• Tidak ada hasil yang ditemukan

Felis catus

Kucing domestik (Felis catus) menempati sebagian besar penjuru dunia. Bukti arkeologi menunjukkan domestikasi kucing terjadi di Near East sekitar 9000 – 10 000 tahun yang lalu. Namun, inisiasi domestikasi mungkin dimulai ribuan tahun yang lalu di mana manusia dan nenek moyang kucing menjadi semakin saling ketergantungan. Proses domestikasi mungkin dimulai selama periode ketika manusia berhenti berburu kawanan hewan liar dan mengadopsi lebih banyak gaya hidup pertanian, terutama di Fertile Crescent. Perubahan ini terjadi 10 000 – 11 000 tahun yang lalu dan dimungkinkan oleh domestikasi serealia liar tertentu dan rumput-rumputan. Hubungan manusia dan kucing bermanfaat untuk mengontrol tikus yang merusak tanaman, yang juga telah bergabung dengan peradaban manusia. Menurut Wastlhuber (1991) kucing domestik yang ada sekarang ini merupakan evolusi dari kucing liar Afrika (F. silvestris lybica) di zaman Mesir kuno sekitar 3000 – 4000 tahun lampau. Meskipun banyak kucing yang menjadi hewan peliharaan, kucing modern tidak didomestikasi secara penuh dalam pengertian klasik. Kucing modern tetap mandiri jika diperlukan, dengan mempertahankan kemampuan berburu yang tajam bahkan ketika makanan tersedia, dan menunjukkan spektrum perilaku mulai dari hewan peliharaan yang tidak dapat dijinakkan hingga hewan peliharaan yang sangat lembut.

Kucing tersebar ke hampir seluruh bagian dunia lama, mungkin sepanjang rute perdagangan antara peradaban kuno. Meskipun menyebar dengan cepat, kucing tetap mirip dengan nenek moyang mereka yaitu kucing liar (Felis silvestris subspp) dalam bentuk dan fungsi. Spesies nenek moyang kucing domestik tetap kompatibel dengan pertanian manusia. Alur gen antara kucing liar dan jinak yang modern, dan antara kucing modern dan subspesies kucing liar, belum berdampak negatif dalam peran kucing sebagai karnivora kecil di ekosistem yang didominasi oleh manusia. Bahkan, dengan adanya sekelompok liar kucing modern di sekitar pinggiran desa dan pertanian telah menguntungkan untuk pengendalian hama dan

penyakit zoonosis terkait (Lipinski et al. 2007). Adapun klasifikasi F. catus menurut LaBruna (2001) adalah sebagai berikut:

kingdom : Animalia filum : Chordata kelas : Mammalia ordo : Carnivora famili : Felidae genus : Felis spesies : Felis catus

Famili kucing (felidae) terdiri dari 76 spesies. Menurut laporan Convention of International Trade of Endangered Species (CITES 2011). Kucing domestik adalah salah satu felidae yang tidak termasuk dalam spesies hewan liar (Hermansson 2006).

Gambar 1 Kucing domestik.

Felis catus merupakan salah satu dari famili felidae yang berukuran kecil, tetapi merupakan predator yang cerdas dan efisien. Karakteristik fisik yang dimiliki kucing antara lain tubuh yang fleksibel dan padat, penglihatan dan adaptasi visual yang tajam pada malam hari, cakar (kuku) yang dapat ditarik masuk, gigi yang tajam, dan pengurangan jumlah gigi mencerminkan adaptasi karnivora. Jambang yang panjang, kaki depan mampu berotasi sehingga pads mampu mencapai muka saat proses washing, kaki belakang kucing mempunyai kekuatan yang sangat besar sehingga dapat membantu kucing pada saat akan menerkam, dan ekor yang panjang serta fleksibel membantu menjaga keseimbangan (Edwards 2005).

Anatomi organ reproduksi kucing jantan

Seperti karnivora pada umumnya, alat kelamin jantan pada kucing terbagi dalam empat subbagian. Subbagian pertama meliputi testis, epididimis, duktus deferens, korda spermatikus, dan tunika. Subbagian kedua terdiri dari kelenjar- kelenjar asesoris, subbagian ketiga penis, dan yang terakhir uretra (Junaedi 2006; Constantinescu 2007). Diagram anatomi dari skrotum, testis dan epididimis, prostata, penis dan preputium dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Skema anatomi organ reproduksi jantan (Constantinescu 2007). Pada perkembangannya, testis kucing turun dan menempati skrotum dalam waktu yang lambat. Testis berada dalam skrotum antara minggu kedua dan ketiga setelah kelahiran. Bentuk testis membulat dan beratnya 1/750 sampai 1/1850 dari bobot badan. Panjang axis setiap testis berorientasi miring, kranioventral. Tunika albugineanya tebal dan mediastinum testis terletak di tengah testis. Arteri-arteri yang berjalan dalam tunika albuginea memberikan karakteristik pada permukaan testis (Constantinescu 2007).

1.Sayatan oblique

abdominal bagian luar 7. Kanal inguinal 8.Ssayatan oblique

abdominal bagian dalam 9. Penampang melintang fascia 10. Fascia sprematik internal 11. Peritoneum luar 12. Peritoneum dalam 13.Llamina luar 14. Lamina dalam 15. Canal vagina 16. Cavum vagina 17. Testikel 18. Epididimis 19. Duktus deferens 20. Finukulus spermatikus 21. Pembuluh darah testis 22. Otot halus 23. Jaringan ikat 24. Fascia spermatikus eksternal 25. Kulit 26. Tunika dartos 27. Kulit skrotum 30. Ligamen epididimis 31. Ligamen skrotum 32. Musculus cremaster 33. Septum interdortoic 34. Penis 35. Ligamentum testis 36. Rape skrotalis

A B

Gambar 3 Testis kucing: A. testikel kucing sudut pandang lateral; B. testikel kucing sudut pandang medial (Constantinescu 2007).

Epididimis melekat pada perbatasan dorsolateral dari testis. Kaput epididimis di mulai dari medial permukaan testis, namun saat mencapai posisi dorsolateral dilanjutkan menjadi korpus dan kauda. Kaput epididimis sedikit melebihi kepala testis. Tunika albuginea epididimis lebih tipis dibandingkan dengan albuginea testis. Panjang duktus epididimis 1.5 sampai 3 mm dan berliku- liku. Kauda epididimis melekat pada ekor testis dengan ligamentum pendek dari testis dan untuk fascia spermatic internal secara langsung (karena fascia spermatic internal melekat pada kauda epididimis). Ligamen skrotum bergabung dengan fascia spermatic internal menuju dartos. Duktus deferens dimulai sebagai plexus sepanjang perbatasan epididimis dari testis dan medial ke epididimis dengan arah kaudokranial karena posisi testis. Setelah melewati duktus deferens, kaput epididimis masuk ke dalam korda spermatikus dan berlanjut hingga cincin vaginal. Dalam rongga perut, duktus deferens membuat kurva dalam arah dorsokaudal untuk memasuki rongga panggul dan mencapai uretra. Dalam rute dari awal sampai akhir, mesoduktus deferens yang juga merupakan bagian dari funikulus spermatikus, melekat ke duktus deferens. Sebelum mencapai uretra, duktus deferens melintasi ureter di bagian ventral, kemudian melintasi bagian dorsal dari ligamen lateral kandung kemih. Untuk mencapai uretra, duktus deferens menembus kelenjar prostat dan membuka sisi lateral dari colliculus seminalis (Constantinescu 2007).

Kelenjar assesoris yang berkembang pada kucing adalah kelenjar prostat dan bulbouretralis sedangkan kelenjar vesikular tidak berkembang. Kelenjar prostat memiliki dua bagian yaitu bagian badan dan diseminasi. Bagian badan memiliki dua lobus, kiri dan kanan dengan permukaan yang tidak rata. Kelenjar ini melekat pada dinding uretra bagian atap dan lateral. Bagian diseminasi terdiri dari lobus-lobus kecil. Kelenjar bulbouretralis bentuknya sangat kecil (memiliki

diameter lebih dari 5 mm) dan melekat pada dinding uretra bagian dorsolateral yaitu pada arcus ischiadicus seperti terlihat pada gambar 4 (Constantinescu 2007).

Gambar 4 Kelenjar prostata kucing sudut pandang dorsal (Constantinescu 2007).

Penis pada kucing (gambar 5) berada di ventral skrotum. Penis disusun oleh dua buah corpora cavernosa, satu pada tiap sisi dan sebuah korpus spongiosum yang berada di tengah. Pejantan dewasa memiliki glans penis pada bagian ujung penis dengan panjang 5 sampai 10 mm, berbentuk kerucut yang mengarah ke caudal dan memiliki 120 sampai 150 buah duri penis (penile spines) tergantung kadar androgen setiap individu. Duri-duri penis dengan panjang dan diameter dasarnya sebesar 0.1 sampai 0.7 mm ini berjejer membentuk 6 hingga 8 buah lingkaran (Johnston et al. 2001).

Gambar 5 Penis kucing (Constantinescu 2007).

Korpus kavernosum penis Duktus deferens Kandung kemih Kelenjar prostata Kelenjar bulbourethralis Glans penis Ureter Uretra Duri penis Glans penis

Secara histologi, duri penis disusun oleh jaringan ikat inti diselimuti epitel tanduk yang mirip dengan papilla pada lidah kucing. Peran duri pada proses kopulasi belum diketahui secara pasti namun diperkirakan duri ini berfungsi memberikan stimulasi seksual pada betina, menghalangi penarikan penis dari vagina (oleh karena itu lokasinya adalah di ujung penis), atau meningkatkan stimulasi betina untuk induksi ovulasi. Os penis pada kucing berukuran panjang 3 sampai 5 mm dan berada di ujung glans penis pada kucing jantan dewasa. Kucing tidak memiliki muskulus cremaster tetapi memiliki musculus levator scrota yang berasal dari musculus sphincter anal externus dan masuk ke dalam septum scrotal (Johnston et al. 2001).

Endokrinologi Reproduksi Kucing Jantan

Fisiologi reproduksi hewan jantan dikontrol secara endokrin oleh sekresi Hypothalamic Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) pada tingkat paracrine di hipotalamus. GnRH merangsang kelenjar hipofise anterior untuk mengekskresikan dua hormon gonadotropin, yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Hipofise anterior bertanggung jawab untuk berbagai hormon yang mengontrol banyak aspek dari aktivitas fisiologis. LH merupakan perangsang utama testosteron di dalam testis. Testosteron disekresikan oleh sel-sel leydig yang dirangsang oleh LH di dalam testis. Jumlah testosteron yang diekskresikan akan berbanding lurus dengan jumlah LH yang tersedia. Sedangkan FSH merupakan perangsang utama terjadinya spermatogenesis. FSH akan berikatan dengan reseptor-reseptor FSH spesifik yang melekat pada sel-sel sertoli dalam tubulus seminiferus. Pengikatan ini mengakibatkan sel-sel tumbuh dan mengekresikan berbagai unsur spermatogenik. Secara bersamaan testosteron yang berdifusi ke dalam tubulus dari sel-sel leydig di dalam ruang interstisial mempunyai efek tropik yang kuat terhadap spermatogenesis. Untuk mendorong terjadinya spermatogenesis dibutuhkan FSH maupun testosteron. Walaupun rangsangan awal testosteron yang terjadi sedikit, selanjutnya testosteron akan mempertahankan spermatogenesis untuk waktu yang lama (Guyton & Hall 2005).

Teknik Koleksi Semen Kucing

Semen kucing telah dapat dikoleksi menggunakan: 1) vagina buatan dengan ejakulasi kucing jantan secara sadar, 2) elektroejakulator pada kucing jantan yang teranestesi, 3) membilas vagina setelah kawin (postcoitus recovery), dan 4) koleksi dari urine secara cystocentesis (penghisapan pada vesica urinaria) kucing jantan setelah ejakulasi (Johnston et al. 2001).

Vagina buatan

Vagina buatan (artificial vagina) berbentuk pipet karet silinder 2 mL dengan ujung depan berupa lubang untuk penis dan ujung belakang disambungkan dengan tabung koleksi (test tube) sebesar 3 x 44 mm. Johnston et al. (2001) menyebutkan tabung vagina buatan dan tabung koleksi dimasukkan ke dalam botol polyethylene yang diisi dengan air 52 ˚C untuk membuat suhu vagina buatan

sekitar 44 ˚ sampai 46 ˚C.

Gambar 6 Vagina buatan (Zambelli & Cunto 2006).

Kucing jantan harus dilatih untuk mengejakulasikan semen ke dalam vagina buatan. Latihan dapat dilakukan pada pejantan berulang kali menggunakan betina yang estrus. Lima kucing laboratorium yang dipilih secara acak, tiga dari lima kucing tersebut sudah terlatih untuk ejakulasi ke dalam vagina buatan setelah 2 minggu melakukan latihan dengan betina estrus (Johnston et al. 2001)

Elektroejakulator

Elektroejakulasi (EE) pertama dilaporkan dilakukan pada kucing yang teranastesi dengan ketamin HCL. Ejakulat diperoleh dengan cara memberikan 180 stimulus sebesar 2-8 Volt (V) menggunakan rectal probe Teflon dan stainless steel. Penelitian dilakukan dengan melihat penggunaan ejakulator dengan waktu yang pendek berangkaian dan dalam waktu yang lama, serta mengenai efek tegangan dan aplikasi perubahan tegangan terhadap kualitas semen pada kucing jantan yang teranastesi dengan ketamin HCL yang di rangsang menggunakan automatic stimulus delivery ejaculator (Johnston et al. 2001).

Johnston et al. (2001) menyebutkan ketika 4 rangkaian ejakulat diperoleh pada koleksi seminal tunggal mingguan selama 22 minggu, tampak adanya efek yang signifikan pada rangkaian ejakulat tersebut yaitu volume semen dan jumlah spermatozoa per ejakulat. Pengulangan mingguan anastesi dan ejakalutor tidak mengubah kualitas semen secara signifikan, walaupun terdapat kecenderungan bahwa volume ejakulat menjadi meningkat. Pada penelitian aplikasi tegangan, tampak adanya efek pada jumlah spermatozoa per ejakulat kucing akibat jenis kucing dan akibat besarnya aplikasi besarnya tegangan yang digunakan.

Menurut Hermansson (2006), spermatozoa kucing hasil penampungan dengan rangsangan EE mempunyai spesifikasi yang lebih baik. Sperma mempunyai integritas membran dan akrosom yang lebih baik daripada pengambilan spermatozoa melalui epididimis dari individu yang sama. Spermatozoa kucing juga tidak menampakkan cold shock pada saat cooling.

Osmolaritas antara hasil ejakulasi dari vagina buatan dan elektroejakulator tidak berbeda nyata. Osmolaritas semen yang dikoleksi sebanding dengan semakin tinggi tegangan voltase, hal ini menunjukkan efek voltase pada osmolaritas hasil ejakulasi. Motilitas sperma lebih rendah dengan koleksi menggunakan EE (Johnston et al. 2001).

Membilas Vagina Setelah Kawin

Dengan pembilasan vagina pada kucing betina postcoitus (setelah kawin), atau koleksi spesimen sitologi vagina setelah kopulasi, mungkin akan diperoleh spermatozoa. Ketika pembilasan vagina dengan 1 mL larutan saline yang

dilakukan segera setelah kawin antara 5 kucing normal betina dan 5 kucing normal jantan, didapatkan 40 000 sampai 10 240 000 spermatozoa (Johnston et al. 2001).

Koleksi dari Urin Secara Cystocentesis Kucing Jantan Setelah Ejakulasi

Kucing jantan dilaporkan 15 sampai 90% (rata-rata 46.80%) dari ejakulat mengalami aliran balik (retrograde) ke dalam vesika urinaria selama ejakulasi. Koleksi semen dengan cystocentesis (pengisapan pada vesika urinaria) dari kucing jantan setelah ejakulasi diikuti dengan pemeriksaan sedimen urin untuk menemukan spermatozoa adalah prosedur yang berguna pada praktek hewan kecil untuk melihat kucing tersebut memproduksi sperma atau tidak (Johnston et al. 2001).

Sediaan Anastesi

Teknik koleksi semen menggunakan elektroejakulator membutuhkan anastesi selama prosedur berlangsung. Anastesi berfungsi untuk menenangkan hewan dan salah satu prosedur keamanan selama percobaan. Anastesi merupakan metode yang dapat dipercaya, aman, dan cocok untuk teknik koleksi semen dengan menggunakan elektroejakulator (Axnér & Linde-Forsberg 2002). Salah satu metode anestesi yang dapat digunakan untuk penanganan selama percobaan adalah iv (intravenous anaesthesia). Metode iv mempunyai kelebihan yaitu efek yang lebih cepat. Kombinasi ketamin HCl dan diazepam dapat dipakai secara iv.

Ketamin adalah anastetik umum dengan cara kerja yang cepat. Sediaan ini juga bersifat analgesik dan menekan kerja kardiopulmonari. Sinner & Graf (2008) menyatakan metabolisme ketamin diperantarai oleh enzim mikrosomal hati. Potensi anestetik ketamin terletak pada isomer S(+) yang tiga sampai empat kali lebih tinggi dari isomer R(-). Ketamin dengan bagian S(+) dapat digunakan untuk premedikasi, sedasi, induksi, dan maintenance untuk anastesi umum.

Sediaan ini termasuk dalam “dissociative anaesthesia”. Ketamin dengan isomer S(+) adalah anestetik ideal untuk pasien yang mengalami trauma, pasien dengan hypovolemic dan septic shock, serta pasien dengan penyakit pulmonum.

Tidak seperti anastesi iv lainnya, ketamin juga bersifat analgesik. Aksi nociceptive ketamin membantu menjaga keseimbangan saat dikombinasikan

dengan sediaan lain. Profil kardiovaskular berhubungan dengan stimulasi simpatetik sentral dan menghambat uptake katekolamin neuronal sehingga ketamin lebih dipilih untuk pasien yang kurang stabil secara hemodinamis. Aktivasi simpatetik dapat menetralkan efek negatif inotropik ketamin pada miokardium secara langsung (Bovil 2006; Sinner & Graf 2008). Hasil yang bagus dapat dilihat pada individu sehat adalah efek inotropik positif dengan meningkatnya tekanan darah arterial, detak jantung, dan cardiac output. Pasien yang mengalami kegagalan pada miokardium akan berkurang kemampuan kontraksi saat diekspose dengan ketamin, akan terjadi kemunduran tampilan kardiak dan ketidakstabilan kardiovaskular (Bovil 2006). Efek bronkodilatori pada ketamin membuat sediaan ini dapat digunakan untuk menginduksi dan maintenance anastesi pada pasien dengan penyakit asma dan bronchial akut (Sinner & Graf 2008).

Diazepam dimetabolisme dalam hati dan sisa obat yang tak dapat diubah akan diekskresikan dalam urin. Dua jalur utama metabolisme diazepam adalah formasi N-desmethyldiazepam dan temazepam yang dikatalisatori oleh CYP

(cytochrome P450) isoform yang berbeda. Metabolit potensial ketiga adalah 4-

hydroxydiazepam atau oxazepam dengan kegunaan yang lebih sedikit dibanding

N-desmethyldiazepam dan temazepam(Sinner & Graf 2008).

Diazepam menekan level subkortikal (limbik primer, talamus, dan hipotalamus). Diazepam menghasilkan anxiolytic, sedatif, relaksan otot lurik, dan efek antikovulsan. Mekanisme secara detail belum diketahui, tetapi mekanisme postulat seperti serotonin antagonis, akitifitas peningkatan pelepasan gamma- aminobutyric acid (GABA), mengurangi pelepasan asetilkolin di Sistem Saraf Pusat (SSP). Reseptor spesifik diazepam pada mamalia berada di otak, ginjal, hati, paru-paru, dan jantung. Pada hampir semua spesies, reseptor terletak lebih sedikit pada bagian white matter (Plumb & Pharm 1999).

Spermatogenesis

Menurut Pineda dan Faulkner (2003), spermatogenesis merupakan proses kompleks yang terdiri dari pembelahan dan diferensiasi sel untuk pembentukan spermatozoa. Spermatozoa dibentuk di tubulus seminiferus, dimulai dengan

pembelahan sel diikuti dengan metamorfosis dari sel yang mempunyai kemampuan diferensiasi yang tinggi dan berpotensiasi motil (spermatozoon). Fase testikular dari spermatogenesis terdiri dari fase diploid atau spermatositogenesis dan fase haploid atau spermiogenesis (Pineda & Faulkner 2003; Manandhar & Sutovsky 2007).

Spermatositogenesis atau tahap ploriferatif adalah tahap dimana primitive germ cell berlipat ganda dengan pembelahan secara mitosis dan diikuti dengan pembelahan secara meiosis. Sedangkan spermiogenesis adalah tahap diferensiasi dimana nukleus dan sitoplasma mengalami perubahan morfologi menjadi bentuk sel sperma (Pineda & Faulkner 2003).

Spermatositogenesis dimulai dengan berkumpulnya spermatogonia primordial pada tepi membran basal dari epitel germinativum dan diproses menuju lumen. Spermatogonia diaktivasi dalam bentuk aktif spermatogonia tipe A, terdapat beberapa generasi dari spermatogonia tipe A, tergantung dari spesiesnya. Sebagian besar spermatogonia tipe A dibagi dalam bentuk spermatogonia intermediet (Pineda & Faulkner 2003). Spermatogonia tipe A ini akan membelah empat kali untuk membentuk 16 sel yang lebih sedikit berdiferensiasi, yaitu spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B akan bermigrasi ke arah sentral di antara sel-sel sertoli. Setiap spermatogonia tipe B di dalam lapisan sel sertoli akan mengalami modifikasi dan melakukan pembelahan mitosis terakhir untuk menjadi spermatosit primer (Guyton & Hall 2005). Spermatositogenesis dibentuk dari pembelahan spermatozoon secara mitosis yang akan berubah menjadi spermatosit sekunder (Pineda & Faulkner 2003).

Proses selanjutnya adalah spermiogenesis yang merupakan serangkaian proses yang panjang dan berurutan. Spermiogenesis berawal di tubulus seminiferus dan berakhir di epididimis. Proses ini dibagi menjadi beberapa tahap yang lebih kecil yaitu karakterisasi pembentukan morfogenetik terutama pembentukan akrosom dan nukleus serta tingkat kondensasi kromatin (Manandhar & Stutovsky 2006). Dalam fase ini terbentuk sel sperma yang belum dewasa atau spermatid yang berkembang di antara sel sertoli di tubulus seminiferus sampai menjadi spermatozoa sempurna dan masuk kedalam lumen epididimis (Rosenfeld 2001).

Morfologi Sel Spermatozoa

Spermatozoa pada hewan mamalia merupakan sel panjang yang motil. Sebuah sel sperma memiliki kepala dan ekor. Kepala terdiri dari sebuah nukleus dengan kepadatan tinggi, kromatin kental yang diselimuti teka perinuklear, sebuah akrosom dan membran plasma. Fungsi utama dari bagian kepala adalah untuk penetrasi pada oosit, membawa genom haploid jantan, dan inisiasi perkembangan embrionik setelah fertilisasi (Manandhar & Sutovsky 2007).

Gambar 7 Morfologi spermatozoa mamalia: A. Primata; B. Rodensia (Manandhar & Sutovsky 2007).

Ekor dapat terbagi menjadi bagian penghubung(connecting piece), bagian tengah(mid-piece), bagian utama(principle piece), dan bagian ujung (end-piece). Bagian penghubung merupakan bagian rangkaian penghubung yang pendek antar kepala dengan ekor yang terdiri dari segmen-segmen, jaringan fibrosa dan kapitulum. Bagian tengah berfungsi sebagai membran pelindung mitokondria yang merupakan pengatur energi untuk motilitas sperma. Bagian ini dimulai dari distal bagian penghubung sampai annulus (struktur yang membatasi bagian tengah dengan bagaian utama). Bagian utama ekor merupakan daerah yang dimulai dari annulus sampai ujung ekor. Secara keseluruhan, ekor berguna untuk

1 2 3 4 5 A B 1. Kepala Ekor: 2. Bagian penghubung 3. Bagian tengah 4. Bagian utama 5. Bagian ujung

mendorong spermatozoa bergerak melalui uterus dan tuba falopii hingga bertemu dan berpenetrasi pada oosit. (Manandhar & Sutovsky 2007).

Spermatozoa kucing memiliki panjang kira-kira 26 μm, lebih pendek

dibandingkan dengan spermatozoa anjing yang memiliki panjang sekitar 36 μm.

Persentase spermatozoa yang memiliki morfologi abnormal pada ejakulat ditentukan dengan pemeriksaan 200 spermatozoa menggunakan phase-contrast microscopy atau mikroskop cahaya setelah dilakukan perwarnaan dengan Diff- Quik* atau perwarnaan eosin-nigrosin (Johnston et al. 2001).

Gambar 8 Morfologi spermatozoa kucing.

Morfologi spermatozoa kucing diperiksa dengan mikroskop cahaya dan mikroskop scanning elektron. Persentase rata-rata spermatozoa yang memiliki morfologi normal di atas 70% pada kucing. Abnormalitas morfologi dari spermatozoa kucing berupa macrocephalus, microcephalus, kepala ganda, ekor ganda, ekor memuntir ke depan, badan (mid-piece) bengkok, adanya droplet sitoplasma pada distal, kepala lepas, dan ekor putus (Johnston et al. 2001).

Bagian tengah Kepala Bagian ujung Bagian utama

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan sampel dan penelitian dilaksanakan di laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR), Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Waktu pengambilan sampel bulan Juli 2010 sampai bulan Mei 2011.

Materi Penelitian Hewan percobaan

Semen yang digunakan berasal dari kucing domestik (Felis catus) jantan sebanyak 21 ekor dalam kondisi sehat dan telah dewasa kelamin. Bobot badan kucing domestik berkisar antara 3 sampai 4 kg. Kucing dipelihara dalam kandang secara individual dan diberi pakan dry cat food (My Dear Cat®) sebanyak 50 g/hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Kucing diadaptasikan satu minggu sebelum dikoleksi agar terbiasa dengan kandang dan pakan. Pemeriksaan darah untuk setiap kucing dilakukan setelah kucing diadaptasikan, pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui kesehatan kucing dan kelayakan untuk model pengambilan semen segar.

Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gel, NaCl fisiologis, aqua destilata, perwarna eosin-nigrosin, formosaline, alkohol 70%, ketamin 10 mg/kg BB, dan diazepam 0.25 mg/kg BB.

Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan adalah elektroejakulator dengan probe yang mempunyai tiga elektroda stainless-steel longitudinal (Fujihara Industry, Japan), gelas piala, mikropipet, pH-special indicator paper berskala 6.40 – 8.00, tabung Eppendorf, tabung Erlenmeyer, pipet, object glass dan cover glass, mikroskop

cahaya listrik (Olympus CH 20), kamar hitung Neubauer, mikropipet dan tip, tissue, syringe 1 mL, alat hitung, dan heating table.

Metode Penelitian

Kucing yang akan dikoleksi semennya dianastesi terlebih dahulu dengan ketamin HCl 10 mg/kg BB dan diazepam 0.25 mg/kg BB secara intravena pada vena chepalica antibrachii dorsalis. Setelah kucing dianastesi, daerah di sekitar praeputium dibersihkan menggunakan NaCl fisiologis. Semen kucing koleksi menggunakan elektroejakulator (EE) dengan berbagai tingkat voltase satu minggu sekali dengan mengadopsi teknik koleksi semen yang dilakukan oleh Howard (1990). Probe yang digunakan untuk perangsangan adalah Teflon rectal probe dengan 3 elektroda stainless-steel longitudinal. Probe dimasukkan ke arah ventral rektum ± 5 cm, feses dikosongkan agar tidak menghambat stimulasi elektrik dari EE. Pemberian rangsangan dilakukan secara bertahap, mulai 1 V, 2 V, dan 3 V, pada masing-masing voltase diberikan 10 kali pengulangan dengan waktu rangsangan 5 detik setiap kali pengulangan dan waktu istirahat 5 detik (on- off).

Respon yang dilihat selama perangsangan adalah kedutan daerah

Dokumen terkait