan ketrampilan yang biasa dilakukan sebab pekerjaan orang tua mereka sejak dulu adalah pengrajin ekonomi kreatif. Sama halnya dengan Desa Darubiah rata-rata masyarakat tersebar pada beberapa dusun dengan tingkat mata pencaharian wanita adalah sebagai pengrajin ekonomi kreatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Denah lokasi pengrajin ekonomi kreatif di Desa Darubiah

Aspek Sosial Budaya Pengrajin Ekonomi Kreatif Kerajinan Sutera

Pada Klasifikasi Industri Kreatif Menurut United Nations Conference On Trade And Development (UNCTAD) menggolongkan kerajinan sutera termasuk dalam kategori heritage, karena memiliki ekspresi budaya tradisional. Kerajinan sutera ini merupakan kerajinan yang sudah diusahakan oleh masyarakat Kabupaten Wajo dan Bulukumba secara turun temurun.

Kebudayaan adalah sesuatu yang bersifat dinamis. Nilai sosial budaya membentuk suatu keyakinan yang menjadi pedoman dalam perjalanan hidup

manusia. Geertz (1981) kebudayaan merupakan pola dari pengertian dan makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis.

Menurut Pelras (2006) bahwa etnis Bugis Makassar selalu mendefenisikan diri mereka berdasarkan kerajaan-kerajaan Bugis yang pernah ada di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa, Luwu, Bone, Soppeng, Wajo dan Sidenreng. Kebudayaan Bugis Makassar menunjuk pada suatu tradisi yang hidup dibeberapa kabupaten di Sulawesi Selatan.

Terjadinya perubahan dalam kebudayaan Bugis disebabkan karena adanya kontak dengan kebudayaan dari luar seperti antara kebudayaan Bugis dengan bangsa-bangsa Eropa, Amerika, Asia dan Australia. Peran agen perubahan (agen

of change) sangat menentukan dalam proses perubahan kebudayaan. Agen

perubahan yang turut memberikan andil terjadinya perubahan pada kebudayaan Bugis yaitu ulama, pedagang, kerajaan (para raja-raja dan bangsawan) negara atau pemerintah, media dan mausia Bugis Makassar itu sendiri.

Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat beraneka ragam tenunan, hasil karya tenunan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan memiliki pengalaman historis serta penguasaan pengetahuan dan teknologi yang telah tumbuh dan berkembang. Aktivitas menenun menggunakan peralatan dari kayu

yaitu “Gedokan” orang Bugis menyebutnya “ Ewangeng Tennung “ dalam bahasa makassar disebut Pa”tanning. Proses menenun hingga kini tidak banyak mengalami perubahan kecuali pada bahan baku dan ragam hias yang berkembang. Jenis tenunan Bugis Makassar yang dikenal salah satunya berasal dari Bira Kabupaten Bulukumba yang disebut Gambara, selain itu dikenal pula Sutera Makassar. Daerah Pertenunan di Kabupaten Bulukumba hanya terdapat di salah satu kecamatan yakni kecamatan Bontohari yakni Desa Darubiah dan Desa Bira. Sama halnya dengan Kabupaten Wajo yang cukup terkenal dan mengharumkan nama kota sengkang adalah sarung sutera (Lipa‟sabbe to sengkang).

Kabupaten Wajo dan Bulukumba yang sejak dulu dikenal sebagai kota niaga karena masyarakat yang sangat piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup seperti pakaian, sepatu, tas, barang elektronik, kain sarung memiliki harga yang relatif murah jika dibandingkan didaerah lainnya sehingga tidak mengherankan jika menjadi salah satu kota dengan perputaran ekonomi yang sangat tinggi di Sulawesi Selatan. Disamping dikenal sebagai kota niaga, sarung sutera berdasarkan etnis Bugis dan Makassar sudah sedemikian dikenal bahkan hingga ke mancanegara.

Menengok ke masa yang lalu aktivitas masyarakat Wajo dan Bulukumba dalam mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga. Hampir di setiap kecamatan di daerah ini ditemukan kegiatan persuteraan dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir, kegiatan pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalan menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain sutera. Untuk lebih jelasnya tentang proses pembuatan kain sutera dapat dilihat pada (Lampiran 18).

Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan “Sabbe” dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedongan dan ATBM dengan corak motif yang diproduksi seperti Gambar 15.

Gambar 15 Corak kain sutera khas Bugis

Berbeda di Kabupaten Bulukumba memakai istilah “gambara” yang mengandung nilai dan makna penting. Gambara artinya gambar dengan arti kain tenun ini memiliki gambar-gambar dengan ragam hias/motif yang melambangkan simbol-simbol yang menggambarkan kehidupan masyarakat di Kabupaten Bulukumba khususnya Desa Bira dan Darubiah. Gambara ini memiliki nilai sesuai dengan peristiwa daur hidup manusia seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Pemakainya mengekspresikan suatu penghormatan bagi pelaku-pelaku upacara dan masyarakat yang terlibat. Untuk motif dan corak dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Corak kain sutera khas Makassar

Kegiatan pengrajin ekonomi kreatif merupakan kegiatan yang melekat pada sebahagian masyarakat Bugis dan Makassar. Hal ini bisa dipahami bahwa adanya kepercayaan masyarakat Bugis dan Makassar bahwa seorang perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa menenun (bisa menyelesaikan minimal satu lembar kain) maka ia sudah layak menikah. Kegiatan pengrajin ekonomi kreatif merupakan suatu bentuk ketrampilan perempuan Bugis-Makassar yang menjadi kebanggaan masyarakat Bugis-Makassar. Produksi tenunan Bugis Makassar memiliki kekhasan tersendiri dari segi warna, corak dan bahan bakunya.

Pada tahun 1965 perkembangan sutera di Kabupaten Wajo dimulai dari seorang tokoh perempuan yang juga seorang bangsawan “Ranreng Tua” Wajo yaitu memperkenalkan alat tenun baru dari Thailand dan mampu memproduksi sutera asli (semacam Thai Silk) dalam skala besar, beliau mendatangkan seorang ahli pertenunan dari Thailand untuk mengajarkan penggunaan alat tenun tersebut kepada masyarakat setempat sekaligus menularkan sebagai ilmu pertenunan sehingga mampu menghasilkan produksi sutera yang berkualitas tinggi. Berawal dari prakarsa inilah sehingga memacu ketekunan dan membuka wawasan

kreativitas masyarakat dan pengrajin yang lain untuk mengembangkan kegiatan persuteraan di Kabupaten Wajo.

Kahdar (2009) membagi tiga proses transformasi estetika kain tenun yaitu (1) Babak I (1400-1600) dikategorikan corak tidak bergambar, hanya berupa garis-garis vertikal (matetong) maupun horizontal (makkalu) atau sama sekali tidak memiliki gambar. Bahan baku yang digunakan adalah serat katun dengan menggunakan alat tenun gedongan (2) Babak II (1600-1900) dengan corak kotak- kotak (palekat) produk yang dihasilkan lebih baik dengan memadukan kotak- kotak dan garis-garis dengan hiasan benang emas dan perak. (3) Babak III (1900- sampai saat ini ) dengan corak desain yang bergambar bunga dan bintang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan ketrampilan pengrajin ekonomi kreatif.

Hal ini membuktikan bahwa etnis Bugis Makassar sangat dinamis dimana struktur tenun sudah mengenal struktur subbik (tenunan yang menyerupai hasil sulaman). Babak inilah yang terlihat perkembangan perubahan corak oleh pengrajin ekonomi kreatif.

Tahun 2007 industri pertenunan telah dikembangkan sebanyak 6.787 unit usaha, yang dapat menyerap tenaga kerja sekitar 19.544 orang dengan nilai investasi ± Rp. 8.176 M dan hasil produksi ± Rp. 34.432 M produksi tersebut menggunakan ATBM dan pertenunan Gedongan. Guna pengembangan lebih lanjut hasil sutera di Kabupaten Wajo maka dibutuhkan perhatian instansi terkait dalam penyediaan bahan baku dan investasi ATBM, Input Teknologi Finishing, Batik Sutra, Pasar Grosir/Mini Mall, Deversifikasi, dan perluasan areal tanaman murbey makanan ulat sutera.

Pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Kabupaten Wajo dan Bulukumba adalah bagian dari masyarakat yang bersifat terbuka dan dinamis senantiasa memiliki keinginan pribadi (self interest) untuk berkembang. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pengusaha yang menggunakan pengrajin ekonomi kreatif sebagai tenaga buruh. Namun disisi lain pengrajin ekonomi kreatif masih menggunakan tenaga kerja keluarga dan berproduksi atas dasar pesanan dari pembeli atau pedagang.

Basis etika moral orang Bugis Makassar pada umumnya memiliki nilai- nilai utama kebudayaan Bugis Makassar yang bertumpu pada budaya siri dan pesse, hal ini yang mendorong para pengusaha tenun untuk tetap membantu para pengrajin ekonomi kreatif yang kurang memiliki modal untuk tetap membuat sarung sutera. Sistem ekonomi tenun secara perlahan mulai berubah dari bentuk produksi yang bersifat kultural menjadi produksi yang bersifat ekonomis dalam jaringan kultur struktur sosial yang tergantung satu dengan yang lainnya. Produksi yang sebelumnya hanya untuk keluarga dan adat (produk kultural) kini mulai berubah menjadi kepentingan sosial dan ekonomi. Kegiatan menenun ini bagi masyarakat Bugis mampu memberikan keuntungan yang sedikit untuk membantu pendapatan keluarga. Kondisi ini menyebabkan kegiatan menenun bukan hanya sebagai mata pencaharian sampingan untuk membantu ekonomi keluarga tetapi sebagai mata pencaharian pokok yang bisa membantu keluarga.

Bertahannya budaya menenun oleh pengrajin ekonomi kreatif tidak terlepas dari kuatnya adat istiadat serta agama yang dianut sebagai falsafah hidup yang menjembatani zaman. Hasil kerajinan sutera yang dihasilkan oleh pengrajin ekonomi kreatif terlihat jelas pada tampilan hasil tenun. Corak dan warna merupakan bentuk yang menunjukkan identitas tertentu seperti tampilan

kebangsawan maupun umur dari si pemakai. Makin rumit corak menandakan tingkat kebangsawan, hal ini berkaitan dengan warna si pemakai, makin gelap warna kain sutera maka diperuntukkan yang berusia tua.

Dari uraian diatas nampak bahwa sistem ekonomi pada masyarakat Bugis Makassar menunjukkan bahwa kegiatan pengrajin ekonomi kreatif tidak hanya terkait masalah kepentingan individu tetapi dengan aspek agama, sosial dan budaya hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Sajogyo (2006) bahwa jika ingin memahami masyarakat Indonesia maka pahami sistem kebudayaannya.

Profil Persuteraan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba

Tanaman murbei (Morus, sp) adalah tanaman yang merupakan makanan utama ulat sutera sehingga keberadaannya mutlak dibutuhkan dalam kegiatan persuteraan alam dan pemeliharaan ulat sutera. Penanaman murbei yang sentra pengembangannya ditemui di Kecamatan Sabangparu hingga saat ini menempati luas lahan sekitar 240 hektar dengan menggunakan sistem penanaman berupa pertanaman murni, pertanaman tumpangsari dan tanaman pekarangan. Jika diasumsikan produksi 140 ton daun murbei per hektar maka lahan tanaman murbei di Kabupaten Wajo potensi produksinya bisa mencapai 33.600 ton daun murbei dan dapat memenuhi pemeliharaan 48.000 box telur ulat sutera. Adapun jenis spesies tanaman murbei yang dikembangkan meliputi : Morus nigra, Morus

cathayana, Morus alba, Morus multicaulis, Kanva dan S 54.

Tanaman murbei di Kabupaten Wajo untuk jangka waktu yang akan datang dibutuhkan pemikiran untuk dikembangkan bukan hanya terbatas sebagai bahan makanan ulat sutera tetapi lebih jauh lagi dilakukan diversifikasi penggunaannya sebagai tanaman biofarmaka atau campuran bahan kosmetik, karena berdasarkan penelitian yang ada menunjukkan bahwa murbei mengandung banyak bioaktif, daun mudanya dapat dibuat sayur sehat yang berkhasiat menurunkan tekanan darah tinggi, memperbanyak ASI, mempertajam penglihatan dan baik untuk pencernaan. Sedangkan buahnya bermanfaat untuk memperkuat ginjal, meningkatkan sirkulasi darah, mengatasi sembelit dan orang tiongkok percaya bahwa buah murbei dapat mempertajam pendengaran. Disamping itu kulit pohon murbei dapat diracik sebagai obat asma, muka bengkak dan batuk serta akan pohon murbei dapat direbus sebagai penawar demam.

Ulat sutera (Bombyx mori sp) merupakan sejenis ulat putih yang spesifik menghasilkan kokon untuk diolah menjadi benang sutera hingga ditenun menghasilkan kain sutera dengan tekstur yang halus, lembut dan memiliki estetika yang tinggi. Ulat sutera yang dikembangkan di Kabupaten Wajo umumnya berasal dari bibit telur ulat sutera F1 Jenis Bivoltine produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng dan bibit telur ulat sutera F1 yang diimpor dari China. Disamping itu inovasi masyarakat juga mengembangkan bibit dengan melakukan persilangan bibit ulat sutera F1 jenis Bivoltine dengan bibit ulat sutera jenis Polyvoltine. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera sangat dibutuhkan keuletan dan ketekunan terutama karena ulat sutera sangat peka dengan lingkungan dan hama seperti semut, tikus, burung maupun cecak bahkan jika penangannya tidak tepat ulat sutera dapat terserang penyakit Fibrine yang sangat merugikan. Oleh karena itu dalam pemeliharaan ulat sutera kebersihan desinfeksi dan kelembaban harus senantiasa dijaga agar menghasilkan kokon yang banyak dan berkualitas tinggi.

Kokon adalah produk hasil pemeliharaan ulat sutera. Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera dapat dilihat dari jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan. Hingga saat ini produksi kokon yang mampu dihasilkan oleh pemelihara ulat sutera di Kabupaten Wajo berkisar dari 18-40 kg per box atau sekitar 416.771 kg kokon pertahun. Namun tantangan yang masih terjadi adalah mutu produk hasil kokon yang ada masih tergolong rendah dan berdampak pada rendahnya harga jualnya sehingga berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pemelihara ulat sutera. Walaupun demikian hampir semua produk hasil tersebut masih terserap oleh pasar disebabkan karena tingginya permintaan pasar. Oleh karena itu input teknologi yang lebih maju dan pengembangan kapasitas petani dan kelembagaannya perlu mendapat perhatian demi meningkatkan produksi dan kualitas kokon yang dihasilkan di masa yang akan datang.

Usaha pemintalan sutera di Kabupaten Wajo berkembang dalam beberapa tingkatan bila dilihat dari operasionalnya yaitu menggunakan alat reeling dengan sistem manual, semi mekanis dan semi otomatis. Setidaknya terdapat 91 orang pengusaha yang menggeluti usaha ini dengan memperkerjakan 822 orang tenaga kerja. Dengan menggunakan alat mesin pemintal sebanyak 274 unit mereka mampu menghasilkan benang sutera mentah belum siap tenun sebanyak 6.389 kg per tahun dan selanjutnya benang sutera tersebut harus melalui proses penggintiran (twisting) lagi untuk mendapatkan benang sutera twist tenun. Kondisi inilah yang memberikan pilihan kepada pengusaha pertenunan sutera untuk menggunakan benang sutera dari daerah lain seperti dari Kabupaten Enrekang, Kabupaten Minahasa bahkan menggunakan benang sutera import yang sudah ada walaupun dengan harga yang lebih mahal demi memenuhi tuntutan kualitas permintaan pangsa pasar yang ada.

Memperhatikan kondisi industri pemintalan sutera ini pemerintah daerah Kabupaten Wajo merespon dengan mendatangkan peralatan laboratorium satu