Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
Hasil hutan bukan kayu merupakan sumber daya hutan yang berperan penting untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan, terutama pada kawasan hutan lindung. Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi merupakan Desa yang bersinggungan langsung dengan Hutan Lindung Sikulaping dimana masyarakat memilih usaha lebah madu sebagai salah satu alternatif hasil hutan bukan kayu untuk meningkatkan pendapatan tanpa merusak hutan. Sisak et al.
(2016) menyatakan bahwa paradigma pemanfaatan hasil hutan yang hanya berfokus pada kayu secara perlahan berubah kearah pemanfaatan hasil hutan lainnya, yaitu HHBK dan jasa ekosistem hutan.
Berdasarkan hasil lapangan yang didapatkan pada saat penelitian di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, masyarakat memilih jenis lebah madu Apis cerana karena mudah beradaptasi dengan lingkungan. Masyarakat hanya mengambil hasil lebah berupa madu untuk langsung dijual. Masyarakat belum memproduksi produk lebah madu lain seperti propolis, royal jelly (bee milk), serbuk sari, lilin lebah, roti lebah serta racun lebah karena masyarakat cenderung memilih produk yang sederhana, memiliki biaya produksi yang rendah dan mudah dijual agar mendapatkan penghasilan dengan cepat untuk biaya sehari-hari ataupun untuk biaya pemeliharan sarang lebah kedepannya. Selain itu, kurangnya ilmu pengetahuan masyarakat mengenai cara memproduksi produk lebah lain selain madu juga menjadi alasan mengapa petani madu hanya menjual madu saja.
Gambar 8. Sarang Apis cerana
21
Terlihat dari Gambar 8. bahwa keadaan sarang yang dipanen tidak sepenuhnya mengandung madu, madu hanya terdapat di bagian pinggir sarang yang menempel pada sisir bingkai. Sarang lebah madu pada Gambar 8. memiliki tekstur keras dan berwarna gelap dikarenakan sarang lebah madu dipanen pada saat sarang sudah tua. Kondisi sarang ini yang menyebabkan petani madu belum bisa menjual produk lebah madu selain madu. Serangan hama atau jamur juga menjadi permasalahan yang dialami petani lebah madu. Serangan hama dan jamur disebabkan karena kurangnya perawatan sarang lebah madu. Untuk mencegah terserangnya sarang lebah madu dari hama dan jamur maka diperlukan pengecekan dan pembersihan media sarang secara rutin. Untuk mengatasi media sarang yang lembab maka dapat dilakukan perbaikan ventilasi udara pada media sarang. Hapsari et al. (2018) menjelaskan pemeliharaan dilakukan dengan pengontrolan sarang lebah madu meliputi menyingkirkan lebah dari sisiran sarang abnormal serta menjaga kebersihan stup.
Madu yang dijual oleh petani madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi hanya berupa madu murni tanpa ada pemberian nilai tambah seperti pengolahan madu menjadi produk olahan yang lain. Penjualan madu hanya melalui petani madu langsung ke konsumen karena jumlah madu yang dihasilkan oleh petani madu belum dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkelanjutan. Sistem pembayaran yang dilakukan juga masih secara cash karena konsumen yang membeli madu juga merupakan warga Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi itu sendiri ataupun masyarakat Pakpak Bharat saja. Hal ini menyatakan bahwa madu yang berasal dari Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi belum dikenal oleh masyarakat luas dan masih dalam proses pengembangan.
Sistem pengambilan madu yang diterapkan oleh petani madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi masih secara tradisional, penirisan madu dari sarang juga masih manual atau belum menggunakan mesin. Kualitas madu sangat ditentukan dari cara meniriskan madu. Pemerasan madu bisa menyebabkan kualitas madu menurun karena madu yang dihasilkan tidak murni akibat bercampur dengan pollen, cairan yang berasal dari telur lebah dan juga komponen sarang lebah madu yang lain, pemerasan sarang lebah madu juga dapat mengurangi waktu simpan dari madu. Petani madu meniriskan madu dengan cara menyayat sarang lebah madu
22
yang telah dipanen dengan pisau dan membiarkan madu keluar sendirinya ke dalam wadah penampung atau biasa mereka sebut dengan dianginkan.
Madu yang dihasilkan oleh Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi biasanya langsung dikemas kedalam botol dan langsung habis terjual, tetapi jika madu belum habis terjual biasanya disimpan di suhu ruang dan bisa awet selama 1 tahun.
Wulandari (2017) menyimpulkan bahwa menyimpan madu pada suhu dingin lebih baik dibanding pada suhu ruangan, ini dikarenakan pada suhu ruang tingkat kelembabannya lebih tinggi sehingga menjadikan madu lebih mudah menyerap air.
Kadar air maksimal yang ditetapkan sebagai kriteria mutu madu berdasarkan Standar Nasional Indonesia atau SNI (2004) adalah 22%. Kadar air tinggi menyebabkan fermentasi terjadi lebih mudah, namun dengan suhu udara yang cenderung dingin di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi menyebabkan penyimpanan madu di suhu ruang bisa lebih lama.
Pemanenan madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi dilakukan secara individu oleh setiap petani madu. Harga jual madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi sama yakni Rp180.000/600 ml berdasarkan kesepakatan bersama antara petani madu. Petani madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi termasuk pemula dalam membudidayakan madu yakni berkisar 1 sampai 5 tahun. Budidaya lebah madu di desa Aornakan I dan Kuta Tinggi sudah dimulai sejak 2017 dengan sumber modal usaha berasal dari penghasilan sendiri tanpa ada pinjaman ataupun bantuan dari pihak lain.
Madu yang dijual merupakan madu poliflora yakni madu yang dihasilkan dari nektar beberapa jenis bunga. Jenis bunga yang dikonsumsi lebah madu tergantung pada musim bunga dari tanaman petani seperti jagung, kopi, padi dan lain-lain ataupun musim bunga tumbuhan dan pohon yang berada di hutan seperti kaliandra, durian, aren dan lain-lain. Setiawan (2017) mengungkapkan sebagian besar tumbuhan yang menghasilkan bunga dapat dijadikan sumber makanan baik dari tanaman hutan, perkebunan ataupun pertanian. Keanekaragaman jenis bunga dari tanaman dan pepohonan yang dikonsumsi lebah madu menghasilkan rasa, warna dan aroma madu yang berbeda-beda. Cita rasa madu yang berbeda-beda ini tentunya dapat menjadi ciri khas yang membedakan madu dari satu tempat dengan tempat yang lain.
23
Produktivitas Media Sarang Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
Secara ekonomis, produktivitas menggambarkan suatu perbandingan antara pengeluaran dan pemasukan suatu kegiatan (Rutkauskas dan Paulaviciene, 2005).
Produktivitas madu merupakan banyaknya madu yang diproduksi pada setiap media sarang. Dalam satu media sarang terdapat satu koloni lebah madu yang berisikan ratu lebah, lebah jantan dan lebah pekerja. Produktivitas usaha lebah madu per media sarang di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat dapat dilihat pada Tabel 2. dan Tabel 3.
Tabel 2. Produktivitas Madu Per Media Sarang di Desa Aornakan I dalam Setahun No. Nama Responden Media
Tabel 3. Produktivitas Madu Per Media Sarang di Desa Kuta Tiggi dalam Setahun No. Nama Responden Media Sarang
(Stup)
24 sedangakan produktivitas madu pada Desa Kuta Tinggi sebanyak 3,85 botol atau 2,57 kg per media sarang dalam setahun. Hal ini menjelaskan bahwa produktivitas usaha lebah madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat tidak terlalu tinggi jika dilihat dari pernyataan Suranto (2007) yang menyatakan bahwa lebah madu Apis cerana dapat menghasilkan madu sebanyak 3,5 kg per koloni per tahun. Rendahnya produktivitas usaha lebah madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi disebabkan karna beberapa faktor yakni besarnya jumlah koloni, jarak antar media sarang dan keterampilan petani dalam memelihara lebah madu (Lamusa, 2010).
Gabar 9. Koloni Lebah pada Gambar 10. Jarak Antar
Media Sarang Media Sarang
Pada Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, tidak ada perbedaan jumlah madu yang dihasilkan dari media sarang baik stup dan glodokan, hanya saja pemeliharaan stup lebih mudah karna dapat dilakukan pengecekan sedangkan jika menggunakan media sarang glodokan pengecekan sulit dilakukan. Perbedaan produktivitas usaha lebah madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi dipengaruhi oleh frekuensi pengambilan. Frekuensi pengambilan dipengaruhi oleh jumlah madu di dalam
25
media sarang. Biasanya produksi madu terbanyak dihasilkan pada bulan Mei hingga Juli dikarenakan masa pembungaan sumber nektar lebah madu seperti kopi dan padi terjadi pada bulan tersebut. Seperti yang disampaikan Saepudin et al. (2011) bahwa puncak pembungaan kopi di Indonesia terjadi pada bulan Juli dan Khairullah (2019) yang menyatakan bahwa di Indonesia, panjang hari terpendek terjadi pada bulan Juni, sehingga padi berbunga pada bulan tersebut. Hasil madu paling sedikit biasanya terjadi pada bulan November sampai Januari.
Jumlah lebah madu dalam satu koloni juga mempengaruhi jumlah madu yang dihasilkan. Jumlah lebah madu yang sedikit dalam satu koloni biasanya disebabkan karena perpecahan koloni akibat lahirnya ratu baru dalam sarang sehingga ratu lama terusir dan membuat sarang baru dengan membawa sebagian anggota koloninya. Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah perpecahan koloni seperti ini adalah dengan memusnahkan calon ratu sebelum menetas sehingga diperlukan pengecekan media sarang secara rutin pada saat mendekati masa panen.
Nilai Ekonomi Madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
Untuk menentukan nilai ekonomi, maka diperlukan data hasil madu dari media sarang di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi yang dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik Hasil Madu dari Media Sarang oleh Masyarakat di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat per Tahun Pada Gambar 11. dapat dilihat bahwa Desa Aornakan I menghasilkan 100 botol/600ml madu per tahun dan Desa Kuta Tinggi menghasilkan 1161 botol/600 ml madu per tahun dengan harga jual yang sama yakni Rp180.000/600 ml. Pada
1161
10032 8 97 198
Jumlah
26
Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, madu yang dihasilkan dari satu media sarang terbanyak adalah 1,5 botol atau 900 ml sedangkan madu yang dihasilkan dari satu media sarang yang paling sedikit adalah 0,5 botol atau 300 ml (Lampiran 3).
Pada Desa Aornakan I terdapat 6 orang petani madu sedangkan pada Desa Kuta Tinggi terdapat 19 orang petani madu dengan media sarang yang dimiliki petani madu di Desa Aornakan I yakni 32 stup dan 8 glodokan sedangkan di Desa Kuta Tinggi terdapat 97 stup dan 198 glodokan. Media sarang glodokan dan stup di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi dapat dilihat pada Gambar 12.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 12. Media sarang lebah madu: (a) Glodokan di Desa Aornakan I, (b) Stup di Desa Aornakan I, (c) Glodokan di Desa Kuta Tinggi dan (d) Stup di Desa Kuta Tinggi
Mayoritas petani madu di Desa Aornakan I menggunakan media sarang berupa stup sedangkan di Desa Kuta Tinggi menggunakan media sarang berupa glodokan. Hapsari et al. (2018) menjelaskan bahwa penggunaan stup dapat mempermudah pengecekan kondisi koloni sehingga kebersihan kotak, keberadaan ratu, ketersediaan pakan dan keberadaan hama penyakit lebah dapat terkontrol.
Sedangkan penggunaan media sarang glodokan menurut Situmorang dan Aam
27
(20014) lebih sulit untuk dicek dan dipanen karena sarang lebah tidak dapat dipisahkan dari dinding kayu dan tutup glodokan. Penggunaan glodokan lebih murah dibandingkan stup sehingga lebih ekonomis jika diproduksi dalam skala besar, seperti pernyataan Sari et al. (2014) bahwa biaya pembuatan stup yang dikeluarkan relatif mahal dan sulit dibandingkan dengan glodok, dimana pada Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi biaya pembuatan glodokan yakni Rp200.000 sedangkan biaya pembuatan stup yakni Rp220.000. Stup maupun glodokan memiliki umur pemakaian yang sama yakni 5 tahun.
Petani madu di Desa Kuta Tinggi lebih banyak dibandingkan petani madu di Desa Aornakan I dikarenakan minat masyarakat di Desa Kuta Tinggi terhadap usaha lebah madu lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di Desa Aornakan I. Hal ini disebabkan karena masyarakat di Desa Kuta Tinggi telah mendapatkan keuntungan yang cukup tinggi dari usaha lebah madu, selain itu produktivitas madu di Desa Kuta Tinggi juga lebih tinggi dibandingkan dengan di Desa Aornakan I.
Pada Desa Aornakan I, minat masyarakat terhadap usaha lebah madu masih rendah karena belum mendapatkan keuntungan secara langsung dari pemanfaatan madu dan belum terampil dalam memelihara lebah madu yang merupakan salah satu penyebab produktivitas madu di desa ini lebih rendah.
Nilai ekonomi diperlukan sebagai salah satu pertimbangan dasar suatu usaha dalam memperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan. Nilai ekonomi madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat dapat dilihat pada Tabel 4. dan Tabel 5.
Tabel 4. Perhitungan Nilai Ekonomi Madu di Desa Aornakan I, Kabupaten Pakpak Bharat
28
Total 9.000.000 18.000.000
Tabel 5. Perhitungan Nilai Ekonomi Madu di Desa Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
Total 69.660.000 208.980.000
Nilai ekonomi madu tertinggi di Desa Aornakan I adalah sebesar
Rp10.800.000 per tahun dengan total pengambilan 60 botol atau 36 liter madu dari
29
15 stup dan 5 glodokan dalam setahun, sedangkan nilai ekonomi madu terendah di Desa Aornakan I adalah sebesar Rp360.000 per tahun dengan total pengambilan 2 botol atau 1,2 liter madu dari 1 stup dalam setahun. Nilai ekonomi madu tertinggi di Desa Kuta Tinggi adalah sebesar Rp40.500.000 per tahun dengan total pengambilan 225 botol madu atau 135 liter dari 20 stup dan 30 glodokan dalam setahun, sedangkan nilai ekonomi madu terendah di Desa Kuta Tinggi adalah sebesar Rp1.620.000 per tahun dengan total pengambilan 9 botol atau 5,4 liter madu dari 2 stup/glodokan dalam setahun. Frekuensi pengambilan di Desa Aornakan I sebanyak 2 kali setahun sedangkan di Desa Kuta Tinggi sebanyak 3 kali setahun.
Mayoritas masyarakat di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi masih menjadikan madu sebagai penghasilan sampingan karena masa panen yang tidak menentu. Untuk melihat perbedaan nilai ekonomi di Desa Aornakan I dan Desa Kuta Tinggi dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Grafik Nilai Ekonomi Madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
Nilai ekonomi di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi didapatkan dari hasil perkalian total pengambilan madu per tahun dengan harga madu. Pada Gambar 13.
dapat dilihat nilai ekonomi madu oleh masyarakat di Desa Aornakan I adalah sebesar Rp18.000.000 per tahun dan Rp9.000.000 per sekali panen yang didapatkan dari 6 orang responden. Nilai ekonomi madu oleh masyarakat di Desa Kuta Tinggi sebesar Rp208.980.000 per tahun dan Rp 69.660.000 per sekali panen yang didapatkan dari 19 responden.
Madu yang dihasilkan di Desa Kuta Tinggi lebih banyak dibandingkan
30
dengan hasil madu di Desa Aornakan I karena produktivitas dan frekuensi pengambilan yang lebih tinggi. Tingginya produksi madu disebabkan karena petani madu melakukan pengecekan rutin sehingga tidak terjadi perpecahan koloni, lahirnya ratu baru dan juga terhindar dari serangan hama. Untuk glodokan yang tidak dapat dilakukan pengecekan, petani rutin membongkar sarang 4 bulan sekali baik sudah siap panen atau belum. Petani madu biasanya meletakkan stup atau glodokan di ladang ataupun di dekat pohon sumber pakan agar lebah madu lebih mudah mencari pakan dan juga jumlah nektar yang di dapat dalam 1 hari lebih banyak dikarenakan jarak pengambilan pakan yang dekat, tetapi ada kalanya lebah mencari makan jauh dari sarangnya jika pakan yang berada disekitar sarangnya sudah menipis atau habis.
Analisis Kelayakan Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
Biaya Produksi Usaha Lebah Madu
Dalam melakukan usaha, biaya merupakan sumber modal yang harus dikeluarkan untuk tujuan tertentu. Peralatan merupakan salah satu sumber biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi. Peralatan yang dipakai dalam kegiatan produksi pada usaha lebah madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi beserta harga penyusutannya dapat dilihat pada Tabel 6. dan Tabel 7.
Tabel 6. Penyusutan Biaya Peralatan Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Jenis Peralatan Satuan Jumlah Harga (Rp)
31
Tabel 7. Penyusutan Biaya Peralatan Usaha Lebah Madu di Desa Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Jenis Peralatan Satuan Jumlah Harga (Rp)
Pada Tabel 6. dapat dilihat total biaya penyusutan peralatan dari 6 petani madu di Desa Aornakan I sebesar Rp192.000 sedangkan pada Tabel 7. terdapat total biaya penyusutan peralatan dari 19 petani di Desa Kuta Tinggi sebesar Rp530.250.
Biaya penyusutan peralatan di Desa Kuta Tinggi lebih besar dibandingkan dengan Desa Aornakan I dikarenakan jumlah petani madu yang lebih banyak yang menyebabkan madu yang dihasilkan juga lebih banyak sehingga memerlukan unit peralatan yang lebih banyak pula.
Fatriani et al. (2014) mengungkapkan bahwa biaya dibagi menjadi dua komponen yakni biaya tetap, yang merupakan biaya yang berjalan berdasarkan atas masa pakai peralatan secara menyeluruh dimana jumlahnya adalah tetap dimana perubahan hanya akan terjadi apabila biaya per unit produksinya sesuai dengan volume produksi. Selanjutnya biaya variabel yakni biaya yang jumlahnya fluktuatif berbanding lurus dengan jumlah hasil produksi maupun volume produksi.
Komponen biaya tetap usaha lebah madu yang harus dikeluarkan oleh petani madu di Desa Aornakan I dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komponen Biaya Tetap Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Jenis Biaya Jumlah (Rp)
1. Penyusutan Peralatan 192.000
2. Penyusutan Stup 1.408.000
3. Penyusutan Glodokan 320.000
Total 1.920.000
32
Pada Tabel 8. terdapat biaya tetap yang dikeluarkan petani madu di desa Aornakan I berupa biaya penyusutan peralatan sebesar Rp192.000, biaya penyusutan pembuatan stup dari triplek sebanyak 32 buah sebesar Rp1.408.000 dengan modal pembuatan 1 stup sebesar Rp220.000 dan biaya penyusutan pembuatan glodokan dari batang pakis dan log kayu sebanyak 8 buah sebesar Rp320.000 dengan modal pembuatan 1 glodokan sebesar Rp200.000. Umur ekonomis dari media sarang ini maksimal 5 tahun karena tidak ada naungan yang melindungi media sarang dari hujan dan terik matahari sehingga mengurangi masa pakai media sarang sehingga didapatkan total biaya tetap sebesar Rp1.920.000.
Sedangkan komponen biaya tetap usaha lebah madu yang harus dikeluarkan oleh petani madu di Desa Kuta Tinggi dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Komponen Biaya Tetap Usaha Lebah Madu di Desa Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Jenis Biaya Jumlah (Rp)
1. Penyusutan Peralatan 530.250
2. Penyusutan Stup 4.268.000
3. Penyusutan Glodokan 7.920.000
Total 12.718.250
Pada Tabel 9. terdapat biaya tetap yang dikeluarkan petani madu di desa Kuta Tinggi berupa biaya penyusutan peralatan sebesar Rp530.250, biaya penyusutan pembuatan stup dari triplek sebanyak 97 buah sebesar Rp4.268.000 dengan modal pembuatan 1 stup sebesar Rp220.000 dan biaya penyusutan pembuatan glodokan dari batang pakis dan log kayu sebanyak 198 buah sebesar Rp7.920.000 dengan modal pembuatan 1 glodokan sebesar Rp 200.000. Media sarang memiliki umur ekonomis yang sama yakni 5 tahun sehingga didapatkan total biaya tetap sebesar Rp12.718.250.
Tabel 10. Perincian Penyusun Komponen Biaya Variabel Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Jenis Biaya (Rp/Tahun)
1. Proses Produksi
a. Bibit Lebah A. cerana b. Tenaga Kerja
c. Biaya Pemeliharaan Media Sarang
33
Pada Tabel 10. terdapat perincian penyusun komponen biaya variabel dari usaha lebah madu yang harus dikeluarkan oleh masyarakat di Desa Aornakan I yang terdiri atas biaya proses produksi seperti biaya pembelian 6 koloni bibit lebah A.
cerana sebesar Rp2.280.000, biaya tenaga kerja sebesar Rp3.680.000, dimana biaya tenaga kerja dihitung per media sarang yakni untuk glodokan Rp30.000/glodokan dan untuk stup Rp50.000/stup dalam sekali panen. Biaya proses produksi lain yang harus dikeluarkan adalah biaya pemeliharaan media sarang sebanyak 40 buah sebesar Rp600.000. Pemeliharaan media sarang ini berupa pemberian oli bekas untuk mencegah hama utama perusak sarang lebah yakni semut rangrang agar tidak dapat memasuki media sarang. Menurut Harjanto et al. (2020), oli bekas dapat dijadikan pengusir semut agar tidak memasuki sarang sehingga lebah madu terhindar dari predator berupa semut. Biaya lain yakni biaya kemasan berupa 100 botol kaca 600 ml seharga Rp100.000 dan 100 tutup botol seharga Rp20.000, sehingga didapatkan total biaya variabel sebesar Rp6.680.000.
Tabel 11. Perincian Penyusun Komponen Biaya Variabel Usaha Lebah Madu di Desa Kuta Tinggi, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Jenis Biaya (Rp/Tahun)
1. Proses Produksi
a. Bibit Lebah A. cerana b. Tenaga Kerja
c. Biaya Pemeliharaan Media Sarang
Sedangkan pada Tabel 11. terdapat perincian penyusun komponen biaya variabel dari usaha lebah madu yang harus dikeluarkan oleh masyarakat di Desa Kuta Tinggi yang terdiri atas biaya produksi seperti biaya pembelian 19 koloni bibit lebah A. cerana sebesar Rp7.220.000, biaya tenaga kerja sebesar Rp32.370.000, dimana biaya tenaga kerja sama dengan Desa Aornakan I yakni dihitung per media sarang dimana untuk glodokan sebesar Rp30.000/glodokan dan untuk stup sebesar Rp50.000/stup dalam sekali panen. Biaya proses produksi lain yang harus dikeluarkan adalah biaya pemeliharaan media sarang sebanyak 295 buah sebesar Rp4.425.000. Biaya lain yakni biaya kemasan berupa 1161 botol kaca 600 ml seharga Rp1.161.000 dan 1161 tutup botol seharga Rp232.200, sehingga
34
didapatkan total biaya variabel sebesar Rp45.408.200.
Penerimaan Usaha Lebah Madu
Penerimaan pada usaha lebah madu di Desa Aornakan I dan Kuta Tinggi merupakan hasil perkalian antara harga produk dengan jumlah produk yang dihasilkan.
Tabel 12. Total Penerimaan Usaha Lebah Madu di Desa Aornakan I, Kabupaten Pakpak Bharat
No. Uraian Nilai
1. Jumlah Produksi/tahun (Botol/600 ml) 100
2. Harga Jual (Rp) 180.000
3. Total Penerimaan Per Sekali Panen (Rp) 9.000.000
4. Total Penerimaan Per Tahun (Rp) 18.000.000
Tabel 13. Total Penerimaan Usaha Lebah Madu di Desa Kuta Tinggi, Kabupaten
Tabel 13. Total Penerimaan Usaha Lebah Madu di Desa Kuta Tinggi, Kabupaten