• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri memiliki peran yang sangat besar terutama dalam rangka transformasi struktur perekonomian dan dominasi sektor pertanian ke industri adalah merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan yang mengacu pada keberlanjutan aktivitas manusia dan pemanfaatan sumberdaya.

Menurut WCED (Munasinghe, 1993) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan generasi mendatang dan memperhatikan kebutuhannya dapatlah dikatakan bahwa konsep ini adalah konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini mencakup tiga perspektif utama yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Ekonomi mengarah pada peningkatan kesejahteraan manusia terutama peningkatan konsumsi barang dan jasa. Domain lingkungan memfokuskan pada perlindungan dari integritas dan daya lenting sistem ekologis. Domain sosial menekankan pada pengayaan hubungan antara manusia, pencapaian aspirasi kelompok dan individu serta memperkuat institusi dan nilai-nilai sosial (Munasinghe, 2010).

Pembangunan dalam kerangka berkelanjutan digambarkan sebagai proses untuk meningkatkan kesempatan manusia secara individu dan komunitas untuk mencapai aspirasinya dan seluruh potensinya dalam periode waktu yang mendukung dengan menjaga daya lenting (reseliensi) dari sistem ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam pembangunan berkelanjutan terjadi proses perubahan yang didalamnya terdapat upaya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan dalam keadaan selaras serta berupaya meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Munasinghe, 2010).

Paradigma pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang sehingga defenisi keberkelanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas. Keberlanjutan ekonomi mencari untuk memaksimunkan aliran pendapatan yang dapat dibangkitkan dengan upaya sedikitnya dalam menjaga keberadaan asset (kapital) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari sistem alami. Keberlanjutan sosial dan kelembagaan umumnya merujuk pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial. Untuk keberlanjutan perilaku, masyarakat memiliki sikap perilaku yang menginginkan bahwa usahanya dapat berkelanjutan, mereka hanya harus bersifat inovatif terhadap efektifitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya, masyarakat akan membutuhkan mekanisme keterjaminan usaha dengan mengelola resiko dan memanfaatkan inovasi.

Hal sama dikemukakan oleh Haber dan Reichel (2006) bahwa peluang usaha bisa tetap berkelanjutan jika berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan hidup dan meningkatkan pendapatan keluarga. Maka dari itu konsep usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi secara terus menerus dan

mampu menjual produknya ke pasar secara kontinyu. Keberlanjutan usaha dapat dicapai pada pengrajin sutera melalui usaha ekonomi kreatif jika memiliki kiat- kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Dalam penelitian ini usaha diartikan sebagai sikap proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen pada masa yang akan datang.

Pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan kerajinan sutera hendaknya didasarkan pada kriteria pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan suatu alat analisis, yang mampu melakukan penilaian dan menjadi panduan bagi pemegang kebijakan atau stakeholder terkait. Kerangka penilaian berkelanjutan adalah salah satu alat untuk melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan suatu aktivitas. Kerangka ini disusun berdasarkan paradigma pembangunan berkelanjutan dalam KTT Bumi di Rio Jenero tahun 1992.

Novita (2012); Tunstall (1992,1994); Syers et al. (1995); Cuoghlan (1996) dan Gallopin (1977), mengemukakan indikator berkelanjutan berfungsi untuk (a) menilai suatu kondisi dan perubahan, (b) membandingan antara tempat dan situasi, (c) menilai kondisi dan trend yang terkait dengan tujuan dan target, (d) menyediakan informasi lebih dini, dan (e) mengantisipasi kondisi dan trend di masa mendatang.

Faktor keberlanjutan secara operasional memiliki dimensi yang luas, untuk penelitian ini keberlanjutan ekonomi yang dimaksudkan adalah mencari untuk memaksimunkan pendapatan dengan upaya menjaga keberadaan asset (kapita) yang menghasilkan output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan yang dimaksudkan yakni menitikberatkan pada kelangsungan hidup menyeluruh dan fungsi dari sistem alami. Keberlanjutan sosial dan kelembagaan dimaksudkan pada perbaikan keberadaan manusia dan seluruh kesejahteraan sosial yang yang menghasilkan peningkatan dalam kapital sosial. Keberlanjutan perilaku yang dimaksudkan adalah memiliki sikap perilaku yang bersifat inovatif terhadap efektivitas dan efisiensi usahanya dan bertanggung jawab terhadap masa depannya, dengan membutuhkan mekanisme mengelola risiko dan memanfaatkan sumberdaya lokal.

Konsep Ekonomi Kreatif berkembang di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis sumber daya alam sekarang menjadi berbasis sumber daya manusia, dari era pertanian ke era industri dan informasi (Tim Design Indonesia, 2008).

Perkembangan sutera di Provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki kendala sehingga tingkat keberlanjutan sentra industri sutera dari permintaan pasar belum mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data Dinas Kehutanan tentang perkembangan sutera alam Sulawesi Selatan terjadi penurunan jumlah bibit telur dari 8.491 boks pada tahun 2008 menjadi 4.183 pada tahun 2009. Penyebab utama anjloknya produksi sutera alam Sulawesi Selatan karena adanya gangguan penyakit seperti virus dan bakteri. Produksi benang sutera alam Sulawesi Selatan mengalami penurunan drastis. Pada tahun 2008 SulSel masih mampu menghasilkan 36,7 ton. Jumlah itu lebih tinggi dari produksi tahun 2009

yang mencapai 15,8 ton, sedangkan pada tahun 2010 menunjukan produks benang sutera di Sulawesi Selatan hanya mencapai 14,9 ton (Dinas Kehutanan, 2011).

Salah satu alasan kerajinan sutera tumbuh dan berkembang di daerah ini mengingat peminat kain sutera bukan hanya di kalangan wanita tetapi kalangan pria pun gemar menggunakan bahan sutera. Terlebih pada setiap perhelatan acara- acara adat, baik acara pengantin maupun pesta adat lainnya masih didominasi oleh bahan sutera, sehingga tak heran jika permintaan pasar sangat tinggi meskipun harga bahan baku sutera cukup tinggi.

Masalah Penelitian

Kenyataan yang ada bahwa pengrajin ekonomi kreatif memiliki variasi produk dengan corak yang tradisional dengan kreativitas khas budaya. Permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas dan inovasi produk yang tinggi (Tim Brown, 2008). Hal ini terkait pula dengan rendahnya kapasitas perencanaan dan rendahnya kepihakan pada lingkungan. Maka dari itu secara khusus permasalahan penelitian adalah :

(1) Bagaimana tingkat keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan ?

(2) Faktor-faktor pengungkit apakah yang mempengaruhi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif ?

Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

(1) Untuk menganalisis keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.

(2) Untuk menganalisis faktor-faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif.

METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir

Kerajinan sutera memiliki peran yang cukup penting dalam menunjang perekonomian agroindustri. Ekonomi kreatif akan berkembang apabila kegiatan pengembangan persuteraan dimulai dari hulu hingga hilir. Tantangan industri hilir sangat membutuhkan produksi benang yang lebih baik untuk pertenunan benang kain sutera sedangkan industri hulu juga membutuhkan sentuhan teknologi untuk memenuhi permintaan global yang tinggi dan sesuai dengan keinginan konsumen. Kegiatan pengembangan persuteraan industri hulu meliputi persuteraan alam dengan penanaman tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera (Bombyx mori, sp), dan produksi kokon. Industri hilir meliputi pemintalan benang sutera, pertenunan kain sutera, hingga pengembangan diversifikasi produk.

Dalam pengembangan ekonomi kreatif dipaparkan bahwa dalam Teori Hirarki Kebutuhan Maslow dinyatakan bahwa saat manusia telah berhasil melampaui tingkat kebutuhan-kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik (physical needs) serta kebutuhan atas keamanan (security/safety needs), maka manusia

akan berusaha mencari kebutuhan-kebutuhannya pada tingkat yang lebih lanjut yaitu kebutuhan bersosialisasi (social needs), rasa percaya diri (esteem needs) dan aktualisasi diri (self actualization). Maka dari itu hal yang perlu diperlakukan adalah memperbaiki posisi usaha ekonomi kreatif dengan memilih usaha yang tidak sesaat (Pangestu, 2008).

Pengrajin dan pengusaha merupakan kewirausahaan yang bergaya hidup (lifestyle entrepeneur) usahanya dikelola secara kekeluargaan, kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa rata-rata pengrajin dan pengusaha kurang dapat memanfaatkan kemajuan usahanya untuk mengarahkan ke usaha ekonomi kreatif dan peningkatan daya saing produk (Hubeis, (1997); Getz dan Peterson, (2005)).

Upaya keberlanjutan ekonomi kreatif memperlihatkan bahwa peningkatan kebutuhan pengrajin sutera sangat penting untuk mendorong kesejahteraan. Dalam konteks perkembangan berkelanjutan diartikan sebagai proses pembelajaran. Tujuannya untuk memberikan kekuatan kepada pengrajin ekonomi kreatif agar memiliki kesadaran dan rasa percaya diri dalam menjalani kehidupannya, mampu memecahkan masalah dan mengambil keputusan untuk bekerjasama, membina hubungan lingkungan usaha dan sosial sehingga mampu mengakses sumber daya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang.

Proses berkelanjutan diharapkan dapat berkembang lebih jauh dengan pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga pengrajin ekonomi kreatif mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan berfungsi serta mampu melakukan kegiatan pembangunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Alur berpikir proses penelitian keberlanjutan ekonomi kreatif Faktor pendukung tidak langsung usaha pengrajin ekonomi kreatif Pelaku pemberdayaan Kelembagaan sosial Kebijakan pemerintah Pendekatan pemberdayaan Daya Saing Faktor pendukung langsung usaha pengrajin ekonomi kreatif Perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif Keberlanjutan usaha ekonomi kreatif Karakteristik Pengrajin ekonomi kreatif

Hipotesis penelitian

Faktor keberlanjutan pengrajin ekonomi kreatif dipengaruhi profil pengrajin sutera, faktor pendukung langsung dan tidak langsung, peran pelaku pemberdayaan, kelembagaan sosial, perilaku kewirausahaan serta analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif berdasarkan pada dimensi sosial, lingkungan, kelembagaan, ekonomi dan perilaku kewirausahaan ekonomi kreatif.

Analisa Data

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Wajo dan Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan daerah pengembangan usaha ekonomi kreatif kerajinan sutera. Ada delapan desa yang mewakili lima kecamatan dari dua kabupaten. Desa-desa tersebut adalah Attakae, Mattirotappareng, UjungE, Pakkana, Tosora dan Sompe yang terletak di Kabupaten Wajo dan Desa Darubiah dan Desa Bira di Kabupaten Bulukumba. Pengumpulan data berlangsung dari bulan Januari hingga April 2012.

Penelitian ini dilakukan terhadap semua pengrajin ekonomi kreatif sebagai pelaku utama ekonomi kreatif. Alasan dipilihnya pengrajin ekonomi kreatif untuk daerah Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba adalah (1) memiliki perkembangan desain berciri khas budaya, dan (2) menghasilkan produk dari seluruh usaha ekonomi kreatif yang bercirikan etnis Bugis dan etnis Makassar.

Populasi penelitian adalah pengrajin ekonomi kreatif di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Bulukumba berjumlah 300 orang yakni seluruh pengrajin ekonomi kreatif yang masih rutin mengusahakan kerajinan sutera yang bercirikan etnis Bugis dan makassar di delapan desa. Jumlah populasi adalah 190 orang untuk Kabupaten Wajo dan 110 orang untuk Kabupaten Bulukumba. Sampel ditentukan dengan menggunakan formulasi Slovin (Umar, 2002) dengan derajat kesalahan 5%. sebagai berikut : N n = 1 + N (e)2 Keterangan : n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran sebesar 5 %

Berdasarkan rumus Slovin tersebut pengrajin ekonomi kreatif yang menggunakan alat ATBM dapat dilihat pada matriks kerangka sampel disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kerangka Sampel Penelitian

Kabupaten Jumlah Populasi

(orang) Jumlah Sampel (orang)

Wajo Bulukumba 190 110 129 86 Total 300 215

Penentuan sampel berdasarkan wilayah dilakukan dengan menggunakan teknik cluster random sampling yang berdasarkan wilayah Timur dan Selatan dengan Kabupaten Wajo dengan jumlah sampel sebanyak 129 orang pengrajin ekonomi kreatif dan Kabupaten Bulukumba sebanyak 86 orang. Unit-unit analisis populasi digolongkan ke dalam desa-desa (clusters) yang diambil secara acak dan menjadi satuan asal sampel yang akan diambil (Singarimbun, 1989).

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari hasil survei, wawancara, indepth interview, kuesioner dan hasil pengamatan. Adapun data sekunder berasal dari instansi yang terkait. Analisis keberlanjutan usaha ekonomi kreatif pengrajin dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan “Rap-

UEK” (Rapid Appraisal-Usaha Ekonomi Kreatif) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assesment Tehnique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh dan Pitvher 2001, Fauzi dan Anna, 2002).

Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi terhadap setiap dimensi dan multidimensi keberlanjutan pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan studi literatur dan diskusi dengan pakar (indepth interview) dapat ditentukan variabel atau indikator berkelanjutan yang meliputi dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan serta perilaku. Penentuan indikator berkelanjutan usaha didasarkan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai kerangka penilaian berkelanjutan (Budiharsono, 2002). Indikator keberlanjutan yang telah ditetapkan menjadi ukuran penilaian berkelanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif. Langkah-langkah analisis data meliputi tahapan sebagai berikut : (1) Penentuan indikator keberlanjutan berdasarkan analisis kualitatif

interpretatif dengan pemangku kepentingan (stakeholder).

(2) Melakukan penilaian keberlanjutan sesuai indikator berdasarkan diskusi dengan pengrajin ekonomi kreatif, survei lapangan dan studi literatur. (3) Analisis keberlanjutan menggunakan metode Multi-Dimensional Scalling

(MDS) dan analisis Monte Carlo yang terintegrasi dalam modifikasi softwarae Rapfish menjadi RAP-UEK (usaha ekonomi kreatif).

MDS dapat digunakan untuk membangun sebuah “peta” yang

menunjukkan hubungan antara sejumlah objek berdasarkan tabel jarak antara objek. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduce space) (Budiharsono, 2008). Simulasi Monte Carlo menunjukkan indikasi variabilitas dari penilaian yang dilakukan sehingga simulasi monte carlo dapat menunjukkan keandalan analisis.

Berdasarkan studi literatur dan penilaian di lapangan, konsultasi pakar dan pengrajin maka dapat disusun indikator penilaian keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Indikator penilaian keberlanjutan disusun dalam 5 dimensi (ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan serta perilaku) yang masing-masing memiliki peringkat nilai sebagai dasar Kerangka Penilaian Keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 19 – 28.

Gambar 18 Prinsip analisis MDS menggunakan modifikasi software Rap UEK Penentuan atribut pada setiap dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan kelembagaan dan perilaku diberikan skor yang mencerminkan kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapang dan data sekunder. Rentang skor berkisar 1-4 tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari tidak baik sampai sangat baik. Nilai tidak baik mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pemberdayaan pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera secara berkelanjutan sebaliknya nilai sangat baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan.

Skala indeks keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera mempunyai selang 0-100%. Dalam studi ini disusun empat kategori status keberlanjutan antara lain : (1) nilai indeks 0,00-25,00 status keberlanjutan buruk (tidak baik); (2) nilai indeks 25,01–50,00 status keberlanjutan kurang; (3) nilai indeks 51,01–75,00 status keberlanjutan cukup dan (4) nilai indeks 75,01–100,00 status keberlanjutan baik seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kategori status berkelanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera berdasarkan indeks hasil analisis Rap-UEK.

Indeks Kategori Status keberlanjutan

00,00 – 25.00 Tidak baik (buruk) Tidak berkelanjutan

25,01 – 50,00 Kurang Kurang berkelanjutan

51,01 – 75,00 Cukup Cukup berkelanjutan

75,01 – 100,00 Baik Berkelanjutan

Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan

Mulai

Penentuan atribut

(meliputi berbagai kategori ) Kondisi kawasan saat ini

Skoring kawasan

(mengkontsruksi angka referensi untuk good, bad dan anchor)

Multidimensional Scalling Ordination (untuk setiap atribut)

Analisis Keberlanjutan Simulasi Monte Carlo

(analisa ketidakpastian )

Leveraging Factor (analisis anomaly)

sutera maka digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2001), analisis Monte Carlo berguna untuk mempelajari hal-hal sebagai berikut : (a) Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.

(b) Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda.

(c) Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi).

(d) Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data). (e) Tingginya nilai “stress” hasil analisis Rap-UEK (nilai stress dapat diterima

jika <25 %).

Melalui MDS posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi, yaitu sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Sumbu horizontal menunjukkan perbedaan sistem yang dikaji dalam ordinasi “buruk (tidak baik) “

(0%) sampai “baik” (100%) untuk setiap dimensi yang dianalisis. Sumbu vertikal menunjukkan perbedaan dari campuran skor atribut di antara sistem yang dikaji. Analisis menghasilkan suatu nilai dimana nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan sistem yang dikaji. Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi-dimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan usaha pengrajin ekonomi kreatif kerajinan sutera yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik tidak baik (bad). Untuk membuahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 19.

Buruk (tidak baik) baik 0 % 100 % Gambar 19 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan pemberdayaan pelaku usaha ekonomi kreatif kerajinan sutera pada skala 0 -100 %

Analisis ordinasi ini dapat juga digunakan untuk menganalisis seberapa jauh status keberlanjutan untuk masing-masing dimensi yang digambarkan dalam diagaram layang-layang (kite diagram). Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti tertera pada Gambar 20.