• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resilience of Adolescent based on Gender, Type of School and Regional Typology

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resilience of Adolescent based on Gender, Type of School and Regional Typology"

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)

JENIS SEKOLAH DAN TIPOLOGI WILAYAH

KENTY MARTIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Resiliensi berdasarkan Jenis

Kelamin, Jenis Sekolah dan Tipologi Wilayah adalah karya saya dengan arahan

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun di perguruan tinggi

lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka

di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Kenty Martiastuti

(4)
(5)

KENTY MARTIASTUTI. Resilience of Adolescent based on Gender, Type of

School and Regional Typology. Under direction of EUIS SUNARTI and MELLY

LATIFAH.

The purpose of this study was to see the difference in resilience based on gender, type of school and regional typology and determine the factors that affect the adolescent’s resilience. Resilience is the ability to bounce back successfully despite exposure to severe risk. Resilience is determined by two factors, namely a protective factor and risk factors. Protective factors help to protect adolescent from the negative effects of risk factors. Adolescent resilience is considered important because resilient adolescents would not easily give up and fall into maladaptive behaviors. The study was carried out with 89 males and 92 females from senior high school in Kabupaten and Kota Bogor. Within the scope of the

study “Resilience and Youth Development Module (48 items, α = 0.758 – 0.869)”,

“Family Environment Scale (90 items, α = 0.885)”, “Risk Factor Inventory (15

items, α = 0.623” and “Resilience Scale (25 items, α = 0.768)” were used. The

study results showed significant differences in peers protective factor and risk factor among males and females (p<0.05). Based on the school type, there were differences in the risk factors (p <0.05) and in terms of regional typology some differences were also seen in the risk factors (p <0.10) and community’s protective factors (p <0.05). The Pearson correlation test showed a positive correlations of internal factors, family factors, school factors, peer factors and community factors with resilience. Multiple regression test showed that the factors affecting the adolescent resilience were internal factors, family factors and peer factors with the adjusted R square of 0.474.

(6)
(7)

KENTY MARTIASTUTI

.

Resiliensi Remaja Berdasarkan Jenis Kelamin, Jenis Sekolah dan Tipologi Wilayah. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan MELLY LATIFAH.

Remaja adalah individu yang berada dalam masa peralihan dan masa konflik akibat banyaknya perubahan dan permasalahan yang dihadapi. Permasalahan dan kesulitan hidup adalah fenomena yang akan selalu dihadapi. Berbagai macam cara dilakukan oleh remaja dalam menyikapi kesulitan hidup yang tidak jarang dapat berujung pada permasalahan sosial seperti perilaku seks bebas, penggunaan narkoba, tawuran bahkan bunuh diri. Oleh karena itu, resiliensi remaja menjadi suatu hal yang penting karena remaja yang resilien tidak mudah menyerah dan terjerumus ke dalam perilaku maladaptive karena resiliensi atau daya lenting merupakan kemampuan individu untuk bangkit dari kesulitan yang dihadapi dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor protektif (pelindung) dan faktor resiko. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan menganalisis perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah serta mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada resiliensi remaja.

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan di sekolah menengah tingkat atas di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive. Sekolah yang dipilih adalah SMAN 5 Bogor dan SMKN 1 Bogor yang mewakili wilayah perkotaan serta SMAN 1 Ciomas dan SMKN 1 Ciomas yang mewakili wilayah pedesaan. Contoh adalah siswa kelas X yang berasal dari keluarga utuh dan berjumlah 181 orang (89 laki-laki dan 92 perempuan). Contoh dipilih secara proportional random sampling. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik contoh dan keluarga, faktor protektif internal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya, faktor protektif masyarakat, faktor resiko dan resiliensi remaja. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah diujicoba dan memperoleh nilai alpha cronbach yang berkisar antara 0.623 sampai dengan 0.885 untuk instrument yang digunakan. Data sekunder meliputi data siswa dan kondisi umum sekolah. Pengolahan dan analisis data menggunakan program

Microsoft Excel dan SPSS 16.0 for Windows. Data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif. Untuk melakukan analisis uji beda digunakan Independent t test dan Mann-Whitney, uji korelasi digunakan Pearson Correlation dan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh pada resiliensi remaja digunakan Multiple Regression.

Prosentase terbesar contoh berusia 16 tahun (61.3%) dan merupakan anak sulung (49.2%). Sebanyak 45.9 persen ayah dan 41.4 persen ibu contoh berpendidikan SLTA. Persentase terbesar jenis pekerjaan ayah adalah wiraswasta (34.8%) sedangkan sebanyak 72.4 persen ibu contoh adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 35.4 persen ayah contoh berpendapatan di bawah Rp.1.000.000,00 dan sebanyak 11.0 persen ibu contoh yang bekerja memiliki pendapatan di bawah Rp. 1.000.000,00.

(8)

Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa perempuan memiliki aspek empati (faktor internal) dan faktor teman sebaya yang lebih tinggi daripada laki-laki (p<0.05), sebaliknya laki-laki-laki-laki memiliki aspek partisipasi masyarakat dan faktor resiko yang lebih tinggi daripada perempuan (p<0.05). Dalam hal ini, perempuan lebih memahami perasaan dan pikiran orang lain dan lebih merasakan bahwa teman merupakan bagian penting dalam hidupnya. Sebaliknya laki-laki lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Laki-laki juga memiliki faktor resiko yang lebih tinggi daripada perempuan.

Berdasarkan jenis sekolah ditemukan bahwa contoh yang bersekolah di SMA memiliki aspek tujuan (faktor internal) dan kohesi (faktor keluarga) yang lebih tinggi daripada contoh yang bersekolah di SMK (berbeda signifikan pada p<0.05). Sebaliknya, contoh yang bersekolah di SMK memiliki aspek konflik (faktor keluarga) dan faktor resiko yang lebih tinggi daripada contoh yang bersekolah di SMA (berbeda signifikan pada p<0.05).

Berdasarkan tipologi wilayah ditemukan bahwa contoh yang tinggal di perkotaan memiliki aspek tujuan (faktor internal) dan orientasi budaya (faktor keluarga) yang lebih tinggi daripada contoh yang tinggal di pedesaan (berbeda signifikan pada p<0.05). Sebaliknya, contoh yang tinggal di pedesaan memiliki aspek konflik (faktor keluarga) dan faktor protektif masyarakat yang lebih tinggi daripada contoh di perkotaan (berbeda signifikan pada p<0.05).

Penelitian ini menemukan adanya korelasi positif antara faktor internal, faktor protektif keluarga, faktor protektif sekolah, faktor protektif teman sebaya, faktor protektif masyarakat dan resiliensi, namun tidak ditemukan korelasi antara faktor resiko dan resiliensi remaja. Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa faktor internal, faktor protektif keluarga dan faktor protektif teman sebaya merupakan faktor yang berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap resiliensi remaja. Nilai adjusted R square adalah 0.474 menunjukkan bahwa 47.4 persen resiliensi remaja dipengaruhi oleh faktor internal, faktor protektif keluarga dan faktor protektif teman sebaya, sedangkan sebesar 52.6 persen, resiliensi dipengaruhi oleh faktor lain.

Penelitian ini menunjukkan bahwa resiliensi terbentuk dari berkembangnya faktor internal yang dimiliki individu seperti kemampuan untuk bekerjasama, memecahkan masalah, memiliki rasa empati, self awareness, self-efficacy dan tujuan. Berkembangnya faktor internal ini didukung oleh faktor eksternal seperti adanya hubungan yang baik, harapan yang tinggi dari lingkungan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya, sehingga faktor eksternal dapat menjadi faktor pelindung (protektif) terhadap efek negatif dari faktor resiko yang dimiliki individu.

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan pada orang tua untuk selalu memberi dukungan pada anak-anaknya agar faktor internal dapat berkembang maksimal. Sekolah mengaktifkan kembali kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan resiliensi seperti kepramukaan, OSIS, paskibra dan berbagai macam lomba untuk menumbuhkan jiwa kompetisi dan tidak mudah menyerah. Pemerintah melalui lembaga terkait, hendaknya mengadakan sosialisasi lebih intensif tentang program atau kebijakan yang mendukung perkembangan resiliensi remaja.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan

pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan

kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(10)
(11)

JENIS SEKOLAH DAN TIPOLOGI WILAYAH

KENTY MARTIASTUTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

NIM : I251090061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Ir. Melly Latifah MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Keluarga dan

Perkembangan Anak

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc Dr.Ir.Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi sekaligus tesis ini. Penulisan tesis ini tentu tidak terlepas

dari dorongan semangat dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh

karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS dan Ir. Melly Latifah, MSi. selaku komisi pembimbing

atas bimbingan, waktu, nasehat, kesabaran, kesempatan, dan ilmu yang

telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Diah Krisnatuti MS dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc atas kesediaan dan

waktunya untuk menjadi penguji pada ujian tesis.

3. Rekan-rekan di TK Islam AULIA dan SDN Pondok Petir 03 atas segala

pengertiannya dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

melanjutkan studi.

4. Kepala Sekolah dan seluruh jajaran guru/staf serta siswa kelas X (tahun

pelajaran 2010-2011) SMAN 5 Bogor, SMKN 1 Bogor, SMAN 1 Ciomas dan

SMKN 1 Ciomas atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

5. Seluruh keluarga, terutama suami dan anak-anak tercinta (Risyda, Azka,

Difa dan Nayla), yang telah mencurahkan cinta, kasih sayang, do’a,

semangat, pengorbanan moril dan materil untuk keberhasilan penulis

menyelesaikan studi ini, serta Papa dan Ibu, yang selalu mendo’akan penulis

dan siap membantu menjaga si kecil penuh kasih sayang. Terlebih pada

Mama tercinta (almh) atas cintanya yang menjadi motivasi penulis untuk

selalu berbuat yang terbaik.

6. Teman-teman IKA angkatan 2009, Ilham, Dian, Mulyati, Wiwik, Nia dan Puji,

yang telah menemani hari-hari indah penuh makna selama menjalani studi

ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas

pelajaran kehidupan yang telah diberikan selama menjalani studi ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 18 Maret 1972. Penulis anak

ketiga dari tiga bersaudara. Lahir dari pasangan Bapak Mohammad Toto Kosasih

dan ibu Sri Soehardini.

Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Jakarta pada

tahun 1990. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan

Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Fakultas Pertanian Institut

Pertanian Bogor. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1995.

Sejak tahun 1996 penulis mengelola Yayasan Al Firdaus Jakarta yang

bergerak di bidang sosial dan pendidikan. Pada tahun 2001 penulis menjadi

Kepala TK Islam AULIA sampai saat ini dan pada tahun 2005 – 2010 menjadi

guru wiyatabakti di SDN Pondok Petir 03. Penulis berkesempatan menjadi

Pengajar pada program diploma di PGTK Al Istiqomah Bintaro tahun 2004 –

2006 dan menjadi Tutor pada program S-1 PGSD Universitas Terbuka sejak

tahun 2011. Pada tahun 2009, penulis memperoleh kesempatan untuk

melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Keluarga

dan Perkembangan Anak (IKA), Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen,

(18)
(19)

 

Pengertian dan Karakteristik Remaja ... 9

Rentang Usia Remaja ... 10

Perubahan yang Terjadi pada Masa Remaja ... 11

Permasalahan yang Dihadapi Remaja ... 13

Resiliensi ... 14

Pengertian Resiliensi ... 14

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ... 16

Lingkungan Keluarga ... 20

Perkembangan Resiliensi pada Individu ... 22

Penelitian tentang Resiliensi ... 25

Pengukuran Resiliensi ... 27

KERANGKA PEMIKIRAN ... 31

METODE PENELITIAN ... 35

Disain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 35

Contoh dan Cara Pengambilan Contoh ... 35

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 37

Pengolahan dan Analisis Data ... 38

Definisi Operasional ... 42

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Keadaan Umum Sekolah ... 45

Karakteristik Contoh ... 46

Usia ... 46

Jenis Kelamin ... 47

Urutan Kelahiran ... 47

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 48

Pendidikan Orang Tua ... 48

Pekerjaan Orang Tua ... 50

Pendapatan Orang Tua ... 51

Faktor Protektif Internal ... 53

Faktor Protektif Keluarga ... 58

Faktor Protektif lingkungan ... 65

Faktor Protektif Sekolah ... 66

Faktor Protektif Teman Sebaya ... 68

Faktor Protektif Masyarakat ... 70

(20)

   

Resiliensi ... 76

Hubungan Variabel Penelitian dengan Resiliensi ... 79

Karakteristik Individu dan Resiliensi ... 79

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga dan Resiliensi ... 79

Faktor Protektif Internal dan Resiliensi ... 80

Faktor Protektif Keluarga dan Resiliensi ... 81

Faktor Protektif Sekolah dan Resiliensi ... 82

Faktor Protektif Teman Sebaya dan Resiliensi ... 83

Faktor Protektif Masyarakat dan Resiliensi ... 84

Faktor Resiko dan Resiliensi ... 85

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Remaja ... 86

Pembahasan Umum ……… 89

SIMPULAN DAN SARAN ... 95

Simpulan ... 95

Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 107

(21)

   

1 Definisi resiliensi dari berbagai sumber……… 15

2 Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi……….. 19

3 Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi……… 29

4 Jumlah sampel pada masing-masing sekolah……….. 36

5 Jenis data penelitian ……….……….. 37

6 Nilai alpha croncach instrumen penelitian……… 38

7 Keadaan umum sekolah………. 45

8 Sebaran contoh berdasarkan usia dan urutan kelahiran (%)…….. 48

9 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan ayah dan ibu (%)……… 49

10 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu (%)……….. 51

11 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan ayah dan ibu (%)…….. 52

12 Sebaran contoh menurut komponen faktor internal berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah (%)……… 54

13 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor internal Berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah….. 55

14 Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor internal (%)... 58

15 Sebaran contoh menurut komponen faktor keluarga dimensi relationship yang dimiliki oleh kurang dari 75% contoh……… 59

16 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi relationship ……… 60

17 Sebaran contoh menurut komponen faktor keluarga dimensi personal growth yang dimiliki oleh kurang dari 75% contoh……… 62

18 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi personal growth……… 63

19 Sebaran contoh menurut komponen faktor keluarga dimensi system maintenance yang dimiliki oleh kurang dari 75% contoh….. 64

20 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif keluarga dimensi system maintenance……… 65

21 Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor keluarga……… 65

22 Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif sekolah……. 66

23 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif sekolah.. 67

(22)

   

24 Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor protektif sekolah…….. 68 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor teman sebaya (%)….. 68 26 Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif teman sebaya

berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah…… 69 27 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor protektif teman

sebaya berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah….. 70 28 Sebaran contoh menurut komponen faktor protektif masyarakat

berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah……… 71 29 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor masyarakat

berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah……… 72 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor protektif masyarakat…. 73 31 Sebaran contoh menurut komponen faktor resiko berdasarkan

jenis kelamin, jenis sekolah dan wilayah………. 74 32 Sebaran rataan indeks dan hasil uji beda faktor resiko……… 75 33 Sebaran contoh berdasarkan kategori faktor resiko……….. 76 34 Sebaran contoh menurut komponen resiliensi yang dimiliki oleh

kurang dari 75 persen contoh berdasarkan jenis kelamin, jenis

sekolah dan tipologi wilayah……… 77 35 Sebaran rataan indeks dan hasil uji coba resiliensi berdasarkan

jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah………. 77 36 Sebaran contoh berdasarkan kategori resiliensi (%)………. 78 37 Hasil uji korelasi antarvariabel penelitian……… 80 38 Model regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi

resiliensi……….. 87

(23)

   

Halaman

1 Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner ……… 25 2 Kerangka pemikiran penelitian……… 33 3 Bagan cara pengambilan contoh……… 36 4 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan jenis sekolah di

pedesaan dan perkotaan……… 47 5 Sebaran contoh total berdasarkan faktor protektif internal……… 57 6 Sebaran contoh total berdasarkan faktor resiko……… 75 7 Sebaran contoh total berdasarkan tingkat resiliensi……… 78

(24)
(25)

   

1 Hasil uji beda pendapatan dan pendidikan orang tua

berdasarkan jenis sekolah …..……… 107 2 Hasil uji beda pendapatan dan pendidikan orang tua

berdasarkan tipologi wilayah……… 107 3 Hasil uji korelasi antarvariabel penelitian……… 108

(26)
(27)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Remaja merupakan kelompok individu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, baik dalam hal fisik, mental, intelektual maupun sosial emosional (Hurlock 1991, yang diacu dalam Ali & Asrori 2009). Ditinjau dari segi fisiknya, remaja sudah tidak termasuk kelompok anak-anak, namun belum dapat diperlakukan sebagai orang dewasa. Sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti memiliki banyak idealisme dan angan-angan, besarnya keinginan untuk berpetualang, rasa ingin tahu yang tinggi serta besarnya keinginan untuk mencoba segala sesuatu, membuat para remaja seringkali terjerumus ke dalam kegiatan atau perilaku negatif (Ali & Asrori 2009)..

Data Badan Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan UNFPA tahun 2010 menyatakan bahwa separuh dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Indonesia rentan berperilaku tidak sehat. Masalah yang paling menonjol di kalangan remaja saat ini, adalah masalah seksualitas (hamil di luar nikah, aborsi, terinfeksi penyakit menular seksual ) serta penyalahgunaan narkoba. Disinyalir sebanyak 34.7 persen remaja putri dan 30.9 persen remaja putra yang berusia 14 – 19 tahun pernah melakukan hubungan seksual. Bahkan berdasarkan penelitian Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora selama 3 tahun (1999-2002) pada tempat kos mahasiswa di Yogyakarta menunjukkan 97,05 persen dari 1660 mahasiswa yang diteliti pernah berhubungan seksual (Antara News, 2010).

Kasus aborsi di kalangan remaja juga tinggi, yaitu sebanyak 27 persen dari 2,5 juta wanita yang melakukan aborsi adalah dari kalangan remaja. Pada kasus narkoba diketahui bahwa 1,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 3,2 juta jiwa adalah pengguna narkoba dan dari jumlah tersebut, sebanyak 78 persen berasal dari kalangan remaja. Untuk di DKI Jakarta, dari sekitar 300 ribu pengguna narkoba sekitar 45 persen di antaranya adalah pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan, prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7 persen dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang (Antara News, 2010).

(28)

yang termasuk dalam kategori anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Berdasarkan batasan tersebut, remaja termasuk dalam kategori anak yang perlu dilindungi oleh Negara. Perlindungan anak itu sendiri menurut undang-undang adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Bukan saja karena secara yuridis, remaja termasuk kelompok yang harus dilindungi hak-haknya, namun lebih dari itu karena masa depan negeri ini berada di atas pundak mereka sebagai generasi penerus pembangunan. Remaja saat ini adalah pemimpin masa depan, yang bertanggungjawab atas maju mundurnya peradaban negeri ini, apalagi mengingat jumlahnya yang mencapai 26.8 persen dari 233 juta jiwa penduduk Indonesia atau sekitar 63 juta jiwa (Antara News 2010).

Berdasarkan salah satu indikator keberhasilan pembangunan yaitu Human Development Index (HDI), Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 182 negara, bahkan tertinggal jauh dengan negara tetangga terdekat yaitu Malaysia (urutan ke-66) dan Singapura (urutan ke-23) pada tahun 2009 (Akhwan 2010). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan langkah dan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia karena jika tidak dibarengi dengan kualitas yang baik dan penanganan yang serius, maka jumlah remaja yang cukup besar ini tidaklah memberikan makna yang berarti bagi pembangunan.

(29)

Resiliensi pada remaja menjadi suatu hal yang penting karena dengan resiliensi yang baik maka seseorang akan memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya. Ada orang yang menyikapi kesulitan hidup, dengan memilih jalan yang negatif seperti halnya menjadi pesimis, frustasi, putus asa hingga melakukan bunuh diri. Di sisi lain, orang yang resilien akan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk bangkit dan menghadapi kesulitan hidupnya ini dengan sikap positif, ia bahkan mampu mengatasi kesulitannya dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif (Sanni 2009).

Pada umumnya, resiliensi ditandai dengan adanya hasil yang baik meskipun dalam kondisi kesulitan, mampu untuk tetap memiliki kompetensi walaupun berada di bawah tekanan ataupun adanya proses pemulihan dari trauma (Masten dan Coatsworth 1998 diacu dalam Kalil, 2003). Resiliensi tidak bersifat statis, tetapi dinamis dengan adanya sebuah proses yang dapat berubah seiring dengan waktu dan keadaan (Cicchetti & Toth 1998 diacu dalam Kalil 2003).

Dalam memahami resiliensi, ada 2 faktor penting yang perlu diperhatikan, yaitu faktor resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor). Faktor protektif merupakan karakteristik individu, keluarga dan lingkungan yang dapat membantu melindungi seseorang dari efek negatif faktor resiko. Resiliensi memang tidak terbentuk secara otomatis pada diri seseorang. Kemampuan tersebut mulai terbentuk sejak usia dini dan terus berkembang seiring dengan pengalaman hidup yang dialami seseorang. Dalam hal ini, keluarga sebagai lingkungan sosial utama, paling berperan dalam membentuk resiliensi remaja (Davis 1999). Berdasarkan penelitian Dahesihsari (1996), remaja yang berasal dari keluarga dengan kondisi yang kondusif ternyata mampu bereaksi secara konstruktif dalam menganggulangi masalahnya.

(30)

terlihat ada peningkatan yang signifikan pada resiliensi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan resiliensi remaja bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Dengan adanya upaya preventif ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan-tindakan antisosial yang kini banyak terjadi di masyarakat dan memaksimalkan potensi remaja sebagai generasi penerus bangsa.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi remaja memiliki karakteristik yang agak berbeda dengan kelompok individu pada rentang usia lainnya karena dapat menimbulkan permasalahan sosial berupa perilaku negatif yang bukan hanya merugikan diri sendiri, namun juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Perilaku negatif ini antara lain tawuran, pemakaian obat-obatan terlarang, seks bebas, dan perilaku lainnya yang bersifat destruktif. Adanya kesulitan hidup yang dihadapi akan dapat meningkatkan potensi terjadinya perilaku destruktif ini. Kesulitan hidup dapat berupa bencana atau kejadian tidak terduga lainnya, adanya lingkungan yang mendorong terjadinya perilaku negatif ataupun perubahan-perubahan dalam situasi sosial dan ekonomi.

Dalam kaitannya dengan resiliensi sebagai kemampuan individu bangkit dari kesulitan maka seseorang yang resilien akan mampu menjawab tantangan dan kesulitan yang dihadapi dengan bersikap positif atau bahkan lebih baik dari sebelumnya. Individu yang resilien adalah individu yang dapat menghindarkan diri dari melakukan perilaku negatif dan memberikan peluang bagi dirinya untuk meneruskan tugas-tugas perkembangan selanjutnya dan meraih masa depan yang lebih baik (Kalil 2003). Kemampuan untuk menghindari perilaku bermasalah ini merupakan indikator penting bagi resiliensi remaja, sehingga penting pula untuk meneliti resiliensi ini sebagai bagian dari tugas perkembangan remaja.

(31)

individu ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah hasil dari proses panjang yang dialami individu berdasarkan pengalaman-pengalaman atau kejadian-kejadian yang berlangsung dalam hidupnya.

Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan pada kelompok individu yang berada dalam kondisi normatif. Dalam hal ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah investasi yang dimiliki individu yang diharapkan akan muncul pada saat individu tersebut mengalami kesulitan hidup (Kaya 2007; LaFromboise et al. 2006). Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan sebagai upaya intervensi dalam rangka meningkatkan resiliensi melalui kegiatan-kegiatan yang positif (Luvaas 2010).

Jika dikaitkan dengan beberapa model atau pendekatan penelitian terdahulu, maka penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan yang memandang bahwa resiliensi merupakan sebuah investasi dan dapat diprediksi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah faktor protektif dan faktor resiko. Faktor protektif yang berasal dari individu disebut dengan faktor internal, sedangkan faktor protektif yang berasal dari lingkungan di luar individu disebut dengan faktor eksternal. Faktor protektif eksternal terdiri atas faktor keluarga, faktor sekolah, faktor teman sebaya dan faktor masyarakat. Faktor resiko juga dapat berasal dari individu, keluarga dan lingkungan (Benard 2004; Gizir 2004).

Dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama yang berkaitan dengan kondisi remaja saat ini dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi. Lebih lanjut lagi, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk meminimalisir permasalahan remaja yang kerap terjadi.

Perbedaan jenis kelamin sebagai sebuah faktor bawaan (nature)

(32)

Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah?

2. Apakah terdapat perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah?

3. Apakah terdapat pengaruh faktor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi remaja?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi resiliensi remaja berdasarkan faktor protektif dan faktor resiko berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah.

2. Menganalisis perbedaan faktor protektif, faktor resiko dan resiliensi remaja, berdasarkan jenis kelamin, jenis sekolah dan tipologi wilayah

3. Mengetahui pengaruh karakterististik individu, karakteristik sosial ekonomi, faktor protektif dan faktor resiko terhadap resiliensi remaja.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi kepada para orang tua mengenai kualitas lingkungan keluarga yang baik bagi perkembangan anak khususnya remaja. Langkah selanjutnya, orang tua diharapkan dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya resiliensi remaja.

(33)
(34)
(35)

 

 

Dalam bab ini akan dibahas tentang remaja dan resiliensi. Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja, rentang usia remaja, perubahan yang terjadi pada masa remaja dan permasalahan yang dihadapi remaja. Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian resiliensi, faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi.

Remaja

Pada sub bab remaja akan dibahas tentang pengertian dan karakteristik remaja serta rentang usia remaja. Dalam sub-sub bab perubahan yang terjadi pada masa remaja akan dibahas perubahan fisik, perubahan kognitif dan perubahan psikososial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang permasalahan yang dihadapi remaja.

Pengertian dan Karakteristik Remaja

Remaja atau dalam bahasa Inggris disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bangsa primitif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori 2009).

Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental. emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget, yang mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa usia di mana terjadi integrasi individu ke dalam kelompok masyarakat dewasa yang mengandung banyak aspek afektif, lebih atau kurang dari usia pubertas (Hurlock 1993). Menurut Steinberg (1993) masa remaja merupakan suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, mereka menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi dirinya sendiri dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan perkawinan.

(36)

 

Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal tersebut dikemukakan oleh Erikson, yang diacu dalam Hurlock (1993) yang menamakan proses tersebut sebagai proses pencarian diri sendiri. Monks (1989) diacu dalam Ali dan Asrori (2009) juga mengungkapkan hal senada yaitu bahwa remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase ‘topan dan badai”. Fase topan dan badai (storm and stress) ini juga digunakan oleh Stanley Hall yang terkenal sebagai bapak studi ilmiah remaja. Konsep Hall tentang remaja ditandai sebagai masa goncangan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati (Santrock 2003).

Beberapa karakteristik remaja adalah (1) keadaan emosi yang labil (2) sikap menentang dan orang lain maupun orang dewasa lainya (3) pertentangan dalam dirinya menjadi sebab pertentangan dengan orang tuanya (4) eksperimentasi atau keinginan yang besar dari remaja untuk melakukan kegiatan orang dewasa yang dapat ditampung melalui saluran ilmu pengetahuan (5) eksplorasi atau keinginan untuk menjelajahi lingkungan alam sekitar yang sering disalurkan melalui penjelajahan atau petualangan (6) banyaknya fantasia atau khayalan dan bualan (7) kecenderungan membentuk kelompok dan melakukan kegiatan berkelompok (Gunarsa dan Gunarsa, 1995).

Rentang Usia Remaja

Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batas usia tidak dirinci dengan jelas dan terdapat beberapa perbedaan dalam menentukan rentang usia remaja. Menurut Atkinson (1983), remaja berada dalam rentang usia 12 sampai dengan akhir belasan tahun ketika pertumbuhan jasmani hampir selesai, sedangkan menurut Hurlock (1981) usia remaja adalah 12 – 18 tahun.

(37)

 

 

remaja (Desifa, 2010). Sedikit berbeda, Davidoff mengatakan bahwa rentang usia remaja berada dalam kisaran 13 – 18 tahun yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam dimensi fisik (tubuh), kematangan seksual, kemampuan kognitif serta harapan dan permintaan dari keluarga, teman dan masyarakat yang juga berbeda dari sebelumnya (Davidoff 1981).

Perubahan yang Terjadi Pada Masa Remaja

Pada masa remaja inilah terjadi perubahan yang pesat, baik perubahan secara fisik, kognitif maupun sosial emosional (Seifert dan Hoffnung 1987). Begitu pula menurut Papalia, Olds dan Feldman (2008) bahwa masa remaja merupakan masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, kognitif dan psikososial.

Perubahan dalam perkembangan seorang remaja merupakan hasil dari proses biologis (fisik), kognitif dan sosial yang saling terjalin secara erat. Proses sosial membentuk proses kognitif, proses kognitif mengembangkan atau menghambat proses sosial dan proses biologis juga mempengaruhi proses kognitif. Oleh karenanya semua itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari diri seorang manusia yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu badan dan satu jiwa yang saling tergantung (Santrock 2003). Perubahan yang terjadi pada remaja, antara lain adalah: 1) perubahan fisik, 2) perubahan kognitif dan 3) perubahan psikososial.

(38)

 

dan Asrori 2009). Masa pubertas dan menarche (menstruasi pertama) seringkali dideskripsikan sebagai peristiwa utama dalam sejarah kehidupan remaja. Secara mendasar, pandangan ini mengisyaratkan bahwa perubahan pada masa puber dan kejadian-kejadian seperti menarche menyebabkan perbedaan tubuh yang menuntut perubahan yang cukup bermakna dalam konsep diri, yang mungkin dapat menyebabkan krisis identitas (Santrock 2003).

Perubahan kognitif. Perubahan dari masa kanak-kanak menjadi remaja akan membuat perubahan pada kemampuan kognitifnya yang sering diungkapkan oleh Piaget sebagai tahap formal operational. Pada tahap ini, remaja membangun kapasitasnya untuk menggunakan alasan-alasan ilmiah dan menjelaskan berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam membuktikan sebuah hipotesis serta menjelaskan sesuatu yang sifatnya abstrak. Hasilnya, pemikiran dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah jauh lebih baik ketimbang beberapa tahun sebelumnya saat masih berada dalam tahap concrete-operational (Hall 1983). Menurut teori Moral Reasoning Kohlberg, remaja berada dalam tahapan perkembangan Conventional Stage dimana moral yang baik tercapai jika seseorang disukai oleh orang lain (interpersonal conformity)

dan jika moral baik tersebut sah atau legal sesuai dengan hukum atau aturan yang berlaku (law and order) (Hastuti 2008). Pada tahapan ini, remaja cenderung untuk mendukung konvensi sosial, mendukung status quo dan melakukan hal yang benar untuk mematuhi peraturan atau untuk membuat orang lain merasa senang (Papalia et al. 2008).

(39)

 

 

moral dari teman sebayanya (Papalia et al. 2008). Berdasarkan teori belajar sosial (social learning theory) dari Albert Bandura, dinyatakan bahwa anak-anak belajar bersosialisasi melalui pengamatannya pada orang lain. Melalui belajar dengan melakukan observasi ini (imitasi atau meniru), anak secara kognitif mempresentasikan tingkah laku orang lain yang kemudian tingkah laku ini diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Dalam perkembangan sosial ini diperlukan adanya self efficacy, yaitu kepercayaan akan adanya kemampuan diri untuk menghasilkan hal-hal yang positif. Selain itu diperlukan juga kepercayaan diri (confidence) dengan cara meyakinkan diri sendiri untuk dapat mengatasi atau melakukan suatu tindakan (Puspitawati 2009). Bagi seorang remaja yang sedang dalam masa pencarian identitas diri, kepercayaan diri dan memahami jati diri memegang peranan yang amat penting agar kelak dapat memainkan peran sosial yang positif dalam masyarakat (Hastuti 2008). Banyak kasus menunjukkan bahwa anak remaja yang kehilangan jati diri akan melakukan perbuatan yang antisosial untuk menunjukkan eksistensi dirinya agar diakui oleh lingkungannya (Puspitawati 2009). Kemampuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menghadapi situasi atau tantangan yang sulit yang ditemui remaja dalam rentang kehidupannya. Dalam hal ini diperlukan sebuah proses adaptasi yang kemudian dikenal dengan resiliensi.

Permasalahan yang dihadapi Remaja

Adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh remaja dan juga perubahan lingkungan yang menuntut remaja untuk menjadi dewasa seperti yang diharapkan lingkungan dapat membuat remaja mengalami kebingungan yang pada awalnya hanyalah permasalahan pribadi, namun akhirnya dapat berkembang menjadi masalah sosial. Santrock (2003) menyebut sebuah istilah

abnormal behaviour atau tingkah laku abnormal yang berarti sebuah tingkah laku yang mal-adaptif serta berberbahaya dan bukan sekedar tingkah laku yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Tingkah laku seperti ini tidak mampu mendukung kesejahteraan, perkembangan dan pemenuhan masa remaja.

(40)

 

dapat berfungsi secara efektif dan juga dapat membahayakan orang lain (Santrock 2003).

Permasalahan lain yang kerap terjadi adalah konflik dengan orang tua. Konflik yang paling sering terjadi dalam keluarga biasanya ditemui pada saat anak dalam keluarga tersebut berada di awal masa remaja ketika emosi negatif mencapai puncaknya. Akan tetapi konflik akan semakin intens pada pertengahan masa remaja (Papalia, Olds dan Feldman 2008). Dalam penelitiannya, Aufseeser, Jekjelek dan Brown (2006) menyatakan bahwa remaja usia 15 tahun paling sering ditemukan kesulitan dalam hal menceritakan hal-hal yang mengganggu dirinya pada ayah maupun ibunya.

Resiliensi

Pada sub bab resiliensi akan dibahas tentang pengertian resiliensi, faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi, perkembangan resiliensi pada individu, penelitian tentang resiliensi dan pengukuran resiliensi. Lingkungan keluarga sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi dibahas juga dalam sub-sub bab tersendiri dengan mempertimbangkan kedalaman dan keluasan variabel ini. Dalam sub-sub bab penelitian tentang resiliensi juga akan dibahas tentang penelitian berdasarkan jenis kelamin dan juga penelitian yang berlatar belakang budaya.

Pengertian Resiliensi

Resiliensi didefinisikan dengan beberapa cara yang berbeda. Semua definisi resiliensi meliputi kapasitas untuk menghadapi tantangan dan kesanggupan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Sebagian besar definisi menekankan bahwa resiliensi bukan sekedar atribut yang menetap, tetapi merupakan sebuah proses yang dipengaruhi oleh keputusan harian (Masten 2001 diacu dalam LaFromboise et al. 2006).

(41)

 

 

beradapatasi secara efektif terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi serta belajar dari pengalamannya agar dapat mengelola sebuah situasi secara efektif, dan mampu mengatasi tekanan dan tantangan di masa yang akan datang.

Tabel 1. Definisi resiliensi menurut beberapa sumber

Teori Sumber Definisi

Gail Wagnild and Heather

Young

Wagnild, G., & Young, H. (1993). Development and psychometric evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 165-178

Hutapea EA. 2010. Gambaran resiliensi pada mahasiswa perantau

tahun pertama perguruan tinggi di asrama UI: menggunakan resilience scale. Tesis UI

Karakteristik seseorang untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam hidupnya

Michael Ungar

Ungar M. 2008. Resilience across culture. British Journal of Social

Work 38, 218-235

Kemampuan individu untuk mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula

Ariel Kalil Kalil A. 2003. Family Resilience and Good Child Outcomes. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc

Sebuah proses dinamis yang mengarah pada adaptasi positif dalam mengahadapi situasi sulit dan bergerak menuju perbaikan

Edith Grothberg

Grothberg, E. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children.

The Hague: Benard van Leer Voundation

http://resilnet.uiuc.edu/library/grotb9

Kapasitas individu untuk

menghadapi, mengatasi bahkan menjadi lebih kuat dalam tekanan hidup yang sulit

Bonnie Benard

Benard B. 2004. The Foundations of the Resiliency Framework

From Research to Practice http://www.resiliency.com/htm/ 

Kemampuan untuk bangkit kembali dari kondisi yang sulit

Froma Walsh Walsh, F. (2006) Strengthening Family Resilience (Second Edition).

New York: The Guilford Press http://winnebago.uwex.edu/files/201

1/03/FR-KeystoResilience.pdf

kemampuan untuk pulih dari kesulitan dan melakukan perubahan positif untuk mengatasi tantangan secara lebih efektif

(42)

 

merundingkan (negotiate) sumberdaya yang dimiliki tersebut untuk memperoleh sesuatu yang bermakna secara budaya. Wagnild dan Young (1993) menyatakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan atau dengan kata lain resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh dan terpuruk.

Dari sejumlah definisi yang ada, definisi resiliensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan dan menjalani hidup secara positif bahkan lebih baik dari sebelumnya. Resiliensi itu sendiri dapat diprediksi dengan memperhatikan faktor-faktor protektif yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini pernah dilakukan oleh Kaya (2007) pada siswa sekolah dasar di Regional Boarding Elementary School Ankara.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Barankin dan Khanlou (2009) ada dua hal yang harus diperhatikan untuk memahami resiliensi. Kedua faktor tersebut adalah faktor resiko (risk factor) dan faktor protektif (protective factor). Faktor protektif merupakan faktor yang bersifat menunda, meminimalisir bahkan menetralisir hasil akhir yang negatif. Faktor protektif juga membantu melindungi anak dan remaja dari efek-efek negatif faktor resiko.

Faktor resiko terdapat pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat, yang merupakan prediktor awal dari sebuah hasil yang tidak menguntungkan dan sesuatu yang membuat orang menjadi rentan (Kaplan 1999) atau variabel yang mengarah pada ketidakmampuan (Rutter 1990) atau mediator yang menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah (Luthar 1999 yang diacu dalam Kalil 2003). Alimi (2005) menyatakan bahwa faktor resiko adalah variabel-variabel yang secara langsung bisa memperbesar dosis potensi resiko bagi individu dan sekaligus meningkatkan kemungkinan berkembangnya perilaku dan gaya hidup yang mal-adaptif. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor resiko adalah: kemiskinan (status sosial ekonomi yang rendah), ketidaknyamanan akibat perubahan fisik yang terjadi, penerimaan yang rendah dari peers, efek kumulatif dari ketidakberuntungan, adanya hambatan dalam perkembangan.

(43)

 

 

antara lain seperti kelahiran prematur, penyakit kronis atau kejadian buruk yang dialami dalam kehidupannya. Faktor resiko yang berasal dari keluarga antara lain seperti penyakit yang dialami orang tua, perceraian atau perpisahan orang tua, orang tua tunggal, dan ibu yang masih remaja, sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain adalah status sosial ekonomi yang rendah, peperangan, kesulitan ekonomi dan kemiskinan.

Faktor protektif dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal (Benard 1995 yang diacu dalam Alimi 2005). Faktor internal adalah ketrampilan dan kemampuan sehat yang dikuasai individu, sedangkan faktor eksternal adalah karakteristik tertentu dari lingkungan yang dapat menjadikan individu mampu menghindar dari tekanan hidup dan mampu bertahan kendati berada dalam kondisi beresiko tinggi. Faktor protektif internal terdiri atas (1) kompetensi sosial (ketrampilan sosial dan empati), (2) ketrampilan menyelesaikan masalah (membuat keputusan dan berpikir kritis), (3) otonomi (self esteem, self efficacy, locus of control), (4) memiliki tujuan. Faktor eksternal yang dimaksud adalah berupa kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat dan harapan yang tinggi dari lingkungan (Benard 1995, diacu dalam Alimi 2005).

Menurut Sun dan Stewart (2007), faktor internal atau karakteristik individu yang berpengaruh pada resiliensi, terdiri atas (1) komunikasi dan kerjasama; (2)

self-esteem; (3) empati; (4) help seeking behavior; dan (5) tujuan dan aspirasi, sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah: (1) dukungan keluarga; (2) dukungan sekolah; (3) dukungan masyarakat; (4) autonomy experience; (5) hubungan dengan teman sebaya; (6) partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan (7) dukungan teman sebaya.

California Healthty Kids Survey menggunakan The Resilience and Youth Development Module (RYDM) untuk mengukur faktor internal (personal strength)

dan faktor ekstenal (developmental support and opportunities). Faktor internal terdiri atas 18 item dibangun untuk mengukur 6 aspek inti yang terdapat dalam Benard’s Resilience Model (Benard & Slade 2009, diacu dalam Furlong et al

(44)

 

meliputi hubungan yang baik, harapan yang tinggi dan partisipasi dalam aktivitas di rumah, sekolah, teman sebaya dan masyarakat.

Dengan demikian secara garis besar, dapat dikatakan bahwa faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi terbagi menjadi 2, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu (faktor individu), sedangkan faktor eksternal (faktor di luar individu), yaitu keluarga dan lingkungan (sekolah, teman sebaya dan masyarakat). Pada Tabel 2 disajikan beberapa pendapat ahli mengenai faktor yang mempengaruhi resiliensi.

Penelitian ini akan menggunakan faktor internal dan eksternal berdasarkan acuan dari Resilience and Youth Development Module (Austin et al.

2010). Ada enam faktor internal, yaitu: kerjasama dan komunikasi, self-efficacy,

empati, kemampuan memecahkan masalah, self-awareness dan memiliki tujuan dan aspirasi.

Kerjasama dan komunikasi yaitu kompetensi sosial yang mengarah pada fleksibilitas dalam menjalin hubungan, kemampuan untuk bekerja secara efektif dengan orang lain, mampu saling bertukar informasi dan gagasan serta mengekspresikan perasaan pada orang lain. Kemampuan individu untuk bekerjasama dan berkomunikasi ini dapat menjadi sebuah kekuatan dalam membentuk hubungan yang baik (caring relationship). Sebaliknya, kurangnya kompetensi sosial ini dapat menyebabkan terjadi kriminalitas, penyakit mental dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Self-efficacy berhubungan dengan kepercayaan seseorang akan

kompetensi yang dimilikinya untuk membuat sesuatu yang berbeda, seperti kemahirannya dalam melakukan pekerjaan dan kemampuan untuk bekerja dengan baik.

(45)

 

Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi

Bonnie Benard Grotberg Masten & Coastworth Sun &Stewart RYDM

Faktor Protektif ada dua yaitu internal dan eksternal

Faktor Internal (individu): 1. Kompetensi Sosial (ketrampilan sosial dan

3. Otonomi (self esteem, self efficacy, locus of control)

2. Hubungan yang hangat 3. Harapan yang tinggi

1. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang.

Faktor I Am terdiri dari bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan

altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan

bertanggung jawab.

2. I Have

Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang

meningkatkan resiliensi.

Faktor I Have terdiri dari memberi semangat agar mandiri, struktur dan aturan rumah,

Role Models, adanya hubungan.

3. I Can

Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagian-bagian dari faktor ini adalah mengatur berbagai perasaan dan rangsangan, mencari hubungan yang dapat dipercaya, keterampilan

berkomunikasi, mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain, kemampuan memecahkan masalah.

Ada 3 faktor pelindung: 1.Faktor individu pola asuh yang hangat, hubungan yang

. Dari keluarga, teman, sekolah dan

masyarakat

(46)

 

Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan untuk merencanakan, memberdayakan, berpikir kritis dan kreatif serta menggunakan perspektif yang beragam sebelum mengambil keputusan atau melakukan tindakan. Penelitian tentang resiliensi menunjukkan adanya identitas problem solving yang secara konsisten terlihat pada orang-orang dewasa yang sukses.

Self-awareness adalah kemampuan untuk mengetahui dan memahami

diri sendiri. Self-awareness merupakan tanda orang yang sukses yang memiliki perkembangan yang sehat. Kemampuan ini juga termasuk pada pemahaman bahwa pemikiran yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi tingkah laku dan perasaannya. Dalam hal ini pula, seseorang memiliki kesadaran akan kekuatan dan tantangan yang dihadapinya.

Tujuan dan aspirasi mengarah kepada mimpi, visi, rencana yang dimiliki seseorang untuk fokus pada masa depannya, serta memiliki ekspetasi (harapan) yang tinggi pada dirinya. Tujuan dan aspirasi merupakan motivasi intrinsik yang dimiliki oleh individu yang menuntunnya pada makna dari kehidupan yang dijalaninya. Penelitian yang dilakukan oleh National Longitudinal Study of Adolescent Health (1999), diacu dalam Austin et al (2010) mengidentifikasikan bahwa individu yang memiliki tujuan dan aspirasi akan membangun hubungan mendalam (deep connectedness) yang merupakan sebuah kekuatan pelindung dari perilaku negatif. Perilaku negatif yang dimaksud antara lain adalah kehamilan usia remaja, putus sekolah, tekanan emosional, bunuh diri, kekerasan dan keterlibatan dengan alkohol atau obat-obatan terlarang.

Faktor eksternal yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi faktor eksternal keluarga dan faktor eksternal lingkungan. Faktor eksternal keluarga akan dibahas tersendiri dalam sub bab lingkungan keluarga, sedangkan faktor eksternal lainnya, yaitu sekolah, teman sebaya dan masyarakat dilihat berdasarkan kesempatan untuk dapat berpartisipasi (participation) dalam aktivitas kelompok, hubungan yang hangat (caring relationship) dan harapan yang tinggi (high expectations) dari lingkungan kepada individu (Austin 2010).

Lingkungan Keluarga

(47)

 

 

oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orang tua dan anak) atau adopsi; (b) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga; (c) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial; (d) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia. Pertama adalah karena dalam keluargalah, seorang individu tumbuh berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat bahkan pemimpi negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung (Sunarti 2008).

Sehubungan dengan kesehatan reproduksi remaja (KRR) diketahui bahwa akses remaja terhadap peningkatan pengetahuan tentang masalah reproduksi lebih banyak diperoleh dari media elektronik, media cetak dan teman sebaya dibandingkan dari orang tua atau keluarga, padahal pesan tentang kesehatan reproduksi remaja dari orang tua dinilai lebih baik karena mengikutsertakan nilai moral dan agama (Sunarti 2008).

Orang tua sebagai pengasuh anak akan memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan anak. Orang tua yang permisif akan menghasilkan anak yang memiliki regulasi emosi yang rendah, pemberontak, menunjukkan tingkah laku yang antisocial dan memiliki ketahanan yang rendah dalam menghadapi hal-hal yang menantang, sementara itu orang tua yang otoritatif akan menghasilkan anak bahagia, memiliki rasa percaya diri, memiliki regulasi emosi dan kemampuan sosial yang baik (Brooks 2001).

(48)

 

mengungkapkan secara terbuka perasaan tidak senang, kemarahan dan ketidaksetujuannya.

Dimensi perkembangan personal (personal growth) merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang terdiri atas 5 sub skala yaitu: (1) Kebebasan (independence) berarti tingkat dimana anggota keluarga memiliki ketegasan dan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri; (2) Orientasi untuk berprestasi (achievement orientation) berhubungan dengan aktivitas anggota keluarga yang mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi; (3) Orientasi pada intelektual dan budaya (intelectual-cultural orientation) berhubungan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan, budaya dan intelektual; (4) Orientasi pada rekreasi aktif (active-recreational orientation) berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi; (5) Penanaman moral agama (moral-religion emphasis) berhubungan dengan etika, nilai-nilai dan moral agama dalam keluarga

Dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dan aturan dalam keluarga. Dimensi ini terdiri atas dua sub skala, yaitu: (1) Organisasi (organization) yaitu tingkat perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga dan (2) Kontrol (control)

yaitu seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam kehidupan keluarga.

Perkembangan Resiliensi pada Individu

(49)

 

 

Lingkungan yang berperan secara signifikan dalam perkembangan individu adalah lingkungan mikrosistem yang mencakup keluarga, sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Kebutuhan psikologis pada individu dapat terpenuhi dengan adanya dukungan yang memadai dari lingkungan berupa hubungan yang hangat, peraturan dan batasan, dukungan untuk mandiri, dukungan untuk berprestasi dan role model yang positif (Kalil 2003).

Bronfenbrener, pencetus teori ekologi menyatakan bahwa lingkungan sosiokultural anak sangat mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan itu dimulai dari lingkungan yang sangat dekat dengan anak yaitu hubungannya dengan keluarga, meluas pada teman sebaya, sekolah, dan masyarakat; bagaimana pengalaman yang anak alami dalam lingkungan-lingkungan tersebut; bagaimana interaksi antara lingkungan-lingkungan itu mempengaruhi anak dan kemudian meluas pada bagaimana kebudayaan dalam lingkungan tempat tinggal anak mempengaruhi perkembangannya. Teori ekologi Bronfrenbrenner ini merupakan suatu pandangan sosiokultural tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan, dari mulai lingkungan yang terdekat dan berinteraksi secara langsung sampai lingkungan yang sangat luas. Kelima sistem dalam teori ekologi Bronfenbrenner adalah: mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem (Santrock 2003).

Bronfenbrenner (2002) menyatakan bahwa mikrosistem adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk di dalamnya yaitu keluarga (orang tua), teman sebaya, tetangga, kehidupan sekolah. Sistem ini membantu perkembangan seorang anak melalui interaksi secara langsung. Mesosistem meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau hubungan antara beberapa konteks. Hubungan ini dapat terbentuk dari kehidupan sekolah dengan kehidupan yang ada dalam keluarga atau juga tetangga sekitarnya. Sebagai contoh, lingkungan teman sebaya dapat mempengaruhi tingkah laku individu di sekolahnya atau bahkan juga mempengaruhi hubungan individu tersebut dengan keluarganya.

(50)

 

keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Contohnya adalah ideologi, agama, etnik.

Sistem yang kelima dalam teori ekologi bronfenbrenner adalah kronosistem yang meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan-keadaan sosiohistoris. Dengan kata lain, sistem ini merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman individu semasa hidupnya termasuk kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan dan transisi dalam kehidupan serta sejarah individu itu sendiri. Misalnya, dengan mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah perceraian dan dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak perempuan (Hetherington 1989, diacu dalam Bronfenbrenner 2002).

Resiliensi berhubungan dengan sumber-sumber faktor pelindung dan peningkatan kesehatan yang mencakup kesempatan yang dimiliki oleh individu, hubungan kekerabatan keluarga yang erat dan kesempatan individu dan orang tua dalam mendapatkan dukungan dari lingkungan masyarakat (Wolfe & Mash 2005, diacu dalam Nurfadillah 2006). Hal ini sejalan dengan teori ekologi yang menekankan bahwa seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan dimana ia berada.

Faktor resiko yang saling terkait dan bertumpuk-tumpuk semakin memudahkan berkembangnya permasalahan dan akan semakin menyulitkan individu untuk mendapatkan pijakan yang positif dalam rangka membalikkan keadaan negatif menjadi potensi yang menguntungkan bagi dirinya. Jika pengalaman ini terus berlangsung maka akumulasi resiko semakin bertambah sehingga akan semakin memperburuk kondisi remaja (Davis 1999).

(51)

 

 

Gambar 1. Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner (Sumber: http://www.des.emory.edu/mfp)

Penelitian tentang Resiliensi

Pada awalnya penelitian tentang resiliensi terfokus pada faktor resiko, defisiensi dan patologis seperti anak-anak yang lahir pada kondisi yang beresiko tinggi, yakni keluarga yang mengkonsumsi minum minuman keras, cenderung melakukan abuse terhadap anak, melakukan tindakan kriminal, pada masyarakat miskin atau pada situasi perang. Namun pada saat ini fokus riset mengenai resiliensi telah beralih dan menekankan pada identifikasi proses yang dapat meningkatkan resiliensi ketika berada dalam kondisi normatif (Davey et al. 2003).

Menurut Neil (2006) diacu dalam Sanni (2009) resiliensi bukanlah suatu kebetulan yang menguntungkan, resiliensi muncul pada orang yang telah terlatih keras, mempunyai sikap yang istimewa, kemampuan kognitif yang baik, emosi dan ketetapan hati yang teguh untuk mengatasi tantangan berat. Ada beberapa faktor yang berperan dalam pengembangan resiliensi antara lain adalah social support yang termasuk di dalamnya pengaruh budaya, community support dan

(52)

 

satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Holaday & McPhearson 1997, diacu dalam Santrock 2003).

Dukungan sosial termasuk dukungan keluarga memberikan manfaat bagi remaja antara lain meningkatkan kesejahteraan psikologis dan penyesuaian diri dengan menyediakan rasa memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri dan mengurangi stress. Meningkatkan dan memelihara kesehatan fisik. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima seorang remaja, semakin besar resiliensi remaja tersebut (Johnson & Johnson 1991, diacu dalam Sanni 2009).

Orang tua, anak dan remaja berlatar belakang penghasilan rendah, beresiko tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental (McLoyd 1993). Kesulitan dalam adaptasi sosial dan masalah sosial dan masalah psikologis seperti depresi, rendah diri, konflik dengan teman sebaya dan kenakalan remaja lebih banyak terjadi pada remaja miskin dibanding dengan yang lebih berada (Gibbs dan Huang 1989 diacu dalam Santrock 2003). Meskipun masalah psikologis lebih sering terjadi pada remaja miskin, fungsi intelektual dan psikologis mereka cukup bervariasi. Misalnya, ketika remaja miskin memperoleh prestasi di sekolah, adalah umum bila ditemukan bahwa orang tuanya berkorban cukup banyak untuk menghidupi keluarga dan mendukung keberhasilan sekolah anaknya. Hal ini dapat diartikan bahwa lingkungan keluarga yang dimiliki remaja tersebut mendukung untuk terpenuhinya hak-hak anak yang menyebabkan ia mampu untuk berprestasi walau dalam kondisi yang sulit.

(53)

 

 

Berdasarkan hasil penelitian Yuliatin (2007), diperoleh kesimpulan bahwa subyek yang mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak ternyata mampu terhindar dari perbuatan yang menyimpang secara norma. Dengan kata lain, subyek tersebut mampu resilient dengan didukung faktor protektif resilience, berupa: pertama, faktor instrinsik, yaitu: kekuatan diri yang solid, keoptimisan, percaya diri, konsep diri yang jelas, kontrol diri yang bagus dan sensitifitas terhadap lingkungan sosial; kedua, faktor ekstrinsik, yaitu: penanaman falsafah hidup dari orang tua dan kerabat, pertemanan yang solid dan positif, aktifitas sekolah yang menyenangkan dan teladan dari seorang guru, serta komunitas yang responsif terhadap subjek. Sehubungan dengan resiliensi, hasil survey terhadap 524 eksekutif senior dari 20 negara, dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan dianggap lebih resilien dibanding laki-laki (Wen 2010).

Riset selama 30 tahun mengungkapkan bahwa individu yang resilien adalah individu yang tampak sehat, berumur panjang, jarang mengalami depresi, bahagia dan berprestasi baik di tempat kerja maupun di sekolah. Individu yang resilien dapat terlihat pada sebuah studi longitudinal yang dilakukan pada tahun 1955 terhadap 833 anak dan 698 anak diantaranya ditelusuri perkembangannya sejak masih dalam kandungan. Individu yang yang resilien antara lain dapat mengembangkan sense of efficacy dengan baik, menjadi orang dewasa yang sangat mendukung dan mau mencoba kesempatan kedua (Reivich & Shatte 2002, diacu dalam Nurfadillah 2006).

Menurut Barankin dan Khanlou (2009), ciri-ciri anak yang resilien antara lain adalah mampu berempati atau dapat memahami dan bersimpati terhadap perasaan orang lain, dapat menjadi komunikator yang baik dalam memecahkan masalah, memiliki minat yang kuat di sekolah, dan berdedikasi untuk belajar, memiliki dorongan kuat untuk mencapai tujuan, selalu terlibat dalam kegiatan yang bermakna, selalu memiliki harapan dan memiliki hubungan yang baik dengan orang lain serta hidup dengan perasaan aman di keluarga maupun masyarakatnya.

Pengukuran Resiliensi

(54)

 

Resilience Scale (RS). Ahern (2006) melakukan perbandingan diantara alat-alat ukur resiliensi tersebut berdasarkan beberapa indicator seperti dasar teori yang digunakan, target populasi dan seting penelitian, bidang atau konstruk yang diukur serta kelebihan dan kekurangan yang dimiliki alat ukur tersebut. Perbandingan domain yang digunakan dan beberapa karakteristik lainnya yang terdapat pada beberapa alat ukur disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Hasil review yang dilakukan oleh Ahern (2006) menemukan bahwa BPFI dan BRCS tidak tepat diadministrasikan pada populasi remaja, sedangkan ARS, CD-RISC dan RSA membutuhkan studi lebih lanjut jika ingin diadministrasikan untuk remaja. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan untuk mengukur skala resilien adalah Resilience Scale (RS) yang dikembangkan oleh Wagnild and Young karena beberapa pertimbangan sebagai berikut: (1) dinilai sebagai intrumen yang paling sesuai untuk digunakan pada berbagai jenis kelamin, kelompok etnis, dan kelompok usia (termasuk remaja); (2) banyak digunakan dalam berbagai penelitian; (3) memiliki reliabilitas yang tinggi (0.91) dan (4) memiliki kualitas pengukuran yang baik dibanding instrument lainnya (Ahern 2006).

Skala Resilien atau Resilience Scale (RS) dipublikasikan tahun 1993 (Wagnild & Young, 1993) yang pada awalnya terdiri dari 50 item pertanyaan yang menggambarkan 5 karakteristik dari resilien yaitu: (1) meaningful life; (2)

perseverance; (3) self reliance; (4) equanimity dan (5) coming home to yourself (existensial aloneness). Setelah dilakukan faktor analisis, Skala Resilien ini diindikasikan memiliki 2 faktor yaitu personal competence (yang berindikasi pada keyakinan diri, kemandirian, tekad, penguasaan, akal) dan acceptance of self and life (yang berindikasi pada adaptasi, keseimbangan, fleksibilitas, perspektif seimbang terhadap kehidupan (Wagnild & Young 1993).

(55)

 

 

Tabel 3. Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi berdasarkan domain

Instrumen Resilience Scale Connor-Davidson

Reliabilitas**) 0.91 0.89 0.83 0.93

(56)
(57)

KERANGKA PEMIKIRAN

Permasalahan, tantangan dan kesulitan merupakan fenomena hidup yang tidak bisa dihindari. Reaksi setiap orang dalam menghadapi berbagai tantangan, permasalahan atau situasi yang berat dalam hidup juga sangat beragam. Resiliensi menjadi suatu hal yang penting karena dengan resiliensi, seseorang akan mampu mengatasi kesulitan dan melanjutkan perkembangan normalnya seperti semula (Ungar 2008).

Banyaknya fenomena antisosial yang terjadi di kalangan remaja seperti tawuran, kehamilan dan aborsi di luar nikah, penggunaan obat-obatan terlarang, seks komersil bahkan bunuh diri (Austin et al (2010) menunjukkan lemahnya resiliensi dalam diri remaja. Padahal masa remaja adalah sebuah masa persiapan untuk melangkah ke masa dewasa dengan tantangan yang lebih beragam, sehingga resiliensi menjadi sesuatu hal yang amat diperlukan.

Ada dua faktor yang berpengaruh pada resiliensi, yaitu faktor resiko dan faktor protektif. Faktor resiko merupakan kejadian hidup atau pengalaman yang berhubungan dengan peningkatan permasalahan perilaku, sedangkan faktor protektif adalah faktor-faktor yang dapat membantu melindungi remaja dari efek-efek negatif yang ditimbulkan dari adanya faktor resiko. Individu yang mampu mencapai resiliensi didukung adanya faktor-faktor protektif yang ada pada dirinya (internal), yaitu faktor individual, dan faktor eksternal yaitu keluarga, teman sebaya, sekolah dan masyarakat di sekitarnya (Barankin dan Khanlou 2009).

Faktor resiko terdapat pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat (Kalil 2003). Faktor resiko dapat berupa kejadian atau peristiwa yang membuat orang menjadi rentan,dan mengarah pada ketidakmampuan. Faktor resiko jug merupakan mediator yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku bermasalah atau maladaptif (Alimi 2005).

Faktor protektif internal adalah faktor dalam diri individu yang meliputi enam aspek atau domain. Keenam aspek tersebut adalah kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dan bekerjasama, memiliki self-efficacy dan self-awareness, memiliki rasa empati dan kemampuan memecahkan masalah serta memiliki tujuan atau aspirasi (Sun & Stewart 2007).

(58)

transfer nilai-nilai dalam keluarga juga akan mempengaruhi resiliensi seseorang. Setiap dimensi dalam lingkungan keluarga, baik itu dimensi hubungan, pertumbuhan personal maupun sistem pemeliharaan, dimungkinkan akan memiliki kontribusi yang berbeda-beda dalam membentuk resiliensi remaja.

(59)

Faktor Internal:

-. Kerjasama dan komunikasi -. Self-efficacy -. Sistem pemeliharaan 

(60)

Gambar

Tabel 1.  Definisi resiliensi menurut beberapa sumber
Tabel 2.  Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi
Gambar 1.  Sistem lapisan dalam teori ekologi Bronfenbrenner
Tabel 3.  Perbandingan beberapa alat ukur resiliensi berdasarkan domain
+7

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun tingkat pendidikan formal petani pada kategori tersebut, tetapi tingkat adopsi terhadap budidaya GAP kopi arabika Gayo pada komponen pemangkasan koker, penggemburan tanah

Hubungan interpersonal merupakan salah satu permasalahan sosial, sedangkan salah satu teknik dalam bimbingan dan konseling yang dapat dipergunakan dalam

Menyusun aturan Pengendalian pemanfaatan ruang dan ketentuan zonasi untuk penataan areal-areal yang dilewati jalur rel yang akan dikembangkan Meningkatkan regulasi untuk

Bahasa tersebut sejak lama digunakan sebagai bahasa perantara (lingua franca) atau.. Modul Guru Pembelajar Bahasa Indonesia SMP Kelompok Kompetensi Profesional C 5 bahasa

Usaha kecil yang dapat ikut serta dalam Program Kemitraan adalah sebagai berikut:.. 3) Milik Warga Negara Indonesia (WNI). 4) Berdiri sendiri, maksudnya yaitu bukan merupakan

Pеrаn fее bаsе incomе sаngаt potеnsiаl kаrеnа dаpаt dipеrolеh dаri kеgiаtаn non krеdit sеpеrti surаt - surаt bеrhаrgа, pеnеmpаtаn dаnа pаdа bаnk lаin dаn

Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah dalam penerbitan sertipikat di Kantor Pertanahan Kabupaten Kendal sudah efektif, terbukti dengan tidak adanya

Springate model dapat digunakan sebagai prediktor terhadap perusahaan. Fatmawati (2014) menyatakan hasil penelitiannya