• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dynamics Model of National Salt Sufficiency.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dynamics Model of National Salt Sufficiency."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL DINAMIK SWASEMBADA GARAM NASIONAL

SRI DHARMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Dinamik Swasembada Garam Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Sri Dharmayanti

(4)
(5)
(6)

RINGKASAN

SRI DHARMAYANTI. Model Dinamik Swasembada Garam Nasional. Dibimbing oleh SUHARNO dan AMZUL RIFIN.

Garam memiliki peran strategis yaitu sebagai bahan pokok bagi kebutuhan konsumsi dan juga merupakan bahan baku berbagai industri. Kebutuhan konsumsi antara lain digunakan untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan, sedangkan kebutuhan industri antara lain untuk industri perminyakan, tekstil dan penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri chlor alkali (CAP), industri farmasi (Deperin 2009). Lahan potensial tambak garam di Indonesia sebesar 34 ribu hektar, namun hingga saat ini baru sekitar 60 persen dari lahan potensial tambak garam Indonesia yang telah dimanfaatkan sebagai lahan tambak produktif.

Produksi yang dihasilkan oleh lahan tambak garam produktif Indonesia tergolong rendah sehingga belum dapat memenuhi tingginya kebutuhan. Kesenjangan antara produksi dan kebutuhan menimbulkan ketergantungan terhadap garam impor. Sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap garam impor, maka pada tahun 2011, pemerintah menggagas kebijakan swasembada garam nasional. Tercapainya swasembada garam nasional dapat diukur melalui ketersediaan baik pada garam konsumsi maupun garam industri.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) membangun model sistem ketersediaan garam nasional untuk mengukur ketercapaian swasembada garam nasional, (2) menganalisis dampak pencapaian kebijakan swasembada bagi ketersediaan garam nasional, dan (3) menyusun kebijakan alternatif yang dibutuhkan sebagai upaya pencapaian swasembada garam nasional. Untuk menjawab penelitian tersebut digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak kebijakan swasembada garam nasional dianalisis dengan menggunakan 5 skenario, yaitu : (1) skenario 1 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 60% dari indikator capaian), (2) skenario 2 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 80% dari indikator capaian, (3) skenario 3 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 100% dari indikator capaian, dengan nilai batas bawah ekstensifikasi), (4) skenario 4 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 100% dari indikator capaian, dengan nilai tengah ekstensifikasi) dan (5) skenario 5 (jika pencapaian kebijakan swasembada sebesar 100% dari indikator capaian, dengan nilai batas atas ekstensifikasi). Sedangkan untuk menyusun kebijakan alternatif digunakan 3 skenario, yaitu (1) skenario 6 : Skenario 4 dengan koreksi atas kebijakan peningkatan produktivitas PUGAR menjadi sebesar 97 ton per hektar, (2) skenario 7 : skenario 6 dengan asumsi seluruh pengusahaan garam rakyat merupakan anggota kelompok PUGAR, dan (3) skenario 8 : skenario 7 plus reduksi konsumsi garam untuk rumah tangga mengikuti rekomendasi salt intake

berdasarkan WHO (2007) yaitu 5 gram per hari per kapita dan peningkatan kualitas garam yang dihasilkan oleh garam rakyat sehingga tidak memerlukan pemurnian.

(7)

swasembada garam konsumsi. Pengelolaan secara actual tidak dapat menjadikan Indonesia berswasembada garam konsumsi secara kontinu. Sedangkan ketersediaan garam industri pada model aktual defisit di sepanjang periode simulasi. Kondisi ini dikarenakan dengan pengelolaan aktual, Indonesia tidak dapat memproduksi garam industrinya sendiri.

Analisis dampak kebijakan swasembada garam nasional menunjukkan Kebijakan swasembada garam nasional berdampak pada pencapaian swasembada garam konsumsi pada tahun 2012. Simulasi terhadap 5 skenario menunjukkan bahwa swasembada garam konsumsi secara berkelanjutan sudah dapat tercapai setidaknya apabila 80 persen dari indikator kebijakan tercapai. Sementara pada garam industri, ketersediaan masih menunjukkan nilai negatif sepanjang periode simulasi.

Kebijakan alternatif yang disusun dapat mengantarkan Indonesia mencapai swasembada garam konsumsi secara berkelanjutan selama periode simulasi. Sedangkan swasembada garam industri baru dapat tercapai apabila skenario 8 diterapkan, yaitu kebijakan peningkatan kualitas garam rakyat sehingga memenuhi kriteria kebutuhan industri. Ketersediaan pada skenario 8 menunjukkan nilai tertinggi dibandingkan skenario lainnya, hal ini dikarenakan adanya penggabungan kebijakan dari sisi penyediaan baik secara kuantitas maupun kualitas dan pengurangan konsumsi.

(8)

SUMMARY

SRI DHARMAYANTI. Dynamics Model of National Salt Sufficiency. Supervised by SUHARNO and AMZUL RIFIN

Salt has a strategic role as the staple food towards consumption needs and industrial needs in raw materials. The consumption needs covers all aspects in house hold consumption, cooking oil industries, fish curing industries, and other common industries such as oil industry, textile and tannery, feed, chlor alkali (CAP), and pharmacy (Deperin 2009). The potential area for salt sea bank is about 34 hectare, but only 60 percent of this area are used as productive salt sea bank.

The production produced by a productive salt sea bank in Indonesia are considered very low as they cannot fulfill the needs generally. The gap between supply and demand generate high dependency towards imported salt. As a step to reduce the dependency, in 2011, the government came up with the idea of the national salt self sufficiency. The achievement of this program can be measured by the availability of consumption and industrial salt needs.

This research was done to (1) build a model of the national salt supply system to measure the achievement of the national salt self sufficiency, (2) analyze the impact of this self sufficiency achievement in the national salt self sufficiency, and (3) compose an alternative policy needed as an effort to achieve the salt self sufficiency. In this research, the dynamic system approach is used. The impact of this national salt self sufficiency policy is analyzed using five scenario: (1) scenario 1 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 60 percent of the achievement indicator), (2) scenario 2 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 80 percent of the achievement indicator), (3) scenario 3 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 100 percent of the achievement indicator with the lower limit of extensification), (4) scenario 4 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 100 percent of the achievement indicator with the middle limit of extensification), (5) scenario 5 (if the achievement of the national salt self sufficiency reach 100 percent of the achievement indicator with the upper limit of extensification).

In arranging the alternative policy, three scenarios are needed; (1) scenario 6: scenario 4 with the correction in the PUGAR productivity increasement policy in 97 tons/hectare, (2) scenario 7: scenario 6 with the assumption of ; all grassroots salt companies are the member of PUGAR, and (3) scenario 8: scenario 7 plus salt consumption reduction for household based on the salt intake recommendation of WHO (2007) which is 5 grams per day per capita and and the increasement of salt quality produced by the grassroots supplier so there will be no more purification needed.

(9)

stimulation program. This condition happened because in actual processing, Indonesia cannot produce their own industrial salt.

The national salt self sufficiency policy impact analysis shown that the policy resulted in the achievement of the consumption salt self sufficiency in 2012. The simulation through the 5 scenarios shown that, gradually, the consumption salt self sufficiency will be achieved if at least 80 percent of the indicators are achieved as well. While in industrial salt, the supplies are negative during the whole simulation.

The composed alternative policy can support Indonesia to reach continuous consumption salt self sufficiency during the simulation period. While the industrial salt self sufficiency will be able to be achieved if the 8th scenario is applied, which is the increase of the grassroots salt production quality policy as it will fulfill the criteria of industrial needs. The supply in the 8th scenario shown the highest number compared to other scenarios. This is caused by the combination of policies in supply either quantity or quality and the depletion of consumption.

(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)
(12)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

MODEL DINAMIK SWASEMBADA GARAM NASIONAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(13)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nunung Kusnadi, MS

(14)
(15)

Judul Tesis : Model Dinamik Swasembada Garam Nasional Nama : Sri Dharmayanti

NIM : H451110441

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Suharno, MAdev Ketua

Dr Amzul Rifin, SP MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Model Dinamik Swasembada Garam Nasional” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Bapak Dr Ir Suharno, MAdev, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Amzul Rifin, SP MA, selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi yang sangat berharga bagi penulisan tesis ini.

2. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis, dosen evaluator pada kolokium proposal penelitian dan juga dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis, yang telah banyak memberikan masukan mulai dari proposal hingga penyelesaian tesis.

3. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi atas arahan dan masukan sehingga karya ilmiah ini menjadi lebih baik lagi.

4. Seluruh staf pengajar dan staf akademik program studi Magister Sains Agribisnis

5. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa melalui program Beasiswa Unggulan yang telah diberikan hingga saya dapat menyelesaikan studi. 6. Bapak Gumilar beserta staf dari KP3K Kementerian Kelautan dan

Perikanan atas bantuannya dalam pengumpulan data penelitian.

7. Bapak Bukhori dari Kementerian Perindustrian atas informasi terkait kondisi pergaraman nasional sehingga memudahkan saya untuk dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Seluruh teman-teman MSA 2 atas atas diskusi, motivasi dan bantuannya selama penulis menyelesaikan tesis.

9. Lia Emiria Mustika dan Nia Astuti atas bantuannya sehingga memudahkan proses penyusunan tesis.

10.Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orangtua dan mertua atas doa restu yang telah menjadikan proses penyusunan ini terasa lebih mudah.

11.Ucapan terimakasih khusus disampaikan kepada suami tercinta Fredi Raharja beserta anak-anak tersayang Balqis Fathiya Imani, M. Tsabit Thoriqussalam dan Zia Aqila Azkadina yang telah memberikan dukungan penuh.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(18)
(19)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

Definisi Operasional 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Dinamika Kebijakan Pergaraman Nasional 7

Kebijakan Swasembada Garam Nasional 8

Pendekatan Model Dinamika Sistem untuk Memproyeksikan Ketercapaian Kebijakan Swasembada 10

Kerangka Pemikiran 12

3 METODE PENELITIAN 17 Jenis dan Sumber Data 17 Metode Analisis Data 18 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 30

Keragaan Sistem Ketersediaan Garam Nasional 30

Model Dinamika Sistem Ketersediaan Garam Nasional 41

Dampak Pencapaian Kebijakan Swasembada Garam Nasional 57

Skenario Alternatif Kebijakan Pengembangan Sistem Ketersediaan Garam Nasional 65

Model Ketersediaan Dengan Konversi Atas Kualitas Garam Rakyat 71

5 SIMPULAN DAN SARAN 74

Simpulan 74

Saran 74

DAFTAR PUSTAKA v

LAMPIRAN 79

(20)

DAFTAR TABEL

1 Indikator capaian swasembada garam konsumsi 9

2 Indikator capaian swasembada garam industri 9

3 Data dan sumber data 17

4 Analisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat 18

5 Formulasi permasalahan pihak-pihak yang terlibat 19 6 Asumsi pada submodel penyediaan garam konsumsi 22 7 Asumsi pada submodel kebutuhan garam konsumsi 25 8 Asumsi pada submodel penyediaan garam industri 26 9 Asumsi pada submodel kebutuhan garam industri 27

10 Indikator Capaian Ekstensifikasi Lahan 29

11 Kualitas garam berdasarkan kandungan NaCl dan air 32

12 Kualitas garam rakyat tahun 2004-2009 32

13 Konsumsi garam (Visible salt) tahun 2002, 2007, dan 2009 37

14 Populasi penduduk Indonesia tahun 2001-2011 38

15 Hasil uji validitas kinerja model sistem ketersediaan garam nasional 41 16 Luas lahan tambak garam pada kondisi aktual tahun 2008-2025 43

17 Perkembangan produktivitas tambak garam dalam kondisi aktual

berdasarkan pelaku usahanya tahun 2008-2025 45

18 Perkembangan jumlah hari panen, tahun 2008-2025 46 19 Produksi garam konsumsi pada kondisi aktual, tahun 2008-2025 47 20 Penyediaan garam dari dalam negeri pada kondisi aktual,

tahun 2008-2025 49

21 Kebutuhan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 2008-2025

(dalam ton) 50

22 Neraca ketersediaan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun

2008-2025 51

23 Perkembangan impor dan stok garam konsumsi pada kondisi aktual

tahun 2008-2025 52

24 Perkembangan kebutuhan garam industri pada kondisi aktual,

tahun 2008-2025 54

25 Neraca ketersediaan garam industri 55

26 Perkembangan impor garam industri pada kondisi aktual tahun

2008-2025 56

27 Penyediaan, kebutuhan dan neraca ketersediaan garam konsumsi dengan memperhitungkan kualitas garam, tahun 2008-2025 72 28 Perbandingan ketersediaan garam konsumsi antara model aktual dan

(21)

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional tahun

2001-2011 1

2 Produksi garam nasional berdasarkan pelaku usahanya 2 3 Perkembangan kebutuhan garam nasional berdasarkan pemanfaatannya

tahun 2008 - 2012 3

4 Perkembangan impor garam berdasarkan pemanfaatnya tahun 2008-

2012 3

5 Pola Umum perilaku dinamika sistem 15

6 Diagram sebab akibat simulasi model dinamik swasembada garam

nasional 20

7 Diagram blackbox ketersediaan Garam Nasional 21 8 Diagram alir submodel penyediaan garam konsumsi 22 9 Diagram alir submodel kebutuhan garam konsumsi 24 10 Diagram alir submodel penyediaan garam industri 26 11 Diagram alir submodel kebutuhan garam industri 27 12 Perkembangan produksi garam rakyat, PT Garam dan total produksi

nasional tahun 1977 - 2012 31

13 Perkembangan luas tambak garam milik garam rakyat, PT Garam dan total luas lahan tambak garam nasional tahun 1997 - 2012 33

14 Peta sentra garam tahun 2011 34

15 Peta wilayah penyangga garam tahun 2011 34

16 perkembangan produktivitas tambak garam tahun 1997 - 2012 35 17 Perkembangan impor garam konsumsi tahun 2006 - 2012 36 18 Perkembangan kebutuhan garam konsumsi tahun 2008- 2012 37 19 Perkembangan impor garam industri tahun 2006 – 2012 39 20 Persentase kebutuhan garam rata-rata tahun 2008-2011 40 21 Kebutuhan garam industri berdasarkan kelompok penggunanya 41 22 Produksi garam di beberapa Negara di dunia ( dalam ton ) 42 23 Luas lahan tambak garam pada kondii aktual, tahun 2008- 2025 (dalam

hektar) 43

24 Perkembangan produktivitas garam dalam kondisi aktuak berdasarkan

pelaku usahanya, tahun 2008-2025. 44

25 Perkembangan jumlah hari panen 46

26 Produksi garam pada kondisi aktual tahun 2008-2025 47 27 Penyediaan garam dari dalam negeri pada kondisi aktual tahun

2008-2025 48

28 Kebutuhan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 2008-2025 49 29 Ketersediaan garam konsumsi pada kondisi aktual tahun 2008-2025 51 30 perekembangan kebutuhan garam industri pada kondisi aktual tahun

2008-2025 53

31 Neraca ketersediaan garam industri pada kondisi aktual tahun

2008-2025 55

32 perkembangan impor garam industri pada kondisi aktual yahun

(22)

33 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi

aktual dan skenario 1 58

34 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 1 59

35 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi

aktual dan skenario 2 60

36 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 2 60

37 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi

aktual dan skenario 3, 4 dan 5 61

38 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 3 62

39 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 4 62

40 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 5 63

41 Perbandingan ketersediaan garam konsumsi antar skenario kebijakan

swasembada garam nasional 63

42 Perbandingan ketersediaan garam industri antar skenario

kebijakan swasembada garam nasional 64

43 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi

aktual dan skenario 6 65

44 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 6 66

45 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi

aktual dan skenario 7 67

46 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 7 67

47 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dalam kondisi

aktual dan skenario 8 68

48 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam industri dalam kondisi

aktual dan skenario 8 69

49 Perbandingan Ketersediaan garam konsumsi antar skenario 70 50 Perbandingan ketersediaan garam industri antar skenario 70 51 Diagram Alir model keterbatasan garam konsumsi 71 52 Penyediaan kebutuhan dan ketersediaan garam konsumsi dengan

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Model dinamik swasembada garam nasional kondisi aktual 81 2 Persamaan matematis model dinamik swasembada garam nasional

kondisi aktual 82

3 Model dinamik dampak kebijakan swasembada garam nasional 83 4 Persamaan matematis model dinamik swasembada garam nasional

kondisi aktual 91

5 Neraca ketersediaan swasembada garam nasional dalam kondisi aktual

(24)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 24 Juli 1981 dari ayah AW Suharto dan ibu Lyn Sawalin Mardiningsih. Penulis adalah anak ke 3 dari 3 bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali di SDN Pengadilan 3 Bogor dari tahun 1986 - 1992. Penulis lalu melanjutkan studi di SMP Negeri 1 Bogor pada tahun 1992 – 1996. Tahun 1996 penulis melanjutkan ke jenjang menengah atas di SMA Negeri 1 Bogor hingga tahun 1999. Di akhir studi, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur undangan pada program studi Sosial Ekonomi Perikanan (SEI) FPIK IPB. Penulis berhasil menyelesaikan studi S1 pada tahun 2003. Tahun 2011 penulis mendapatkan kesempatan untuk meneruskan studi ke program Magister Sains Agribisnis dan memperoleh sponsor dari beasiswa unggulan BPKLN Kemdiknas.

Tahun 2004 - 2005 penulis bekerja sebagai Guru di SMP IT Ummul Quro Bogor. Di tahun 2005 - 2007 penulis bekerja sebagai asisten pengembangan produk di Unit Usaha Syariah PT Bank DKI.

(25)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garam merupakan bahan pokok bagi kebutuhan konsumsi juga merupakan bahan baku berbagai industri. Garam ditetapkan sebagai satu dari sembilan bahan pokok (sembako) berdasarkan Peraturan Pemerintah no.140 tahun 1961 tentang Penyaluran Bahan-bahan dan Barang-barang Pokok Keperluan Rakyat. Garam juga dicanangkan sebagai komoditas pangan strategis dalam “Feed Indonesia, Feed the World II” di tahun 2012. Di sektor industri, garam digunakan di berbagai industri seperti industri klor alkali, industri pengolahan logam, industri sabun, industri karet, industri tekstil, minyak, keramik, farmasi dan kertas.

Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung untuk dapat memenuhi kebutuhan garam dari produksinya sendiri. Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pegunungan muda sehingga menyebabkan terbentuknya berbagai macam sumber daya mineral yang potensial untuk dimanfaatkan. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan luas laut sebesar 5.8 juta km2 atau 70 persen dari luas seluruh Indonesia dan juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 95 181 km. Berdasarkan Balitbang KKP (2012) sebesar 34 ribu hektar lahan di Indonesia memenuhi kriteria teknis sebagai lahan tambak garam. Namun, pemanfaatan terhadap potensi lahan tambak garam di Indonesia tersebut belum seluruhnya digarap, hanya 20 ribu hektar atau 60 persen dari lahan tambak garam potensial yang sudah dimanfaatkan untuk produksi garam. Lumbung produksi terbesar nasional adalah Pulau Madura dengan luas lahan yang telah dieksploitasi sebesar 15 ribu hektar.

Gambar 1 Perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional tahun 2001- 2011

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(26)

2

Produksi yang dihasilkan oleh lahan tambak garam produktif Indonesia tergolong rendah sehingga belum dapat memenuhi tingginya kebutuhan (Gambar 1). Dalam cuaca normal, produksi garam nasional cenderung stabil. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada periode tahun 2001 hingga tahun 2009 produksi garam cenderung stabil dengan rata-rata produksi per tahun sebesar 1.2 juta ton. Sedangkan pada tahun 2010 terjadi perubahan cuaca ekstrim sehingga produksi turun hingga mencapai 30 ribu ton. Perkembangan produksi garam selama 10 tahun terakhir mengindikasikan ketergantungan yang tinggi pada cuaca dan minimnya sentuhan inovasi teknologi.

Produksi garam nasional dipasok oleh produksi PT.Garam dan produksi garam rakyat. 80 persen dari total produksi nasional merupakan produksi garam rakyat (Gambar 2). Secara umum, teknologi produksi yang digunakan di Indonesia masih sederhana, yaitu penguapan air laut dengan cahaya matahari (solar evaporation). Meskipun terdapat kesamaan dalam penggunaan teknologi produksi, namun terdapat perbedaan dalam metode produksi yang digunakan baik oleh PT Garam maupun garam rakyat. Garam rakyat menggunakan metode produksi kristalisasi total, sedangkan PT Garam menggunakan metode kristalisasi bertingkat. Perbedaan ini mempengaruhi kuantitas dan kualitas garam yang dihasilkan. Metode kristalisasi total menghasilkan kuantitas yang cenderung lebih tinggi namun dengan kualitas yang lebih rendah.

Gambar 2 Produksi garam nasional berdasarkan pelaku usahanya

Sumber : Kemenperin (2012) dan PT Garam (2013)

Garam dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri. Kebutuhan konsumsi antara lain digunakan untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan, sedangkan kebutuhan industri antara lain untuk industri perminyakan, tekstil dan penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri chlor alkali (CAP), industri farmasi (Deperin 2009). Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), secara kuantitas rata-rata kebutuhan garam nasional pada tahun 2008-2011 sebesar 3 juta ton, yaitu 1.2 juta ton untuk garam konsumsi dan 1.8 juta ton untuk garam industri. Berdasarkan gambar 3 terlihat bahwa kebutuhan industri mendominasi total kebutuhan garam nasional dengan rata-rata 1.6 juta per tahun.

-2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(27)

3

Gambar 3 Perkembangan kebutuhan garam nasional berdasarkan pemanfaatannya tahun 2008-2012

Sumber : Kemenperin 2013

Kebutuhan garam tidak hanya secara kuantitas harus terpenuhi namun juga dari sisi kualitas. Kualitas garam yang dihasilkan Indonesia memiliki kandungan NaCl dibawah 90 persen. Sehingga dengan kualitas tersebut, garam lokal baru dapat memenuhi kriteria kebutuhan konsumsi. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri, garam lokal belum dapat memasok baik segi kuantitas maupun kualitas. Kriteria kualitas garam untuk kebutuhan industri adalah memiliki kandungan NaCl minimal 98 persen.

Senjang antara produksi dan kebutuhan baik secara kuantitas maupun kualitas memberikan peluang bagi garam impor untuk masuk ke pasar Indonesia. Impor dilakukan untuk memenuhi kekurangan pasokan atas kebutuhan konsumsi maupun industri. Berdasarkan Kemenperin (2013) trend impor garam memiliki kecenderungan yang terus meningkat sebelum tahun 2012 (Gambar 4). Ketergantungan terhadap garam impor yang semakin menguat pada akhirnya menimbulkan polemik di berbagai kalangan yang kemudian marak diangkat berbagai media nasional belakangan ini.

(28)

4

Penyediaan garam yang bersumber dari luar negeri (impor) dari sisi pemenuhan kebutuhan memang dapat memberikan solusi bagi kekurangan pasokan garam lokal. Namun di sisi lain seperti yang diuraikan Wirjodirdjo (2004) dapat berdampak pada penyediaan garam lokal, yaitu tidak bersaingnya garam lokal baik terhadap harga maupun kualitas garam impor. Kondisi ini pada jangka panjang dapat berakibat pada semakin tidak menariknya industri pergaraman nasional bagi masyarakat dan ketergantungan terhadap impor semakin tinggi.

Ketergantungan terhadap garam impor merupakan ironi bagi bangsa mengingat potensi sumberdaya alam Indonesia dan latar belakang historis Indonesia sebagai negara pengekspor garam. Untuk itu maka pada tahun 2011 pemerintah mengeluarkan kebijakan swasembada garam nasional sebagai bentuk intervensi. Ihsanudin (2012) menguraikan latar belakang pencetusan swasembada garam antara lain bertujuan untuk (1) memenuhi kebutuhan garam nasional baik garam konsumsi maupun garam industri yang belum bisa terpenuhi. Perlu diingat bahwa pemenuhan kebutuhan garam ini bukan saja berkaitan dengan kuantitas namun juga dengan kualitas (terutama yang diperlukan industri). (2) menghentikan atau paling tidak mengurangi jumlah impor garam nasional yang sedikitnya menyerap devisa sekitar $100 juta per tahun. (3) adanya manfaat efek ganda (multiplier effect) dari usaha pegaraman yang sangat tinggi. Efek ganda ini terkait dengan berjalannya kegiatan ekonomi (baik pada aktivitas di lahan, transportasi, pemasaran maupun industri), (4) mendukung pencapaian kualitas kesehatan masyarakat (pemenuhan kebutuhan garam konsumsi beriodium penduduk yang masih 72.81 persen).

Keberhasilan swasembada garam tidak hanya keberhasilan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi melainkan juga kebutuhan industri. Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana kemungkinan Indonesia dalam mencapai swasembada garam. Ketercapaian swasembada akan ditelaah melalui ketersediaan fisik garam yang mampu dipasok oleh kemampuan domestik.

Perumusan Masalah

Dalam upaya membangkitkan kembali pergaraman nasional sedikitnya ada 5 komponen terkait, yaitu usaha garam rakyat, PT Garam, industri, konsumen rumah tangga dan pemerintah. Usaha garam rakyat dan PT Garam sebagai penyedia garam dalam negeri. Rendahnya produktivitas, ketergantungan onfarm

terhadap cuaca yang sangat tinggi, rendahnya kualitas merupakan permasalahan pada sisi penyediaan di dalam negeri. Situasi semakin diperburuk dengan semakin kuatnya keberadaan garam impor di Indonesia. Impor garam mengalami trend

(29)

5 lemahnya tata niaga garam nasional menjadikan posisi garam impor justru semakin menguat.

Kebijakan swasembada garam merupakan bentuk intervensi pemerintah yang berupaya memutus permasalahan lemahnya pergaraman nasional. Kebijakan ini fokus pada peningkatan penyediaan dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap garam impor secara bertahap akan dikurangi. Kebijakan swasembada garam nasional menargetkan swasembada garam konsumsi di tahun 2012 dan swasembada garam industri di tahun 2015. Untuk mencapai swasembada dibutuhkan produksi hingga 3 ton per tahun dengan kandungan NaCl lebih dari 98 persen. Peningkatan produktivitas, penambahan lahan tambak garam (ekstensifikasi), perbaikan kualitas melalui proses pencucian merupakan berbagai strategi untuk dapat mencapai swasembada. Permasalahannya kemudian adalah mampukah Indonesia mencapai swasembada. Beberapa pihak menyangsikan tercapainya swasembada garam ini dikarenakan sejumlah isu yang belum tertangani seperti isu harga, tata niaga, infrastruktur dan juga kualitas. Balitbang KKP (2012) menguraikan fakta permasalahan pada pergaraman nasional yang menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan swasembada, antara lain yaitu masalah sumber daya manusia (SDM), permodalan, kualitas dan penguasaan lahan, teknologi produksi dan pasca panen, kelembagaan produksi, infrastruktur, regulasi pedagangan dan ketersediaan data produksi dan konsumsi.

Penelitian ini akan memproyeksikan ketercapaian swasembada hingga tahun 2025. Pengukuran swasembada akan didekati melalui neraca ketersediaan yang mengukur kemampuan dalam negeri dalam menyediakan garam secara fisik (penyediaan) untuk memenuhi kebutuhan nasional. Dalam penelitian ini proyeksi tehadap ketercapaian swasembada dilakukan dengan mengukur besarnya ketersediaan dalam negeri. Proyeksi didahului dengan pembangunan model yang dapat merupakan abstraksi dari kondisi pergaraman nasional. Pembangunan model berdasarkan Eriyatno (1999) dilakukan untuk memberikan suatu abstraksi dari situasi aktual yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model dibangun dengan pendekatan dinamika sistem agar dapat memberikan gambaran yang utuh mengenai dinamika ketersediaan garam secara nasional dari waktu ke waktu.

Dengan kondisi sebagaimana yang telah diuraikan, maka penelitian ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

a. Pada kondisi aktual, mungkinkah Indonesia mencapai swasembada garam?

b. Pada saat ada intervensi berupa kebijakan swasembada garam nasional, mungkinkah Indonesia mencapai swasembada garam konsumsi secara berkelanjutan?

c. Pada saat ada intervensi berupa kebijakan swasembada garam nasional, mungkinkah Indonesia mencapai swasembada garam industri di tahun 2015?

(30)

6

Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan permasalahan, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membangun model swasembada garam nasional dengan menggunakan

pendekatan dinamika sistem

2. Menganalisis dampak kebijakan swasembada garam nasional terhadap ketersediaan garam nasional

3. Menyusun alternatif kebijakan yang dibutuhkan sebagai upaya pencapaian swasembada garam nasional

Ruang Lingkup Penelitian

1. Swasembada akan didekati dengan melakukan pengukuran terhadap fisik garam lokal yang mampu disediakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri

2. Ketersediaan dibagi menjadi ketersediaan garam konsumsi dan ketersediaan garam industri

3. Neraca ketersediaan mengakomodir komponen penyediaan dan kebutuhan baik pada garam konsumsi maupun garam industri

4. Penyediaan meliputi produksi dalam negeri dan cadangan dari tahun lalu 5. Penyediaan garam konsumsi terbagi menjadi garam rakyat dan PT Garam 6. Penyediaan garam tidak dibedakan kualitasnya

7. Impor merupakan penyediaan yang bersumber dari luar negeri. Besarnya impor dalam model ditentukan dari selisih antara penyediaan dan kebutuhan di dalam negeri

Definisi Operasional

Garam konsumsi Garam dengan kadar Natrium Khlorida minimum 94.7 persen atas dasar berat kering, dengan kandungan impurities Sulfat, Magnesium dan Kalsium maksimum 2 persen dan sisanya adalah kotoran (lumpur, pasir). Kadar air maksimal 7 persen. Garam jenis ini digunakan untuk garam meja, garam dapur, bahan baku dalam industri penyedap makanan, industri makanan mutu tinggi, industri sosis dan keju, industri minyak goreng, industri makanan menengah seperti kecap, tahu, pakan ternak dan untuk pengasinan ikan (Deperin 2009)

(31)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

Dinamika Kebijakan Pergaraman Nasional

Kebijakan pergaraman nasional berubah secara dinamis sejalan dengan perubahan-perubahan sistem ekonomi di Indonesia. Dinamika kebijakan tersebut mempengaruhi ketersediaan garam nasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam Rochwulaningsih (2008), pada masa pemerintah kolonial Belanda, kebijakan tataniaga pengusahaan garam bersifat monopoli. Pada masa itu garam merupakan komoditi ekspor dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara, sehingga monopoli garam sangat menguntungkan secara ekonomi. Pada masa perang kemerdekaan (1945-1949), kontrol pemerintah terhadap monopoli garam berkurang disebabkan instabilitas politik. Hal tersebut berdampak pada turunnya produksi garam nasional, bahkan hingga kebutuhan nasional tidak terpenuhi. Pada tahun 1959, pemerintah melalui Undang-undang no.13 tahun 1959 mengenai penghapusan sistem monopoli garam, memutuskan untuk menghapus sistem monopoli dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengembangkan usaha garam secara bebas. Hal ini dilakukan untuk mengatasi ancaman kekurangan pasokan garam. Penghapusan sistem monopoli, memberikan dampak nyata berupa melimpahnya ketersediaan garam yang bersumber dari peningkatan produksi garam rakyat, sehingga pada akhirnya berdampak pada turunnya harga di tingkat petambak. Sejak saat itu garam cenderung menjadi komoditas yang “tidak ada harganya”. Selain itu peningkatan ketersediaan garam secara kuantitas tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas.

(32)

8

Sejak tahun 2004, pemerintah perlahan mulai menunjukkan keberpihakannya pada petambak garam skala kecil melalui usaha perlindungan terhadap garam rakyat dengan mengeluarkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai ketentuan impor garam dan penentuan harga dasar garam. Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri nomor 02/Daglu/Per/5/2011 menetapkan harga garam terendah di titik-titik pengumpul untuk kualitas KP1 sebesar Rp750/kg dan KP2 Rp550/kg. Namun pada faktanya, harga di tingkat petambak masih berada dibawah ketentuan tertulis. Ketidakmampuan petambak sebagai pricemaker

dikarenakan masih tingginya ketergantungan petambak kepada pemilik modal seperti tengkulak, sehingga pemilik modal dapat dengan mudah menentukan harga. Hal ini menggambarkan terjadinya gejala policy resistance pada pergaraman nasional.

Seiring dengan berkembangnya pemberitaan mengenai ironi pergaraman nasional, pada tahun 2011, pemerintah menetapkan kebijakan swasembada garam nasional. Kebijakan ini berupaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap impor secara bertahap melalui peningkatan kuantitas dan kualitas garam nasional. Keseriusan KKP dalam memacu produksi garam rakyat dibuktikan dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) yang dilaksanakan di 40 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sebagai program turunan dari kebijakan swasembada garam nasional. Program ini memberikan subsidi input dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) untuk merangsang peningkatan produktivitas, pembangunan infrastruktur, penetapan harga garam, penataan impor dan ekstensifikasi lahan. Kebijakan ini membedakan target pencapaian swasembada pada garam konsumsi dan garam industri. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kualitas dari keduanya. Untuk garam konsumsi, pemerintah menargetkan tercapai swasembada di tahun 2012 yang lalu. Sementara untuk garam industri ditargetkan tercapai di tahun 2015.

Berdasarkan Rismana (2013), swasembada garam konsumsi sudah dapat tercapai pada kondisi cuaca normal sekalipun tanpa program PUGAR. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana mempertahankan swasembada di tahun-tahun berikutnya, terutama bila cuaca tidak mendukung. Sedangkan untuk garam industri, hampir seluruhnya dipasok oleh garam impor, sehingga swasembada garam industri menjadi tantangan besar bagi pergaraman nasional.

Kebijakan Swasembada Garam Nasional

(33)

9 Tabel 1 Indikator capaian swasembada garam konsumsi

Indikator capaian Outcome

Terpenuhinya garam konsumsi nasional tahun 2012.

Surplus produksi garam nasional disamping untuk stok garam konsumsi juga untuk mendukung stok garam industri pada tahun 2013.

Menurunnya volume garam impor pada tahun 2012 (412 000 ton) sampai tidak tergantung sama sekali pada tahun 2013

Kelompok usaha bersama (KUB) garam rakyat berkembang sebagai badan usaha garam rakyat pada tahun 2012

Meningkatnya produktivitas dari 60 menjadi 84 ton/ha/tahun

Memberikan dampak penambahan produksi sebesar 1 690 500 ton Aktifnya kembali lahan garam dengan produktivitas 84 ton/ha/tahun

Pengembangan Mina Politan Garam

Distribusi garam lancar dengan harga layak

Menguatnya kelembagaan petambak garam dengan usaha yang menguntungkan bagi kesejahteraan petambak garam

Tabel 2 Indikator capaian swasembada garam industri

Indikator Unit 2012 2013 2014 2015

Lahan baru terolah Ha 1 315 3 945 5 698 7 890 Produktivitas ton/ha 75 75-100 75-125 100-125 Pemenuhan kebutuhan

garam industri

% 30 59 95

Outcome

Berkurangnya pengeluaran devisa negara akibat penurunan impor Terciptanya lapangan pekerjaan baru

Penurunan angka pengangguran

Penguatan ketahanan negara dari sisi ketergantungan terhadap produk impor Peningkatan jumlah industri lain yang mendukung industri garam industri, Peningkatan kesejahteraan sosial

(34)

10

negara pengekspor diberi subsidi oleh pemerintahnya (India dan Cina); (2) Kebijakan penentuan impor garam terutama untuk kebutuhan industri dengan mempertimbangkan keberadaan garam produksi nasional dan menjamin kecukupan garam untuk kebutuhan nasional.

Kebijakan swasembada garam nasional menggunakan berbagai strategi meliputi aspek infrastruktur, produksi, tata niaga, kelembagaan dan permodalan. Strategi dari aspek infrastruktur adalah dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Strategi ini juga dilakukan pada komoditas beras. Penelitian Mulyana (1998) mengenai keragaan penawaran dan permintaan beras Indonesia dan prospek swasembada menuju era perdagangan bebas mengungkapkan bahwa secara ekonomi, swasembada beras periode tahun 1984 hingga tahun 1996 dapat dipertahankan salah satunya dengan menambah areal intensifikasi. Wirjodirdjo (2004) merumuskan intensifikasi dan ekstensfikasi lahan merupakan strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor garam. Aspek infrastruktur lainnya adalah dengan melakukan perbaikan infrastruktur dan pemetaan lahan.

Di aspek produksi, strategi yang digunakan adalah dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. Peningkatan kuantitas dan kualitas garam rakyat dilakukan salah satunya dengan meluncurkan program PUGAR. Melalui program ini, pelaku usaha garam rakyat diberikan subsidi input berupa pemberian bantuan pengadaan alat-alat produksi. Penelitian Hasan et al. (2000) mengenai kebijakan swasembada gandum di Sudan, menemukan bahwa kebijakan subsidi input berupa air dan perbaikan jaringan irigasi sebagai bentuk perbaikan infrastruktur pertanian telah meningkatkan produksi gandum.

Aspek tata niaga untuk mencapai swasembada adalah dengan melakukan pembatasan impor dan penetapan harga dasar. Harga dasar garam ditetapkan melalui Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri no. 2 tahun 2011 tentang Penetapan Harga Penjualan Garam di Tingkat Petani. Namun, pada faktanya kebijakan penetapan harga tidak berjalan dengan baik. Struktur pasar yang masih harus dibenahi sehingga penerapan harga dasar tidak berjalan dengan baik.

Pendekatan Model Dinamika Sistem untuk Memproyeksikan Ketercapaian Kebijakan Swasembada

(35)

11 seperti diperlukannya penggunaan beberapa elemen dari reduksionisme untuk menggambarkan perilaku dari berbagai komponen dari sistem (Colin 1997 dalam Giraldo et al. 2008).

Penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam upaya memproyeksikan ketercapaian swasembada sudah banyak dilakukan. Proyeksi atas pencapaian swasembada banyak dilakukan dengan menganalisa neraca ketersediaan. Irawan (2005) dan Nurmalina (2007) memproyeksikan swasembada komoditas beras, Harmini et al. (2011) memproyeksikan tercapainya swasembada daging sapi, Nugrahapsari (2013) memproyeksikan swasembada gula kristal putih. Proyeksi dikembangkan melalui simulasi model dapat memberikan arah perencanaan bagi ketersediaan berbagai komoditas tersebut.

Secara umum swasembada dianalisa melalui neraca ketersediaan. Ketersediaan didekati melalui dua subsistem yaitu subsistem penyediaan dan kebutuhan. Pada penelitian Somantri dan Machfud (2006) kebutuhan dibagi menjadi dua sub sistem lagi, yaitu kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri. Hal ini dilakukan mengingat perbedaan karakteristik antara kebutuhan konsumsi dan industri. Variabel yang digunakan dalam sistem ketersediaan disesuaikan berdasarkan karakteristik permasalahan masing-masing komoditas. Kemampuan dalam mendalami latar belakang kondisi ketersediaan masing-masing komoditas dapat membantu dalam penentuan variabel yang akan digunakan.

Wirjodirdjo (2004) mengkaji ketersediaan garam dalam rangka mengurangi ketergantungan luar negeri. Pada penyusunan model, submodel produksi dibangun dari 3 kelompok besar yaitu produksi petambak garam di kawasan Madura, luar Madura dan produksi PT Garam. Pengelompokan tersebut dilatarbelakangi kondisi pergaraman sebelum tahun 2004 dimana sentra produksi garam di kawasan luar Madura belum banyak dikembangkan, sehingga terdapat perbedaan karakter seperti produktivitas lahan tambak garam. Namun pemisahan tersebut tidak relevan lagi untuk dilakukan saat ini, mengingat tidak signifikannya perbedaan pada pengusahaan garam rakyat di berbagai lokasi. Pada penelitian ini pemisahan garam berdasarkan kelompok kebutuhannya tidak diakomodir. Sehingga kebijakan yang disusun bersifat global tanpa membedakan kelompok kebutuhan konsumsi maupun industri. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan dalam penarikan kesimpulan mengenai ketergantungan Indonesia terhadap keberadaan garam impor. Dari telaah terhadap berbagai pustaka terkait sistem ketersediaan, maka penelitian ini berupaya untuk menyempurnakan kelemahan yang ada, yaitu antara lain dengan membedakan pembahasan garam berdasarkan kebutuhannya dan mengakomodir variabel stok.

Berhasil tidaknya pencapaian swasembada melalui proyeksi atas implementasi kebijakan swasembada garam nasional menjadi evaluasi penting bagi pengembangan pergaraman nasional. Untuk itu dalam penelitian ini juga akan dirumuskan kebijakan alternatif yang dapat dilakukan agar swasembada dapat tercapai. Berdasarkan Giraldo et al. (2008) para penyusun kebijakan biasanya menggunakan model untuk mendukung keputusan yang diambil. Dalam Sunitiyoso et al. (2012), pemodelan sistem merupakan metode yang disarankan dalam pengembangan kebijakan. Hal ini disebabkan karena pendekatan sistem mampu mengakomodir permasalahan secara holistik yang bermanfaat untuk mengatasi kompleksitas masalah nasional yang memerlukan interaksi antara

(36)

12

merumuskan kebijakan alternatif antara lain Muis (2012) menyusun kebijakan pengembangan agroindustri kakao, Harmini et al. (2011) merumuskan skenario alternatif atas kebijakan swasembada daging sapi, Somantri dan Machfud (2006) merumuskan kebijakan penyediaan ubi kayu, dan Wirjodirdjo (2004) merumuskan kebijakan pergaraman nasional sebagai langkah dalam mengurangi ketergantungan luar negeri. Kebijakan pergaraman dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Kebijakan pergaraman nasional yang parsial dapat menyebabkan terjadinya policy resistance. Untuk itu dalam perumusan kebijakan, kemampuan dalam melihat permasalahan pergaraman sebagai suatu sistem yang kompleks sangat diperlukan. Sebuah perspektif sistemik akan memungkinkan

stakeholders merumuskan kebijakan dan membuat keputusan yang konsisten untuk kepentingan jangka panjang.

Kerangka Pemikiran

Konsep Swasembada

Swasembada berdasarkan konsep swasembada pangan diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan, yang sejauh mungkin berasal dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan. Indikator swasembada pada pergaraman nasional berdasarkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2012) adalah swasembada garam konsumsi apabila terpenuhi kebutuhan garam konsumsi dengan 100 persen penyediaan dalam negeri. Sementara swasembada garam industri adalah apabila kebutuhan garam industri terpenuhi dengan 95 persen penyediaan dalam negeri. Berdasarkan Hanani (2009), swasembada merupakan kebijakan lingkup nasional dengan melakukan strategi berupa substitusi impor sehingga tercipta ketersediaan pangan oleh produk domestik.

(37)

13 Sistem

Sistem adalah gabungan komponen yang teratur. Tiap komponen berkontribusi terhadap perilaku sistem dan dipengaruhi karena berada di dalam sistem. Tidak ada komponen yang memiliki efek independen dalam sistem (Ristono 2011). Dalam definisi lainnya, sistem merupakan keseluruhan inter-aksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Aminullah dan Muhammadi 2001). Forrester (1968) merumuskan bahwa sistem adalah sekelompok komponen yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu. Dari beberapa batasan mengenai pengertian sistem, dapat disimpulkan bahwa sistem ini merupakan suatu keseluruhan yang unsur-unsurnya tergantung bersama karena unsur-unsur itu saling mempengaruhi dari waktu ke waktu dan beroperasi menurut tujuan bersama.

Dalam pandangan Menetsch dan Park seperti yang dikutip oleh Eriyatno (1999) setiap orang dapat menyampaikan terminologi sistem atas dasar pandangan pribadi maupun kegunaan untuk kelompoknya, yang penting harus ada visi tentang sesuatu yang “utuh” dan keutuhan. Oleh karenanya sistem dapat diartikan sebagai himpunan atau kombinasi dari bagian-bagian yang membentuk sebuah kesatuan yang komplek dan memiliki kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Sehingga secara definitif sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan tertentu.

Pendekatan Sistem

Sistem bersifat relatif karena tergantung pada tujuan mempelajari sistem tersebut. Berdasarkan Ristono (2011), pendekatan sistem bersifat subjektif dan merupakan efek dari pengetahuan sebelumnya. Sehingga suatu sistem tidak dapat diberi label benar, sedang yang lain adalah salah, selama masing-masing konsisten dan logis.

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal berikut : (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional (Eriyatno 1999).

(38)

14

(manusia) dalam sistem yang menggambarkan kaidah-kaidah proses pembuatan keputusannya (Tasrif 2006).

Sebagai desain metodologi, pendekatan sistem merupakan alat bantu bagi para pengambil keputusan dengan cara mempertimbangkan semua permasalahan yang berkaitan dengan keputusan yang akan diambil. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi karakteristik : (1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan pokok dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan sistem, yaitu : (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efesiensi keputusan (Eriyatno 1999). Oleh karena itu telaah tentang permasalahan dengan pendekatan sistem ditandai oleh ciri-ciri : (1) mencari semua faktor penting yang terkait dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) adanya model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.

Sedangkan pendekatan sistem sebagai kerangka konseptual bertujuan untuk mencari berbagai persamaan dan berbagai kecenderungan fenomena yang ada dengan menggunakan analisis multidisiplin. Pendekatan sistem juga mencoba mewujudkan cara berpikir baru yang dapat diaplikasikan, baik terhadap ilmu-ilmu perikehidupan maupun terhadap ilmu-ilmu-ilmu-ilmu perilaku.

Pendekatan Dinamika Sistem

Dinamika Sistem (sistem dynamics) adalah suatu metode pemodelan yang berhubungan erat dengan perilaku (behavior) dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Pada dasarnya sistem dinamis menggunakan landasan teori dinamika non-linier dan pengendalian umpan balik (feedback control) seperti yang diterapkan dalam ilmu matematika dan fisika. Selanjutnya sistem dinamis menerapkan konsep dasar di atas ke dalam ranah perilaku manusia sama seperti yang terjadi pada ranah sistem fisika dan sistem teknik lainya. Dengan demikian sistem dinamis dapat diterapkan secara baik di ranah lain seperti management, kehidupan sosial, kegiatan ekonomi, dan ilmuilmu sosial lainya. Dalam Sterman (2000) kompleksitas yang dinamis timbul dikarenakan karakteristik sistem yang bersifat :

1. Dinamis. Perubahan dalam sistem terjadi pada skala yang banyak dan berbeda-beda

2. Tightly coupled. Pelaku dalam sistem berinteraksi kuat satu sama lain dengan lingkungannya

(39)

15 lain untuk bertindak, sehingga menimbulkan situasi baru yang akan berpengaruh pada keputusan berikutnya.

4. Nonlinear. Dampak dari sesuatu jarang proporsional dengan penyebabnya dan apa yang terjadi secara lokal dalam suatu sistem sering tidak berlaku di daerah yang jauh.

5. History – dependent. Ketergantungan terhadap satu jalur tertentu.

6. Self-organizing. Kedinamisan suatu sistem sering meningkat secara spontan dari struktur internalnya.

7. Adaptive. Kapabilitas dan aturan-aturan keputusan dalam sistem yang kompleks berubah setiap saat.

8. Counterintuitive. Pada sistem yang kompleks, sebab dan akibat jauh dalam ruang dan waktu, namun kita cenderung berusaha menjelaskannya dengan mencari penyebab yang sedekat mungkin.

9. Policy resistant. Dalam sistem yang kompleks dimana kita memiliki kemampuan untuk memahaminya, sepertinya banyak solusi yang jelas untuk suatu masalah atau sebenarnya hanya memperburuk situasi.

10.Characterized by trade off. Respon jangka panjang sering berbeda dari respon jangka pendek karena terdapat delay waktu.

Sterman (2000) menyebutkan bahwa bentuk perilaku dasar dari dinamika sistem adalah exponential growth, goal seeking dan oscillation. Masing-masing perilaku dasar menggambarkan umpan balik yang sederhana, dimana growth

diperoleh dari umpan balik positif, goal seeking dari umpan balik negatif, dan

oscillation dari umpan balik negatif dengan delay waktu. Bentuk perilaku seperti

S-Shaped growth, S-Shaped growth with overshoot and oscillation, dan overshoot and collapse terbentuk dari interaksi non linier dari struktur umpan balik dasar (Gambar 5).

Gambar 5 Pola umum perilaku dinamika sistem Sumber : Sterman 2000

(40)

16

mengkomunikasikan umpan balik yang penting dan dipercaya bertanggungjawab terhadap permasalahan.

Pembangunan Model Dinamika Sistem

Sterman (2000) menyebutkan bahwa untuk membangun model yang baik harus mengikuti proses yang terdiri dari ; (1) mengartikulasi masalah yang harus diselesaikan : (2) formulasi “ dynamic hypothesis”; (3) formulasi model simulasi untuk menguji dynamic hypothesis ; (4) menguji model hingga sesuai dengan tujuan; dan (5) merancang dan mengevaluasi kebijakan untuk perbaikan. Proses tersebut merupakan langkah yang berulang (iteratif).

Lima langkah yang dapat ditempuh untuk menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, yaitu : 1) identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata; 2) identifikasi kejadian yang diinginkan ; 3) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan; 4) identifikasi dinamika menutup kesenjangan; 5) analisis kebijakan (Aminullah dan Muhammadi 2001)

Peran Kebijakan Pemerintah dalam Bahan Pokok

Tujuan akhir kebijakan ekonomi suatu negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintahan dikatakan berjalan dengan baik apabila mampu menfokuskan pada pemenuhan kesejahteraan yang adil dan merata. Pemenuhan kesejahteraan yang adil dan merata hanya dapat dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan disertai dengan stabilitas ekonomi yang mantap. Secara konsepsional, pasar yang dapat berjalan secara sempurna merupakan cara yang paling ideal untuk mencapai tujuan-tujuan normatif yaitu kemakmuran rakyat sebagaimana dicita-citakan. Namun demikian, pasar yang sempurna (market perfection) jarang ditemukan. Yang terjadi justru kegagalan pasar (market failure). Akibatnya, konsentrasi ekonomi berada pada kelompok usaha besar, seperti akses terhadap teknologi, permodalan, informasi, dan SDM yang bermutu. Kondisi ini ini terjadi tidak terkecuali pada komoditas garam. Konsentrasi ekonomi berada pada kelopok usaha besar, bahkan praktek kartel juga terjadi.

Gejala market failure ini menuntut peran pemerintah. Dalam perekonomian suatu negara, pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktifitas ekonomi dari pemerintah maupun sektor swasta. Karena perkembangan dan kemajuan pembangunan suatu Negara tergantung kepada peranan pemerintah dalam mengatur negaranya termasuk di dalamnya adalah perekonomian melalui kebijakan-kebijakan publik yang bersifat mengikat dan mengintervensi.

(41)

17 Pengaturan komoditas yang termasuk ke dalam bahan pokok penting dilakukan karena strategisnya komoditas tersebut bagi kelangsungan industri nasional dan juga mempengaruhi kualitas gizi bangsa. Gafar (2007) menguraikan cara pengaturan (instrumen) terhadap komoditi bahan pokok pada dasarnya ada 5, yaitu :

1. pemerintah menetapkan harga tertentu pada komoditi tersebut pada harga produsen dan atau pada harga grosir atau harga ecerannya,

2. pemerintah menguasai dan atau mengawasi stok cadangan pada tingkat tertentu baik dimiliki sendiri atau hanya menguasai saja,

3. pemerintah mengatur perdagangan ekspor-impornya dengan cara melaksanakan sendiri, atau melalui kuota atau melalui tarif,

4. pemerintah memonitor suplai dan harganya untuk dapat melakukan tindakan tertentu,

5. pemerintah mengatur perdagangan dalam negeri atas komoditi tersebut. Untuk satu komoditi dapat dikenakan kelima instrumen tersebut atau hanya salah satu saja. Pada komoditi garam, instrumen yang dilakukan dalam upaya mencapai swasembada garam nasional, antara lain pengaturan impor, memonitor suplai dan harga, dan penetapan harga produsen.

3

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah sekunder. Data diperoleh dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan, PT. Garam, Badan Pusat Statistik, dan hasil-hasil publikasi terkait dengan penelitian (Tabel 3).

Tabel 3 Data dan sumber data

Data Sumber Data

Luas Areal Tambak Garam Intensifikasi (Ha) KKP

Total Luas Areal Tambak (Ha) KKP

Produktivitas (Ton/Ha) KKP

Produktivitas Garam Rakyat KKP

Produktivitas PT Garam PT Garam

Produksi Garam Pugar KKP

Produksi Garam Non Pugar KKP

Kebutuhan Garam Konsumsi Kemenperin

Kebutuhan Garam Industri Kemenperin

Impor Garam Konsumsi Kemenperin

(42)

18

Data Sumber Data

Kualitas Garam Nasional Kemenperin

Jumlah Penduduk Indonesia BPS

Produksi Garam Rakyat KKP

Produksi PT Garam PT Garam

Konsumsi Garam per kapita Susenas

Metode Analisis Data

Tujuan penelitian ini akan dijawab melalui pendekatan dinamika sistem dengan penyusunan model dinamika swasembada garam nasional. Simulasi terhadap model tersebut dilakukan dengan menggunakan software Powersim studio. Tahun dasar yang digunakan dalam pemodelan adalah tahun 2008. Simulasi pemodelan dilakukan untuk menganalisis pergaraman nasional sejak tahun 2008 hingga tahun 2025. Tahapan dalam penelitian meliputi analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pengembangan model, uji validitas dan simulasi kebijakan.

Analisis Kebutuhan

Tahap awal dalam penelitian mengenai pergaraman nasional dengan menggunakan pendekatan dinamika sistem, dilakukan analisis kebutuhan dari masing-masing pelaku yang terkait. Adapun pihak-pihak yang terkait dalam sistem ketersediaan garam nasional adalah petambak garam rakyat, PT Garam, industri, konsumen dan pemerintah. Analisa kebutuhan dijabarkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Analisis kebutuhan pihak-pihak yang terlibat

Pelaku Kebutuhan

Garam rakyat a. Produktivitas lahan meningkat b. Kualitas garam yang dihasilkan baik c. Teknologi yang terjangkau

d. Produksi meningkat dan terserap dengan baik e. Mampu memproduksi garam industri

PT Garam a. Peningkatan produktivitas

b. Perluasan lahan tambak produktif c. Peningkatan teknologi

d. Kapasitas terpakai dan terpasang meningkat e. Mampu memproduksi garam industri

Industri a. Pasokan garam yang kontinu dengan harga murah b. Kualitas garam yang tinggi

Konsumen a. Pasokan garam yang kontinu

b. Kualitas garam yang baik dan mengandum iodium Pemerintah a. Impor garam turun

(43)

19 Formulasi Permasalahan

Formulasi permasalahan merupakan identifikasi dari kebutuhan

stakeholders yang kontradiktif pada pencapaian tujuan kajian ini (Tabel 5). Formulasi permasalahan merupakan intisari dari uraian pada bagian perumusan masalah.

Tabel 5 Formulasi permasalahan pihak-pihak yang terlibat Pelaku Formulasi Permasalahan

Garam rakyat a. Produksi rendah b. Kualitas rendah c. Produktivitas rendah

d. Ketergantungan terhadap cuaca tinggi e. Belum mampu memproduksi garam industri PT Garam

Industri

Konsumen

a. Luas areal yang masih relatif rendah b. Produktivitas rendah

c. Belum mampu memproduksi garam industri

a. Garam lokal tidak sesuai kriteria baik dari kualitas maupun kontunuitas pasokan

b. Harga garam lokal relatif tinggi untuk kualitas yang lebih rendah dari garam impor

Ketersediaan garam beriodium masih kurang

Pemerintah a. Ketergantungan terhadap garam impor terutama garam industri

b. Harmonisasi kebijakan kurang Identifikasi Sistem

Pada awal tahap identifikasi perlu dilakukan pembatasan terhadap sistem yang dikaji, yaitu kajian swasembada dengan fokus pada sistem ketersediaan garam nasional. Berdasarkan hal itu maka hanya variabel yang terkait dengan tujuan tersebut yang akan dipertimbangkan dalam penyusunan model ini. Pada tahap ini, pendekatan selanjutnya yang dilakukan adalah menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop diagram) dan diagram input-output (black box diagram).

a. Diagram Lingkar Sebab Akibat

Diagram lingkar sebab akibat menggambarkan hubungan antar pelaku yang terlibat dalam sistem ketersediaan, yang terdiri dari variabel-variabel yang masing-masing dihubungkan dengan tanda panah yang menggambarkan hubungan antar variabel tersebut. Hubungan digambarkan dengan tanda positif (+) atau negatif (-). Gambar 6 menjelaskan hubungan sebab akibat antar variabel yang terdapat dalam sistem ketersediaan garam nasional.

(44)

20

Gambar 6 Diagram sebab akibat simulasi model dinamik swasembada garam nasional

b. Diagram Input-Output

Diagram input-output menggambarkan hubungan antara output yang akan dihasilkan dengan input berdasarkan tahapan analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Diagram input-output sering disebut dengan diagram kotak gelap (black box), karena diagram ini tidak menjelaskan bagaimana proses yang akan dialami input menjadi output yang diinginkan.

(45)

21 sehingga input tidak langsung sering disebut sebagai input lingkungan. Hasil rancangan diagram input output disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Diagram black box ketersediaan garam nasional

Pengembangan Model

Pengembangan model pada sistem ketersediaan garam nasional dibangun dari 4 submodel, yaitu (1) submodel penyediaan garam konsumsi, (2) submodel kebutuhan garam konsumsi, (3) submodel penyediaan garam industri dan (4) submodel kebutuhan garam industri. Pengembangan model dinamika sistem dalam bentuk diagram alir ditujukan untuk dapat menganalisis ketersediaan garam untuk mengukur ketercapaian swasembada garam nasional. Ketersediaan garam baik garam konsumsi maupun industri ditunjukkan melalui submodel kebutuhan dan penyediaan. Dalam kondisi ketersediaan garam bernilai positif (surplus), maka dapat dikatakan pergaraman nasional mencapai swasembada. Sedangkan dalam kondisi defisit, maka swasembada belum tercapai dan variabel impor masuk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

a. Submodel penyediaan garam konsumsi

Penyediaan garam konsumsi tahun ini bersumber dari garam hasil produksi tahun sebelumnya di tahun dan stok yang diperoleh dari kelebihan ketersediaan tahun lalu. Variabel-variabel yang digunakan dalam pembangunan model produksi didasarkan pada kegiatan onfarm agribisnis pergaraman, yaitu luas lahan tambak, jumlah hari panen dan produktivitas lahan tambak. Luas tambak dimasukan sebagai faktor yang mempengaruhi produksi berdasarkan penelitian Aligori (2013), Webb and Rogers (2003) dalam Hanani (2009), Wirjodirdjo (2004) dan Rachman (2011). Sedangkan jumlah hari panen berdasarkan Aligori (2013) merupakan variabel signifikan pada produksi yang dilakukan oleh

(46)

22

petambak sewa. Jumlah hari panen bertujuan untuk mengakomodir faktor curah hujan atau cuaca dalam proses produksi garam. Produktivitas lahan tambak garam dimasukan sebagai faktor produksi merujuk pada penelitian Wirjodirdjo (2004). Produksi garam konsumsi berdasarkan pelaku usahanya dibedakan menjadi garam rakyat dan PT Garam (Gambar 8). Perbedaan antara produksi garam rakyat dan PT Garam terletak pada tingkat produktivitas rata-rata dan luas lahan yang dimiliki. Garam rakyat merupakan penyumbang produksi terbesar dalam produksi garam lokal. Asumsi yang digunakan pada pembangunan submodel produksi diuraikan pada tabel 6. Penyediaan garam nasional dipasok oleh produksi garam rakyat, produksi PT Garam dan cadangan yang bersumber dari surplus ketersediaan tahun lalu.

Gambar 8 Diagram alir submodel penyediaan garam konsumsi

Tabel 6 Asumsi pada submodel penyediaan garam konsumsi

No Variabel Definisi Operasional Unit Nilai Sumber data

1 fraksi susut Tingkat penyusutan

surplus garam tahun lalu

% 25 Kemenperin

2 frks lj

pningk luas lhn gptg

tingkat laju peningkatan luas lahan tambak PT Garam periode 1997-2012

%/yr 0.92 PT Garam,

Hasil Perhitungan

3 frks lj

pningk prdktvts gptg

tingkat laju peningkatan produktivitas garam oleh PT Garam periode 2001-2009

%/yr 4.76 PT Garam,

(47)

23

No Variabel Definisi Operasional Unit Nilai Sumber data

4 frks lj

ton 1352400 Hasil Perhitungan

10 init stok 2 Jumlah garam yang

ton/yr surplus*'frks thn' Asumsi

13 jumlah hr

panen

Jumlah hari panen da GRAPHCURVE(T

IME,DATE(2008,

hektar/yr 'frks lj pningk luas lhn gptg'*'luas lhn

hektar 14474 Kemenperin

19 penyediaan

(48)

24

No Variabel Definisi Operasional Unit Nilai Sumber data

22 prdktvts

23 prdtvts gr produktivitas garam

rakyat, merupakan rasio

'init prdtvts gr' Kemenperin, Hasil Perhitungan

24 produksi gk jumlah produksi garam

konsumsi

26 produksi gr jumlah produksi garam

rakyat

27 stok garam stok garam yang tersedia

yang bersumber dari

29 Surplus jumlah kelebihan garam

dari neraca ketersediaan

Ton IF(ketersediaan<0< <ton>>,0<<ton>>, ketersediaan)

Asumsi

b. Submodel kebutuhan garam konsumsi

Submodel kebutuhan garam konsumsi dibangun dari 3 komponen pengguna garam konsumsi, yaitu kebutuhan rumah tangga, kebutuhan aneka pangan dan kebutuhan pengasinan ikan (Gambar 9). Submodel ini akan menjelaskan besarnya kebutuhan garam konsumsi baik secara nasional maupun parsial per pengguna. Asumsi yang digunakan diuraikan pada tabel 7.

Gambar

Gambar 6  Diagram sebab akibat simulasi model dinamik swasembada garam
Gambar 7  Diagram black box ketersediaan garam nasional
Gambar 8  Diagram alir submodel penyediaan garam konsumsi
Tabel 6 (lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

sependapat dari putusan Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan bersalah melakukan tindak pidana, “Dengan Sengaja Yang Melakukan, Menyuruh Melakukan dan Turut Serta

Melakukan uji kestasioneran data dengan plot data, yakni dengan membuat plot runtun waktu pada variabel inflasi Kota Purwokerto, inflasi Kota Surakarta, inflasi

Pada hari Minggu, 07 November 2010, dalam Kebaktian Umum I dan II, akan diadakan Perjamuan Kudus.. Bagi yang sudah dibaptis/sidi, agar

Tujuan disusunnya Rencana Kinerja Tahunan RSHS yaitu sebagai bahan acuan bagi pimpinan RSHS dan unit kerja serta jajaran manajemen RS lainnya dalam melaksanakan kegiatan dan

1) Sarana-prasarana di panti wredha dirancang agar dapat digunakan lansia dengan kursi roda dengan mempertimbangkan daya jangkau lansia tersebut, seperti: rancangan

0 responden sedangkan pada saat post test mengalami perubahan terdapat 6 responden yang tidak merasakan nyeri setelah dilakukan massage effuerage menggunakan aromaterapi

Pertanggungan manfaat meninggal dunia akibat kecelakaan ini tidak berlaku jika Tertanggung mencapai usia 70 tahun saat Tanggal Polis Mulai Berlaku atau tanggal

Telah dilakukan uji fungsi pada ketiga zona elemen pemanas tungku reduksi hasil konstruksi ulang dan dihasilkan panas pada suhu sekitar 900 o C, sehingga tungku reduksi