4.1 Sifat Fisis dan Mekanis Kayu
Keberadaan sifat fisis dan mekanis kayu berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan dianggap memiliki keterkaitan terhadap fenomena mudah atau tidaknya suatu kayu dapat dikeringkan. Seringkali faktor sifat fisis dan mekanis kayu dijadikan indikator utama untuk menggambarkan mudah atau tidaknya suatu kayu dapat dikeringkan.
Oey Djoen Seng (1990) menerangkan bahwa pada umumnya kayukayu yang terberat juga merupakan kayukayu yang terkuat dan nilai keteguhan, kekerasan serta hampir semua sifat teknis lainnya berbanding lurus dengan nilai berat jenis. Hal itu karena pada umumnya kayu dengan berat jenis tinggi memiliki diameter serat yang cukup besar dan dinding sel yang lebih tebal sehingga kerapatannya relatif cenderung tinggi. Berdasarkan hal itu, maka pada penelitian ini dilakukan pengujian terhadap kedua faktor tersebut yang meliputi penentuan kadar air, berat jenis dan penyusutan volume pada pengujian sifat fisis, serta penentuan nilai kekuatan tekan sejajar serat, kekerasan, MOE (modulus of
elasticity), dan MOR (modulus of rupture) pada pengujian sifat mekanis kayu.
Melalui pengujian fisis dan mekanis yang telah dilakukan pada bagian teras keempat jenis kayu, maka diperoleh hasil sebagaimana berikut :
Pengujian
Sifat Fisis
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, maka diperoleh data bahwa nilai rerata kadar air, berat jenis dan susut volume secara berurut pada kelima contoh uji kayu akasia ialah 97,22 % ; 0,55 ; 7,63 %, begitu juga pada kayu jeunjing yakni 105,49 % ; 0,32 ; 2,68 %, pada kayu angsana yakni 115,39 % ; 0,45 ; 3.41 %, dan pada kayu afrika yakni 145,01 % ; 0,42 ; 2,72 % seperti yang tertera pada Tabel 3.
Tabel 3 Data hasil pengujian sifat fisis Jenis
Kayu Air (%)Kadar
Berat Jenis Kisaran
Umum* Umum* Uji
Susut Volume (%) Kelas Kuat (BJ)* Ket. Akasia 97,22 0,430,66 0,61 0,55 7.63 III 4 Jeunjing 105,49 0,240,49 0,33 0,32 2.68 IV 1 Angsana 115,39 0,390,94 0,64 0,45 3.41 III 3 Afrika 145,01 0,340,46 0,43 0,42 2.72 III 2 * (Sumber : Pengumuman PPPHK No.13 1990) Dari data tersebut, diketahui bahwa nilai rerata kadar air dari keempat jenis kayu tersebut masih cukup tinggi dan tergolong ke dalam kayu basah karena memiliki nilai kadar air yang mendekati atau melebihi 100 %. Dapat disimpulkan bahwa keempat jenis kayu tersebut masih banyak mengandung air bebas yang umumnya tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali berat kayu (Siau 1984). Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa ada variasi antara nilai berat jenis dari hasil pengujian dengan nilai berat jenis yang secara umum diketahui, walaupun nilainya masih berada dalam selang kisaran umum berat jenis. Menurut Oey Djoen Seng (1990), berbagai faktor yang mempengaruhi hal tersebut ialah adanya perbedaan faktor umur, kecepatan tumbuh, tempat pada tinggi yang berbedabeda dari batang, pertumbuhan eksentrik, kayu cabang, teras kayu, ruang tumbuh antar pohon, jenis pohon dengan ukuran maksimum yang kecil, dan jenis pohon dengan ukuran garis tengah yang sangat besar. Variasi yang besar dari berat jenis kayu tidak saja terjadi diantara pohonpohon dari jenis yang sama tapi juga antara bagianbagian pohon yang sama, sehingga dalam industri atau perdagangan permintaan bahan baku kayu lebih dilakukan dengan menggunakan klasifikasi kelas kuatnya (sifat mekanis) dibanding dengan nilai berat jenisnya, walaupun pada nilai kelas kuat juga memiliki fenomena variasi yang sama.
Gambar 5 Kurva hubungan berat jenis dan penyusutan volume kayu
Pada Gambar 5, terlihat bahwa nilai berat jenis kayu terbukti memiliki hubungan dengan tingkat penyusutan volume selama proses pengeringan, dimana kayu dengan berat jenis yang tinggi akan menghasilkan nilai susut volume yang lebih besar dibanding kayu dengan berat jenis yang lebih rendah dan cenderung waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringannya lebih lama (Bramhall dan Wellwood 1976). Data menunjukkan bahwa kayu jeunjing dengan berat jenis terendah yaitu 0,32 memiliki nilai susut volume sebesar 2,68 %, kayu afrika dengan berat jenis 0,42 memiliki nilai susut volume sebesar 2,72 %, kayu angsana dengan berat jenis 0,45 memiliki nilai susut volume sebesar 3,41 %, sedangkan untuk kayu akasia dengan berat jenis 0,56 memiliki nilai susut volume sebesar 7,63 %. Seperti yang telah dibahas sebelumnya juga bahwa berat jenis memiliki pengaruh atas kekuatan mekanis. Dari pengujian terhadap keempat jenis kayu tersebut, dihasilkan data mengenai kelas kuat dimana klasifikasi nilai kelas kuat untuk kayu akasia, jeunjing, angsana, dan afrika secara berturutturut ialah III (kisaran BJ 0,60 0,40), IV (kisaran BJ 0,40 0,30), III dan III (sedangkan untuk kelas kuat I berada pada BJ > 0,90, kelas kuat II berada pada kisaran BJ 0,90 0,60 dan untuk kelas kuat V berada pada BJ < 0,30) (Pengumuman PPPHK No.13 1990). Pengujian Sifat Mekanis
Kekerasan kayu ialah suatu ukuran kekuatan kayu dalam menahan gaya yang membuat lekuk padanya. Kekerasan kayu juga dapat diartikan sebagai kemampuan kayu untuk menahan kikisan. Sedangkan keteguhan tekan (tekan sejajar serat) ialah kemampuan suatu jenis kayu untuk menahan muatan jika kayu
itu dipergunakan dalam posisi longitudinal arah serat untuk tujuan tertentu (Dumanauw 2001).
Kekakuan kayu ialah suatu ukuran kekuatan dalam kemampuannya menahan perubahan bentuk atau lengkungan. Kekakuan tersebut dinyatakan dengan istilah Modulus of Elasticity (MOE) yang berasal dari pengujian pengujian keteguhan lentur statik. Keteguhan lentur ialah kekuatan untuk menahan gayagaya yang berusaha melengkungkan kayu atau untuk menahan bebanbeban mati maupun hidup. Untuk keteguhan lengkung kayu biasanya dinyatakan dalam istilah Modulus of Rupture (MOR) untuk menentukan beban yang dapat dipikul suatu balok kayu (Dumanauw 2001).
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, maka diperoleh data bahwa nilai rerata kekerasan tangensial dan radial, tekan sejajar serat, MOE, dan MOR secara berurut pada contoh uji kayu akasia ialah 452,20 kg/cm2 dan 428,4 kg/cm2 ; 362,42 kg/cm3 ; 9.624,76 kg/cm2 ; 945,58 kg/cm2, pada kayu jeunjing yakni 161,80 kg/cm2 dan 168,80 kg/cm2 ; 157,37 kg/cm3 ; 5.521,30 kg/cm2 ; 492,46 kg/cm2, pada kayu angsana yakni 388,80 kg/cm2 dan 379,20 kg/cm2 ; 228,13 kg/cm3 ; 4.676,97 kg/cm2 ; 551,80 kg/cm2, dan pada kayu afrika yakni 281,00 kg/cm2 dan 207,20 kg/cm2 ; 224,32 kg/cm3 ; 6.014,17 kg/cm2 ; 670,27 kg/cm2 seperti yang tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Data hasil pengujian sifat mekanis Jenis Kayu Berat Jenis Kekerasan (kg/ cm2) Umum Uji T R Tekan Sejajar
Serat (kg/cm3) (kg/cmMOE 2) (kg/cmMOR 2) (MOE&MOR)Kelas Kuat Akasia 0,61 0,55 452,20 428,40 362,42 9.624.76 945.58 I/I Jeunjing 0,33 0,32 161,80 168,80 157,37 5.521,30 492,46 I/II Angsana 0,64 0,45 388.80 379.20 228,13 4.676,97 551,80 I/II Afrika 0,43 0,42 281,00 207,20 224,32 6.014,17 670,27 I/I
4.2 Jadwal Pengeringan dan Hubungannya dengan Sifat Dasar Kayu
Basri dan Martawijaya (2005) menerangkan bahwa kualitas pengeringan lebih ditentukan oleh faktor fisis, kimia dan anatomis kayu. Berat jenis kayu yang
tinggi memiliki tingkat penyusutan yang lebih besar dari kayu dengan berat jenis rendah, hal itu dikarenakan air terikat yang dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak selain itu massa kayu yang menyusut dari jenis kayu yang memiliki berat jenis tinggi cenderung lebih besar, sehingga berpengaruh pada waktu dan besarnya tingkat penyusutan kayu. Namun kayu dengan berat jenis tinggi proses penguapan airnya akan berjalan lancar jika struktur dari kayu mendukung, contohnya ialah kayu yang memiliki arah serat lurus, ukuran pori yang besar dan tidak adanya sumbatan berupa tylosis dan amorf.
Berdasarkan pengujian penentuan bagan pengeringan dan sifat dasar pengeringan menggunakan (oven) suhu tinggi yang mengikuti standar yang dikembangkan oleh Terazawa (1965), maka diperoleh hasil sebagaimana terlihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5 Data hasil pengujian sifat dasar pengeringan JENIS KA BJ RISALAH CACAT PECAH
PERMUKAAN DALAMPECAH RMASIDEFO
TINGKAT CACAT DIAMBIL Ak
tual MAX MIN MAX MIN MAX
SIFAT PENGERI
NGAN*
AKASIA 97,22 0,55 5 1 2 2 5 5 E BurukAgak
JEUN
JING 105,49 0,32 6 1 2 2 4 6 F Buruk
ANGSA
NA 115,39 0,45 4 1 3 1 5 5 E BurukAgak
AFRIKA 145,01 0,42 2 1 3 2 7 7 G Sangat Buruk
* terlampir
Dari data hasil pengujian yang ditunjukkan pada Tabel 5 tersebut diketahui bahwa kayu akasia memiliki sifat pengeringan agak buruk untuk cacat pecah permukan, baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan kayu jeunjing memiliki sifat pengeringan yang buruk untuk cacat pecah permukaan, baik untuk cacat pecah dalam dan sedang untuk cacat pecah
deformasi. Sifat pengeringan pada kayu angsana ialah sedang untuk cacat pecah
permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat
untuk cacat pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam serta sangat buruk untuk cacat deformasi.
Kerusakan yang paling sering dijumpai pada penelitian ini ialah pecah permukaan (dan ujung) serta deformasi. Pecah permukaan terjadi pada awal proses pengeringan saat kadar air kayu masih tinggi, hal itu terjadi karena pada awal proses pengeringan, bagian permukaan kayu mengering dengan cepat atau lebih cepat sementara di bagian dalam masih cukup basah sehingga tidak terjadi keseimbangan antara tegangan tarik di permukaan dan tegangan tekan di bagian dalam yang pada akhirnya menimbulkan pecah/retak. Pecah permukaan dapat terjadi dalam jarijari kayu, saluran resin maupun lapisan mineral. Cacat ini dapat ditekan dengan (preheating) pemberian kelembaban tinggi/perlakuan pengukusan di awal pengeringan (Martawijaya dan Barly 1995). Cacat deformasi biasanya terjadi pada proses pengeringan kayu yang sangat basah dengan permeabilitas sel yang rendah dan atau adanya penyumbatan pada pori (Bramhall dan Wellwood 1976). Selain itu, deformasi terjadi karena adanya perbedaan penyusutan arah radial, tangensial dan longitudinal atau karena adanya kayu reaksi (compression wood), kayu tekan (tension wood), kayu juvenile, dan mata kayu. Pada penelitian ini, cacat deformasi yang paling sering ditemukan ialah collapse, selain dari cacat memuntir (twisting) dan memangkuk (cupping).
Normalnya ketika kayu mengering, air akan langsung keluar dari dalam kayu tanpa halangan apapun dan udara dalam sel kayu akan memuai serta memenuhi rongga sel tersebut. Pada kayu yang sangat basah sementara permeabilitas rongga selnya rendah, udara hanya bisa masuk secara difusi. Saat air yang keluar dari sel tersebut lebih cepat dibanding udara yang menggantikannya, maka dinding sel kayu tersebut akan tertarik oleh daya kapiler air. Fenomena ini juga didukung penelitian Kobayashi (1986) yang menyimpulkan collapse pada sel kayu lebih disebabkan oleh tegangan cairan dari dalam kayu sendiri daripada tegangan yang diakibatkan oleh pengeringan. Oleh karena itu, titik aman untuk menaikkan suhu pada proses pengeringan kayu adalah pada keadaan dimana kadar air sudah mencapai titik jenuh serat, yaitu air bebas sudah tidak ada lagi dalam rongga sel. Cacat ini dapat ditekan dengan pengaturan
penumpukkan, tebal dan jarak ganjal, serta pembebanan pada bagian atas tumpukan (Basri & Nurwati 2004).
Pecah bagian dalam kayu merupakan kelanjutan dari pecah permukaan, dimana kayu setelah mencapai kadar air titik jenuh serat, bagian permukaan yang sebelumnya pecah akan menutup kembali sedangkan bagian dalamnya tetap (Bramhall & Wellwood 1976). Pada standar pengujian kayu, cacat tersebut sangat diperhitungkan karena dapat menurunkan kekuatan kayu secara signifikan. Menurut Wang et al. (1994), pecah dalam (internal/honeycombing check) diakibatkan oleh adanya tegangan di dalam kayu (growth stress). Jika tegangan penyusutan melebihi kekuatan kayu yang tegak lurus arah seratnya maka terjadilah pecah. Sedangkan ratio penyusutan antara tangensial dan radial yang normal ialah tidak melebihi 2 mm. Pemakaian suhu rendah atau perlakuan pengukusan di awal proses pada kayu yang sangat basah perlu diperhatikan dengan tujuan untuk melindungi kayu dari cacat collapse dan pecah bagian dalam, lagipula kayu dengan kadar air di atas titik jenuh serat (KA > 30 %) masih mengandung air bebas di dalam rongga sel yang biasanya mudah menguap pada suhu kamar. Tabel 6 Data hasil konversi suhu dan kelembaban awal dan akhir pengeringan JENIS SUHU (°C) & KELEMBABAN TERAZAWA DIAMBIL SUHU (°C) RH (%)
AWAL AKHIR AWAL AKHIR
HASIL TORGESON KA (%) SUHU (°C) Torgeson AWAL AKHIR KODE AKASIA 50 77 81 28 T6 30<15 50 80 T6E4 JEUNJING 50 81 90 28 T6 30<15 50 80 T6F2 ANGSANA 50 77 81 28 T6 30<15 50 80 T6F4 AFRIKA 47 70 89 27 T5 30<15 50 70 T6F2 Berdasarkan hasil pengujian sifat dasar pengeringan (yang dikembangkan oleh Terazawa 1965) yang ditunjukkan pada Tabel 5 dan 6, diperoleh data hasil bahwa jadwal pengeringan dasar untuk jenis kayu akasia, angsana dan afrika lebih ditentukan dari tingkat cacat deformasi sebagai cacat yang mengalami kerusakan terparah, sedangkan untuk kayu jeunjing lebih ditentukan oleh tingkat cacat permukaannya. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut ialah bahwa kayu akasia dengan berat jenis 0,55 dan kayu angsana dengan berat jenis 0,45 termasuk
dalam kategori 5 (agak buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0C, suhu akhir 77 0C, kelembaban awal 81 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu jeunjing dengan berat jenis 0,32 termasuk dalam kategori 6 (buruk) untuk tingkat cacat pecah permukaan, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0C, suhu akhir 81 0C, kelembaban awal 90 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu afrika dengan berat jenis 0,42 termasuk dalam kategori 7 (sangat buruk) untuk tingkat cacat
deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 47 0C, suhu akhir 70 0C, kelembaban awal 89 %, dan kelembaban akhir 27 %.
Dari data tersebut, terbukti bahwa berat jenis kayu bukan satusatunya faktor yang menentukan. Seperti yang didapatkan bahwa kayu afrika dengan nilai berat jenis yang lebih kecil dari kayu akasia dan angsana ternyata mengalami tingkat cacat yang terparah dan memiliki suhu pengeringan yang lebih lunak, sehingga dapat disimpulkan bahwa kayu afrika lebih sulit dikeringkan dibanding dengan kayu akasia dan angsana.
Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al. 2000), maka jadwal pengeringan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok kayu yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu 50 – 80 0C (akasia, jeunjjing, angsana) yang dapat dikeringkan bersamaan dan kayu afrika yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu 50 – 70 0C.
Pada penelitian ini, contoh uji yang digunakan dari keempat jenis kayu seluruhnya diambil dari bagian kayu teras yang merupakan bagian pohon yang jaringannya telah mati dan banyak tersusun oleh zatzat ekstraktif, sehingga menurunkan permeabilitas dari kayu tersebut dan mengakibatkan kayu menjadi lebih sulit untuk dikeringkan dan lebih mudah mengalami cacat pengeringan jika dibandingkan dengan bagian kayu gubalnya (Tobing 1988). Selain itu, kadar air yang terkandung dalam contoh uji tergolong cukup tinggi (> 90 %), sehingga akan berpengaruh pada proses penyusutan kayu akibat keluarnya air terikat dari dinding sel (Tsoumis 1991). Hal itu bertujuan untuk mendapatkan jadwal pengeringan hasil pengujian yang teraman untuk masingmasing jenis kayu yang diujikan.
Berikut penjelasan mengenai fenomena terjadinya cacat pengeringan pada pengujian sifat dasar pengeringan (oven) suhu tinggi yang dimulai dari jenis kayu yang tersulit hingga termudah untuk dikeringkan berdasarkan penelitian ini. Kayu Afrika ( Maesopsis eminii ) Kayu afrika mengalami cacat deformasi sangat buruk. Kadar air kayu afrika yang diteliti cukup tinggi (rerata 145,01 %) dengan berat jenis 0,42. Seperti halnya pada penjelasannya sebelumnya, cacat deformasi (collapse) biasanya terjadi pada proses pengeringan kayu yang sangat basah dengan permeabilitas sel yang rendah dan atau adanya penyumbatan pada pori (Bramhall & Wellwood 1976). Selain itu, deformasi terjadi karena adanya perbedaan penyusutan arah radial, tangensial dan longitudinal atau karena adanya kayu reaksi (compression wood), kayu tekan (tension wood), kayu
juvenile, dan mata kayu.
Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini cenderung mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki sel jarijari yang terdiri dari 2 macam, ukuran diameter pembuluhnya tergolong kecil, dinding seratnya sangat tebal, dan tipe sel parenkimnya adalah paratrakeal aliform sampai aliform bersambung (concluent). Selain itu, contoh uji yang seluruhnya merupakan bagian teras juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kecenderungan cacat kayu selama proses pengeringan.
Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami cacat
deformasi pada waktu pengeringan, maka dapat dikatakan bahwa kayu ini tergolong agak sulit untuk dikeringkan bahkan yang paling sulit dikeringkan dibanding ketiga jenis kayu lainnya. Sehingga suhu dan kelembaban awal dan akhir yang dianjurkan pada proses pengeringannya hanya berada pada kisaran 47 0C 70 0C, 89 % 27 % (mengacu pada Terazawa 1965). Kayu Jeunjing ( Albizia falcataria )
Kayu jeunjing mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) yang buruk. Kadar air segar jeunjing yang diteliti cukup tinggi (rerata 105,49 %) dengan berat jenis 0,32.
Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki parenkim yang umumnya menyinggung pori sepihak sampai selubung, jarijarinya umumnya sempit yang tediri dari 1 2 seri dengan jumlah 6 12 per mm2 pada arah tangensial, porinya seragam (homoseluler) dengan jumlah yang sedikit antara 4 7 per mm2, parenkimnya umumnya menyinggung pori sepihak sampai selubung. Selain itu, contoh uji yang seluruhnya merupakan bagian teras juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kecenderungan cacat kayu selama proses pengeringan.
Walaupun jumlah poriporinya sedikit antara 4 – 7 per mm2 dan memiliki bidang perforasi sederhana, namun sebagian besar sifat anatomi lainnya mendukung terjadinya proses pengeringan kayu ini dengan lebih mudah tanpa mengalami cacat yang berarti dibanding dengan kayu afrika. Selain itu, terjadinya cacat pecah permukaan yang buruk pada kayu ini juga diduga terjadi akibat timbulnya perbedaan tegangan di permukaan dan di dalam kayu yang cukup besar pada awal proses pengeringan ketika kadar air kayu ini masih sangat tinggi.
Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) pada waktu pengeringan, maka dalam penelitian ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya cacat tersebut terutama pada bagian kayu teras yang cenderung lebih sulit dikeringkan, suhu dan kelembaban awal dan akhir pada proses pengeringan kayu jeunjing direkomendasikan pada kisaran 50 0C 81 0C, 90 % 28 % (mengacu pada Terazawa, 1965). Walaupun pada umumnya jenis kayu ini cenderung dapat lebih mudah untuk dikeringkan dengan penggunaan suhu yang lebih tinggi yaitu 55 – 83 0C dengan kelembaban 76 – 30 % (Basri & Nurwati 2004).
Mandang & Sudardji (2001) menambahkan bahwa selama dilakukan pengeringan, kayu ini dapat diserang jamur biru dan kapang (mold), terutama apabila peredaran udaranya kurang lancar, dan mudah mengalami pencekungan dan memuntir karena seratnya umumnya tidak lurus. Kayu jeunjing pada pengeringan alami dengan ketebalan papan 2,5 cm dari kadar air sekitar 54 % sampai 20 % memerlukan waktu sekitar 33 hari. Sedangkan pengeringan pada kilang pengering dengan ketebalan papan 2,5 cm dapat dikeringkan sampai kadar air 10 % dalam waktu 4 hari. Kayu Akasia ( Acacia mangium )
Kayu akasia mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) serta
deformasi yang agak buruk pada pemakaian suhu tinggi. Kadar air kayu
akasia yang diteliti cukup tinggi (rerata 97,22 %) dengan berat jenis 0,55. Menurut Silitonga (1993), kayu akasia umumnya jarang mengalami pecah ujung dan tidak mudah melengkung, kelemahan yang umum terjadi adalah
deformasi (collapse) pada kayu teras yang biasanya terjadi pada awal
pengeringan.
Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki permeabilitas sel yang rendah karena memiliki noktah yang sangat sempit pada parenkim serta terdapat sumbatan dalam pembuluh kayu sehingga menghambat proses pengeluaran air dari dalam kayu (Basri & Nurwati 2004), jarijarinya tergolong sempit (< 0,05 mm), jarang hingga agak jarang, ukurannya agak pendek hingga pendek, parenkimnya bertipe paratrakeal selubung atau aliform pada pembuluh yang berdiameter kecil. Selain itu, diameter porinya tergolong agak kecil umumnya kurang dari 100 mikron, jarang hingga agak jarang namun bidang perforasinya sederhana. Selain itu, contoh uji yang seluruhnya merupakan bagian teras juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kecenderungan cacat kayu selama proses pengeringan.
Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami cacat
collapse dan pecah permukaan (dan ujung) pada waktu pengeringan, maka
dapat dikatakan bahwa kayu ini tergolong agak sulit untuk dikeringkan. Suhu dan kelembaban awal dan akhir pada proses pengeringan jenis kayu ini dianjurkan berada pada kisaran 50 0C 77 0C, 81 % 28 % (mengacu pada Terazawa 1965). Kayu Angsana ( Pterocarpus indicus ) Kayu angsana mengalami cacat pecah permukaan (dan ujung) yang sedang dan deformasi yang agak buruk pada pemakaian suhu tinggi. Kadar air angsana yang diteliti cukup tinggi (rerata 115,39 %) dengan berat jenis 0,45.
Faktor struktur anatomi yang diduga menyebabkan kayu ini mengalami cacat pengeringan tersebut antara lain ialah bahwa kayu ini memiliki jarijari yang tergolong sempit 1 2 seri dan pendek dengan jumlah sekitar 6 10 per mm2, ditambah lagi pada penelitian ini sebagian besar volume contoh uji merupakan bagian dari kayu teras sehingga menyebabkan kayu ini menjadi agak sulit untuk dikeringkan karena cenderung mengalami cacat deformasi yang agak buruk sama halnya dengan kayu akasia. Selain itu, seringkali ditemukan gejala keriput pada bidang tangensialnya. Sedangkan faktor yang diduga mendukung kayu angsana lebih mudah dikeringkan dibanding dengan jenis kayu lainnya adalah berat jenisnya yang termasuk sedang, memiliki ukuran poripori agak besar dan parenkimnya termasuk tipe apotrakeal berbentuk pita (Basri & Martawijaya 2005). Berdasarkan struktur anatomi dan kecenderungan mengalami deformasi pada waktu pengeringan, maka suhu dan kelembaban awal dan akhir pada proses pengeringannya dianjurkan berada pada kisaran 50 0C 77 0C, 81 % 28 % (mengacu pada Terazawa 1965).
Penetapan sifat/kualitas dan jadwal pengeringan kayu lebih dipengaruhi oleh faktor fisis dan struktur anatomi. Faktor fisis yaitu berat jenis, berat jenis yang lebih tinggi memiliki tingkat penyusutan lebih besar dari berat jenis yang lebih rendah, hal itu dikarenakan air terikat yang dikeluarkan dari dinding sel lebih banyak dan massa kayunya mengalami penyusutan lebih besar, sehingga berpengaruh pada besarnya waktu dan tingkat penyusutan kayu. Selain itu, dinding selnya cenderung lebih tebal, sehingga memberikan jarak yang lebih besar bagi air untuk keluar dari kayu. Walaupun demikian, berat jenis yang tinggi proses penguapan airnya akan berjalan lancar jika struktur kayunya mendukung,