• Tidak ada hasil yang ditemukan

.

Pada penelitian ini eksplan yang digunakan adalah pucuk anakan gaharu berumur 2 bulan yang sehat dan bebas dari serangan hama dan penyakit. Pucuk yang digunakan adalah berukuran seragam yaitu 1 cm untuk masing-masing perlakuan. Sebelumnya pucuk yang diunakan telah mengalami proses sterilisasi terlebih dahulu. Untuk eksplan yang digunakan kondisi sumber eksplan dialam juga berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan kultur jaringan yang kita lakukan.

Tanaman A. malaccensis merupakan tanaman tahunan berkayu yang memiliki daya multiplikasi relatif lambat (rendah). Ini bukan hanya terjadi pada gaharu saja akan tetapi terjadi juga pada tanaman berkayu lainnya, seperti manggis, cendana, ramin dll.Hal ini terlihat pula dari data yang telah diperoleh dimana gaharu yang ditanam dari pucuk memiliki masa inisiasi tunas yang lambat. Umumnya tanaman tahunan terinduksi kepada perpanjangan tunas, tidak seperti tanaman semusim yang memiliki daya multiplikasi yang lebih cepat.

Induksi Tunas

Pucuk A. malaccensis yang ditumbuhkan secara aseptik pada ketiga media yang diberi perlakuan memiliki waktu bertunas yang sama yaitu 14 hari setelah tanam (hst). Namun hal ini tidak mempengaruhi terhadap pertumbuhan tunas yang terbentuk. Dimana dari pengamatan yang telah dilaksanakan kurang lebih 1 bulan diketahui masing-masing media bahwa persen hidup tunas terbesar terdapat pada media dengan BAP 1 ppm dengan nilai 80% dari jumlah eksplan yang digunakan. Sedangkan untuk persen mati

kalus terbesr terdapat pada media dengan BAP 3 pppm dengan nilai 30% sedangkan untuk tingkat kontaminasi terbesar terdapat pada media dengan BAP 2 ppm dengan nilai 20%. Untuk persen tumbuh terkecil terdapat pada media dengan BAP 2 dan 3 ppm dengan nilai 50%. Untuk lebih jelas data persentase tumbuh tunas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase pertumbuhan tunas A. malacensis pada media ½ MS + BAP Perlakuan % Hidup % Mati % Kalus % Kontaminasi

½ MS + BAP 1 ppm 80 0 10 10

½ MS + BAP 2 ppm 50 10 20 20

½ MS + BAP 3 ppm 50 10 30 10

Tingginya persen hidup pada BAP 1 ppm ini diduga disebabkan karena konsentrasi BAP yang diberikan. Dimana menurut Mariska dkk (2003) bahwa konsentrasi BAP yang baik untuk diberikan pada tahap induksi tunas adalah sedikit yaitu antara 0.01-1.00 ppm, apabila konsentrasi yang diberikan lebih tinggi maka tingkat kematian tunas juga semakin tinggi. Dimana pemberian BAP dengan konsentrasi tinggi dapat memicu peningkatan fenol pada tanaman sehingga dapat menyebabkan kematian pada jaringan pucuk sebelum terbentuk tunas. Selain kematian jaringan pemberian BAP dalam jumlah besar juga dapat menyebabkan terbentuknya kalus.

Besarnya persentase tumbuh tunas A. malaccensis pada media ½ MS + BAP 1 ppm ini dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi BAP yang diberikan, dimana semakin besar konsentrasi BAP yang digunakan maka tingkat pertumbuhan tunas semakin kecil. Besarnya konsentrasi BAP ini dapat mendorong terbentuknya kalus. Dari beberapa penelitian terdahulu diperoleh bahwa pemberian BAP yang paling baik dalam induksi

tunas adalah BAP dengan konsentrasi rendah yaitu antara 0-1 ppm. Ini telah dibuktikan pada beberapa tanaman tahunan berkayu seperti Gaharu (Kosmiati dkk), Tabat Barito (Kristina), Manggis (Kosmiati dkk) dll.

Pemberian BAP dengan konsentrasi tinggi dapat mempercepat terjadinya kalus, hal ini disebabkan karena sifat yang dimiliki oleh hormon ini yang sama dengan kinetin yang memiliki aktifitas kimia yang rendah sehingga jaringan tanaman tidak dapat langsung membentuk organ (tunas). Hal ini sesuai dengan pernyataan Wattimena (1992) bahwa BAP dan adenin merupakan 2 jenis sitokinin yang memiki aktifitas kimia yang sangat rendah. BAP merupakan salah satu hormon yang tidak memiliki gugus substitusi sehingga pada konsentrasi tinggi dapat menghambat pertumbuhan atau pembentukan tunas tanaman.

Jumlah tunas yang dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi eksplan atau fisiologi eksplan yang digunakan. Pada awalnya A. malaccensis merupakan tanaman yang dibudidayakan secara vegetatif yaitu dengan teknik stek batang, stek pucuk, cangkok batang dan kultur jaringan. Semakin mudah eksplan dibudidaya secara vegetatif dapat mempengaruhi terbentuknya tunas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yusnita (2003) yang menyatakan bahwa kemampuan tumbuh suatu tanaman yang diperbanyak secara in vitro dipengaruhi oleh kondisi tumbuhan dihabitatnya. Secara umum tanaman yang mudah diperbanyak secara konvensional akan mudah diperbanyak secara in vitro.

Tabel 2. Respon tunas A. malaccensis 2 bulan setelah kultur pada media ½ MS + BAP Perlakuan Jumlah Tunas (buah) Waktu Pembentukan

Tunas (hari)

½ MS+ BAP 1 ppm 1 15.7

½ MS+ BAP 2 ppm 1 16.8

Pemberian BAP dengan konsentrasi rendah sangat berpengaruh selain untuk waktu bertunas juga berpengaruh terhadap panjang tunas yang dihasilkan. Dari pengamatan yang telah dilakukan diperoleh bahwa tunas terpanjang setelah pengamatan 2 bulan adalah pada media ½ MS + BAP 1 ppm. Dan tunas terendah pada media ½ MS + BAP 2 ppm. dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 1. Penampilan tunas A. malaccensis pada media ½ MS + BAP Tabel 3. Rataan tinggi tunas A. malaccensis pada media ½ MS + BAP

Konsentrasi ZPT Rataan Tinggi Tunas (mm)

½ MS+ BAP 1 ppm 11.9b

½ MS+ BAP 2 ppm 5.1a

½ MS+ BAP 3 ppm 3.75a

Catatatn a tidak berpengaruh dan b berpengaruh

Hasil uji statistika yang telah dilakukan diketahui bahwa pemberian BAP pada konsentrasi rendah berpengaruh nyata terhadap panjang tunas yang terbentuk. Tunas yang dihasilkan pada media ini memiliki calon batang dan calon daun yang utuh. Hal ini sesuai dengan fungsi BAP bagi tanaman, dimana biasanya hormon ini digunakan untuk mempercepat pembentukan jaringan pada meristem tanaman. Hal ini disebabkan karena kemampuan regenerasi tanaman berhubungan erat dengan kondisi jaringan meristematiknya. Pada tanaman A. malaccensis, tunas tumbuh membentuk daun dan pemanjangan sel. Ini dapat kita lihat pada Gambar 1 diatas.

Perpanjangan Tunas

Induksi tunas yang telah dilakukan didapat bahwa tunas lebih cepat terinduksi pada BAP 1 ppm dan yang terpanjang terdapat pada BAP 1 ppm. Untuk meningkatkan pertumbuhan (panjang) tunas serta induksi akar, maka dilakukan penginduksian pada media lain dengan menggunakan kombinasi hormon Auksin dan Giberelin.

Menurut Wattimena (1992) pemberian kombinasi auksin secara bersama-sama pada media dapat memicu perpanjangan tunas. GA memiliki fungsi yang sangat baik dalam pembelahan sel dan pembentukan organ, sedangkan hormon IAA memiliki fungsi yang sangat baik dalam memicu pembentukan sel baru sehingga jika kedua hormon dipadukan akan ada interaksi yang dapat memicu pertumbuhan pada bagian meristematik tunas tersebut.

Hal ini didukung pula oleh pernyataan Mariska (2000) yang menyatakan bahwa hormon yang biasa digunakan untuk percobaan eksplorasi, adalah pemberian auksin dan sitokinin yang sangat dibutuhkan dalam kultur jaringan. Biasanya kedua hormon ini digunakan secara bersama-sama sehingga dihasilkan interaksi terhadap diferensiasi jaringan tanaman (Mariska, 2002).

Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Kosmiati dkk (2005) pada embrio gaharu menunjukkan adanya respon yang sangat baik dimana pada media dengan auksin yang rendah tunas lebih cepat tumbuh dibanding dengan media yang memiliki IAA tinggi. Sementara untuk pemberian Giberelin pada kondisi tinggi terjadi pembentukan kalus pada tunas gaharu. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini, pemberian kedua hormon pada tunas gaharu ada yang berpengaruh nyata ada yang tidak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi yang diberikan. Semakin tinggi

kadar IAA yang diberikan maka tunas yang terbentuk semakin baik, sedangkan semakin rendah konsentrasi auksin yang diberikan maka pembentukan tunas juga semakin lambat.

Pada media dengan IAA rendah, ruas yang terbentuk pendek-pendek, tumbuh kurang baik dan terbentuk kalus pada pangkal batang (Gambar 2). Terbentuknya kalus pada pangkal tunas gaharu diduga karena konsentrasi zat pengatur tumbuh IAA yang diberikan terlalu tinggi.

Gambar 2. Penampilan tunas gaharu pada konsentrasi IAA 1 ppm

Tabel 3. Rataan tinggi Tunas A. malaccensis (mm) pada Perlakuan Kombinasi ZPT pada Media ½ MS

Perlakuan Pertambahan Panjang tunas (mm) GoIo 12.00b G0I1 18.33b G0I2 13.66b G1Io 15.00b G1I1 11.50 b GII2 16.00 b G2Io 10.00 a G2I1 11.50 a G2I2 8.00a

Pada Tabel 3 diketahui bahwa tunas terpanjang dari perlakuan kombinasi ZPT pada media ½ MS terdapat pada perlakuan G0I1 dengan nilai 18.33 mm, sedangkan untuk

tunas terendah (terpendek) pada perlakuan ini terdapat pada perlakuan G2I2 dengan nilai

8.00 mm. Dari data diatas dapat dilihat bahwa pemberian auksin pada media berpengaruh terhadap pembentukan tunas gaharu pada media.

Ketidakseragaman hasil yang diperoleh disebabkan karena faktor eksplan yang digunakan tidak seragam, dimana sebelum ditanam tinggi awal tunas tidak diukur. Selain itu faktor konsentrasi IAA dan GA juga sangat mempengaruhi terhadap pembentukan tunas.

Data diatas menunjukkan bahwa IAA tinggi (1 ppm) berpengaruh terhadap perpanjangan tunas apabila dikombinasikan dengan GA yang rendah (0,5 ppm), sedangkan IAA yang rendah berpengaruh terhadap tinggi apabila dikombinasikan dengan GA yang rendah. Untuk kontrol ( IAA 0 dan GA 0) pertumbuhan tunas terlihat normal dengan nilai 12.00 mm. Dari data ini dapat dilihat bahwa pada media ½ MS tanpa penambahan zpt tunas gaharu dapat tumbuh normal dengan kecepatan waktu rata-rata 11.6 hari.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Dinyunita (2007) yang menyatakan bahwa pengaruh pemberian auksin pada tanaman berkayu didalam in vitro sangat bermanfaat bagi pertumbuhan kalus, suspensi sel dan pembentukan akar. Dan apabila dikombinasi dengan hormon lain atau dengan sesama jenis auksin dapat mempengaruhi morfologi tanaman yang akan dihasilkan.

Kedua hormon ini mampu merangsang pembentukan sel yang mengarah kepada perpanjangan tunas, maka kombinasi kedua hormon ini menyebabkan terjadinya keseimbangan hormon dalam jaringan tanaman sehingga tunas yang terbentuk semakin bertambah panjang. Tunas yang terbentuk pada media dengan kombinasi IAA dan GA dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Penampilan Tunas A. malacensis pada media ½ MS + IAA dan GA

Induksi Akar (hari)

Menurut Rostiana (2007) bahwa tingginya konsentrasi auksin yang diberikan, berpengaruh terhadap induksi akar dimana kelebihan auksin akan meningkatkan produksi etilen sehingga pertumbuhan akar dapat terhambat. Etilen pada konsentrasi tertentu menyebabkan hambatan dalam pembentukan akar.

Setelah dilakukan pengamatan selama ± 1 bulan (30 hari) pada tunas belum ditemukan adanya pengaruh pemberian hormon IAA dan GA terhadap pembentukan akar dari tunas gaharu. Diduga hal ini dipengaruhi konsentrasi ZPT yang diberikan. Dimana konsentrasi auksin sangat mempengaruhi terhadap pembentukan akar.

Ada beberapa kendala yang dialami selama melaksanakan penelitian ini diantaranya sulitnya ditemukan biji gaharu (eksplan) sehingga harus diganti dengan menggunakan tunas dari pucuk gaharu.

Dokumen terkait