• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Berumur 3 Bulan setelah Tanam Kandungan N

Kandungan N pada klon tebu transgenik IPB 1 berkisar antara 0,76%- 1,33%, sedangkan klon tebu isogenik PS 851 berkisar antara 1,02%-1,34%. Rerata kandungan N pada klon tebu isogenik PS 851 lebih tinggi dari klon tebu transgenik. Rerata kandungan N tertinggi berturut-turut, yaitu klon PS 851, klon IPB 1-46, IPB 1-40, IPB 1-7, IPB 1-3, IPB 1-59, IPB 1-56, IPB 1-21 dan IPB 1-37 (Tabel 1).

Tabel 1 Kandungan N (%) pada umur 3 bulan setelah tanam

Klon Tebu Pemupukan Rerata kandungan N N 50%; P 50% N 100%; P 50% N 50%; P 100% N 100%; P 100% IPB 1-1 1,08 0,87 0,96 0,90 0,95 IPB 1-2 0,90 0,76 1,33 0,90 0,97 IPB 1-3 0,99 1,09 1,02 1,11 1,05 IPB 1-4 0,96 0,79 0,81 1,02 0,90 IPB 1-5 0,90 0,84 1,02 0,90 0,92 IPB 1-6 1,05 1,02 0,90 0,79 0,94 IPB 1-7 1,11 1,13 0,96 1,02 1,06 IPB 1-12 0,87 0,90 0,81 1,05 0,91 IPB 1-17 0,79 0,76 1,19 0,93 0,92 IPB 1-21 1,22 1,02 1,11 0,81 1,04 IPB 1-34 1,05 0.84 0,90 0,87 0,92 IPB 1-36 0,90 1,11 1,05 0,96 1,01 IPB 1-37 0,87 1,13 1,13 0,96 1,02 IPB 1-40 1,05 1,05 1,11 1,11 1,08 IPB 1-46 1,13 1,11 1,05 1,08 1,09 IPB 1-51 0,96 0,81 0,81 0,84 0,86 IPB 1-52 0,87 1,08 0,90 0,87 0,93 IPB 1-53 0,93 0,87 0,99 1,22 1,00 IPB 1-55 0,87 1,08 0,96 0,93 0,96 IPB 1-56 1,05 1,02 1,05 1,02 1,04 IPB 1-59 1,08 1,08 1,05 0,99 1,05 IPB 1-62 0,93 0,76 1,05 1,02 0,94 IPB 1-71 1,05 0,81 1,22 0,96 1,01 PS 851 1,34 1,05 1,05 1,02 1,12 Rerata 1,00 0,96 1,02 0,97 0,99

Klon tebu isogenik PS 851 diduga lebih respon terhadap pemupukan N, dibandingkan dengan klon tebu transgenik IPB 1. Kandungan N yang beragam

pada klon tebu transgenik IPB 1 diduga karena transformasi gen fitase terjadi secara acak pada kalus tebu. Menurut Topping et al. (1991), hasil dari transformasi, DNA asing dapat disisipkan pada lokasi acak dalam kromosom

inang. Akibatnya, tanaman transgenik bebas membawa cassette sekuen gen

asing yang sama akan berperilaku berbeda, tergantung pada konteks genom mereka dalam genom inang (efek posisi). Bhat dan Srinivasan (2002) menjelaskan bahwa proses transformasi genetik yang disertai dengan keragaman somaklonal dapat memberikan kontribusi perbedaan antara tanaman transgenik. Besar dan jenis keragaman yang muncul tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dikontrol dengan baik.

Respon klon tebu dalam bentuk kandungan N terhadap pemupukan, tertinggi pada pemupukan N 50% dan P 100%, kemudian N 50% dan P 50%, N 100% dan P 100%, serta pemupukan N 100% dan P 50%. Kandungan N pada pemupukan tersebut, berturut-turut 1,02%, 1,00%, 0,97% dan 0,96% (Tabel 1). Kandungan N ini masih rendah, jika dibandingkan dengan kandungan N optimum pada daun tebu, yang berkisar antara 2,0%-2,6% (Lampiran 4). Rendahnya kandungan N ini, diduga karena faktor lingkungan. Menurut Schulze et al. (2005) pertumbuhan bergantung secara linier terhadap N tersedia pada kisaran yang luas. Kisaran N yang luas ini, menyebabkan respon tanaman menjadi terpenuhi. Namun faktor lingkungan menjadi pembatas tersedianya N untuk tanaman. Pate (1973), juga menjelaskan bahwa penyerapan N sangat bervariasi dengan umur dan nutrisi tanaman serta kondisi lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh.

Tanaman menyerap N dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk nitrat (NO3-)

dan ammonium (NH4+). Pada tanah yang basah, kering, aerasi yang baik, NO3- dalam larutan tanah umumnya lebih tinggi daripada NH4+. Keduanya bergerak menuju perakaran tanaman melalui aliran massa dan difusi. NH4+ diserap tanaman dengan baik pada pH netral dan menurun dengan meningkatnya

keasaman. Penyerapan NH4+ mengakibatkan pH rhizosfer menurun, yang

disebabkan oleh ion H+ yang dikeluarkan oleh akar, untuk menjaga netralitas elektron atau menjaga kesimbangan muatan ion dalam tanaman. Sebaliknya, penyerapan NO3- yang tinggi menyebabkan pH rhizosfer meningkat. Ketika tanaman menyerap NO3- dalam jumlah yang tinggi, anion ( HCO3-, OH-, anion organik) meningkat keluar sel dan terjadi peningkatan penyerapan kation ( Ca2+, Mg2+, K+). Kondisi pH tanah yang berubah-ubah karena faktor lingkungan, menyebabkan perubahan bentuk N di dalam tanah. Pilihan tanaman terhadap

NH4+ atau NO3- ditentukan oleh jenis dan umur tanaman, lingkungan dan faktor- faktor lainnya. Serealia, jagung, gula bit, nanas, padi dan gandum menggunakan kedua bentuk N tersebut (Havlin et al. 2005).

Kandungan P

Respon klon tebu transgenik IPB 1 terhadap pemupukan dalam bentuk kandungan P, menunjukan adanya perbedaan antara klon tebu transgenik dan klon tebu isogenik PS 851 yang diuji. Rerata kandungan P pada klon tebu transgenik berkisar antara 0,17%-0,24%. Rerata kandungan P pada beberapa klon tebu transgenik mencapai kandungan P optimum, yang berkisar antara 0,22%-0,30% (Lampiran 4). Klon tebu transgenik yang mempunyai kandungan P optimum, juga merupakan klon tebu transgenik yang mempunyai kandungan P lebih tinggi dibandingkan dengan klon tebu isogenik PS 851. Klon tebu transgenik tersebut, yaitu: IPB 1-3, IPB 1-7, IPB 1-46, IPB 1-53, IPB 1-59, IPB 1- 21, IPB 1-37, IPB 1-56, IPB 1-1 dan IPB 1-6 (Tabel 2).

Tabel 2 Kandungan P (%) pada umur 3 bulan setelah tanam

Klon Tebu Pemupukan Rerata kandungan P N 50%; P 50% N 100%; P 50% N 50%; P 100% N 100%; P 100% IPB 1-1 0,20 0,25 0,22 0,19 0,22 IPB 1-2 0,20 0,13 0,20 0,22 0,19 IPB 1-3 0,21 0,24 0,26 0,23 0,24 IPB 1-4 0,21 0,19 0,22 0,20 0,21 IPB 1-5 0.20 0,19 0,22 0,16 0,19 IPB 1-6 0,24 0,22 0,20 0,20 0,22 IPB 1-7 0,25 0,23 0,25 0,22 0,24 IPB 1-12 0,18 0,21 0,22 0,24 0,21 IPB 1-17 0,18 0,17 0,19 0,20 0,19 IPB 1-21 0,21 0,22 0,24 0,24 0,23 IPB 1-34 0,22 0,15 0,22 0,20 0,20 IPB 1-36 0,21 0,18 0,22 0,20 0,20 IPB 1-37 0,24 0,21 0,24 0,22 0,23 IPB 1-40 0,22 0,17 0,23 0,20 0,21 IPB 1-46 0,27 0,26 0,24 0,20 0,24 IPB 1-51 0,23 0,23 0,18 0,19 0,21 IPB 1-52 0,20 0,24 0,23 0,18 0,21 IPB 1-53 0,21 0,21 0,23 0,32 0,24 IPB 1-55 0,22 0,19 0,19 0,20 0,20 IPB 1-56 0,25 0,24 0,21 0,22 0,23 IPB 1-59 0,24 0,26 0,23 0,22 0,24 IPB 1-62 0,17 0,12 0,18 0,20 0,17 IPB 1-71 0,20 0,20 0,22 0,21 0,21 PS 851 0,19 0,22 0,20 0,21 0,21 Rerata 0,22 0,21 0,22 0,21 0,21

Kandungan P yang berbeda pada masing-masing klon tebu transgenik (Tabel 2), diduga selain karena proses transformasi genetik dan variasi somaklonal, juga karena kondisi rhizosfer yang berbeda dari setiap klon tebu transgenik tersebut. Menurut Miller et al. (1989), setiap jenis tanaman memiliki komposisi eksudat dan mikroflora yang berbeda pada rhizosfernya. Besarnya kehilangan C dari akar atau rhizodeposition dapat mengakibatkan perubahan

dalam struktur komunitas mikrob rhizosfer (De Leij et al. 1993). Ini

mengindikasikan bahwa fitase yang dikeluarkan oleh akar menjadi penting untuk menghidrolisis fitat di dalam tanah. Peningkatan sekresi fitase oleh akar tanaman memberikan kontribusi perolehan P anorganik yang dihidrolisis dari P organik di rhizosfer (Li et al. 1997). Reaksi enzim bergantung pada temperatur (Dick dan Tabatabai 1986), dan Ghareib (1990) melaporkan bahwa aktivitas fitase hilang

sekitar 68% bila dipanaskan pada 45 0C selama 60 menit.

Respon klon tebu dalam bentuk kandungan P terhadap pemupukan, tertinggi pada pemupukan N 50% dan P 50% dengan rerata kandungan P yang sama pada pemupukan N 50% dan P 100% yaitu 0,22%. Kemudian pemupukan N 100% dan P 50% dengan rerata kandungan P yang sama pada pemupukan N 100% dan P 100% yaitu 0,21% (Tabel 2). Jika dibandingkan dengan kandungan P optimum pada daun tebu, 0,22%-0,30% (Lampiran 4), maka rerata kandungan P pada setiap aras pemupukan berada pada batas terendah kandungan P optimum. Hasil analisis tanah (Lampiran 1) menunjukkan bahwa P tersedia tanah sangat tinggi (160,35 ppm), diduga karena terjadi fiksasi P sehingga menyebabkan P menjadi kurang tersedia bagi tanaman.

Havlin et al. (2005), mengatakan bahwa fiksasi P tergantung pada

beberapa faktor, terutama pH tanah. Pada tanah masam, P anorganik difiksasi oleh Fe dan Al membentuk Fe/Al-P, atau dijerap oleh permukaan oksida Fe/Al dan mineral-mineral liat. Pada tanah netral dan basa, P anorganik difiksasi oleh Ca dan Mg membentuk Ca-P dan Mg-P pada tanah yang kandungan Mg-nya

tinggi atau dijerap oleh permukaan mineral-mineral liat dan CaCO3. Schachtman

(1998) menjelaskan bahwa tanaman pada umumnya menyerap P tanah dalam bentuk P anorganik. Namun, 50% sampai 80% dari total P pada tanah pertanian berada sebagai fosfat organik, di mana 60% sampai 80% adalah myo inositol heksakisfosfat (fitat) (Turner et al. 2002).

Pada lahan penelitian, kondisi tanah agak masam dengan pH 5,77 (Lampiran 1). P diserap oleh tanaman dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- yang

tergantung pada pH tanah. Pada tanah dengan pH < 7,2, H2PO4- < HPO42- (Havlin et al. 2005), sehingga dapat diketahui klon tebu dalam penelitian ini lebih banyak menyerap P dalam bentuk H2PO4-. Selanjutnya Havlin et al. (2005) menjelaskan, bahwa konsentrasi P dikontrol oleh kelarutan mineral P. Umumnya mineral P pada tanah masam adalah mineral Al-P dan Fe-P. Kelarutan mineral mewakili konsentrasi ion yang dipertahankan dalam larutan tanah oleh mineral tertentu. Tiap-tiap mineral P akan mendukung konsentrasi ion tertentu yang tergantung pada produk kelarutan mineral. Sebagai contoh, FePO4.2H2O akan larut menurut:

Konsentrasi H2PO4- menurun dengan penyerapan P oleh tanaman, strengit

(FePO4.2H2O) larut/menyediakan kembali atau mempertahankan konsentrasi

larutan H2PO4-. Reaksi strengit ini, juga menunjukan bahwa konsentrasi H+ meningkat, pH tanah menurun, dengan berkurangnya H2PO4-. Greaves dan Webley (1969) juga melaporkan bahwa laju hidrolisis fitat di dalam tanah, sangat diatur oleh daya larutnya. Ini disebabkan senyawa fitat lebih resisten terhadap serangan enzim. Sebagai contoh, garam besi dan alumunium dari asam fitat sangat resisten terhadap hidrolisis mikroorganisme tanah. Selanjutnya Greiner et al. (1998) menjelaskan, dari analisis diketahui bahwa Fe3+, Hg2+, Cu2+ dan Zn2+ menunjukkan pengaruh penghambatan yang kuat. Aktivitas fitase berkurang

dengan kehadiran Fe2+ dan Fe3+ yang menyebabkan rendahnya konsentrasi fitat

karena pengendapan Fe-fitat.

Kandungan Klorofil

Rerata rasio klorofil a/b klon tebu transgenik berkisar antara 0,32-2,46, dengan rerata rasio klorofil a/b klon tebu isogenik PS 851 0,55 (Tabel 3). Rasio klorofil a/b ini dapat berubah, seiring dengan berubahnya kandungan klorofil a dan klorofil b. Perubahan kandungan klorofil disebabkan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Menurut Dwijoseputro (1980) pembentukan klorofil dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor pembawaan, cahaya, oksigen, karbohidrat, nitrogen, magnesium, besi, air dan suhu. Lichtenthaler et

al. (2007) melaporkan pengaruh cahaya matahari pada daun yang tidak

ternaungi dan daun yang ternaungi. Pada daun yang tidak ternaungi (menerima cahaya matahari langsung), memiliki luas daun yang lebih kecil, kandungan air

yang lebih rendah, kandungan total klorofil dan total karotenoid lebih tinggi per unit daun, dan juga memiliki rasio klorofil a/b lebih tinggi dibandingkan dengan daun yang ternaungi.

Klorofil merupakan molekul organik yang kompleks. Struktur dasar klorofil a dan b adalah seperti porfirin, terdiri dari empat cincin pirol dengan atom Mg ditengahnya. Rumus empiris klorofil a dan b adalah C55H72O5N4Mg dan C55H70O6N4Mg. Perbedaan kedua rumus tersebut terletak pada cincin ketiga, dimana pada posisi tersebut klorofil a memiliki satu gugus metil (-CH3) sedangkan klorofil b memiliki gugus aldehid (-CHO) (Cooper 2000). Klorofil a merupakan pusat reaksi dalam fotosistem, dimana terjadi reaksi kimiawi pertama fotosintesis yang digerakkan oleh cahaya. Klorofil b bersama-sama dengan klorofil a dan molekul karotenoid, membentuk kumpulan yang tersusun dalam fotosistem, yang dikenal sebagai kompleks antena. Jumlah dan keragaman molekul pigmen, membuat fotosistem dapat mengumpulkan cahaya pada permukaan yang lebih luas, dan spektrum yang lebih lebar (Campbell 2002).

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rerata kandungan klorofil b (12,15 µg/ml, 5,85 µg/ml, 9,92 µg/ml, 6,38 µg/ml) lebih tinggi dari kandungan klorofil a (6,97 µg/ml, 4,93 µg/ml, 5,00 µg/ml,5,03 µg/ml) pada setiap perlakuan pemupukan. Ini diduga pada setiap daun yang dianalisis masing-masing memiliki mekanisme perubahan kandungan klorofil. Menurut Sakuraba et al. (2009), klorofil b adalah salah satu dari pigmen fotosintesis tanaman utama. Biosintesis klorofil b adalah penting bagi tanaman dalam rangka untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Menurut Tanaka et al. (2001), efisiensi pemanenan cahaya dari fotosistem

sebagian besar tergantung pada ukuran antena fotosintetiknya. Ukuran antena

dikendalikan oleh biosintesis klorofil b. Dalam penelitiannya yang

mengekspresikan enzim untuk biosintesis klorofil b, chlorophyllide a oksigenase

(CAO), dalam Arabidopsis thaliana dengan transformasi cDNA tanaman untuk CAO, di bawah kontrol promotor 35S virus mosaik kembang kol. Pada tahap awal pertumbuhan tanaman disimpan pada tempat yang gelap, ketika ekspresi CAO sangat rendah, rasio klorofil a/b menurun drastis dari 28 menjadi 7,3. Ini menunjukan terjadi peningkatan biosintesis klorofil b. Secara khusus,

meningkatnya klorofil b mengakibatkan akumulasi LHC (Light-Harvesting

Complexes) (Tanaka et al. 2001; Tanaka R dan Tanaka A 2005; Hirashima et al.

Klon Tebu

Kandungan Klorofil a (µg/ml) Rerata

kandungan klorofil a

Kandungan Klorofil b (µg/ml) Rerata

kandungan klorofil b Rasio rerata kandungan klorofil a/b N 50%; P 50% N 100%; P 50% N 50%; P 100% N 100%; P 100% N 50%; P 50% N 100%; P 50% N 50%; P 100% N 100%; P 100% IPB 1-1 9,93 1,18 1,73 8,97 5,45 7,15 1,15 0,85 4,97 3,53 1,54 IPB 1-2 8,40 2,87 1,39 1,34 3,50 16,14 1,12 2,40 1,52 5,29 0,66 IPB 1-3 2,54 0,99 tt 5,55 3,02 1,53 1,49 tt 2,57 1,86 1,62 IPB 1-4 15,59 5,94 3,42 tt 8,32 24,81 3,48 0,82 tt 9,70 0,86 IPB 1-5 11,61 1,50 5,49 6,12 6,18 29,73 1,88 14,14 15,59 15,33 0,40 IPB 1-6 tt 4,97 1,62 tt 3,29 tt 5,15 1,36 tt 3,26 1,01 IPB 1-7 8,10 4,38 0,65 7,12 5,06 14,27 0,28 0,32 3,06 4,48 1,13 IPB 1-12 0,32 5,37 17,06 12,67 8,85 0,73 6,06 37,55 5,63 12,49 0,71 IPB 1-17 6,31 6,21 6,80 2,37 5,42 22,27 17,35 17,93 10,89 17,11 0,32 IPB 1-21 11,64 0,20 5,70 4,94 5,62 36,04 1,24 18,54 14,44 17,57 0,32 IPB 1-34 3,85 2,05 1,43 1,77 2,28 1,03 1,58 3,28 1,73 1,90 1,20 IPB 1-36 tt 1,30 2,76 1,18 1,75 tt 0,64 1,64 1,15 1,14 1,53 IPB 1-37 2,32 0,83 3,84 3,31 2,58 1,42 1,12 2,17 2,91 1,91 1,35 IPB 1-40 3,40 tt tt 7,24 3,55 0,38 - tt 4,12 1,50 2,37 IPB 1-46 2,01 3,67 2,27 2,40 2,59 0,70 0,22 1,68 1,61 1,05 2,46 IPB 1-51 1,16 8,51 0,48 4,33 3,62 3,43 7,03 1,09 2,12 3,42 1,06 IPB 1-52 4,51 11,98 8,14 6,08 7,68 14,23 17,32 19,44 14,71 16,43 0,47 IPB 1-53 3,62 20,75 4,28 7,68 9,08 2,06 21,04 1,24 4,33 7,17 1,27 IPB 1-55 15,33 8,28 7,94 3,64 8,80 36,70 8,06 18,20 5,22 17,05 0,52 IPB 1-56 7,00 3,53 1,71 1,71 3,49 10,58 3,02 0,41 0,41 3,60 0,97 IPB 1-59 7,61 tt 2,81 1,48 3,97 3,01 tt 1,38 1,44 1,94 2,04 IPB 1-62 0,59 3,14 18,13 5,35 6,81 0,58 0,97 47,81 2,91 13,07 0,52 IPB 1-71 20,55 13,97 10,57 12,16 14,31 28,38 32,03 25,78 29,42 28,91 0,50 PS 851 tt 1,66 1,85 3,15 2,22 tt 2,24 0,33 9,56 4,04 0,55 Rerata 6,97 4,93 5,00 5,03 5,48 12,15 5,85 9,92 6,38 8,57 0,64

Tabel 3 Kandungan klorofil (µg/ml) pada umur 3 bulan setelah tanam

Keterangan: tt = tidak terukur

Gambar 2 Konversi klorofil a menjadi klorofil b, A secara tidak langsung dan B secara langsung (Tanaka R dan Tanaka A 2010)

Tanaka R dan Tanaka A (2010) menggambarkan proses pembentukan klorofil b dari klorofil a oleh chlorophyllide a oksigenase (CAO). Chlorophyllide

merupakan prekursor langsung dari klorofil dalam jalur biosintesis klorofil, dan juga merupakan peralihan biosintesis klorofil b. Biosintesis klorofil b dari

chlorophyllide a oleh CAO, sedangkan biosintesis klorofil a dari chlorophyllide a oleh aktivitas chlorophyll synthase. Reaksi inter-konversi diantara klorofil a dan klorofil b disebut sebagai siklus klorofil (Gambar 2). Namun aktivitas

chlorophylase yang berperan mengkonversi klorofil a menjadi chlorophyllide a masih dalam pembahasan (Shemer et al. 2008), belum ada penelitian yang mendukung kehadirannya dalam kloroplas (Schenk et al. 2007; Schelbert et al. 2009). Sebaliknya, konversi klorofil b menjadi klorofil a dikatalisis oleh dua enzim yang berbeda. Chlorophyllide b reduktase yang bergantung pada NADPH dan

hydroxymethyl chlorophyllide reduktase yang bergantung pada ferredoksin (Rudiger 2002). Keterlibatan chlorophyllide b reduktase dalam kerusakan klorofil,

A

dibuktikan oleh peningkatan aktivitasnya selama penuaan (Scheumann et al.1999).

Besarnya kandungan klorofil berpengaruh dalam menentukan laju fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembentukan senyawa organik dari karbondioksida dan air dengan menggunakan energi cahaya. Adapun persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:

6H2O + 6CO2 + energi cahaya dan klorofil → C6H12O6 (glukosa) + 6O2

Proses fotosintesis, tidak dapat berlangsung pada setiap sel, tetapi hanya pada sel yang mengandung pigmen fotosintetik. Pigmen tersebut terdapat dalam kloroplas yang mengandung korofil. Klorofil a berwarna hijau kebiru-biruan dan klorofil b berwarna hijau kekuning-kuningan. Pigmen tanaman lainnya yang terlibat dalam fotosintesis termasuk karotenoid, phycobilins, dan beberapa jenis klorofil lainnya (Decoteau 2005). Menurut Schulze et al. (2005), laju fotosintesis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor iklim (cahaya, temperatur dan kelembaban), faktor edaphic (tersedianya nutrisi dan air) dan faktor yang tergantung pada waktu (selama masa pertumbuhan dan umur daun).

Aktivitas Fitase

Aktivitas fitase klon tebu transgenik IPB 1 berkisar dari 0,02 U/ml-0,11 U/ml. Jika dibandingkan dengan rerata aktivitas fitase klon tebu isogenik PS 851 0,06 U/ml, maka rerata aktivitas fitase pada klon tebu transgenik IPB 1 yang lebih tinggi, yaitu: klon IPB 1-6, IPB 1-37, IPB 1-7, IPB 1-3, IPB 1-40, IPB 1-51, IPB 1- 55 dan IPB 1-56. Aktivitas fitase klon tebu isogenik PS 851 pada pemupukan N 50% dan P 50%, N 100% dan P 50%, N 50% dan P 100% memiliki aktivitas fitase yang sama, yaitu 0,05 U/ml. Aktivitas fitase ini meningkat menjadi 0,1 U/ml pada pemupukan N 100% dan P 100% (Tabel 4). Perbedaan aktivitas fitase pada klon-klon tebu transgenik dan klon tebu isogenik ini, diduga karena kandungan fitase serta konsentrasi asam fitat yang berbeda pada setiap klon- klon tebu transgenik dan klon tebu isogenik tersebut.

Asam fitat atau fitin disimpan dalam vakuola khusus yang dinamakan protein bodies. Protein ini dapat tersebar baik di seluruh matrik protein atau terbatas di dalam agregat padat yang disebut globoids atau kristal globoid (Lott dan Buttrose 1977; Batten dan Lott 1986). Biosintesis asam fitat terjadi pada

jaringan dimana fitat tersebut disimpan. Di biji, seperti jaringan embrio, lapisan

aleuron, scutellum, kotiledon, atau endosperma, tergantung pada spesies.

Beberapa fitase dengan pH optimum yang spesifik, dan sifat biokimia yang berbeda, menunjukkan bahwa hidrolisis asam fitat di bawah kontrol fitase tersebut (Loewus dan Murthy 1999).

Tabel 4 Aktivitas fitase (U/ml) pada umur 3 bulan setelah tanam

Klon Tebu Pemupukan Rerata

aktivitas fitase N 50%; P 50% N 100%; P 50% N 50%; P 100% N 100%; P 100% IPB 1-1 0,03 0,05 0,02 0,03 0,03 IPB 1-2 0,04 0,02 0,04 0,04 0,04 IPB 1-3 0,09 0,07 0,06 0,07 0,07 IPB 1-4 0,05 0,05 0,04 0,05 0,05 IPB 1-5 0,03 0,04 0,02 0,03 0,03 IPB 1-6 0,11 0,1 0,09 0,07 0,09 IPB 1-7 0,05 0,05 0,12 0,09 0,08 IPB 1-12 0,05 0,06 0,05 0,05 0,05 IPB 1-17 0,07 0,05 0,06 0,05 0,06 IPB 1-21 0,06 0,06 0,06 0,07 0,06 IPB 1-34 0,07 0,06 0,03 0,07 0,06 IPB 1-36 0,06 0,04 0,04 0,05 0,05 IPB 1-37 0,07 0,11 0,1 0,06 0,09 IPB 1-40 0,09 tt 0,06 0,06 0,07 IPB 1-46 0,06 0,06 0,07 0,04 0,06 IPB 1-51 0,06 0,07 0,07 0,07 0,07 IPB 1-52 0,03 0,05 0,04 0,04 0,04 IPB 1-53 0,04 0,07 0,07 0,05 0,06 IPB 1-55 0,08 0,09 0,05 0,05 0,07 IPB 1-56 0,05 0,09 0,05 0,07 0,07 IPB 1-59 0,05 0,07 0,06 0,05 0,06 IPB 1-62 0,03 0,04 0,01 0,02 0,03 IPB 1-71 0,05 0,03 0,04 0,04 0,04 PS 851 0,05 0,05 0,05 0,1 0,06 Rerata 0,058 0,060 0,055 0,056 0,057

Keterangan: tt = tidak terukur

Menurut Kampen (2000), asam fitat berada dalam jus tebu dan bahkan merupakan komponen jus tebu tersebut. Fitase melepaskan P dari asam fitat atau fitat, menghasilkan P anorganik, inositol monofosfat, serta di- dan tri-valent

fitat yang terikat dengan kation atau protein. Fitase tidak dapat memotong seluruh ikatan P dari asam fitat, dan biasanya memotong pada grup P dari masing-masing atom karbon dalam urutan sebagai berikut: 3, 4, 5, 6, dan 1. Posisi P pada atom karbon urutan 2, tidak dapat dihilangkan meninggalkan inositol monofosfat yang bebas larut dalam air. Selanjutnya Wyss et al. (1998) menjelaskan bahwa asam fitat memiliki enam grup P. Fitase jamur dapat melepaskan P dari asam fitat pada kecepatan dan urutan yang berbeda. Pada

konformasi yang menguntungkan, 5 dari enam grup P dari asam fitat berada pada posisi ekuatorial, sementara grup 2-P berada pada posisi aksial. Hasil penelitian dari beberapa jamur yang diuji, semua fitase jamur mampu melepaskan semua P dari 5 grup P yang berada pada posisi ekuatorial. Myo- inositol 2-monofosfat, selalu dikenal sebagai produk akhir. Meskipun produk akhir dari aktivitas fitase selalu sama, namun bukan berarti jalur degradasi asam fitat sama untuk semua fitase. Loewus dan Murthy (1999) menunjukkan bahwa myo inositol 2 aksial/1, 3, 4, 5, 6 equatorial berada pada kisaran pH 1,0-9,0 dan 1, 3, 4, 5, 6 aksial/2 equatorial struktur konformasinya di atas pH 9,5. Kedua struktur konformasi tersebut berada dalam kesetimbangan yang dinamis diantara pH 9,0- 9,5 (Gambar 3).

Gambar 3 Struktur konformasi asam fitat (Loewus dan Murthy 1999)

Wyss et al. (1998) melanjutkan bahwa, meskipun sekuen asam amino

memiliki tingkat homologi yang tinggi antara fitase-fitase jamur yang diuji, enzim- enzim ini memiliki sifat katalitik secara substansial berbeda. Di duga demikian juga halnya fitase yang terdapat pada klon tebu isogenik dan klon tebu transgenik.

Tanaman Berumur 6 dan 12 Bulan setelah Tanam

Tabel 5 Rekapitulasi analisis ragam aktivitas fitase, kandungan klorofil, kandungan N dan P (peubah pada umur 6 bulan setelah tanam), serta produksi (peubah pada umur 12 bulan setelah tanam)

Keterangan: tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT

No. Peubah Pemupukan (A) Klon Tebu (B) Interaksi (AB)

1 Aktivitas fitase tn ** tn

2 Kandungan klorofil1

- Klorofil a tn tn tn

- Klorofil b tn tn tn

- Rasio klorofil a/b tn tn tn

3 Kandungan N1 tn tn tn 4 Kandungan P1 tn ** tn 5 Produksi2 - Produksi biomassa tn tn tn - Rendemen tn * tn - Produksi gula tn tn tn

* = berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT ** = sangat berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT

1 = data Nugraha 2012 2 = data Rahmatullah 2012

Aktivitas Fitase

Klon tebu sangat nyata dipengaruhi oleh aktivitas fitase (Tabel 5). Klon-klon tebu transgenik IPB 1 memiliki aktivitas fitase, hampir semuanya lebih tinggi dari klon tebu isogenik PS 851. Aktivitas fitase pada klon tebu transgenik IPB 1 ini, mencapai 50%-100% lebih tinggi dibandingkan dengan klon tebu isogenik PS 851 (Tabel 6). Tingginya aktivitas fitase ini, diduga karena adanya transformasi gen fitase terhadap klon-klon tebu tersebut. Selain itu, ketersediaan asam fitat baik pada setiap klon maupun rhizosfer yang berbeda, dapat menyebabkan perbedaan aktivitas fitase klon-klon tebu transgenik IPB 1.

Menurut Susiyanti (2008) bila tanaman kekurangan P, maka kondisi ini akan memicu aktivitas fitase guna melepaskan P dari fitat. Hal ini terlihat dari aktivitas fitase tebu hasil transformasi, yang dikulturkan pada media tanpa P anorganik yang diberi fitat dengan konsentrasi berbeda. Pemberian fitat yang merupakan bentuk P terikat dalam media, akan mengakibatkan planlet tebu tersebut akan menghidrolisis senyawa fitat, sehingga P total jaringan tetap tinggi. Kerja enzim fitase meningkat bila diperoleh subsrat yang tepat untuk dirombak,

yaitu fitat sehingga terjadi pelepasan ikatan unsur P dari subsrat tersebut. Unsur P kemudian digunakan dalam proses metabolisme tanaman.

Tabel 6 Aktivitas fitase klon tebu transgenik IPB 1 pada umur 6 bulan setelah tanam

Klon Tebu Rerata Klon Tebu Rerata

IPB 1-34 0,06 a IPB 1-46 0,04 bcdef

IPB 1-56 0,05 ab IPB 1-2 0,04 bcdef

IPB 1-59 0,05 abc IPB 1-55 0,04 cdef

IPB 1-6 0,05 abcd IPB 1-53 0,04 defg

IPB 1-71 0,05 abcd IPB 1-51 0,04 defg

IPB 1-36 0,05 abcd IPB 1-3 0,04 defg

IPB 1-40 0,05 abcd IPB 1-52 0,03 efgh

IPB 1-12 0,04 bcde IPB 1-5 0,03 efgh

IPB 1-62 0,04 bcde PS 851 0,03 fgh

IPB 1-7 0,04 bcdef IPB 1-1 0,03 gh

IPB 1-37 0,04 bcdef IPB 1-17 0,03 h

IPB 1-4 0,04 bcdef IPB 1-21 0,02 h

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT

Selain pentingnya ketersediaan substrat, hilangnya aktivitas fitase bergantung pada karakteristik enzim dan sifat-sifat tanah(George et al. 2007). Fitase dari asal yang berbeda, mempunyai pH dan temperatur optimal yang berbeda (Liu et al. 1998). Tanaman dapat memanfaatkan fitat setelah ikatan ester C–O–P dihidrolisis oleh beberapa jenis fosfatase, termasuk fitase (Richardson et al. 2001, Tarafdar et al. 2002). Kemampuan setiap akar tanaman berbeda dalam melepaskan fitase (Yadav dan Tarafdar 2004).

Fitase merupakan enzim utama yang bertanggung jawab dalam menghidrolisis asam fitat, myo-inositol-1,2,3,4,5,6-heksakisfosfat (I-1,2,3,4,5,6- P). Sejumlah fitase dengan sifat dan tempat spesifik yang bermacam-macam, menghidrolisis asam fitat yang berada di dalam sel (Barrientos 1994). Menurut Zhang et al. (2008), ekspresi dari AtPAP15 di Arabidopsis nyata menurunkan kandungan fitat dalam daun. AtPAP15 adalah sebuah asam fosfatase ungu dengan aktivitas fitase dari Arabidopsis, dapat menghidrolisis myo-inositol heksakisfosfat, menghasilkan myo-inositol dan P anorganik. Analisis sekuen menunjukkan bahwa 74% AtPAP15 memiliki kesamaan dengan gen fitase

kedelai (Glycine max), GmPhy (Hegeman dan Grabau 2001). Ekspresi AtPAP15 tidak hanya meningkatkan sekresi asam fosfatase dari rambut akar dan keseluruhan akar tanaman kedelai transgenik. Aktivitas fosfatase juga meningkat secara signifikan di daun, serta efisiensi P dan hasil kedelai transgenik. Aktivitas fosfatase pada daun transgenik masing-masing meningkat 32,7%, 33,1%, dan 9,7% dibandingkan dengan kedelai jenis liarnya (Wang et al. 2009).

Kandungan P

Kandungan P, sangat nyata dipengaruhi oleh perbedaan klon tebu transgenik dan isogenik (Tabel 5). Perbedaan kandungan P (Tabel 7), mencapai sekitar 45% lebih tinggi pada klon tebu transgenik dibandingkan dengan klon tebu isogenik PS 851. Perbedaan kandungan P ini, diduga karena setiap klon memiliki rhizosfer yang berbeda, yang mempengaruhi perkembangan akar dalam penyerapan hara. Perkembangan akar yang luas, jumlah dan kandungan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, sangat mempengaruhi jumlah hara yang diserap oleh tanaman.

Tabel 7 Kandungan P (%) klon tebu transgenik IPB 1 pada umur 6 bulan setelah tanam

Klon Tebu Rerata

IPB 1-1 IPB 1-56 IPB 1-3 IPB 1-46 IPB 1-6 IPB 1-52 IPB 1-59 PS 851 0,29a 0,28a 0,28ab 0,28ab 0,27ab 0,27ab 0,26b 0,16c

Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT

(Sumber data: Nugraha 2012)

P tanaman dominan dikontrol oleh dinamika P dalam kesatuan rangkaian tanah/rizosfer-tanaman. Distribusi dan dinamika P dalam tanah nyata bervariasi berdasarkan ruang dan waktu. Arsitektur akar yang mendistribusikan akar ke tempat dimana sumber P berada, berperan penting dalam efisiensi pemanfaatan sumber P dalam tanah. Selain itu, arsitektur akar dapat menunjukan koordinasi fungsional dengan eksudasi akar karboksilat, proton, dan fosfatase dalam

perolehan dan mobilisasi P (Shen et al. 2011). Fungsi eksudasi akar, diantaranya memelihara kontak akar dengan tanah, sebagai pelumas ujung akar, melindungi akar dari kekeringan, stabilisasi mikro-agregat tanah, dan selektif dalam menyerap dan menyimpan ion (Griffin et al. 1976; Bengough dan McKenzie 1997; Hawes et al. 2000).

Menurut Lung et al. (2007) aktivitas fitase dalam eksudat akar tembakau, yang dikelompokan sebagai asam fosfatase ungu dan sifat katalitiknya terkait dengan perannya dalam memobilisasi P organik dalam tanah. Peningkatan aktivitas fitase terdeteksi pada eksudat akar tembakau dalam menanggapi kekurangan P. Xiao et al. (2005) melaporkan bahwa aktivitas fitase dalam

apoplast akar Arabidopsis transgenik 12,3-16,2 kali lipat lebih tinggi

Dokumen terkait