Analisis Kualitatif Isolat Trichoderma spp. Penghasil Pektinase. Empat puluh empat isolat Trichoderma spp. koleksi Biotechnology Culture Collection
(BTCC) LIPI yang bersumber dari serasah daun di koleksi dari Liwa, Lampung telah diseleksi pada penelitian ini. Isolat diremajakan pada media Potato Dextrosa Agar (PDA). Setelah inkubasi pada suhu ruang selama 5 hari isolat membentuk koloni yang ditutupi spora yang masing-masingnya memiliki warna berbeda. Analisis aktivitas pektinolitik Trichoderma spp. secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui kemampuan kapang tersebut dalam mendegradasi media pertumbuhannya yang mengandung pektin. Analisis aktivitas ini menggunakan metoda pewarnaan lugol pada media Pectin Screening Agar Medium (PSAM) (Khairnar et al. 2009). Sebanyak 9 dari 44 isolat yang diseleksi memperlihatkan adanya zona bening (Tabel 5). Zona yang terbentuk adalah daerah bening yang terdapat disekitar koloni yang menandakan bahwa kapang tersebut telah mendegradasi media pektin disekitarnya.
Tabel 5 Indeks pektinolitik yang dihasilkan berbagai jenis isolat Trichoderma sp. pada media PSAM
No. Isolat Ø koloni (mm) Ø zona bening (mm) IP
1. T.005 5 15 2 2. T.010 6 12 1 3. T.021 6,7 11,5 0,71 4. T.022 7,2 12 0,66 5. T.025 6,5 10,7 0,65 6. T.031 6 10,5 0,75 7. T.058 5,5 22 3 8. T.065 2 5 1,5 9. T.066 3,7 21,5 4,8 keterangan Ø : diameter IP : Indeks Pektinolitik
Zona bening dapat diukur berdasarkan indeks pektinolitik yaitu perbandingan diameter koloni dengan diameter zona bening. Hasil pengujian menunjukkan 3 isolat memiliki nilai IP tertinggi yaitu T.066 (Gambar 6c) sebesar 4,8 diikuti isolat T.058 (Gambar 6b) dan T.005 (Gambar 6a) dengan nilai masing-
masing 3 dan 2. Indeks pektinolitik yang dihasilkan relatif tinggi dibandingkan dengan penelitian Phutela et al. (2005) dari 43 isolat kapang termofilik, 15 isolat menghasilkan zona bening dengan indeks pektinolitik berkisar 2,5-3,5.
a b c d
Gambar 6 Indeks pektinolitik tertinggi yang dihasilkan Trichoderma spp. Keterangan: a) T.005, b) T.058, c) T.066, d) isolat yang tidak menghasilkan zona
bening.
Indeks pektinolitik ini juga menunjukkan adanya pektinase yang dihasilkan
Trichoderma sp. Hasil ini dapat dijadikan indikasi bahwa isolat T.066 menghasilkan pektinase dengan aktivitas lebih besar dari dua isolat lainnya. Bhardwaj (2010) mengelompokkan indeks kemampuan mendegradasi pektin menjadi 3 yaitu: sangat baik jika IP ≥ 3,5; baik jika IP 2,5-3 dan kurang baik jika IP ≤ 2,5.
Hasil diatas juga menunjukkan bahwa Trichoderma spp. mengeluarkan ekstraseluler pektinase yang menghidrolisis kulit jeruk yang digunakan sebagai sumber karbon. Kandungan pektin di dalam kulit jeruk nipis adalah tertinggi yaitu 25-35% berat kering diikuti oleh biji bunga matahari, apel, gula bit, gandum dengan kandungan dibawah 20% (Bhardwaj 2010). Limbah industri pertanian seperti gandum, kulit jeruk, kulit nenas juga banyak digunakan sebagai sumber karbon untuk produksi pektinase (Phutela et al. 2005; Khairnar et al. 2009; Okafor et al. 2010).
Analisis Kuantitatif Isolat Potensial Penghasil Pektinase. Analisis isolat potensial penghasil pektinase dilakukan dengan menghitung nilai aktivitas enzim pektinase yang dihasilkan. Prinsip pengujian aktivitas pektinase merupakan reaksi antara enzim dan substrat yang akan menghasilkan produk asam galakturonat. Produk ini akan bereaksi dengan reagen asam dinitrosalisilat (DNS)
kemudian konsentrasi produk diukur dengan spektrofotometer. Reagen dinitrosalisilat yang terdiri atas komponen utama asam 3,5-dinitrosalisilat yang berwarna kuning akan mengalami reduksi menjadi asam 3 amino 5 nitrosalisilat. Reaksi reduksi pada gugus nitro dikarenakan adanya gula pereduksi yang merupakan hasil hidrolisis substrat oleh pektinase (Miller 1959). Selain untuk menghentikan reaksi, DNS juga berfungsi memberikan warna pada larutan sehingga absorbannya dapat diukur pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 575 nm.
Berdasarkan hasil uji aktivitas enzim diketahui bahwa aktivitas enzimatik tertinggi isolat T.066, T.058 dan T.005 berturut-turut yaitu 0,1723 UmL-1, 0,126 UmL-1 dan 0,105 UmL-1. Beberapa penelitian lain melaporkan aktivitas pektinase pada Aspergillus fumigates sebesar 1,270 Umg-1 (Phutela et al. 2005); A. Indicus
0,460 UmL-1, A. Flavus 0,410 UmL-1 (Angayarkanni et al. 2002); Tubercularia vulgaris 0,184 UmL-1; Aspergillus niger 2,462 UmL-1 (Megawati 1995).
Produksi pektinase oleh Trichoderma belum terlalu banyak dilaporkan, namun pada penelitian Kutateladze et al. (2009), Trichoderma viridae yang dikultur dengan beetroot pektin sebagai sumber karbon menghasilkan pektinase tertinggi yaitu 14,5 UmL-1. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut maka pektinase yang dihasilkan T.066 masih tergolong kecil. Hal ini mungkin dikarenakan kemampuan isolat serta faktor pendukung pertumbuhan yang berbeda-beda.
Optimasi Waktu Produksi Isolat Penghasil Pektinase. Penentuan waktu produksi dari kapang penghasil pektinase dilakukan untuk mendapatkan aktivitas harian enzim sehingga bisa diketahui aktivitas enzimatik tertinggi. Nilai ini akan menentukan waktu produksi tertinggi sebab aktivitas enzimatik yang tinggi menandakan bahwa enzim yang dihasilkan kapang tersebut sudah mencapai hasil yang maksimal.
Hasil pengukuran aktivitas enzimatik sebagai acuan penentuan waktu terbaik produksi pektinase dapat terlihat pada kurva aktivitas enzimatik. Aktivitas
Trichoderma sp. isolat T.066 tertinggi setelah 7 hari sebesar 0,172 UmL-1. Berdasarkan hal tersebut maka waktu produksi terbaik pektinase oleh
Gambar 7 Kurva produksi enzim pektinase dihasilkan oleh tiga isolat
Trichoderma spp. pada suhu 30 0C dan pH 5,8
Pada Gambar 7 diketahui bahwa pada jam ke-0 telah terlihat adanya aktivitas enzimatik dari ketiga isolat. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh masa pre kultur selama 3 hari sehingga ketika memasuki masa kultur telah terdeteksi adanya aktivitas enzimatik. Pada masa pre kultur ini kapang akan beradaptasi dengan lingkungan pertumbuhan, yaitu lingkungan yang menyediakan pektin sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan.
Penelitian Angayarkanni et al. (2002) yang mengisolasi pektinase dari
Aspergillus indicus, A. flavus dan A. niveus mendapatkan aktivitas enzim 0,46 UmL-1; 0,41UmL-1 dan 0,43 UmL-1. Kutateladze et al. (2009) mendapatkan aktivitas pektinase dari Trichoderma viridae sebesar 14,9 UmL-1 dengan mengganti sumber karbon menjadi beetroot pectin serta memodifikasi sumber nitrogen sehingga diperoleh peningkatan aktivitas sebesar 98%. Okafor et al.
(2010) mengganti sumber karbon dengan limbah gandum untuk produksi pektinase dari Penicillium chrysogenum dan didapatkan aktivitas 478,25 Umg-1.
Isolat T.066 memiliki aktivitas enzim dari jam ke-24 hingga jam ke-96 cenderung fluktuatif dengan rentang yang tidak terlalu besar. Hingga jam ke-168 terjadi peningkatan aktivitas yang signifikan. Hal ini menandakan bahwa kapang telah bekerja maksimal memanfaatkan media pertumbuhannya dengan cara
0.00 0.04 0.08 0.12 0.16 0.20 0 24 48 72 96 120 144 168 192 216 240 264 288 akti vit as pek ti na se ( UmL -1)
Waktu inkubasi (jam)
mendegradasi substrat pektin menjadi molekul yang lebih sederhana. Penurunan aktivitas enzimatik terlihat pada jam ke-192 dimana sepertinya kapang sudah tidak dapat memanfaatkan substrat pektin sebagai sumber karbon karena telah habis.
Isolat T.058 dan T.005 dari awal periode kultur hingga jam ke-264 tidak memperlihatkan peningkatan aktivitas enzimatik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya kemampuan kapang untuk memanfaatkan sumber karbon yaitu pektin secara maksimal serta kemampuan kapang yang berbeda-beda dalam mendegradasi substrat. Dari hasil analisis aktivitas tersebut dipilih isolat T.066 sebagai isolat terbaik yang memproduksi pektinase.
Optimasi pH. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pH. Kebanyakan enzim sangat sensitif terhadap pH dan memiliki kisaran aktivitas yang spesifik. Aktivitas enzim akan maksimal pada pH optimum.
Gambar 8 Pengaruh pH terhadap aktivitas pektinase Trichoderma sp. T.006 pada suhu ruang.
Aktivitas optimum enzim pektinase yang dihasilkan oleh kapang
Trichoderma sp. T.006 pada bufer sitrat pH 5 dengan aktivitas sebesar 0,174 UmL-1. Setiap enzim memiliki pH optimal untuk bekerja paling aktif. Nilai pH optimum untuk sebagian besar enzim secara umum adalah sekitar 6-8 (Campbell et al. 2000). Penelitian Alana et al. (1999) terhadap P. italicum
menunjukkan bahwa aktivitas pektinase tertinggi diperoleh pada pH 4,8. Hasil yang tidak jauh berbeda dilaporkan oleh Phutela et al. (2005) pH optimum untuk
0.00 0.04 0.08 0.12 0.16 0.20 pH 4 pH 5 pH 6 pH 7 pH 8 akti vit as e nz im (U m L -1)
aktivitas poligalakturonase Aspergillus fumigatus adalah pH 5 sedangkan untuk aktivitas pektinase pH 4. pH asam yaitu pH 4-5 merupakan kondisi terbaik untuk menghasilkan aktivitas pektinase dan poligalakturonase tertinggi. Namun penelitian Kutateladze et al. (2009) terhadap Trichoderma viridae menghasilkan aktivitas pektinase tertinggi pada pH 7,5 yang berarti bahwa pektinase
Trichoderma viridae bersifat alkalifil.
Optimasi Suhu. Enzim bekerja dalam kisaran suhu spesifik. Secara umum peningkatan suhu akan mempercepat laju reaksi. Akan tetapi, suhu yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan laju reaksi dengan pesat. Hal ini disebabkan denaturasi protein karena putusnya ikatan ion dan hidrogen. Pengaruh suhu terhadap aktivitas pektinase diperlihatkan pada Gambar 9.
Gambar 9 Pengaruh suhu terhadap aktivitas pektinase Trichoderma sp. T.066 dilakukan pada pH 5
Berdasarkan pengujian pengaruh suhu terhadap aktivitas pektinase
Trichoderma sp. terlihat bahwa suhu 40 0C merupakan suhu optimum aktivitas pektinase yang menghasilkan aktivitas sebesar 0,144 UmL-1. Kenaikan suhu sebesar 10 0C ternyata mengakibatkan penurunan aktivitas enzim secara drastis. Aktivitas enzim pektinase isolat T.066 menurun diatas suhu optimum disebabkan oleh terputusnya ikatan sekunder enzim karena besarnya energi kinetika dari molekul enzim sehingga mengakibatkan hilangnya struktur sekunder dan tersier enzim, disertai dengan hilangnya aktivitas enzim (Suhartono 1989).
0 0.04 0.08 0.12 0.16 30 40 50 60 Aktivi tas pe kti na se ( UmL -1) Suhu ( 0C)
Phutela et al. (2005) melaporkan bahwa pada suhu 50 0C Aspergillus fumigatus menunjukkan aktivitas pektinase tertinggi (1071 Ug-1), Angayarkanni
et al. (2002) terhadap Aspergilus indicus; A. flavus; A. niveus melaporkan suhu optimum untuk masing-masingnya adalah 50 0C. Kutateladze et al. (2009) menyatakan suhu optimum pektinase Penicillium canescens adalah 27 0C,
Aspergillus niger 40 0C dan Trichoderma viridae 30 0C. Kapang termofilik telah dilaporkan memiliki aktivitas optimum pada rentangan suhu 40-50 0C (Rubinder
et al. 2002).
Produksi Pektinase dari Trichoderma sp. dan Fermentasi Teh. Produksi enzim pektinase dilakukan setelah diperoleh waktu produksi saat Trichoderma sp. menghasilkan enzim pektinase dengan aktivitas tertinggi. Produksi dilakukan dengan skala 1L. Enzim pektinase dipisahkan dari sel dengan cara sentrifugasi pada suhu 4 0C untuk menghindari denaturasi protein. Proses sentrifugasi akan memisahkan massa sel (pelet) dengan enzim ekstrak kasar (supernatan). Enzim ekstrak kasar yang terlarut dalam supernatan dengan aktivitas 0,172 UmL-1 akan digunakan untuk proses selanjutnya yaitu aplikasinya pada proses fermentasi teh.
Daun teh segar yang telah disortir ditempatkan dalam nampah dan dilayukan sehingga menghasilkan daun yang layu namun tidak berubah warna dan baunya tetap segar (Gambar 10a).
a b c
Gambar 10a) Daun teh sebelum fermentasi, b) daun teh ketika fermentasi, c) daun teh setelah fermentasi.
Selama proses pelayuan, daun teh akan mengalami dua perubahan yaitu perubahan senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam daun serta menurunnya kandungan air sehingga daun teh menjadi lemas (Andrianis 2009). Waktu, suhu dan kelembapan dalam proses pelayuan mempengaruhi proses fermentasi, daun
yang terlalu layu hingga berubah warna menjadi kecoklatan akan menurunkan kualitas teh yang dihasilkan (Obanda et al. 2004).
Pencacahan daun hingga menjadi substrat yang kecil merupakan proses awal terjadinya reaksi oksimatis yaitu bertemunya polifenol dan enzim polifenol oksidase dengan bantuan oksigen (Andrianis 2009), penambahan enzim pektinase pada tahap ini mengakibatkan daun berubah warna menjadi kecoklatan seiring dengan lamanya waktu fermentasi (Gambar 10b). Penggilingan akan mengakibatkan memar dan merusak dinding sel daun. Cairan sel akan keluar dipermukaan daun secara rata. Proses ini merupakan dasar terbentuknya mutu teh. Setelah reaksi dihentikan, daun teh menjadi kering (Gambar 10c) dan siap untuk dianalisis.
Analisis Parameter Kualitas teh Hitam. Selama proses fermentasi, katekin teh akan dioksidasi menjadi ortoquinon membentuk teaflavin (TF) kemudian senyawa ini bertindak sebagai agen oksidasi pada asam galat dan membentuk tearubigin (TR). Perubahan katekin menjadi senyawa theaflavin akan mempengaruhi warna dari minuman teh.
Tabel 6 Pengaruh penambahan enzim pektinase terhadap perubahan kualitas teh
No. Perlakuan TR (%) TF (%) HPS (%) TLC (%)
1. Pektinase 0,086 Uml-1 5,47±1,02 0,54±0,09 4,91±1,54 1,92±0,18 2. Pektinase 0,172 Uml-1 5,96±1,16 0,56±0,04 5,16±1,67 1,97±0,17 3. Pektinase 0,258 Uml-1 5,08±0,12 0,63±0,02 4,72±1,02 2,01±0,32 4. Kontrol 5,10±0,76 0,48±0,13 4,31±0,73 1,78±0,19
Pada analisis senyawa TF (Tabel 6), setiap perlakuan mulai dari kontrol hingga penambahan pektinase 0,258 UmL-1 menunjukkan peningkatan TF yang linear. Peningkatan nilai TF berturut-turut adalah 12,5%; 16,67%; dan 31,25%. Hal yang sama juga berlaku untuk nilai total liqour color (TLC). Semakin meningkat nilai TF pada setiap perlakuan, nilai TLC juga meningkat yaitu 7,86%; 10,67% dan 12,92% yang berarti semakin tinggi nilai TF warna teh akan semakin gelap.
Senyawa theaflavin merupakan komponen penyusun teh hitam yang memberikan kontribusi terhadap warna dan kejernihan teh. Pemberian pektinase 0,258 UmL-1 (perlakuan 3) ternyata mampu meningkatkan nilai senyawa ini menjadi 1,3 kali lipat. Hasil ini didukung oleh nilai TLC pada perlakuan yang sama yang juga memberikan nilai tertinggi yaitu kenaikan sebesar 1,1 kali lipat. Pada analisis tearubigin, pola linear seperti halnya pada analisis TF tidak berlaku. Murugesan et al. (2002) menyatakan bahwa TR akan meningkat sesuai pola linear selama fermentasi hingga mencapai maksimum ketika daun telah over- fermented. Semakin tinggi penambahan pektinase ternyata tidak berdampak pada semakin tinggi nilai TR. Pada penambahan pektinase 0,086 UmL-1 terjadi peningkatan nilai TR sebesar 7,25%. Penambahan pektinase 0,172 UmL-1 analisis TR menunjukkan nilai tertinggi dimana terjadi kenaikan 16,86%, sedangkan penambahan pektinase 0,258 UmL-1 memberikan nilai TR yang lebih rendah daripada kontrol. Senyawa tearubigin merupakan komponen yang memberikan aroma dan rasa pada teh (Obanda et al. 2004) meskipun demikian, tingginya kandungan senyawa TF dalam minuman teh tidak selalu berbanding lurus dengan TR.
Harold dan Graham (1992) menjelaskan bahwa semakin tinggi kandungan teaflavin dalam minuman teh maka rasanya akan semakin sepat dan sedikit pahit karena diikuti oleh peningkatan kandungan kafein. Pernyataan ini mendukung hasil nilai TF yang tinggi pada penambahan pektinase 0,258 UmL-1 tetapi memberikan nilai yang rendah pada TR. Penambahan pektinase 0,258 UmL-1 mampu meningkatkan TF menjadi 1,3 kali namun hanya perlu penambahan pektinase 0,172 UmL-1 untuk meningkatkan nilai TR menjadi 1,2 kali.
Penelitian Hafezi et al. (2006) menunjukkan bahwa fermentasi teh varietas assamica selama 60 menit menghasilkan nilai TF dan TR yang tinggi yaitu 1,05% dan 9% dibandingkan varietas lain. Penelitian perubahan senyawa flavonoid selama pembentukan teh hitam telah banyak dilakukan, hanya saja hasil yang diberikan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi hasil akhir komponen senyawa ini seperti cara bercocok tanam dan kondisi pemrosesan (standar daun yang dipetik, kondisi temperatur dan kelembaban saat pelayuan dan fermentasi) (Obanda et al. 2004).
Penambahan enzim eksternal selama proses fermentasi telah dilaporkan mampu meningkatkan kandungan TF dan TR dalam teh (Angayarkanni et al.
2002). Enzim pektinase yang diberikan akan membantu lisis komponen pektin di daun menghasilkan maserasi sel yang sempurna sehingga meningkatkan optimasi fermentasi.
Enzim ekstrak kasar 2,5 IU (selulase, hemiselulase, pektinase) yang berasal dari Aspergillus indicus ternyata mampu meningkatkan nilai TF 43,81%, TR 12%, HPS 19,93% dan TLC 18,91% (Angayarkanni et al. 2002) setelah fermentasi teh hitam selama 60 menit menggunakan metoda CTC (crush, tearing, curling). Metoda ini meningkatkan kualitas teh lebih baik daripada metoda ORTH karena dengan metoda ini interaksi antara oksigen dengan daun lebih besar sehingga fermentasi berjalan merata (Hafezi et al. 2006).
Untuk menghasilkan teh hitam dengan kualitas tinggi, hal pertama yang harus dipastikan adalah teh bersumber dari daun teh hijau pilihan, faktor varietas teh dimana varietas asamica memiliki kandungan flavonoid 2 kali lipat daripada varietas sinensis, dan yang terakhir adalah proses pengolahan teh (Obanda et al.
2004; Hafezi et al. 2006; Kim et al. 2011). Pada penelitian ini terlihat bahwa penambahan enzim pektinase eksogenus pada proses pengolahan teh yaitu tahap fermentasi dapat menaikkan nilai komponen penyusun teh hitam.
SIMPULAN
Sembilan dari 44 isolat Trichoderma spp. koleksi BTCC LIPI mampu mendegadasi pektin dengan indeks pektinolitik sebesar 0,65-4,8. Isolat dengan indeks pektinolitik tertinggi (T.066) menghasilkan aktivitas pektinase tertinggi sebesar 0,1723 UmL-1 pada hari ke-7 inkubasi. Enzim ini menghasilkan aktivitas tertinggi pada pH 5 dan suhu 40 0C.
Penambahan enzim pektinase pada fermentasi teh dapat meningkatkan nilai parameter kualitas teh hitam. Nilai Theaflavin (TF) tertinggi yaitu 0,63±0,02% dengan peningkatan sebesar 31,25% dihasilkan setelah penambahan 0,258 UmL-1 pektinase. Peningkatan Total Liquor Colour (TLC) juga terdapat pada perlakuan yang sama yaitu sebesar 12,92%. Nilai Tearubigin (TR) tertinggi yaitu 5,96±1,16% dihasilkan setelah penambahan 0,172 UmL-1 pektinase dengan peningkatan sebesar 16,86%. Perlakuan yang sama juga menghasilkan nilai High Polimerized Substance (HPS) tertinggi yaitu 5,16±1,67% dengan peningkatan sebesar 19,72%.