• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas semen kucing domestik dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya genetik, teknik pengambilan semen dan teknik evaluasi semen. Produksi semen pada satu individu jantan dipengaruhi oleh aktifitas reproduksi, yang terjadi secara optimal setelah dewasa kelamin. Kucing domestik yang digunakan dalam penelitian ini tidak diketahui umurnya, sehingga menggunakan parameter berat badan. Kucing yang dipakai pada penelitian ini memiliki bobot badan rata-rata 3.73 ± 0.33 kg, bobot 3 sampai 4 kg diasumsikan sudah memiliki umur yang cukup (dewasa) untuk dilakukan pengoleksian semen. Ukuran testis berkisar antara 1.19 ± 0.31 cm untuk testis kanan dan 1.12 ± 0.09 cm untuk testis kiri (Tabel 1).

Waktu ereksi pada kucing dicapai dalam waktu 57.14 ± 26.63 detik. Waktu ereksi tercepat terjadi pada detik ke 5 dengan pemberian stimulasi 1 V pertama dan terlama pada pemberian stimulasi 3 V kedua detik ke 110. Variasi waktu terjadinya ereksi pada kucing dapat terjadi karena faktor sensitifitas syaraf kucing terhadap rangsangan EE. Menurut Arifiantini et al. (2005) semakin tinggi tegangan yang diberikan, maka stimulasi terhadap syaraf parasimpatis dari medulla spinalis sacrum ke bagian genitalia eksternal semakin tinggi untuk merangsang terjadinya ereksi. Ereksi distimulasi oleh refleks yang timbul dari suatu input (sensor taktil non-genital, bau yang khas, penglihatan dan pendengaran) serta refleks spinal berupa stimulasi genital yang ditimbulkan menuju kortek serebral (Martin 1978).

Ejakulasi pada kucing rata-rata terjadi pada detik ke 94.00 ± 27.85, ejakulasi tercepat terjadi pada stimulasi 2 V pertama pada detik ke 55 sedangkan waktu ejakulasi terlama terjadi pada detik ke 130 dengan stimulasi 3 V pada rangsangan ke 6 (Tabel 1). Hasil yang bervariasi ini dipengaruhi oleh kondisi individu kucing, kecepatan refleks spinal untuk merangsang terjadinya ejakulasi, ketepatan dari letak probe.

Tabel 1 Bobot badan, diameter testis, waktu ereksi dan ejakulasi pada kucing domestik (Felis catus)

Variabel Rata-rata

Bobot badan (kg) 3.73 ± 0.33

Diameter testis (cm):

- kanan 1.19 ± 0.31

- kiri 1.12 ± 0.09

Waktu ereksi (detik) 57.14 ± 26.63

Waktu ejakulasi (detik) 94.00 ± 27.85

Penggunaan EE pada saat koleksi semen menimbulkan perubahan gejala klinis pada kucing yang diberi perlakuan. Gejala klinis yang muncul berbeda- beda bergantung pada tingkat rangsangan yang diberikan. Pada saat penetrasi probe ke dalam rektum, kucing yang telah dianastesi tidak memperlihatkan adanya reaksi dan tidak ada kesadaran terhadap pengaruh lingkungan. Pemberian obat bius kombinasi ketamin HCl 10 mg/kg BB dan diazepam 0.25 mg/kg BB secara iv membantu menenangkan kucing tersebut.

Pada stimulasi 1 V pertama, otot abdomen mulai berkontraksi, abdomen menegang dan nafas tertahan saat arus listrik menginduksi kontraksi pada kucing. Kucing akan melakukan inspirasi ketika terjadi kontraksi. Kaki mulai bergetar dan kejang serta praeputium berkedut-kedut. Kontraksi abdomen semakin kuat pada pemberian stimulasi 2 V. Peningkatan stimulasi ini membuat kontraksi pada kaki belakang dan daerah praeputium semakin kuat sehingga terjadi ereksi. Kucing mulai mengerang pada pemberian stimulasi 2 V. Bunyi erangan ini merupakan indikator adanya kesakitan pada kucing tersebut meskipun pembiusan telah dilakukan. Seperti dinyatakan oleh Palmer (2005) stimulasi EE merangsang peningkatan serum progesteron, yang akan menginduksi sapi untuk mengeluarkan suara sebagai indikator adanya kesakitan. Pada pemberian stimulasi 3 V, kucing mengerang semakin kuat, kontraksi otot kaki belakang semakin kuat dan terjadi cloning kemudian ejakulasi.

Rangsangan ejakulasi terjadi akibat stimulasi pada nervous hypogastric, menyebabkan kontraksi otot halus pada epididimisdanduktus deferensyang akan mendorong spermatozoa dan cairan plasma menuju ampula (Martin 1978). Nervous hypogastric adalah serabut syaraf eferen (syaraf simpatis) yang terdapat

pada pelvis. Pendapat ini sesuai dengan Watson (1978), yang menyatakan bahwa pengeluaran spermatozoa dan cairan seminal dari ampula dan kelenjar asesoris ke dalam uretra merupakan suatu aksi dari sistem syaraf simpatis.

Hubungan antara reaksi ereksi dan ejakulasi pada kambing dengan penggunaan EE dapat terjadi sebagai berikut, yaitu terjadi reaksi ereksi lebih dahulu baru disusul ejakulasi, ataupun terjadi ejakulasi baru disusul dengan reaksi ereksi serta terjadi ejakulasi tanpa disertai reaksi ereksi (Arifiantini et al. 2005). Tetapi pada kucing reaksi yang terjadi selalu berurutan, yakni reaksi ereksi yang kemudian diikuti oleh ejakulasi, setelah stimulasi voltase ditingkatkan (Tabel 2).

Tabel 2 Gejala-gejala klinis akibat penggunaan elektroejakulator pada kucing domestik jantan yang dianastesi

Prosedur anastesi pada koleksi semen kucing menggunakan EE diperlukan untuk mempermudah penanganan dan mengurangi tingkat stres hewan kucing selama proses pengambilan semen. Pada penelitian ini anastesi dilakukan dengan kombinasi ketamin HCl dan diazepam. Souza et al. (2009) menggunakan kombinasi tiletamin dan zolazepam yang mirip cara kerjanya dengan ketamin dan diazepam sebagai protokol anastesi selama dilakukan perangsangan dengan EE. Zolazepam bekerja pada GABA mendorong terjadinya relaksasi otot dan mengurangi kejang. Tiletamin bekerja dengan menekan kerja Sistem Syaraf Pusat (SSP). Tiletamin bekerja mengikat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA glutamat yang bersifat eksitatori (menghasilkan eksitasi) dengan menurunkan efek eksitatori, mengurangi iritasi jaringan dan tetap menjaga refleks okular selama anastesi. Denyut jantung, laju pernapasan, dan tekanan darah lebih

Voltase

(V) Keterangan

0 Kesadaran tidak ada

1 Otot abdomen berkontraksi dan praeputium berkedut-kedut. Saat arus listrik diberikan, kucing melakukan inspirasi dan nafas tertahan, kemudian kembali normal saat arus listrik dihentikan. Kaki bergetar dan kejang. 2 Kontraksi abdomen makin kuat, terdengar bunyi erangan, kaki belakang

dan praeputium mulai kontraksi, kemudian terjadi ereksi.

3 Erangan semakin keras, kontraksi kaki belakang semakin kuat dan terjadi

cloning, kemudian ejakulasi.

tinggi pada kucing yang dianastesi menggunakan kombinasi ketamin-diazepam (Ozkan et al. 2010).

Pada penelitian ini digunakan kombinasi ketamin dan diazepam karena mempunyai waktu anastesi yang pendek ± 30 menit. Kombinasi ketamin diazepam lebih mampu merangsang terjadinya ereksi dan ejakulasi dibanding ketamin-xilazine.

Karakteristik Semen Kucing Hasil Elektroejakulator

Karakteristik semen berbeda-beda, bergantung pada jenis hewan dan teknik koleksi yang dilakukan. Pada kucing karakteristik semennya sangat bervariasi antar individu ataupun antar waktu koleksi semen dilakukan.

Volume semen

Kucing merupakan hewan dengan volume semen yang sedikit dan sulit untuk dikoleksi (Zambelli et al. 2010). Volume semen kucing hasil penelitian ini adalah 47.37 ± 18.44 µL, sangat beragam dengan kisaran 20 sampai dengan 100 µL. Nilai ini sangat kecil jika dibandingkan dengan volume semen ternak dengan ukuran tubuh dan berat yang hampir sama, seperti pada semen ayam mencapai 600 µL (Johari et al. 2009) dan kelinci 600.00 ± 0.08 µL (Mourvaki et al. 2010).

Volume semen kucing menggunakan teknik koleksi yang sama rata-rata adalah 186.75 ± 38.62 µL (Baran et al. 2004); 50-300 µL (Malandain 2005); 75- 220 µL (Thuwanut 2010); dan 89.00 ± 54.00 µL (Zambelli et al. 2010). Volume semen yang didapatkan pada penelitian ini lebih sedikit daripada volume semen yang dilaporkan oleh beberapa peneliti tersebut namun masih dalam kisaran normal menurut Axnér dan Linde-Forsberg (2002) yang melaporkan bahwa volume semen kucing dengan elektroejakulator berkisar antara 19-740 µL.

Volume semen kucing yang dikoleksi menggunakan elektroejakulator lebih banyak dibandingkan dengan volume semen kucing yang dikoleksi menggunakan vagina buatan (Johnston et al. 2001; Axnér & Linde-Forsberg 2002) hal ini disebabkan stimulasi dari elektroejakulator akan meningkatkan sekresi dari kelenjar asesoris (Axnér & Linde-Forsberg 2002). Volume semen menggunakan elektroejakulator sangat bervariasi bergantung dari kondisi masing- masing kucing (Zambelli & Cunto 2006).

Derajat keasaman (pH) semen

Semen kucing hasil penelitian ini menunjukkan pH 7.00 ± 0.65, nilai pH ini termasuk normal menurut Axnér dan Linde-Forsberg (2002) dan Thuwanut (2010), yang melaporkan pH semen kucing berkisar antara 6.60 sampai dengan 8.80.

Warna dan Konsistensi Semen

Semen kucing hasil penelitian ini umumnya berwarna putih keruh. Warna semen ini berasal dari cairan seminal plasma yang dikeluarkan oleh kelenjar asesoris, warna semen juga dipengaruhi oleh konsentrasi spermatozoa yang terkandung didalamnya. Semakin tinggi konsentrasi spermatozoa, warna semen akan semakin keputih-putihan (whitish) (Axner & Linde-Forsberg 2002).

Warna semen yang jernih menunjukkan azoospermia (tidak terdapat spermatozoa dalam ejakulatnya), sedangkan warna semen yang kuning menunjukkan kontaminasi dengan urin. Kucing mempunyai konsistensi lebih encer jika dibandingkan dengan semen domba dan sapi. Konsistensi semen kucing yang encer juga berhubungan dengan konsentrasi spermatozoa yang terkandung dalam semen tersebut.

Gerakan massa

Gerakan massa adalah gerakan bersama dari sekelompok spermatozoa sehingga membentuk seperti awan. Karakteristik semen kucing yang encer dengan konsentrasi yang rendah menyebabkan gerakan masa dari spermatozoanya tidak bisa dinilai. Gelombang awan dari massa spermatozoa terlihat jarang, dan sel spermatozoa terlihat secara individu.

Motilitas spermatozoa

Motilitas spermatozoa merupakan salah satu indikator kualitas semen yang paling banyak dinilai oleh banyak peneliti. Nilai motilitas yang tinggi merupakan gambaran fertilitas dari spermatozoa. Motilitas spermatozoa kucing pada penelitian ini rata-rata 68.00 ± 9.09%, dengan kisaran 50 sampai dengan 80%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan Zambelli et al. (2010) yang melaporkan motilitas spermatozoa kucing dalam penelitiannya adalah 66.9 ± 24.10% dan lebih rendah dibandingkan dengan Pineda dan Faulkner (2003) yang

melaporkan motilitas spermatozoa kucing dapat mencapai 78%. Menurut Axnér dan Linde-Forsberg (2002), motilitas spermatozoa pada semen kucing sangat bervariasi antar individu ataupun antar waktu koleksi dalam individu yang sama, dengan kisaran motilitas antara 56 sampai dengan 85%. Sementara itu Johnston et al. (2001) menyampaikan bahwa motilitas spermatozoa kucing yang normal berkisar antara 60 sampai 90%.

Rasio Spermatozoa Hidup dan Mati

Pada penelitian ini jumlah spermatozoa hidup (viable) cukup tinggi dengan rata-rata adalah 86.84 ± 6.93% dengan kisaran 76.00 sampai dengan 93.60%. Pengujian ratio spermatozoa yang hidup dan mati jarang dilaporkan pada semen kucing, hal ini kemungkinan karena jumlah volume semen yang sedikit, sehingga parameter pengujiannya dikurangi. Viabilitas spermatozoa kucing hanya dilaporkan oleh Siemieniuch dan Dubiel (2007). Pada penelitiannya digunakan dua jenis pewarnaan eosin-nigrosin dan pewarnaan fluoresen (SYBR- 14/PI) , dan hasilnya ternyata hampir sama yaitu 84.90 ± 7.80% dengan pewarnaan eosin-nigrosin dan 82.20 ± 8.00% dengan pewarnaan fluoresen.

Konsentrasi

Konsentrasi spermatozoa kucing hasil penelitian ini adalah 387.40 ± 457.93 x 106 per mL, dengan kisaran 90 x 106 sampai dengan 1633.75 x 106 per mL. Nilai standar deviasi yang sangat besar disebabkan oleh tingginya variasi antar individu kucing yang digunakan. Koleksi semen dengan menggunakan elektroejakulator akan menghasilkan volume dan konsentrasi yang bervariasi (Hafez & Hafez 2000).

Konsentrasi spermatozoa kucing hasil penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Zambelli et al. (2010) yang menyatakan konsentrasi spermatozoa kucing adalah 223.80 ±163.80 x 106 per mL, 168 x 106 sampai 361 x 106/mL (Axnér & Linde-Forsberg 2002) dan 319.70 ±159.20 x 106 per mL dengan kisaran antara 76 x 106 sampai 633 x 106 per mL (Zambelli & Cunto 2006). Konsentrasi spermatozoa kucing yang dikoleksi menggunakan EE cenderung lebih rendah dibanding dengan yang dikoleksi menggunakan vagina buatan. Pada penelitian Axnér dan Linde-Forsberg (2002) semen hasil koleksi vagina buatan mempunyai

konsentrasi spermatozoa sebesar 1730 x 106 per mL dengan kisaran antara 96 x 106 sampai 5101 x 106 per mL. Kisaran tertinggi pada hasil penelitian lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan rata-rata konsentrasi spermatozoa yang pernah dilaporkan. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh faktor genetik kucing percobaan yang digunakan.

Morfologi Spermatozoa Normal

Morfologi spermatozoa terbagi atas morfologi spermatozoa normal dan abnormal. Pada penelitian ini morfologi spermatozoa yang normal adalah 87.00 ± 4.71%. Nilai ini termasuk normal karena menurut Zambelli dan Cunto (2006) spermatozoa kucing yang baik harus memiliki normalitas di atas 70%. Hasil penelitian ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan laporan Baran et al. (2004) dan Baran et.al (2009) yaitu 82.70 ± 4.95 %. Normalitas spermatozoa kucing domestik di Swedia berkisar antara 38.20 sampai dengan lebih dari 90% (Axnér & Linde-Forsberg 2002) bergantung pada teknik koleksi semen yang digunakan.

Tabel 3 Karakteristik semen kucing domestik (Felis catus)

Parameter Rata-rata Rentan hasil

Tertinggi Terendah Makroskopis Volume (µL) 48.09 ± 17.71 20 100 Warna semen* +++ ++ +++ Konsistensi encer - - pH 7.00 ± 0.65 5 7.7 Mikroskopis Motilitas spermatozoa (%) 68.00 ± 9.09 50 80 Skoring individu (1-5) 4.39 ± 0.61 3 5 Spermatozoa hidup (%) 86.84 ± 6.93 76 93.6 Konsentrasi spermatozoa (106/mL) 387.40 ± 457.93 90 1633.75

Morfologi spermatozoa normal (%) 87.00 ± 4.71 79 95.5

* Warna semen : + putih, ++ putih agak keruh, +++putih keruh

Dari paparan di atas terlihat bahwa kualitas semen segar kucing sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan jenis kucing yang digunakan, teknik koleksi termasuk jenis EE dan teknik evaluasi yang digunakan. Johnston et al. (2001) menggunakan EE dan mendapatkan banyak variasi kualitas semen meskipun dikoleksi dari kucing yang sama dengan jumlah spermatozoa

yang lebih sedikit dibandingkan peneliti lainnya. Johnston et al. (2001) menggunakan aplikasi tegangan maksimum sebesar 2-3 V sedangkan Zambelli dan Cunto (2006) menggunakan tegangan 4-8 V menghasilkan jumlah spermatozoa yang lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan dengan tegangan 1-2 V.

Semen kucing yang dikoleksi menggunakan EE secara umum memiliki volume yang lebih banyak, konsentrasi spermatozoa dan jumlah total spermatozoa yang lebih sedikit dan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan semen kucing yang dikoleksi dengan menggunakan vagina buatan (Axnér & Linde-Forsberg 2002; Malandain 2005; Thuwanut 2007). Selanjutnya menurut Thuwanut (2007), motilitas spermatozoa kucing yang dikoleksi menggunakan EE juga lebih tinggi daripada spermatozoa kucing yang dikoleksi dari epididimis.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Stimulasi elektroejakulator dengan voltase bertingkat (1 V, 2 V, 3 V) pada 21 ekor kucing jantan 100% berhasil dikoleksi semennya.

2. Ereksi terjadi 47.62% pada stimulasi 2 V pertama dan kedua.

3. Ejakulasi pada kucing terjadi beragam mulai dari stimulasi 3 V pertama sampai dengan keenam.

4. Kualitas spermatozoa kucing yang dikoleksi dengan EE mempunyai karakteristik yang normal.

Dokumen terkait