• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Sistem Ketersediaan Garam Nasional

Sistem ketersediaan garam nasional menggambarkan penyediaan dan kebutuhan garam nasional. Berdasarkan manfaatnya, kebutuhan garam dibedakan menjadi 2 yaitu garam konsumsi dan garam industri. Produksi garam nasional hingga saat ini belum dapat memasok seluruh kebutuhan nasional. Produksi garam nasional baru dapat memenuhi kriteria garam untuk kebutuhan konsumsi. Sementara untuk kebutuhan garam industri masih dipasok sepenuhnya oleh garam impor. Kebutuhan garam nasional didominasi oleh kebutuhan garam industri yaitu mencapai 59% dari keseluruhan kebutuhan garam nasional.

Keragaan Sistem Ketersediaan Garam Konsumsi

Penyediaan Garam Konsumsi dari Dalam Negeri

Produksi Garam Konsumsi

Produksi garam konsumsi Indonesia dipasok oleh produksi garam rakyat dan produksi PT Garam. Dari gambar 12 terlihat bahwa produksi garam secara umum berfluktuasi, baik yang diusahakan oleh garam rakyat maupun PT Garam.

31 Bencana alam La-Nina pada tahun 1998 menyebabkan produksi garam nasional mengalami penurunan sehingga terjadi kelangkaan garam hingga tahun 2001. Produksi garam konsumsi tahun 1998 turun menjadi 425 340 ton dari sebelumnya sebesar 1 082 060 ton pada tahun 1997. Produksi kembali meningkat pada periode tahun 2001, kemudian cenderung stabil sampai dengan tahun 2009. Pada periode tersebut, kondisi cuaca relatif normal.

Metode produksi dengan cara solar evaporation (penguapan oleh sinar matahari) merupakan metode yang dominan digunakan di Indonesia. Meski tidak banyak yang melakukan, metode produksi garam lainnya adalah dengan cara memasaknya seperti yang dilakukan di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Bali. Kelemahan dari metode solar evaporation adalah tingginya ketergantungan pada cahaya matahari. Dalam kondisi cuaca ekstrim seperti yang terjadi pada tahun 2010, Indonesia bahkan tidak dapat memproduksi garam, hal ini terlihat dari capaian produksi di tahun tersebut yang hanya sebesar 30 600 ton atau 1 persen dari total kebutuhan garam nasional.

Gambar 12 Perkembangan produksi garam oleh garam rakyat, PT Garam, dan total produksi nasional tahun 1997-2012

Sumber : Kemenperin (2013) dan PT Garam (2013)

Sistem pergaraman rakyat sampai saat ini menggunakan kristalisasi total. Proses kristalisasi total (tradisional) merupakan proses dimana seluruh zat yang terkandung, diendapkan/dikristalkan yang terdiri dari campuran bermacam- macam zat yang terkandung, berupa Natrium Klorida yang terbentuk dan beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Sementara PT Garam menggunakan metode kristalisasi bertingkat. Metode ini menghasilkan kualitas garam yang lebih baik dari metode kristalisasi total. Untuk menerapkan proses kristalisasi bertingkat dibutuhkan lahan minimal seluas 5 ha, sedangkan lahan milik petambak garam umumnya hanya seluas 1 hingga 2 hektar. Sehingga sulit bagi para petambak garam rakyat untuk beralih menggunakan proses ini. Kualitas Garam Indonesia

Kualitas garam dapat diklasifikasikan berdasarkan kandungan NaCl dan kandungan airnya (Tabel 11). Untuk dijadikan garam konsumsi, umumnya garam yang dikelola oleh garam rakyat harus diolah kembali. Hal ini disebabkan oleh

- 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 p ro d u k si ( to n ) tahun

32

NaCl yang terkandung dalam garam masih dibawah 90 persen dan masih banyak mengandung kotoran. Sedangkan untuk menyamai kualitas garam impor perlu kandungan NaCl lebih 95 persen. Sehingga dibutuhkan perlakuan khusus agar dihasilkan garam dengan kualitas tinggi. Berdasarkan BRKP DKP (2006) perlakuan berupa pengendapan zat imputities seperti kandungan Kalsium, Magnesium dan Sulfat, dapat meningkatkan kandungan NaCl pada garam menjadi 95 hingga 98 persen. Hal ini sangat diperlukan karena apabila Indonesia mampu menghasilkan garam yang bermutu tinggi dengan kadar NaCl lebih dari 95 persen, Indonesia dapat mengantisipasi untuk tidak perlu lagi mengimpor garam berkualitas atau malah sebaliknya Indonesia dapat merencanakan usaha nasional sebagai swasembada garam bahkan sebagai pengekspor garam bermutu terkemuka di dunia.

Tabel 11 Kualitas garam berdasarkan kandungan NaCl dan air Kualitas Persentase Kandungan NaCl Persentase Kandungan air

Kualitas I NaCl > 98 maksimum 4

Kualitas II 94.4<NaCl <98 maksimum 5 Kualitas III NaCl < 94 > 5

Sumber : PT Garam (2000) dalam BRKP DKP (2006)

Tabel 12 Persentase kualitas garam rakyat tahun 2004-2009 (dalam %) Kualitas 2004 2005 2006 2007 2008 2009

KP 1 15 20 25 30 46 50

K P 2 35 40 45 50 44 42

KP 3 50 40 30 20 10 8

Sumber : Kemenperin, 2011

Hingga saat ini upaya peningkatan kualitas terus dilakukan, antara lain dengan menggunakan cara pemberian aditif garam maupun pencucian. Tabel 12 menunjukkan bahwa garam yang dihasilkan oleh garam rakyat selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan peningkatan kualitas dari waktu ke waktu. Berdasarkan Kemenperin (2011), untuk kebutuhan konsumsi langsung (garam meja) maupun industri pangan dibutuhkan garam KP 1 meskipun beberapa perusahaan makanan dan minuman mempersyaratkan kadar NaCl minimal 98 persen karena adanya kekhawatiran masih terdapat unsur logam yang bila kontak dengan udara bebas menyebabkan terjadinya perubahan warna (menjadi kuning dan bau).

Secara teknis garam KP 3 dapat ditingkatkan menjadi KP 1 melalui proses pemurnian (refinery) secara bertahap. Namun pencucian garam membutuhkan biaya yang cukup besar dan akan terjadi penyusutan 20 hingga 25 persen, sedangkan KP 2 menjadi KP 1 penyusutan 10 hingga 15 persen. Meskipun dilakukan pencucian, masih tetap sulit ditingkatkan dari KP 3 menjadi KP 1 selain itu membutuhkan biaya sehingga menjadi tidak layak.

33 Kualitas Garam Konsumsi

Kualitas garam konsumsi seperti yang telah disebutkan diatas yaitu menurut SNI adalah minimal mengandung NaCl sebesar 94.7 persen yang masuk kedalam kisaran kualitas baik atau K II. Garam konsumsi selain mempunyai nilai sesuai dengan SNI juga harus mengandung iodium sebesar 30 hingga 80 ppm, oleh karena itu dalam proses pembuatannya harus ada iodisasi yaitu penambahan iodium (BRKP DKP 2006).

Lahan Tambak Garam

Berdasarkan Arief et al. (2013), sampai saat ini belum ada data tentang luas areal tambak yang representatif, yang menunjukkan dengan tepat data tentang luas areal eksisting tambak dan areal potensial untuk dijadikan sebagai areal tambak garam. Data yang ada selama ini merupakan data statistik dan merupakan data yang sudah cukup lama. Adapun ketersediaan data yang representatif akan sangat membantu perumusan kebijakan dan penelitian, tidak terkecuali pada penelitian ini.

Produksi garam dipengaruhi oleh luas lahan tambak garam. Semakin luas tambak garam, maka semakin tinggi pula produksi yang dihasilkan. Gambar 16 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas lahan yang cukup signifikan selama 15 tahun terakhir berdasarkan data yang diperoleh dari Kemenperin (2013). Meskipun peningkatan tersebut tidak bersifat progresif di setiap tahun. Pada tahun 2001 luas lahan meningkat dari 13 500 hektar menjadi 19 664 hektar.

Peningkatan signifikan terjadi pada lahan yang dikelola oleh rakyat (Gambar 13). Pada tahun 2011, perluasan tambak garam kembali terjadi. Luas lahan tambak garam di Indonesia meningkat menjadi 29 329 hektar. Luas lahan tersebut merupakan kontribusi lahan tambak garam rakyat seluas 24 139 hektar dan 5 190 hektar dari PT Garam. Peningkatan ini dipengaruhi oleh adanya intervensi pemerintah berupa program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Dengan adanya insentif kepada petambak garam berupa BLM PUGAR, maka menimbulkan minat usaha garam bagi di luar petambak garam yang sudah ada dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur.

Gambar 13 Perkembangan luas tambak garam milik garam rakyat, PT Garam, dan total luas lahan tambak garam nasional tahun 1997-2012

Sumber : Kemenperin (2013) dan PT Garam (2013) - 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 lu as lah an (h ek tar ) tahun

34

Gambar 14 Wilayah Sentra Garam Tahun 2011

Sumber : Kementerian Kelautan Dan Perikanan 2012

Gambar 15 Wilayah Penyangga Garam Tahun 2011

Sumber : Kementerian Kelautan Dan Perikanan 2012

Luas lahan tambak garam rakyat di seluruh Indonesia relatif lebih luas namun letaknya terpencar-pencar karena merupakan milik pribadi dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 3 hektar, sedangkan lahan yang dimiliki oleh PT. Garam memang tidak seluas areal pergaraman rakyat, namun letaknya menyatu. Produktivitas Tambak Garam

Produktivitas tambak garam yang digarap oleh garam rakyat selama 15 tahun terakhir lebih tinggi dari produktivitas lahan tambak milik PT Garam, yaitu berada pada kisaran 40 hingga 60 ton per hektar (Gambar 16). Hal ini disebabkan oleh proses produksi garam rakyat yang relatif lebih cepat dari PT Garam. Proses

35 penguapan yang lebih cepat berdampak pada kadar air yang masih cukup tinggi pada garam rakyat dan kandungan NaCl yang rata-rata masih kurang dari 95 persen atau digolongkan sebagai garam KP 2 dan KP 3. Sementara kualitas garam yang dihasilkan oleh PT Garam tergolong KP 1.

Gambar 16 Perkembangan produktivitas tambak garam tahun 1997-2012

Sumber : Kemenperin (2013) dan PT Garam (2013)

Penyediaan Garam Konsumsi dari Luar Negeri

Impor Garam Konsumsi

Impor pada garam konsumsi (iodisasi) dilakukan apabila produksi garam rakyat di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan garam nasional. Regulasi terkait pelaksanaan impor diatur dalam Permendag 44/M-DAG/PER/2007. Dalam regulasi tersebut ditetapkan masa pelarangan impor garam, yaitu 1 bulan sebelum panen raya garam rakyat, selama masa panen, dan 2 bulan setelah masa panen raya garam rakyat. Hal ini sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk melindungi kepentingan petambak.

Namun kendalanya kemudian adalah ketersediaan data yang representatif mengenai besarnya produksi, stok dan kebutuhan garam konsumsi dengan kondisi nyata di lapangan masih dipertanyakan. Indikasi mengenai hal ini terlihat dari perbedaan data yang dikeluarkan antar instansi. Ketersediaan data yang valid memudahkan dalam menentukan volume impor yang dibutuhkan. isu impor garam konsumsi menimbulkan polemik. Ada banyak pihak mempertanyakan tentang keberadaan garam impor di negeri bahari Indonesia.

Sejak keberadaan pintu impor garam konsumsi dibuka di tahun 1998, geliat pergaraman nasional cenderung melesu. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan garam lokal untuk bersaing dengan garam impor baik dari sisi kualitas maupan harga. Sejak tahun 2006 hingga 2012, impor garam konsumsi terus berlangsung (Gambar 17). Bahkan pada tahun 2010 dan 2011, volumenya meningkat tajam. Sehingga polemik garam semakin menghangatkan pemberitaan di media. Meningkatnya volume impor garam di tahun 2010 dan 2011, selain disebabkan oleh merosotnya produksi lokal karena gangguan cuaca ekstrim,

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 p ro d u k tiv itas tam b ak g ar am (to n /h ek tar ) tahun

36

dalam Baidlawi (2012), juga disebabkan oleh pelanggaran impor garam oleh sejumlah perusahaan yang tidak menjalankan aturan.

Selain terdapat kendala pada ketersediaan data yang valid, gejala market failure (kegagalan pasar) terlihat pada industri pergaraman nasional. Indikasi terjadinya market failure, salah satunya adalah temuan KPPU bahwa terjadinya kasus kartel garam pada tahun 2005 di Sumatera Utara, dimana garam rakyat tidak bisa masuk ke wilayah tersebut. Keberadaan garam impor tidak dapat dilepaskan dari isu tersebut. Dimana penguasaan kartel perdagangan garam marak terjadi di tingkat lokal. Sehingga isu impor garam cenderung bersifat politis.

Gambar 17 Perkembangan impor garam konsumsi tahun 2006 – 2012

Sumber : Kemenperin, 2013

Kebutuhan Garam Konsumsi

Kelompok kebutuhan garam konsumsi antara lain untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan. Berdasarkan gambar 21 kebutuhan garam konsumsi relatif stabil, peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Kebutuhan garam konsumsi berdasarkan data Kemenperin (2011) diklasifikasikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga, kebutuhan industri pengasinan ikan, dan industri aneka pangan. Pertumbuhan rata-rata kebutuhan garam konsumsi untuk rumah tangga selama tahun 2008 sampai dengan 2012 relatif rendah yaitu sebesar 1.97 persen (Gambar 18). Pada tahun 2011, terjadi peningkatan kebutuhan untuk pengasinan ikan yaitu sebesar 140 ribu ton. Sedangkan pada industri pangan pada tahun 2012, kebutuhan mencapai 275 ribu ton. - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 im p o r (to n ) tahun

37

Gambar 18 Perkembangan kebutuhan garam konsumsi tahun 2008-2012

Sumber : Kemenperin 2013

Sama halnya dengan kondisi data produksi, data kebutuhan konsumsi juga tidak jelas dasar penetapannya. Jika penetapan kebutuhan garam konsumsi dihitung berdasarkan tingkat konsumsi garam per kapita Indonesia, maka berdasarkan data SUSENAS tahun 2009 konsumsi garam adalah sebesar 5.7 gram/kapita/hari. Hal ini menunjukkan penurunan dari data tahun 2002 yaitu sebesar 6.3 gram/kapita/hari (Tabel 13). Berdasarkan Hardiansyah (2011), konsumsi garam menggunakan data ini diperkirakan underestimate karena belum termasuk garam visible salt yang dibubuhkan pada makanan jajanan (bakso, soto, mie goreng dan makanan jajanan lainnya) dan garam visible salt yang dibubuhi pada makanan pabrik atau produk industri. Sementara konsumsi makanan jajanan dan pabrik yang bergaram cenderung semakin tinggi selama satu dekade terakhir.

Tabel 13 Konsumsi garam (Visible salt) tahun 2002, 2007, dan 2009

Wilayah 2002 2007 2009

Kota 5.8 5.0 5.2

Desa 6.7 6.2 6.2

Kota dan desa 6.3 5.6 5.7

Sumber: data diolah dari SUSENAS 2002, 2007 dan 2009 dalam Hardiansyah 2011

Namun apabila data yang diperkirakan underestimate ini dikalikan dengan jumlah populasi pada tahun 2009 sebesar 237 400 000 jiwa (Tabel 14), maka hasilnya adalah sebesar 1 353 180 ton. Nilai tersebut lebih tinggi dari data kebutuhan garam konsumsi atau selisih sebesar 174 930 ton. Sementara WHO (2003) menganjurkan konsumsi garam kurang dari 5 gram/kapita/hari untuk hidup sehat. Ini menunjukkan bahwa konsumsi garam penduduk Indonesia sudah melebihi anjuran WHO (2003).

- 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 2008 2009 2010 2011 2012 k eb u tu h an g ar am k o n su m si (to n ) tahun

38

Tabel 14 Populasi penduduk Indonesia tahun 2001-2011

Tahun Populasi (jiwa) 2001 216,200,000 2002 219,000,000 2003 221,800,000 2004 224,600,000 2005 227,300,000 2006 229,900,000 2007 232,500,000 2008 235,000,000 2009 237,400,000 2010 239,900,000 2011 242,000,000

Sumber : World Bank 2012

Keragaan Sistem Ketersediaan Garam Industri

Penyediaan Garam Industri dari Dalam Negeri

Penyediaan garam industri yang bersumber dari dalam negeri hingga tahun 2012 belum dapat dilakukan karena kendala kualitas dan kuantitas. Garam industri mensyaratkan kadar NaCl minimal 97 persen, sementara hasil produksi dari garam lokal saat ini rata-rata masih dibawah 95 persen. Terkait penyediaan garam industri dari dalam negeri, maka pemerintah mencanangkan swasembada garam industri pada tahun 2015 sebagai salah satu indikator keberhasilan kebijakan swasembada garam nasional.

Hingga akhir tahun 2012, hasil deep interview dengan stakeholders terkait, dalam hal ini KKP, bahwa lahan ekstensifikasi masih dalam tahap persiapan, bahkan tahun 2013 ini juga belum bisa berproduksi karena terdapat kendala pada pembebasan lahan. Sehingga produksi ditargetkan bisa dimulai di tahun 2014.

Untuk dapat memproduksi garam industri, penerapan dengan metode proses produksi yaitu kristalisasi bertingkat mulai dari kolam penguapan hingga meja kristalisasi dapat meningkatkan kualitas garam yang dihasilkan. Untuk menerapkan proses kristalisasi bertingkat dibutuhkan lahan minimal seluas 5 ha, sedangkan lahan milik petambak garam umumnya hanya seluas 1 hingga 2 ha. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit bagi petambak yang masih menerapkan cara tradisional dapat menghasilkan garam yang berkualitas tinggi.

Penyediaan Garam Industri dari Luar Negeri (Impor)

Pemenuhan kebutuhan industri dipasok sepenuhnya dari impor. Impor garam industri meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan sektor industri. Rata-rata pertumbuhan impor garam industri dari tahun 2006

39 hingga tahun 2012 adalah sebesar 4.01 persen (Gambar 19). Garam industri ini kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri soda kaustik (CAP), industri non CAP, industri farmasi dan lain sebagainya.

Gambar 19 Perkembangan impor garam industri tahun 2006 – 2012

Sumber : Kemenperin 2013

Kebutuhan Garam Industri

Kebutuhan garam industri mencapai 59 persen dari keseluruhan kebutuhan garam nasional (Gambar 20). Kebutuhan garam paling besar adalah industri kimia yang memanfaatkan senyawa “klor” dan “natrium” untuk memproduksi berbagai produk petrokimia seperti polyvinyl chloride yang menghasilkan barang-barang plastik, soda kaustik dan produk klor yang digunakan dalam proses pemutihan

(bleaching) pulp dan tekstil (Gambar 21). Kebutuhan garam terus meningkat seiring dengan pertumbuhan sektor industri terutama industri kimia dan industri pangan, namun di sisi lain kemampuan pasok tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

Gambar 20 Persentase kebutuhan garam rata-rata tahun 2008-2011

Sumber : data olahan (Kemenperin 2013) - 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 1,800,000 2,000,000 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 im p o r (to n ) tahun

CAP non CAP farmasi lain-lain total impor garam industri

garam konsumsi 41% garam industri 59%

40

Gambar 21 Kebutuhan garam industri berdasarkan kelompok penggunanya

Sumber : Kemenperin 2013

Berdasarkan Kemenperin (2011), perusahaan industri petrokimia seperti PT. Asahimas Chemicals dan PT. Sulfindo yang memproduksi polyvinyl chlorida

(PVC) dan caustic soda (NaOH), membutuhkan garam sekitar 1.6 juta ton dan diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan industri plastik, kertas dan tekstil. Selain itu industri makanan dan minuman juga membutuhkan garam kualitas tinggi untuk menjamin kualitas produk yang sebagiannya diekspor dalam jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Demikian pula untuk konsumsi rumah tangga yang membutuhkan garam dengan kadar NaCl minimal 94.7 persen sesuai dengan SNI nomor 01-3556-2000. Kondisi tersebut menunjukkan semakin meningkatnya kebutuhan garam kualitas tinggi yang sebagian masih harus didatangkan dari negara lain, terutama Australia.

Keragaan Penyediaan Garam Dunia

Produktivitas lahan tambak garam Indonesia relatif masih rendah. Rata- rata produktivitas garam rakyat masih sekitar 60 hingga 70 ton per hektar. Peningkatan produktivitas baru terjadi setelah intervensi pemerintah berupa program PUGAR yaitu menjadi 91.7 persen pada tahun 2012. Capaian tersebut masih jauh apabila dibandingkan dengan produktivitas garam oleh Dampier Salt di Australia yaitu sebesar 300 hingga 500 ton/hektar, maupun Cheetam Salt di Australia juga yaitu sebesar 200 ton/hektar.

- 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 1,800,000 2,000,000 2008 2009 2010 2011 2012 k eb u tu h an g ar am in d u str i (to n ) tahun

41

Gambar 22 Produksi garam di beberapa negara di dunia (dalam ton)

Sumber : British Geological Survey 2006

Model Dinamik Swasembada Garam Nasional

Validasi Model

Validasi struktur dilakukan langsung oleh pengkat lunak. Dari hasil pengujian tersebut, tidak ditemukan inkonsistensi dalam penggunaan dimensi. Sedangkan hasil uji validitas kinerja model dengan menggunakan RMSPE , AME

dan AVE tidak melebihi batas maksimum yang disyaratkan yaitu 5 persen (Tabel 15). Sehingga model valid baik secara struktur maupun kinerja model.

Tabel 15 Hasil uji validitas kinerja model sistem ketersediaan garam nasional

Kriteria Variabel Produksi garam konsumsi Kebutuhan garam konsumsi Impor garam industri Kebutuhan garam industri RMSPE 2.82% 0.49% 0.65% 0.27% AME 0.27% -0.29% -0.27% 0.16% AVE 0.63% -0.63% -0.24% 0.31%

Sumber : data diolah

Perilaku Model

Pembangunan model sistem ketersediaan garam nasional dilakukan untuk mengetahui besarnya ketersediaan pada kondisi aktual. Neraca ketersediaan yang terbentuk pada kondisi pengelolaan business as usual menggambarkan ketercapaian swasembada garam nasional. Data yang digunakan dalam pembangunan model adalah data tahun dasar 2008. Sedangkan periode simulasi yang digunakan untuk melihat perilaku model dilakukan mulai dari tahun 2008

0 5,000,000 10,000,000 15,000,000 20,000,000 25,000,000 30,000,000 35,000,000 40,000,000 45,000,000 50,000,000 p ro d u k si (to n )

42

hingga tahun 2025. Penentuan periode simulasi bersifat sengaja guna mengakomodir pengaruh faktor cuaca ekstrim di masa mendatang. Berdasarkan trend data produksi garam nasional diperoleh informasi bahwa hampir setiap 10 tahun sekali Indonesia mengalami perubahan cuaca ekstrim. Faktor lainnya adalah guna melihat kontinuitas ketersediaan garam pasca pencanangan target swasembada garam nasional di tahun 2015.

Perilaku model yang diukur dalam penelitian ini adalah penyediaan garam konsumsi, kebutuhan garam konsumsi, penyediaan garam industri dan kebutuhan garam industri.

Perilaku Submodel Penyediaan Garam Konsumsi

Submodel penyediaan garam konsumsi ini dibangun dari komponen produksi dan cadangan dari produksi tahun lalu. Produksi garam bersumber dari garam rakyat dan PT Garam. Besarnya produksi dipengaruhi oleh luas lahan, produktivitas lahan dan jumlah hari panen.

Luas Lahan Tambak Garam di Indonesia

Luas lahan tambak garam rakyat dalam kondisi aktual bersifat konstan. Asumsi ini dibangun berdasarkan data empiris selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2010, bahwa tidak ada peningkatan luas lahan yang signifikan pada tambak garam rakyat. Sedangkan pada lahan tambak garam yang dusahakan oleh PT Garam terjadi peningkatan sebesar 0.92 persen per tahun. Hasil simulasi perkembangan luas lahan tambak garam secara rinci terdapat pada tabel 16. Pada tahun 2025, jumlah luas lahan tambak garam diprediksi mencapai 20 542.27 hektar, dengan komposisi 14 474 hektar dari garam rakyat sedangkan 6 068.27 hektar dari PT Garam. Dengan luas lahan tersebut mengindikasikan baru sekitar 60 persen dari potensi luas lahan tambak garam Indonesia yang telah dimanfaatkan. Ketimpangan antara luas lahan potensial dibandingkan dengan luas lahan produktif yang telah dimanfaatkan merupakan peluang peningkatan produksi garam di masa mendatang.

Selain itu, peningkatan luas tambak garam dengan pengelolaan secara aktual hanya sebesar 1 000 hektar dalam dalam 17 tahun periode simulasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan secara aktual belum dapat merangsang para pelaku usaha pergaraman untuk meningkatkan luas lahannya dan belum dapat menarik minat pihak lain untuk melakukan usaha pergaraman.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa perilaku luas lahan tambak garam rakyat bersifat konstan, sementara pada tambak milik PT Garam menunjukkan terdapat pertumbuhan dari waktu ke waktu meski tidak terlalu besar pertumbuhannya (Gambar 23). Hal ini mengindikasikan PT Garam sebagai badan usaha milik negara senantiasa berupaya untuk melakukan peningkatan produksi melalui perluasan tambak garam.

43 Tabel 16 Luas lahan tambak garam pada kondisi aktual tahun 2008-2025

Tahun luas lahan (hektar)

garam rakyat PT Garam total 2008 14,474.00 5,190.00 19,664.00 2009 14,474.00 5,237.95 19,711.95 2010 14,474.00 5,286.34 19,760.34 2011 14,474.00 5,335.18 19,809.18 2012 14,474.00 5,384.47 19,858.47 2013 14,474.00 5,434.22 19,908.22 2014 14,474.00 5,484.43 19,958.43 2015 14,474.00 5,535.10 20,009.10 2016 14,474.00 5,586.23 20,060.23 2017 14,474.00 5,637.85 20,111.85 2018 14,474.00 5,689.93 20,163.93 2019 14,474.00 5,742.50 20,216.50 2020 14,474.00 5,795.56 20,269.56 2021 14,474.00 5,849.10 20,323.10 2022 14,474.00 5,903.14 20,377.14 2023 14,474.00 5,957.68 20,431.68 2024 14,474.00 6,012.72 20,486.72 2025 14,474.00 6,068.27 20,542.27

Gambar 23 Luas lahan tambak garam pada kondisi aktual tahun 2008-2025 (dalam hektar) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 10,000 15,000 20,000 hektar luas lhn gr luas lhn gptg luas total

44

Produktivitas Lahan Tambak Garam

Produktivitas lahan garam yang digunakan dalam model adalah produktivitas lahan per hektar per hari. Hal ini dilakukan berkaitan dengan penggunaan variabel jumlah hari panen dalam model. Dengan menggunakan produktivitas harian maka dapat diketahui kemampuan harian dari tambak garam untuk menghasilkan garam.

Gambar 24 Perkembangan produktivitas garam dalam kondisi aktual berdasarkan pelaku usahanya, tahun 2008-2025

Dari gambar 24 menunjukkan bahwa perilaku produktivitas garam rakyat dan PT Garam mengikuti pola exponential growth. Hal ini mengindikasikan bahwa baik pada garam rakyat maupun PT Garam terdapat proses belajar yang terus menerus sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari waktu ke waktu.

Berdasarkan tabel 17 menunjukkan bahwa produktivitas garam rakyat lebih tinggi daripada produktivitas lahan PT Garam. Tingginya produktivitas garam rakyat dipengaruhi oleh metode yang digunakan. Garam rakyat cenderung berorientasi kuantitas sehingga proses peminihan tidak memakan waktu yang lama. Hal tersebut mengakibatkan kualitas yang dihasilkan kurang baik. Sementara produktivitas tambak garam yang dihasilkan oleh PT Garam lebih kecil,

Dokumen terkait