• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Hasil

Klasifikasi dan Struktur Komunitas Plankton

Hasil pengamatan plankton yang telah dilakukan di Danau Toba, Kecamatan Haranggaol, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dengan 4 kali pengambilan sampel ditemukan struktur komunitas jenis sebanyak 30 genus yang terdiri atas fitoplankton 19 genus dan 11 genus dari zooplankton. Jenis fitoplankton yang teramati yaitu dari kelas Bacillariophyceace, Chlorophyceae, Conjugatophyceae, Coscinodiscophyceae, Euglenazoa, Fragilariophyceae, Imbricatea, Ulvophyceae, Xanthophyceae, Zignematophyceae, dan Zignemophyceae sedangkan jenis zooplankton yang teramati yaitu dari kelas Arcellinida, Branchiopoda, Eurotatoria, Eurotifera, Lobosea, Maxillopoda, Monogononta, Phyllopharyngea, dan Tubulinea (Gambar 3). Klasifikasi dan deskripsi plankton yang didapat dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dari hasil penelitian, terlihat jelas bahwa keanekaragaman fitoplankton jauh lebih tinggi dibandingkan keanekaragaman zooplankton. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa terdapat 5 genus dari kelas Bacillariophyceace dan 4 genus dari kelas Chlorophyceae yang paling mendominasi di Danau Toba, kemudian diikuti kelas Conjugatophyceae dan kelas Zignemophyceae. Keempat kelas fitoplankton ini merupakan sumber pakan bagi ikan-ikan yang hidup di perairan umum. Beberapa kelas zooplankton yang juga sebagai makanan bagi ikan-ikan perairan umum antara lain kelas Eurotatoria dan kelas Maxillopoda yang paling dominan di Danau Toba.

(a) (b ) G am ba r 3. K el im pa ha n P la nkt on ( ind/ L ) ( a) S ta si un I ; ( b) S ta si un I I 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 Bacillariophyceace Chlorophyceae Conjugatophyceae Coscinodiscophyceae Euglenazoa Fragilariophyceae Imbricatea Ulvophyceae Xanthophyceae Zignematophyceae Zignemophyceae Arcellinida Branchiopoda Eurotatoria Eurotifera Lobosea Maxillopoda Monogononta Phyllopharyngea Tubulinea

Kelimpahan Plankton (ind/L)

Universitas

Sumatera

Tabel2. Klasifikasi Plankton

No Divisi Kelas Ordo Famili Genus

1 Bacillariophyceace Centrales Chaetocerotaceae Chaetoceros

2 Cymbellales Cymbellaceae Cymbella

3 Rhopalodiales Rhopalodiaceae Rhopalodia

4 Naviculales Neidiaceae Neidium

5 Bacillariales Bacillariaceae Nitzchia

6 Chlorophyta Chlorophyceae Sphaeropleales Hydrodictyaceae Hydrodictyon

7 Chlorococcales Hydrodictyaceae Pediastrum

8 Volvocales Volvocaceae Volvox

9 Sphaeropleales Neochloridaceae Planktosphaeria

10 Charophyta Conjugatophyceae Desmidiales Desmidiaceae Docidium 11 Heterokontophyta Coscinodiscophyceae Biddulphiales Biddulphiaceae Isthmia

12 Euglenozoa Euglenazoa Euglenales Euglenaceae Euglena

13 Heterokontophyta Fragilariophyceae Fragilariales Fragilariaceae Synedra

14 Cercozoa Imbricatea Euglyphida Euglyphidae Trinema

15 Chlorophyta Ulvophyceae Ulotrichales Ulotrichaceae Ulotrix

16 Zignemophyceae Desmidiales Desmidiaceae Staurastrum

17 Desmidiales Gonatozygaceae Gonatozygon

18 Heterokontophyta Xanthophyceae Tribonematales Tribonemataceae Tribonema 19 Charophyta Zignematophyceae Zygnematales Zygnemataceae Spirogyra

Tabel 3. Lanjutan Klasifikasi Plankton

20 Tubulinea Arcellinida Difflugina Difflugiidae Difflugia

21 Arthropoda Branchiopoda Cladocera Bosminidae Bosmina

22 Rotifera Eurotatoria Flosculariaceae Filinidae Filinia

23 Ploima Mytilinidae Mytilina

24 Eurotifera Ploima Brachionidae Keratella

25 Monogononta Ploima Trichocercidae Trichocerca

26 Amoebozoa Lobosea Arcellinida Centropyxidae Centropyxis

27 Arthropoda Maxillopoda Cyclopoida Cyclopidae Cyclops

28 Calanoida Diaptomidae Diaptomus

29 Ciliophora Phyllopharyngea Cyrtophorida Chilodonellidae Chilodonella

Bentuk-bentuk plankton secara mikroskopis yang dominan dijumpai yaitu dari kelas Bacillariopiceae dan Clorophyceae dapat dilihat pada Gambar 4.

Chaetoceros Cymbella Rhopalodia

Neidium Nitzchia Hydrodiction

Pediastrum Volvox Planktosphaeria

Gambar 4. Foto Plankton

Nilai kelimpahan plankton di setiap stasiun penelitian dicantumkan pada Gambar 5. Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa kelimpahan plankton pada stasiun I yaitu di Kelurahan Haranggaol Horison memiliki kelimpahan plankton yang lebih tinggi yaitu 5812,66 ind/l sedangkan pada stasiun II yaitu di Kelurahan Batu Papan memiliki kelimpahan plankton sebesar 4140,66 ind/l. Jumlah

Gambar 5. Grafik Kelimpahan Plankton di setiap Stasiun Penelitian

Indeks Keanekaragaman genus (H'), Keseragaman (E), Dominansi (

λ

) Plankton

Nilai dari indeks keanekaragaman genus (H'), keseragaman (E) berikut dominansi (

λ

) plankton dicantumkan pada Tabel 3.

Tabel 4. Indeks Keanekaragaman genus (H’), Keseragaman (E), Dominansi (

λ

) Plankton Indeks Stasiun I II H' 3,08 3,38 E 0,34 0,39

λ

0,04 0,04 Keterangan:

Stasiun I : Daerah budidaya keramba jaring apung Stasiun II : Daerah tanpa budidaya keramba jaring apung

Dari Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman genus (H') pada stasiun I adalah 3,08 dan pada stasiun II adalah 3,38. Hal ini menunjukkan bahwa stabilitas komunitas biota sedang turun atau kualitas air tercemar sedang. Menurut Odum (1996), kisaran nilai indeks keanekaragaman adalah bila H' < 2,306 menunjukkan keanekaragaman rendah (komunitas biota

0 500 1000 1500 2000 2500

KJA Tanpa KJA

K e li m pa ha n P la nk to n (i nd/ L)

tidak stabil), apabila 2,306 <H' < 6,9076 menunjukkan bahwa keanekaragaman sedang (komunitas biota sedang), dan apabila H' > 6,9078 menunjukkan bahwa keanekaragaman tinggi (komunitas biota bagus).

Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun II dengan nilai 0,39 sedangkan indeks keseragaman terendah pada stasiun. Menurut Odum (1996), 0 < E< 0,4 menunjukkan keseragaman rendah, 0,4 < E < 0,6 menunjukkan keseragaman sedang dan E > 0,6 menunjukkan keseragaman tinggi, artinya penyebaran individu tersebut mendekati merata atau tidak ada spesies yang mendominasi.

Nilai indeks dominansi yang terdapat pada stasiun I dan stasiun II memiliki nilai yang sama yaitu 0,04. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun I dan stasiun II tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. Menurut Odum (1996), apabila nilai kisaran indeks dominansi

λ

= 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil, dan apabila

λ

= 1, berarti terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologi.

Parameter Fisika Kimia Penunjang Kesuburan Perairan dan Analisis Regresi dengan Kelimpahan Plankton

Parameter fisika kimia penunjang kesuburan perairan dicantumkan pada Tabel 5 dan analisis regresi kelimpahan plankton dengan faktor fisika kimia perairan pada Tabel 6.

Tabel 5. Nilai Parameter Fisika Kimia Perairan

No Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II

Fisika 1 Suhu oC 26 – 27 26 – 28 2 Kecerahan m 3 – 5 3 – 6,3 3 Kekeruhan NTU 0,22 – 3,31 0,12 – 0,43 Kimia 4 DO mg/l 4 – 6,3 5,5 – 6,5 5 BOD5 mg/l 1,0 – 2,0 0,4 – 0,9 6 pH - 7,4 – 8,2 7,4 – 8,3 7 Nitrat mg/l 0,29 – 0,81 0,12 – 0,44 8 Nitrit mg/l 0,001 – 0,009 0,001 – 0,005 9 Amoniak mg/l 0,12 – 0,23 0,11 – 0,16 10 Fosfat mg/l 0,08 – 0,18 0,05 – 0,06 Keterangan:

Stasiun I : Daerah budidaya keramba jaring apung Stasiun II : Daerah tanpa budidaya keramba jaring apung

Berdasarkan data pada Tabel 5 parameter fisika, kisaran suhu pada stasiun I lebih rendah yaitu 2627 oC dan pada stasiun II yaitu 26–28 oC sedangkan pada kecerahan stasiun I juga lebih rendah yaitu berkisar 3–5 m dan pada stasiun II yaitu 3–6,3 m. Nilai kekeruhan pada stasiun I lebih tinggi yaitu 0,22–3,31 NTU dan untuk stasiun II adalah 0,120,43 NTU, hal ini disebabkan karena stasiun I merupakan daerah yang terdapat budidaya keramba jaring apung. Pengukuran pada parameter kimia yaitu DO (Dissolved Oxygen) di stasiun I lebih rendah dari stasiun II, nilai DO pada stasiun I adalah 46,3 mg/l sedangkan pada stasiun II yaitu 5,56,5 mg/l. nilai pH pada stasiun I dan stasiun II tidak jauh berbeda kisaran nilai terendah dan tertingginya yaitu 7,48,3.

Nilai nitrat terendah terdapat pada stasiun II yaitu 0,120,44 mg/l dan pada stasiun I yaitu 0,290,81 mg/l. Hal ini disebabkan karena stasiun I berada pada daerah budidaya keramba jaring apung dan dekat dengan aktivitas penduduk maka buangan limbah domestik yang mengandung amoniak jelas akan menyebabkan jumlah nitrat menjadi lebih tinggi.

Nilai nitrit pada stasiun I lebih tinggi dibandingkan stasiun II. Kandungan nitrit yang tinggi pada stasiun I karena adanya buangan limbah organik dan sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan yang berada dikeramba jaring apung, sedangkan pada stasiun II lebih rendah mengindikasikan bahwa nitrogen lebih

banyak terdapat dalam bentuk amoniak. Nilai nitrit pada stasiun I yaitu 0,0010,009 mg/l dan pada stasiun II yaitu 0,001–0,005 mg/l.

Dari Tabel 5 dapat dilihat kandungan amoniak terendah terdapat pada stasiun II dengan nilai 0,11–0,16 mg/l dan pada stasiun II dengan nilai 0,12–0,23 mg/l, sedangkan untuk kandungan fosfat tertinggi terdapat pada stasiun I dengan nilai 0,08–0,18 mg/l dan pada stasiun II dengan nilai 0,05–0,06 mg/l.

Analisis regresi antara faktor fisika kimia dengan indeks kelimpahan plankton pada stasiun I dapat dilihat pada Lampiran 13 dan analisis regresi antara faktor fisika kimia dengan indeks kelimpahan plankton pada stasiun II dapat dilihat pada Lampiran 14.

Tabel 6. Analisis Regresi Kelimpahan Plankton dengan Faktor Fisika Kimia Perairan

Stasiun

Pengamatan Faktor Y Faktor X Regresi Korelasi Suhu y = -2161x + 58742 0,850 0,922 Kecerahan y = -652.8x + 4441 0,637 0,798 Kekeruhan y = -1488x + 6840 0,309 0,556 DO y = -1458x + 9190 0,954 0,977 Stasiun I Kelimpahan BOD5 y = -351.2x + 2206 0,005 0,071 Plankton pH y = -1603x + 14052 0,805 0,897 Nitrat y = 7168x – 2448 0,19 0,436 Nitrit y = 29547x + 341.3 0,374 0,612 Amoniak y = 25886x – 3238 0,77 0,877 Fosfat y = 62100x – 6017 0,347 0,589 Suhu y = 13.74x + 663.5 0,477 0.691 Kecerahan y = -6.672x + 1067 0,461 0,679 Kekeruhan y = -333.3x + 1128 0,559 0,748 DO y = -103.3x + 1658 0,597 0,773 Stasiun II Kelimpahan BOD5 y = -56.38x + 1066 0,414 0,643 Plankton pH y = -5.419x + 1077 0,022 0,148 Nitrat y = 113.4x + 993.4 0,225 0,474 Nitrit y = 12000x + 1011 0,805 0,897 Amoniak y = 2155x + 749.5 0,974 0,987

B. Pembahasan

Klasifikasi dan Struktur Komunitas Plankton

Kelas Bacillariophyceace dan Chlorophyceae merupakan penyusun utama komunitas plankton pada kedua stasiun. Hasil yang sama tersebut juga ditemukan oleh Mujiyanto, dkk. (2011) di daerah keramba jaring apung (KJA) di waduk Ir. H. Djuanda, Yazwar (2008) di Parapat Danau Toba, dan Rokhim, dkk (2009) di perairan Kecamatan Kwanyar Kabupten Bangkalan. Kondisi ini merupakan hal yang umum terjadi perairan umum. Menurut Seller dan Markland (1987) diacu oleh Mujiyanto, dkk. (2011), komunitas fitoplankton di perairan waduk dan danau cenderung didominasi oleh jenis-jenis dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae dan Bacillariophyceae.

Pada Kelas Bacillariophyceace terdapat 5 genus yaitu Chaetoceros, Cymbella, Rophalodia, Neidium dan Neidium. Kelimpahan tertinggi terdapat pada genus Chaetoceros dan yang terendah pada genus Cymbella. Sedangkan pada kelas Chlorophyceae terdapat 4 genus yaitu Hydrodictyon, Pediastrum, Volvox dan Planktosphaeria. Kelimpahan tertinggi pada kelas Chlorophyceae yaitu pada genus Planktosphaeria dan yang terendah terdapat pada genus Hydrodictyon. Sachlan (1982) diacu oleh Mujiyanto, dkk. (2011) menjelaskan bahwa distribusi fitoplankton di suatu perairan baik spasial maupun temporal mempunyai variasi yang beranekaragam.

Terdapat perbedaan jumlah pada fitoplankton dan zooplankton pada kedua stasiun pengamatan yang dilakukan di Danau Toba Kecamatan Haranggaol, Kabupaten Simalungun (Gambar 3), dimana terdapat 19 genus pada fitoplankton dan zooplankton 11 genus, sehingga kelimpahan fitoplankton lebih tinggi dari

zooplankton. Fitoplankton dalam ekosistem perairan mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan pada produksi primer suatu perairan. Menurut Sumich (1992), sebagai produsen primer, fitoplankton berperan sebagai penghasil oksigen dan bahan makanan bagi organisme perairan lainnya.

Berdasarkan hasil pengamatan dengan 4 kali pengambilan sampel di Danau Toba Kecamatan Haranggaol, Kabupaten Simalungun, terdapat perbedaan jumlah kelimpahan plankton pada stasiun I dan stasiun II. Kelimpahan plankton pada stasiun I yaitu 5812,66 ind/l dan pada stasiun II yaitu 4140,66 ind/l. Kelimpahan plankton pada stasiun I lebih tinggi diduga karena pada stasiun I terdapat aktivitas budidaya keramba jaring apung, dimana terdapat akumulasi sisa-sisa pemberian pakan yang tidak termakan oleh ikan, feses dan ikan mati yang banyak mengandung nitrogen dan fosfor mampu memicu pertumbuhan plankton. Menurut Boyd (1982) diacu oleh Yosmaniar (2010), nitrogen dan fosfor merupakan unsur yang dibutuhkan oleh fitoplankton, berperan penting dalam produktivitas primer pada ekosistem akuatik.

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa plankton yang paling banyak dijumpai adalah dari kelas Bacillariophyceace terdiri atas 5 genus yaitu Chaetoceros, Cymbella, Rophalodia, Neidium dan Neidium. Bila ditinjau dari keadaan biologisnya kelas Bacillariophyceace merupakan jenis plankton diatom menurut Newel (1963). Menurut Nontji (1993), jenis fitoplankton yang paling umum dijumpai di perairan dalam jumlah besar adalah diatom. Distribusi plankton diatom banyak ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Nybakken (1992) juga menyatakan fitoplankton yang

berukuran besar dan biasanya tertangkap oleh jaring plankton terdiri atas dua kelompok besar yaitu diatom dan dinoflagellata. Namun, di Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun tidak dijumpai adanya plankton dinoflagelata, karena dinoflagelata biasa dijumpai di lautan walaupun ada juga di perairan tawar populasinya bergantung pada suhu, kadar garam dan kedalaman laut. Contoh perhitungan kelimpahan plankton dapat dilihat pada Lampiran 12.

Indeks Keanekaragaman genus (H'), Keseragaman (E), Dominansi (

λ

) Plankton

Indeks keanekaragaman genus (H') selama pengamatan diperoleh nilai 3,08 pada stasiun I dan 3,38 pada stasiun II. Pada stasiun II merupakan daerah tidak terdapat adanya aktivitas budidaya keramba jaring apung. Meskipun pada stasiun I merupakan daerah budidaya keramba jaring apung namun keanekaragaman plankton pada stasiun I dan stasiun II masih tergolong sedang. Menurut Odum (1996), apabila 2,306 < H' < 6,9076 maka keanekaragaman sedang (komunitas biota sedang).

Nilai indeks keseragaman yang terdapat pada stasiun I dan stasiun II tidak jauh berbeda yaitu 0,34 pada stasiun I dan 0,39 pada stasiun II. Hal ini menunjukkan nilai indeks keseragamannya rendah, dimana pola sebaran individu hampir merata sehingga tidak ditemukan adanya dominansi spesies tertentu pada

kedua stasiun. Odum (1996) mengatakan kisaran indeks keseragaman antara 0 sampai 1, semakin kecil nilai keseragaman (mendekati nol) menunjukan bahwa

penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak sama. Sebaliknya jika nilai keseragaman semakin besar (mendekati 1) maka populasi akan menunjukkan

keseragaman (jumlah individu tiap genus dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda).

Berdasarkan hasil pengamatan pada indeks dominansi (Tabel 4), nilai indeks dominansi stasiun I dan stasiun II sama yaitu 0,04. Hal ini menunjukkan tidak ada spesies yang mendominasi pada daerah budidaya keramba jaring apung dan daerah dimana tidak terdapat aktivitas keramba jaring apung. Menurut Odum (1996), indeks dominansi berkisar antara 0 sampai 1, dimana semakin kecil nilai indeks dominansi maka menunjukan bahwa tidak ada spesies yang mendominsi sebaliknya semakin besar dominansi maka menunjukan ada spesies tertentu.

Menurut Krebs (1978) diacu oleh Samino (2004), keanekaragaman genus digunakan untuk mengukur stabilitas suatu ekosistem. Dari segi ekologi, jumlah jenis dalam suatu ekosistem adalah penting karena keanekaragaman jenis tampaknya bertambah bila komunitas menjadi makin stabil. Hal ini berarti bahwa semakin besar nilai indeks keanekaragaman jenis organisme pada perairan Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun, maka semakin besar pula tingkat stabilitas organisme tersebut di dalam perairan. Nilai indeks keseragaman (E) adalah 0,34 pada stasiun I dan 0,39 pada stasiun II. Semakin mendekati satu nilai indeks keseragaman menggambarkan semakin seragamnya populasi yang ada.

Parameter Fisika Kimia Penunjang Kesuburan Perairan dan Analisis Regresi dengan Kelimpahan Plankton

Suhu

Pada pengamatan parameter fisika (Tabel 4) dalam empat kali pengambilan sampel, pada stasiun I didapat suhu antara 26–27oC dan pada stasiun

II yaitu 26–28oC. Adanya perbedaan suhu pada stasiun I dan stasiun II diduga karena pada saat pengamatan di lapangan terjadi hujan di stasiun I namun pada saat pengamatan di stasiun II tidak terjadi hujan. Secara keseluruhan suhu 26–28oC sudah cukup optimal bagi pertumbuhan plankton. Menurut Nybakken (1992), kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan plankton di perairan adalah 20–30oC.

Menurut Effendi (2003), peningkatan suhu akan menyebabkan peningkatan kecepatan proses metabolisme sel dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan dekomposisi bahan organik mikroba. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan plankton adalah antara 20–30°C. Suhu di Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun berdasarkan hasil penelitian berkisar antara 26–28ºC (Tabel 5), sehingga berdasarkan keterangan di atas maka dapat dikatakan bahwa suhu di perairan Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun masih optimum untuk pertumbuhan plankton.

Perubahan suhu yang ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan dapat menyebabkan kematian. Satu di antara beberapa faktor yang sangat penting dalam proses metabolisme organisme di perairan adalah suhu. Hasil regresi kelimpahan plankton dengan suhu pada stasiun I yaitu y = -2161x + 58742 dengan nilai R2 sebesar 0,850 dan pada stasiun II yaitu y = 13.74x + 663.5 dengan nilai R2 sebesar 0,477. Tingginya pengaruh suhu pada stasiun I dikarenakan pengaruh berbagai aktivitas masyarakat seperti limbah domestik yang langsung di buang ke perairan danau, sisa-sisa zat pertanian dari sungai yang mengalir ke danau dan aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung. Sedangkan pada stasiun

II pengaruh suhu terhadap kelimpahan plankton hanya 47,77%, pada stasiun II merupakan daerah yang tidak terdapat buangan langsung dari limbah domestik masyarakat, bersih dari aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung dan bagian daratannya masih terdapat banyak pepohonan. Korelasi kelimpahan plankton dan suhu stasiun I 0,922 yaitu berhubungan sangat kuat dan stasiun II 0,691 yaitu berhubungan kuat. Suhu suatu perairan dapat mempengaruhi kelulusan hidup organisme yang berada di dalamnya termasuk plankton. Menurut Barus (2004), suhu suatu perairan akan mempengaruhi kelarutan oksigen yang sangat diperlukan organisme akuatik untuk metabolismenya. Semakin tinggi suhu suatu perairan, kelarutan oksigennya semakin menurun.

Kecerahan

Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan padatan tersuspensi, warna air dan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Partikel yang terlarut pada perairan dapat menghambat cahaya yang datang, sehingga dapat menurunkan intensitas cahaya yang tersedia bagi organisme fotosintetik seperti alga, fitoplankton dan hidrophyta lainnya (Odum, 1996).

Hasil pengukuran kecerahan dalam empat kali pengambilan sampel di tiga titik sampling, pada stasiun I didapat kecerahan antara 3–5 m dan pada stasiun II yaitu 3–6,3 m. Regresi kelimpahan plankton dengan kecerahan pada stasiun I yaitu y = -652.8x + 4441 cukup tinggi dengan nilai R2 sebesar 0,637, sedangkan regresi kelimpahan plankton dengan kecerahan pada stasiun II yaitu y = -6.672x + 1067 dengan nilai R2 sebesar 0,461. Korelasi Kelimpahan plankton dan kecerahan stasiun I 0,798 yaitu berhubungan kuat dan stasiun II 0,679 yaitu berhubungan kuat. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun I kecerahan lebih

rendah karena banyaknya padatan terlarut dan padatan tersuspensi yang berasal dari limbah masyarakat dan limbah budidaya ikan keramba jaring apung. Pada stasiun II kecerahan lebih tinggi karena sedikit partikel terlarut dan partikel tersuspensi sehingga warna air lebih bening. Kecerahan yang diperoleh pada kedua stasiun pengamatan masih tergolong layak bagi kehidupan organisme, sebab menurut Nybakken (1992), untuk kepentingan plankton diperlukan kecerahan sekitar 3 (tiga) meter.

Kekeruhan

Berdasarkan hasil pengamatan pada 4 kali pengambilan sampel nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu antara 0,223,31 NTU dan pada stasiun II yaitu hanya 0,120,43 NTU (Tabel 5). Hal ini terlihat jelas bahwa stasiun I memiliki kekeruhan lebih tinggi disebabkan banyaknya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut dari aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air (Effendi, 2003).

Kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun I lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II. Berdasarkan hasil regresi linear, kelimpahan plankton dengan kekeruhan pada stasiun I yaitu y = -1488x + 6840 dengan nilai R2 sebesar 0,3092, sedangkan pada stasiun II yaitu y = -333.3x + 1128 dengan nilai R2 sebesar 0,559. Korelasi Kelimpahan plankton dan kekeruhan stasiun I 0,556 yaitu berhubungan sedang dan stasiun II 0,748 yaitu berhubungan kuat. Pengaruh kekeruhan terhadap kelimpahan plankton lebih tinggi pada stasiun II diduga karena tidak adanya aktivitas yang terdapat pada stasiun II. Menurut Koesbiono (1989), pengaruh

kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok, sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, mengakibatkan produktivitas perairan menjadi turun.

Dissolved Oxygen (DO)

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan nilai kandungan oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun II. Nilai DO pada stasiun II selama pengamatan berkisar antara 5,56,5 mg/l dan pada stasiun I berkisar antara 46,3 mg/l. Menurut Jeffries dan Mills (1996), status kualitas air berdasarkan nilai kadar oksigen terlarut, apabila nilai DO < 2,0 artinya tercemar berat, 2,04,4 artinya tercemar sedang, 4,56,4 artinya tercemar ringan, dan apabila > 6,5 tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun I sudah tercemar ringan dan pada stasiun II tidak tercemar dan (atau) tercemar sangat ringan.

Menurut Wetzel dan Likens (1979), tinggi-rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi oleh faktor suhu, tekanan dan konsentrasi berbagai ion yang terlarut dalam air pada perairan tersebut. Berdasarkan hasil analisis regresi linear, pengaruh DO terhadap kelimpahan plankton pada stasiun I yaitu y = -1458x + 9190 dengan nilai R2 sebesar 0,954 dan pada stasiun II yaitu y = -103.3x + 1658 dengan nilai R2 sebesar 0,597. Korelasi Kelimpahan plankton dan oksigen terlarut stasiun I 0,977 yaitu berhubungan sangat kuat dan stasiun II 0,773 yaitu berhubungan kuat. Hal ini menunjukkan bahwa DO sangat berpengaruh besar terhadap kelimpahan plankton pada stasiun I dan stasiun II.

Kandungan oksigen terlarut di Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun masih tergolong layak dalam mendukung kehidupan

organisme, sebab kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik apabila kandungan oksigen terlarutnya minimal 5 mg/l (Sastrawijaya, 2000).

Biochemical OxygenDemand (BOD5)

Nilai BOD5 yang diukur pada stasiun I berkisar antara 1,02,0 mg/l dan pada stasiun II berkisar antara 0,40,9 mg/l. Biochemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam memecah bahan-bahan organik. Penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan air merupakan suatu proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).

BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologi dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang status kualitas air berdasarkan nilai BOD5 yaitu apabila nilai BOD5 2 mg/l kualitas air kelas I (bahan baku air minum), 3 mg/l kualitas air kelas II (prasarana/sarana rekreasi), 6 mg/l kualitas air kelas III (pembudidayaan ikan air tawar), dan apabila 12 mg/l kualitas air kelas IV (mengairi pertamanan). Hal ini menunjukkan bahwa perairan di Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun pada stasiun I dan stasiun II masih tergolong air kelas I yang dapat diperuntukan sebagai bahan baku air minum.

Hasil analisis regresi kelimpahan plankton dan BOD5 pada stasiun I yaitu y = -351.2x + 2206 dengan nilai R2 sebesar 0,005 dan pada stasiun II yaitu

y = -56.38x + 1066 dengan nilai R2 sebesar 0,414. Korelasi Kelimpahan plankton dan BOD5 stasiun I 0,071 yaitu berhubungan sangat rendah dan stasiun II 0,643 yaitu berhubungan kuat.

Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH yang diukur pada stasiun I berkisar antara 7,48,2 dan pada stasiun II berkisar antara 7,48,3. Nilai pH pada kedua stasiun tidak memiliki perbedaan yang terlalu signifikan. Menurut Michael (1984), derajat keasaman (pH) merupakan faktor lingkungan yang dapat berperan sebagai faktor pembatas pada perairan. Berdasarkan PP Nomor 82 Tahun 2001, untuk parameter pH mempunyai rentang nilai 6–9, adalah kriteria air kelas I. Hal ini menunjukkan bahwa nilai parameter pH pada Danau Toba Kecamatan Haranggaol Kabupaten Simalungun adalah tergolong kriteria air kelas I.

Berdasarkan hasil analisis regresi antara pH dan kelimpahan plankton pada stasiun I yaitu y = -1603.x + 14052 dengan nilai R2 sebesar 0,805 dan pada stasiun II yaitu y = -5.419x + 1077 dengan nilai R2 sebesar 0,022. Korelasi Kelimpahan plankton dan pH stasiun I 0,897 yaitu berhubungan sangat kuat dan stasiun II 0,148 yaitu berhubungan sangat rendah. Pada stasiun I pH lebih berpengaruh besar terhadap kelimpahan plankton yaitu sebesar 80,59% dan 19,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Sedangkan pada stasiun II pH hanya berpengaruh 2,2% terhadap

Dokumen terkait