• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini akan diuraikan keadaan umum sekolah, karakteristik contoh, karakteristik sosial ekonomi keluarga, faktor protektif internal, faktor protektif eksternal, faktor resiko dan resiliensi remaja serta hubungan di antara variabel-variabel tersebut berikut faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi remaja.

Keadaan Umum Sekolah

Semua sekolah yang dijadikan tempat penelitian adalah sekolah negeri sehingga berstatus milik pemerintah. Keadaan umum sekolah meliputi lokasi sekolah, luas tanah dan bangunan, jumlah siswa, jumlah guru serta rasio guru dan siswa.

Tabel 7. Keadaan umum sekolah Keadaan Sekolah SMAN 1 Ciomas SMKN 1 Ciomas SMAN 5 Bogor SMKN 1 Bogor Lokasi Jl. Cibinong Ciomas Ds. Sukaharja Kab. Bogor Jl. Laladon Kec. Ciomas Kab.Bogor Jl. Manunggal No.22 Menteng Bogor Barat Jl. Heulang No.6 Tanah Sareal Bogor Luas Tanah 10.000 m2 6.500m2 3.920 m2 5.885m2 Luas Bangunan 1.500m2 1.220m2 3.450 m2 4.320m2 Jumlah Siswa

316 siswa 328 siswa 1.080 siswa 1.401 siswa

Jumlah Guru 31 orang 29 orang 60 orang 64 orang Rasio

Guru:Siswa 1 : 10 1 : 11 1 : 18 1 : 22

Semua sekolah tempat penelitian dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala sekolah dibantu oleh beberapa wakil kepala sekolah, yaitu wakil bidang kurikulum, wakil bidang kesiswaan, wakil bidang sarana dan prasarana serta wakil bidang hubungan masyarakat.

Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah di wilayah perkotaan lebih memadai dibandingkan dengan fasilitas sekolah di wilayah pedesaan. Secara umum, fasilitas ruang/bangunan sekolah di wilayah perkotaan, yaitu di SMAN 5 Bogor dan SMKN 1 Bogor, terdiri dari ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang wakil

kepala sekolah, ruang guru, ruang komputer, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang BP/BK, ruang dapur, laboratorium komputer, laboraorium IPA, ruang PSB, Musholla, ruang OSIS, ruang koperasi, ruang UKS, ruang PMR, ruang pramuka, gudang, WC siswa, WC guru, dan kantin sekolah serta lapangan upacara/olahraga.

Sekolah di wilayah pedesaan, yaitu SMAN 1 Ciomas dan SMKN 1 Ciomas, secara umum memiliki jumlah ruangan yang lebih sedikit dengan kondisi yang lebih minim dibanding sekolah di wilayah perkotaan. Jumlah ruang kelas ada 7 ruang di SMAN 1 Ciomas dan 10 ruang di SMKN 1 Ciomas. Masing- masing memiliki ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang wakil kepala sekolah, ruang tamu,ruang TU, WC guru dan WC siswa. Ruang perpustakaan belum dimiliki oleh kedua sekolah tersebut. begitu pula dengan kantin dan ruang koperasi. Ruang OSIS dan ruang khusus untuk masing-masing ekstrakurikuler, seperti pramuka dan PMR, juga belum dimiliki oleh kedua sekolah tersebut. SMAN 1 Ciomas sudah memiliki lapangan upacara/olahraga dengan kondisi yang cukup baik, namun tidak demikian halnya dengan SMKN 1 Ciomas yang belum memiliki lapangan upacara/olahraga memadai.

Karakteristik Contoh

Dalam sub bab ini akan dibahas usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran. Untuk jenis kelamin akan dibahas kembali dalam setiap variabel yang diteliti bersamaan dengan jenis sekolah dan tipologi wilayah.

Usia

Usia contoh berkisar antara 14-18 tahun dengan persentase terbesar adalah usia 16 tahun yaitu sebesar 61.3 persen dari jumlah contoh total dan hanya 0.6 persen yang berusia 14 tahun serta 1.1 persen yang berusia 18 tahun (Tabel 8).

Arnett (2007) mengelompokkan remaja dalam tiga periode yaitu early

adolescence (10 – 14 tahun), late adolescence (15 – 18 tahun dan emerging

adulthood (18 – 25 tahun), sedangkan Hurlock (1993) menyatakan bahwa

kelompok remaja tengah (madya) yaitu remaja yang berusia antara 13 atau 14 tahun sampai 17 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada dalam periode late adolescence (Arnett 2007) atau kelompok remaja madya (Hurlock 1993).

Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, seperti terlihat pada Gambar 4, contoh tersebar merata. Jumlah laki-laki 89 orang atau 49.2 persen dan perempuan 92 orang atau 50.8 persen. Contoh laki-laki dan perempuan di kedua wilayah yaitu pedesaan dan perkotaan juga menyebar merata, yaitu masing-masing 88 orang (48.6%) dan 93 orang (51.4%). Demikian pula untuk di SMA dan SMK, contoh menyebar merata, yaitu masing-masing 89 orang (49.2%) dan 92 orang (50.8%).

40 41 42 43 44 45 46 47 48

SMA SMK LAKI‐LAKI PEREMPUAN

DESA KOTA

Gambar 4. Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan jenis sekolah di pedesaan dan perkotaan

Urutan Kelahiran

Urutan kelahiran menjadi perhatian khusus dalam mengidentifikasi karakteristik yang berkaitan dengan keluarga. Anak sulung digambarkan sebagai orang yang lebih dewasa, penolong, dapat mengontrol diri,lebih cemas dan kurang agresif dibanding saudara-saudaranya. Harapan dan standar tinggi yang ditetapkan oleh orang tua menjadikan anak sulung biasanya memiliki prestasi akademik dan kemampuan profesional yang lebih tinggi dibanding saudara- saudatanya (Santrock 2003). Anak kedua digambarkan sebagai anak suka berpetualang, senang berkelompok dan cenderung lebih independen dari harapan orang tua, sedangkan anak bungsu digambarkan sebagai pribadi yang spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas (Rahmarina 2010).

Berdasarkan urutan kelahiran, contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu anak sulung (pertama), anak tengah (anak di antara anak pertama dan terakhir) dan anak bungsu (anak terakhir). Tabel 8 menunjukkan bahwa

44  44  45  45  43  46  47  48 

persentase terbesar contoh merupakan anak sulung (49.2%). Dari 49.2 persen contoh yang merupakan anak sulung, sebagian besarnya adalah laki-laki (25.4%), bersekolah di SMK (28.2%) dan tinggal di wilayah perkotaan (28.2%), sedangkan selebihnya adalah perempuan (23.8%), bersekolah di SMA (21.0%) dan tinggal di wilayah pedesaan (21.0%).

Keterangan: Lk= laki-laki; Pr = perempuan; T = total

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Karakteristik sosial ekonomi keluarga menggambarkan kondisi sosial ekonomi ayah dan ibu contoh. Pada sub bab ini akan dibahas tentang pendidikan ayah, pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendapatan ayah dan pendapatan ibu.

Pendidikan Orang Tua

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang kualitas sumber daya manusia. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk pola, cara dan pemahaman. Oleh karena itu, secara langsung maupun tidak langsung, tingkat pendidikan akan menentukan baik buruknya pola komunikasi antara anggota keluarga (Gunarsa & Gunarsa, 1995) yang pada akhirnya juga akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya resiliensi remaja.

Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga.

Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan usia dan urutan kelahiran (%)

Karakteristik Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah

Individu Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T

Usia 14 Tahun - 0.6 0.6 0.6 - 0.6 - 0.6 0.6 15 Tahun 13.8 13.8 27.6 15.5 12.2 27.6 14.9 12.7 27.6 16 Tahun 27.6 33.7 61.3 30.4 30.9 61.3 27.1 34.3 61.3 17 Tahun 6.6 2.8 9.4 2.8 6.6 9.4 6.6 2.8 9.4 18 Tahun 1.1 - 1.1 - 1.1 1.1 - 1.1 1.1 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 48.6 51.4 100.0 Urutan Kelahiran Sulung 25.4 23.8 49.2 21.0 28.2 49.2 21.0 28.2 49.2 Tengah 12.2 15.5 27.6 14.9 12.7 27.6 15.5 12.2 27.6 Bungsu 11.6 11.6 23.2 13.3 9.9 23.3 12.2 11.0 23.2 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 51.5 51.5 100.0

cara, pola dan karakter berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Hal tersebut merupakan satu kesatuan yang dapat menjadi faktor penentu dalam berkomunikasi dalam keluarga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua cukup bervariasi. Ada orangtua yang tidak tamat SD, namun ada pula yang sampai dengan tamat perguruan tinggi (Tabel 9).

Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu (%) 

Pendidikan Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah

Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T

Ayah Tidak Sekolah - 0.6 - - 0.6 0.6 0.6 - 0.6 SD 7.2 9.4 16.6 8.3 8.3 16.6 13.8 2.8 16.6 SLTP 5 5.5 10.5 1.7 8.8 10.5 7.2 3.3 10.5 SLTA 23.8 22.1 45.9 18.8 27.1 45.9 22.7 23.2 45.9 Diploma 2.2 2.2 4.4 2.2 2.2 4.4 1.1 3.3 4.4 S-1 9.4 8.8 18.2 14.9 3.3 18.2 3.3 14.9 18.2 S-2 1.1 2.2 3.3 2.8 0.6 3.3 - 3.3 3.3 S-3 0.6 - 0.6 0.6 - 0.6 - 0.6 0.6 Total 49.2 50.8 100 49.2 50.8 100 48.6 51.4 100 Ibu Tidak Sekolah 0.6 1.7 2.2 0.6 1.7 2.2 1.7 0.6 2.2 SD 6.6 11.6 18.2 7.2 11 18.2 14.9 3.3 18.2 SLTP 11.6 10.5 22.1 6.1 16 22.1 14.4 7.7 22.1 SLTA 22.7 18.8 41.4 20.4 21 41.4 15.5 26 41.4 Diploma 2.2 2.2 4.4 4.4 - 4.4 0.6 3.9 4.4 S-1 5.5 6.1 11.6 10.5 1.1 11.6 1.7 9.9 11.6 Total 49.2 50.8 100 49.2 50.8 100 48.6 51.4 100

Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = perempuan; T = total

Persentase terbesar ayah contoh adalah pada kelompok SLTA yaitu sebesar 45.9 persen. Dari persentase tersebut, sebagian besarnya berasal dari wilayah perkotaan yaitu 23.2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ayah di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Kondisi ini didukung pula oleh data yang menunjukkan bahwa ayah contoh di perkotaan mencapai tingkat pendidikan sarjana sebesar 14.9 persen, sementara di pedesaan hanya 3.3 persen. Di perkotaan, sebesar 3.3 persen ayah berpendidikan sampai S-2 dan 0.6 persen S-3, sedangkan di pedesaan, pendidikan tertinggi hanya sampai S-1.

Pada kelompok ayah contoh yang berpendidikan SLTA (45.9%), sebesar 23.8 persen berasal dari contoh laki-laki dan sebesar 27.1 persen berasal dari contoh yang bersekolah di SMK (27.1%). Namun bagi ayah yang berpendidikan tinggi, persentase terbesar adalah ayah dari contoh yang bersekolah di SMA yaitu sebanyak 14.9 persen sarjana dan 2.8 persen berpendidikan S-2. Ayah contoh yang bersekolah di SMK tidak ada yang berpendidikan sampai S-3, sedangkan ayah contoh yang bersekolah di SMA ada sebesar 0.6 persen yang berpendidikan S-3. Hal ini menunjukkan bahwa contoh yang bersekolah di SMA secara umum memiliki ayah yang berpendidikan lebih tinggi daripada contoh yang bersekolah di SMK. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.05) pada pendidikan ayah berdasarkan jenis sekolah dan wilayah (Lampiran1 dan 2).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 41.4 persen ibu contoh berpendidikan SLTA yang persentase terbesarnya berasal dari contoh laki-laki (22.7%) dan dari contoh yang bersekolah di SMK (21.0%) serta bertempat tinggal di wilayah perkotaan (26.0%). Ibu dari contoh yang bersekolah di SMA ada yang berpendidikan diploma yaitu sebesar 4.4 persen dan sarjana yaitu sebesar 10.5 persen. Begitu pula di daerah perkotaan, pendidikan ibu contoh lebih tinggi daripada di pedesaan, yaitu 3.9 persen berpendidikan diploma dan 9.9 persen berpendidikan sarjana. Hal ini diperkuat dengan hasil uji beda yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara pendidikan ibu berdasarkan jenis sekolah dan tipologi wilayah (Lampiran 1 dan 2).

Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan orang tua contoh sangat beragam, yaitu sebagai buruh (termasuk buruh bangunan, pembantu rumah tangga, supir, tukang ojeg), karyawan, wiraswasta, guru/dosen, petani, PNS/ABRI. Persentase pekerjaan ayah yang terbesar dari keseluruhan contoh adalah berwiraswasta yaitu sebanyak 34.8 persen dan sebagian besarnya merupakan ayah dari contoh laki- laki (18.2%) dan contoh yang bersekolah di SMK (22.7%).

Sebanyak 32.0 persen ayah contoh bekerja sebagai karyawan yang sebagian besarnya (19.3%) adalah ayah dari contoh yang bersekolah di SMA dan sebagian besarnya pula (21.5%) tinggal di perkotaan. Tidak ada satupun ayah dari contoh dalam penelitian ini yang tidak memiliki pekerjaan. Hal ini

menunjukkan bahwa contoh dalam penelitian secara status sosial ekonomi dapat dikatakan cukup baik karena bukan berasal dari keluarga yang menganggur dan tidak berpenghasilan.

Ibu dari keseluruhan contoh lebih banyak berperan sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 72.4 persen seperti disajikan dalam Tabel 10. Persentase pekerjaan ibu yang terbesar adalah berwiraswasta yaitu sebanyak 12.7 persen yang sebagian besarnya berasal dari contoh yang bersekolah di SMA (7.7%) dan sebagian besar pula berada di perkotaan (7.2%).

Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu (%)

Pekerjaan Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah

Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T

Ayah Wiraswasta 18.2 16.6 34.8 12.2 22.7 34.8 17.1 17.7 34.8 Karyawan 15.5 16.6 32 19.3 12.7 32 10.5 21.5 32 Guru/Dosen 3.9 2.8 6.6 4.4 2.2 6.6 2.2 4.4 6.6 Buruh 7.2 8.3 15.5 6.1 9.4 15.5 12.2 3.3 15.5 Petani 1.7 1.1 2.8 1.7 1.1 2.8 2.8 - 2.8 PNS/ABRI 2.8 5.5 2.8 5.5 2.8 8.3 3.9 4.4 8.3 Tidak Bekerja - - - - Total 49.2 50.8 100 49.2 50.8 100 48.6 51.4 100 Ibu Wiraswasta 7.7 5 12.7 7.7 5 12.7 5.5 7.2 12.7 Karyawan 2.2 2.2 4.4 2.8 1.7 4.4 1.7 2.8 4.4 Guru/Dosen 2.2 2.8 5 3.9 1.1 5 1.7 3.3 5 Buruh 2.2 1.1 3.3 1.1 2.2 3.3 1.7 1.7 3.3 PNS 1.1 1.1 2.2 1.7 0.6 2.2 1.1 1.1 2.2 Ibu RT 33.7 38.7 72.4 32 40.3 72.4 37 35.4 72.4 Total 49.2 50.8 100 49.2 50.8 100 48.6 51.4 100

Keterangan: Lk= laki-laki; Pr = perempuan; T = total

Pendapatan Orang Tua

Keadaan ekonomi keluarga mempunyai peranan terhadap tingkah laku anak. Keadaan ekonomi yang baik, tentunya akan memberi kesempatan luas pada anak untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan dan kesempatan pendidikan yang lebih baik (Gerungan, 1999 diacu dalam Ruhidawati, 2005).

Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ayah disajikan pada Tabel 11. Pendapatan ayah contoh sebagian besar berada pada kisaran di bawah 1 juta rupiah per bulan, yaitu sebesar 35.4 persen yang sebagian besarnya adalah

ayah dari contoh laki-laki (19.9%), bersekolah di SMK (24.9%) dan tinggal di wilayah pedesaan (23.8%).

Kisaran pendapatan ayah di kota lebih beragam di perkotaan daripada di pedesaan, begitu pula untuk contoh yang bersekolah di SMA dibandingkan dengan SMK. Sebanyak 2.8 persen ayah contoh berpenghasilan antara 9 – 10 juta rupiah/bulan yang sebagian besarnya merupakan ayah dari contoh laki-laki (1.7%), bersekolah di SMA (2.2%) dan tinggal di daerah perkotaan (2.8%). Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ayah dan ibu (%)

Pendapatan Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah

(Rp/bln)

Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T

Ayah <1 juta 19.9 15.5 35.4 10.5 24.9 35.4 23.8 11.6 35.4 1 – 2 juta 14.4 17.7 32 12.7 19.3 32 18.8 13.3 32 2 – 3 juta 7.2 8.8 16 12.2 3.9 16 5 11 16 3 – 4 juta 2.2 3.9 6.1 4.4 1.7 6.1 -- 6.1 6.1 4 – 5 juta 0.6 0.6 1.1 0.6 0.6 1.1 0.6 0.6 1.1 5 – 6 juta 1.1 1.7 2.8 2.8 -- 2.8 -- 2.8 2.8 6 – 7 juta 1.7 1.1 2.8 2.8 -- 2.8 -- 2.8 2.8 7 – 8 juta 0.6 0.6 1.1 1.1 -- 1.1 0.6 0.6 1.1 8 – 9 juta -- -- -- -- -- -- -- -- -- 9 – 10 juta 1.7 1.1 2.8 2.2 0.6 2.8 -- 2.8 2.8 Total 49.2 50.8 100 49.2 50.8 100 48.6 51.4 100 Ibu Tidak ada 33.7 39.2 72.9 32 40.9 72.9 37.6 35.4 72.9 < 1 juta 8.8 2.2 11 4.4 6.6 11 6 5 11 1 – 2 juta 2.8 6.1 8.8 6.1 2.8 8.8 4.4 4.4 8.8 2 – 3 juta 2.8 1.1 3.9 3.3 0.6 3.9 0.6 3.3 3.9 3 – 4 juta -- 0.6 0.6 0.6 -- 0.6 -- 0.6 0.6 4 – 5 juta 0.6 -- 0.6 0.6 -- 0.6 -- 0.6 0.6 5 – 6 juta 0.6 -- 0.6 0.6 -- 0.6 -- 0.6 0.6 6 – 7 juta -- 1.1 1.1 1.1 -- 1.1 -- 1.1 1.1 7 – 8 juta -- -- -- -- -- -- -- -- -- 8 – 9 juta -- -- -- -- -- -- -- -- -- 9 – 10 juta -- 0.6 0.6 0.6 -- 0.6 -- 0.6 0.6 Total 49.2 50.8 100 49.2 50.8 100 48.6 51.4 100

Keterangan: Lk= laki-laki; Pr = perempuan; T = total

Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada pendapatan ayah contoh yang bersekolah di SMA dan di SMK, dimana ayah contoh yang bersekolah di SMA memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi

(p<0.05) daripada SMK (Lampiran 1). Begitu pula berdasarkan tipologi wilayah, ayah contoh di perkotaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan ayah contoh di pedesaan (Lampiran 2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ibu contoh sebagian besar tidak memiliki pendapatan yaitu sebesar 72.9 persen. Hal ini dapat disebabkan karena ibu dari contoh sebagian besar tidak bekerja atau berperan sebagai ibu rumah tangga. Untuk ibu yang bekerja, pendapatan yang diperoleh sebagian besar di bawah 1 juta rupiah/bulan yaitu sebanyak 11.0 persen yang sebagian besarnya adalah ibu dari contoh laki-laki (8.8%), bersekolah di SMK (6.6%) dan tinggal di wilayah pedesaan (6.0%).

Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada pendapatan ibu contoh yang bersekolah di SMA dan di SMK, dimana ibu contoh yang bersekolah di SMA memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi (p<0.05) daripada SMK (Lampiran 1). Begitu pula berdasarkan tipologi wilayah, ibu contoh di perkotaan memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi (p<0.10) dibandingkan dengan ibu contoh di pedesaan (Lampiran 2)

Faktor Protektif Internal

Faktor protektif internal adalah ketrampilan dan kemampuan sehat yang dikuasai individu yang terdiri dari kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama,

self efficacy, empati, kemampuan memecahkan masalah, self awareness dan

memiliki tujuan. Oleh karena itu faktor protektif internal didefinisikan sebagai hasil positif dari perkembangan dan kekuatan personal yang juga berhubungan dengan kesehatan dan keberhasilan proses perkembangan (Austin, Bates & Duerr, 2010).

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa lebih dari 75 persen contoh menyatakan senang bekerjasama dengan teman dan tetap dapat mempertahankan pendapat tanpa menjatuhkan orang lain, dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dan dapat melakukan banyak hal jika mau mencoba, dapat memahami perasaan dan pikiran orang lain, memiliki teman yang dapat diajak bicara dan dimintai bantuan, memiliki tujuan hidup dan rencana masa depan serta memahami mood atau perasaannya sendiri. Hanya tiga dari delapan belas komponen dari faktor internal (16.7%) yang dimiliki oleh kurang dari 75 persen contoh. Komponen tersebut adalah bekerjasama dengan

orang yang berbeda pendapat, mengerjakan banyak hal dengan baik serta mengatasi masalah dengan membicarakan atau menulis tentang apa yang dialami (Tabel 12). Secara umum dapat dikatakan bahwa contoh dalam penelitian ini telah memiliki faktor internal yang baik karena lebih dari tiga perempat contoh telah memenuhi 83.3 persen komponen faktor internal. Semua komponen faktor internal ini akan menjadi modal utama bagi terbentuknya resiliensi pada remaja dengan dukungan dari faktor eksternal yang dimiliki oleh contoh.

Tabel 12. Sebaran contoh menurut komponen faktor internal berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%)

No Komponen Jenis kelamin Jenis sekolah Wilayah Total faktor internal

Lk Pr SMA SMK Desa Kota 1. Dapat bekerjasama

walaupun berbeda pendapat 51.7 60.9 53.9 58.7 44.3 67.7 56.4

2. Senang bekerjasama 97.8 100 100 97.8 98.9 98.8 98.9 3. Mempertahankan pendapat

tanpa menjatuhkan oranglain 85.4 78.3 79.8 83.7 77.3 86.0 81.8

4. Mampu mengatasi masalah 84.3 82.6 76.4 90.2 81.8 84.9 83.4 5. Mampu melakukan banyak hal 96.6 97.8 95.5 98.9 96.6 97.8 97.2 6. Mengerjakan banyak hal

dengan baik 64.0 63.0 59.6 67.4 61.4 65.6 63.5 7. Merasa sedih jika seseorang

terluka 77.5 96.7 86.5 88.0 83.0 91.4 87.3 8. Memahami apa yang dialami

orang lain 78.7 95.7 87.6 87.0 81.8 92.5 87.3 9. Memahami perasaan dan

pikiran orang lain 71.9 90.2 83.1 79.3 79.5 82.8 81.2 10. Ada teman bicara 88.8 79.3 88.8 79.3 85.2 82.8 84.0 11. Ada teman yang membantu 89.9 80.4 86.5 83.7 85.2 84.9 85.1 12. Mengatasi masalah dengan

membicarakan atau menulis

apa yang dialami 47.2 75.0 58.4 64.1 71.6 51.6 61.3 13. Memiliki tujuan hidup 98.9 96.7 97.8 97.8 97.7 97.8 97.8 14. Memahami mood (perasaan) 91.0 73.9 80.9 83.7 86.4 78.5 82.3 15. Memahami alasan untuk

melakukan sesuatu 89.9 89.1 88.8 90.2 90.9 88.2 89.5 16. Memiliki rencana masa depan 95.5 96.7 94.4 97.8 98.9 93.5 96.1 17. Yakin untuk lulus sekolah 100 100 100 100 100 100 100 18. Rencana untuk kuliah 80.9 92.4 94.4 79.3 77.3 95.7 86.7

Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = Perempuan

Kemampuan berempati merupakan kemampuan mengetahui dan memahami bagaimana perasaan orang lain. Kemampuan ini merupakan modal dasar untuk mengembangkan diri dan mendapatkan informasi yang lebih banyak.

Empati juga berarti mampu menerima dan menghargai sudut pandang orang lain (Goleman, 1999). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sun dan Stewart (2007) yang menemukan bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam komunikasi, empati dan aspirasi. Sejalan dengan itu pula, perbedaan yang terlihat antara laki-laki dan perempuan dalam studi yang dilakukan oleh Broderick dan Korteland (2002); Hampel dan Petermann (2005) yang diacu dalam Sun & Stewart (2007) mengindikasikan munculnya karakteristik individual yang spesifik pada usia sekolah, seperti misalnya anak perempuan yang memiliki tingkat yang lebih baik dalam perkembangan sosial emosional dan hubungan yang baik dengan orang dewasa dibanding anak laki- laki.

Tabel 13. Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor internal berdasarkan Jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah

Variabel dan aspek

Jenis kelamin Jenis Sekolah Wilayah Lk Pr p value SMA SMK p value Desa Kota p value Faktor Internal 57.83 59.72 0.328 59.86 57.76 0.276 57.89 59.65 0.363 1 Komunikasi & kerjasama 51.87 52.17 0.912 51.12 52.9 0.516 50.00 53.94 0.148 2 Self efficacy 50.00 47.64 0.410 47.57 50.00 0.394 48.11 49.46 0.636 3 Empati 45.88 63.22 0.000** 54.68 54.71 0.994 51.70 57.53 0.098* 4 Problem Solving 52.99 55.07 0.549 55.06 53.08 0.568 56.63 51.61 0.147 5 Self awareness 67.04 60.69 0.072* 64.61 63.04 0.659 65.53 62.19 0.345 6 Tujuan dan Aspirasi 79.21 79.53 0.912 86.14 72.83 0.000* 75.38 83.15 0.006**

Keterangan: * signifikan pada p<0.10; ** signifikan pada p<0.05

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13 bahwa secara umum, rataan indeks faktor internal perempuan (59.72) lebih tinggi dibanding laki-laki (57.83), namun hasil uji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan (p>0.05). Skor rata-rata faktor internal siswa SMA (59.86) lebih tinggi daripada siswa SMK (57.76), dan contoh di perkotaan (59.65) juga memiliki faktor internal lebih tinggi dibanding contoh di pedesaan (57.89), namun hasil uji beda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada faktor internal secara umum baik berdasarkan jenis sekolah maupun tipologi wilayah (p>0.05).

Jika faktor internal dianalisis berdasarkan dimensinya, maka akan terlihat perbedaan dalam dimensi empati antara laki-laki dan perempuan (p<0.05). Perempuan memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibanding laki-laki yang antara lain digambarkan dengan pertanyaan “aku ikut merasa sedih, jika ada seseorang yang terluka perasaannya”, “aku mencoba untuk memahami apa yang dialami

oleh orang lain” dan “ aku mencoba untuk memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain”.

Penelitian terdahulu tentang faktor protektif internal dalam hubungannya dengan resiliensi telah dilakukan oleh Alimi (2005). Dalam penelitian Alimi di daerah Johar Baru, Jakarta Pusat, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan pada faktor keterampilan sosial dan autonomi. Remaja perempuan memiliki keterampilan sosial dan autonomi yang lebih baik dibandingkan remaja laki-laki.

Miller (1986), yang diacu dalam Sun & Stewart (2007) berpandangan bahwa perempuan lebih cenderung untuk menjalin hubungan dengan orang di sekitarnya dan juga untuk menjalin koneksi yang empatik daripada mengisolasi diri. Miller juga menyatakan bahwa aspek psikologis yang mendasar dari seorang perempuan adalah melihat keberadaan dirinya sendiri dengan menjalin sebuah hubungan yang sesungguhnya.

Individu yang mempunyai aspirasi yang tinggi terhadap suatu objek akan mempunyai kekuatan atau mendorong untuk melakukan serangkaian tingkah laku untuk mendekati atau mendapatkan objek tersebut. Kesulitan yang timbul tidakmenyurutkan langkahnya tetapi justru membuat individu semakin berkeinginan untuk mengatasi kesulitan tersebut dengan menggunakan potensi kreativitas agar tercapai hasil kerja yang baik (Ardi, 2008).

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam dimensi tujuan dan aspirasi antara siswa SMA dan SMK dengan p<0.05 (Tabel 13). Siswa SMA memiliki skor yang lebih tinggi dalam tujuan dan aspirasi dibanding siswa SMK. Perbedaan ini terlihat dalam rencana yang dimiliki untuk masa depan, termasuk tujuan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat dimengerti karena pada umumnya siswa yang masuk SMA lebih siap untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dibanding siswa SMK yang lebih berorientasi untuk dapat masuk ke dunia kerja setelah menyelesaikan studinya. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perbedaan dalam dimensi

tujuan dan aspirasi (p<0.05), pada remaja yang tinggal di perkotaan dan pedesaan (Tabel 13). Perbedaan ini terlihat dari keinginan untuk dapat lulus dari sekolah menengah dan juga adanya rencana untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Lebih tingginya keinginan atau rencana untuk melanjutkan kuliah pada contoh diperkotaan, kemungkinan disebabkan karena kemampuan

ekonomi yang lebih mendukung pada contoh di perkotaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Issusilaningtyas (1991) yang diacu dalam Ardi (2008) mengatakan bahwa aspirasi yang ada harus dipadukan dengan suatu harapan yang logis dan realistis, sehingga menjadi sesuatu yang berarti bagi dirinya. Agar individu dapat mempersiapkan tujuannya secara realistis dalam menentukan aspirasinya, dibutuhkan adanya pertimbangan dari segi fisik, mental maupun lingkungan.

Gambar 5. Sebaran contoh total berdasarkan faktor protektif internal

Pada selang kepercayaan 90 persen (p<0.10) terlihat adanya perbedaan dalam aspek empati berdasarkan tipologi wilayah. Contoh di perkotaan (rataan indeks 57.53) memiliki rasa empati yang lebih tinggi dibanding contoh yang tinggal di pedesaan (rataan indeks 51.70). Hal ini berarti contoh di perkotaan lebih memiliki kemampuan untuk memahami dan peduli pada perasaan orang lain dan apa yang dialami orang lain daripada contoh di pedesaan. Implikasinya dapat dilihat pada resiliensi yang dimiliki oleh contoh di perkotaan yang ternyata memiliki skor lebih tinggi daripada contoh di pedesaan, walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Pada p<0.10 terlihat perbedaan aspek self awareness berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki (rataan indeks 67.04) memiliki self awareness yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (rataan indeks 60.69). Hal ini berarti laki-laki kemampuan yang lebih baik untuk mengetahui dan memahami diri sendiri. Kemampuan ini juga termasuk pada pemahaman bahwa pemikiran yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaannya. Dalam hal ini

71.8%  3.3%  24.9% 

pula, seseorang memiliki kesadaran akan kekuatan dan tantangan yang dihadapinya. Impilikasinya dapat terlihat pada resiliensi yang dimiliki oleh laki- laki (rataan indeks 49.19) yang ternyata lebih tinggi daripada perempuan (47.85), walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Tabel 14. Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor internal (%)

Kategori Jenis Kelamin Jenis Sekolah Wilayah faktor _____________________________________________________ internal Lk Pr T SMA SMK T Desa Kota T Rendah 1.1 2.2 3.3 1.7 1.7 3.3 2.2 1.1 3.3 Sedang 39.2 32.6 71.8 34.3 37.6 71.8 34.8 37.0 71.8 Tinggi 8.8 16.0 24.9 13.3 11.6 24.9 11.6 13.3 24.9 Total 49.2 50.8 100.0 49.2 50.8 100.0 48.6 51.4 100.0 Keterangan: Lk = laki-laki; Pr = Perempuan; T = total

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memiliki faktor internal kategori sedang (71.8%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar contoh sudah cukup memiliki kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, self efficacy, empati, kemampuan memecahkan masalah, self

awareness dan memiliki tujuan yang baik.

Dokumen terkait