• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan dan Karakteristik Kelas Menengah

Kalau kita bagi kelas menengah itu menjadi tiga segmen, yaitu low middle- class (pengeluaran per kapita per hari USD 2-4), middle middle-class (USD 4-10), dan upper middle-class (USD 10-20), kita menemukan gambaran yang menarik. Dari total 93 juta kelas menengah pada tahun 2009, sebagian besar atau sekitar 68,8 juta (73.7%) berada di segmen low middle-class, 22.3 juta (23.9%) di middle middle-class, dan hanya 2.2 juta (2.4%) ada di upper middle-class. Dari gambaran itu terlihat bahwa kelas menengah Indonesia memiliki format piramida berbeda dengan kondisi di Tiongkok yang menggembung di tengah.47 Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana komposisi kelas menengah di Indonesia, dalam Tabel 9 terdapat pembagian segmen kelas menengah.

Tabel 9 Segmentasi kelas menengah di Indonesia

Segmentasi kelas Pengeluaran per kapita (Rp/bulan) Proporsi populasi (%) Total populasi (juta) 2003 2010 2003 2010 Kelas menengah bawah 360 000 - 720 000 85.4 68.4 69 90.9 Kelas menengah tengah 720 000 - 1 100 000 13.9 29.3 11.2 38.9 1 100 000 - 1 400 000 Kelas menengah atas 1 400 000 - 3 600 000 0.7 2.3 0.6 3.1 Jumlah 100 100 80.8 132.9

Sumber: Kementerian Keuangan tahun 2012

Apabila kelas menengah tersebut dibagi menjadi kelas menengah bawah (Rp360 000-720 000), kelas menengah (Rp720 000-1 400 000), dan kelas menengah atas (Rp1 400 000-3 600 000), maka kelas menengah bawah mendominasi dengan total populasi pada tahun 2010 sebesar 90.9 juta atau 38.5 persen dari total populasi. Dari keseluruhan jumlah kelas menengah, maka 68.4 persennya termasuk dalam kelas menengah bawah yang rentan miskin dan turun kelas. Sementara 29.3 persen termasuk dalam kelas menengah tengah dan sisanya sebesar 2.3 persen termasuk ke dalam kelas menengah atas.

Terpusatnya kelas menengah di kota menjadi cerminan bahwa tingkat urbanisasi kelas menengah tinggi. Pada tahun 2009, sekitar 63.6 juta (68.2 persen) penduduk kelas menengah ada di kota, sementara sisanya sebesar 29.7 juta (31.8 persen) ada di desa.48 Untuk itu, pemerataan pertumbuhan ekonomi menjadi

47

Yuswohady. Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 97-98.

48

Yuswohady. Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 98.

mendesak dilakukan agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh warga negara.

Melihat perkembangannya yang begitu pesat, kelas menengah dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian bangsa ke depan. Pasar yang sangat besar jika dapat dipenuhi oleh para pelaku dalam negeri maka tentu efeknya akan luar biasa terhadap pembangunan ekonomi. Tetapi ketika kebutuhannya, terutama konsumsi, banyak ditopang oleh produk impor maka bukan tidak mungkin akan menjadi bumerang. Tentunya, perlu dilakukan berbagai upaya agar negara Indonesia yang telah menjadi negara berpendapatan menengah dengan PDB per kapita lebih dari USD 3 000 tidak terjebak dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

Dalam penelitian ini, kelas menengah memiliki berbagai karakteristik sesuai dengan beberapa poin yang menjadi acuan. Responden diambil berdasarkan definisi kelas menengah yang digabungkan dan dipilih berdasarkan kriteria tertentu dan tujuan penelitian (purposive).

Tabel 10 Karakteristik responden

Komponen Uraian Frekuensi Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki 32 55.2

Perempuan 26 44.8 Usia ≤ 30 tahun 18 31.0 31 - 40 tahun 24 41.4 > 40 tahun 16 27.6 Status Menikah 49 84.5 Belum menikah 9 15.5 Pendidikan terakhir S1 40 69.0 S2 16 27.6 S3 2 3.4

Berdasarkan hasil penelitian, 55.2 persen responden berjenis kelamin laki- laki dan 44.8 persen responden berjenis kelamin perempuan. Dimana sebagian besar responden berusia di antara 31 sampai dengan 40 tahun, yaitu sebesar 41.4 persen. Kemudian 31 persen berusia kurang dari sama dengan 30 tahun dan selebihnya sebesar 27.6 persen berusia lebih dari 40 tahun. Sebagai catatan, responden dalam penelitian ini dipilih yang berusia antara 28 sampai dengan 55 tahun. Diketahui 84.5 persen berstatus menikah dan sisanya 15.5 persen belum menikah.

Responden yang diteliti di Kota Bandung adalah mereka yang berpendidikan minimal sarjana. Pendidikan merupakan salah satu indikator yang disebutkan oleh Max Weber tentang kelas menengah. Dari 58 responden, 69 persen berpendidikan sarjana atau S1, 27.6 persen bependidikan magister atau S2 dan sisanya sebesar 3.4 persen berpendidikan doktor atau S3.

Menurut salah satu responden, pendidikan mengubah cara pandang kita. Apabila cara pandang kita semakin terbuka maka jalan pemecahan masalah apapun juga lebih terbuka. Pendidikan sangat berkaitan dengan kehidupan dan

terutama pekerjaan serta akan meningkatkan taraf kehidupan. Mereka yang berpendidikan tinggi akan lebih baik dalam pengambilan keputusan dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah, apalagi ditambah dengan pemahaman dan pengalaman. Meskipun terkadang mereka yang berpendidikan rendah juga bisa melakukan hal yang sama bahkan lebih sehingga ada sebutan pendidikan tidak selalu menjamin.

Di Kota Bandung, angka partisipasi sekolah untuk kelompok usia 19-24 tahun mengalami penurunan secara proporsi dari 30.17 persen pada tahun 2011 menjadi 28.89 persen pada tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa banyak penduduk Kota Bandung yang merasa cukup sampai pendidikan tingkat SMA, sehingga memilih bekerja dibandingkan melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi.49

Lain hal nya dengan kelas menengah yang memandang pendidikan sebagai modal untuk bisa bersaing di era globalisasi ini. Apalagi sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sulit berkompetisi jika tanpa pendidikan tinggi. Meskipun secara khusus pendidikan tinggi juga tidak menjadi jaminan secara personal. Umumnya, pendidikan tinggi S1 untuk kualifikasi, sedangkan S2 ke atas untuk kalangan profesional (sesuai tuntutan profesi). Sebab pendidikan akan mengubah kematangan pola berpikir di samping juga pengetahuan. Pendidikan seharusnya meningkatkan kehidupan intelektual, tetapi secara ekonomi bisa saja tidak, tergantung kemampuan dan perjuangannya dalam berbagai bidang.

Tabel 11 Jumlah keluarga inti bagi dengan status menikah

Jumlah keluarga inti (status menikah) Frekuensi Persentase (%)

2 11 22.0

3 - 4 34 68.0

5 - 6 5 10.0

Bagi responden dengan status menikah, dengan keluarga inti yaitu suami, istri, dan anak, sekitar 68 persen memiliki anak satu atau dua, 22 persen tidak atau belum memiliki anak, dan 10 persen memiliki anak lebih dari dua. Kelas menengah di perkotaan, umumnya memiliki keluarga kecil, dengan jumlah anak maksimal dua.

Tabel 12 Pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)

PNS 17 29.3

Swasta 26 44.8

Wiraswasta 7 12.1

Ibu rumah tangga 3 5.2

Lainnya 5 8.6

49

Profesi menjadi salah satu acuan dalam menentukan responden kelas menengah. Sebanyak 44.8 persen bekerja di sektor swasta (pegawai bank, asuransi, notaris. dokter), 29.3 persen bekerja sebagai pegawai negeri sipil (kementerian/lembaga, pemerintah daerah, guru, peneliti, dosen), 13.8 persen mencakup ibu rumah tangga, pegawai badan usaha milik negara (BUMN), dan lainnya serta sisanya 12.1 persen adalah wiraswasta.

Tabel 13 Pendapatan per bulan

Pendapatan per bulan Frekuensi Persentase (%)

Rp2 000 000 - 4 000 000 23 39.7

Rp4 000 000 - 6 000 000 17 29.3

Rp6 000 000 - 8 000 000 10 17.2

Rp8 000 000 - 10 000 000 8 13.8

Menurut Bank Dunia, kelas menengah dapat diklasifikasikan menurut pengeluaran per kapita per hari. Untuk menentukan besarnya pengeluaran, ditanyakan terlebih dahulu pendapatan per bulan, yang nantinya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Sebesar 39.7 persen responden memilih Rp2 000 000-4 000 000, 29.3 persen memilih Rp4 000 000-6 000 000, 17.2 persen memilih Rp6 000 000-8 000 000, dan sisanya sebesar 13.8 persen memilih Rp8 000 000-10 000 000.

Tabel 14 Pengeluaran rata-rata per bulan

Pengeluaran rata-rata per bulan Frekuensi Persentase (%)

Rp720 000 - 1 440 000 10 17.2

Rp1 440 000 - 2 160 000 7 12.1

Rp2 160 000 - 3 600 000 19 32.8

Rp3 600 000 - 6 000 000 22 37.9

Dengan menggunakan definisi kelas menengah dari Asian Development Bank (ADB) yaitu pengeluaran per kapita per hari sebesar USD 2-20, maka pengeluaran rata-rata per bulan dibagi menjadi tiga segmen yaitu kelas menengah bawah sebesar USD 2-4 (Rp720 000-1 440 000), kelas menengah tengah sebesar USD 4-6 (Rp1 440 000-2 160 000) dan USD 6-10 (Rp2 160 000-3 600 000), dan kelas menengah atas sebesar USD 10-20 (Rp3 600 000-6 000 000), asumsinya 1 dolar AS sama dengan Rp12 000.

Pengeluaran rata-rata per kapita dapat dijadikan acuan dalam menentukan jumlah kelas menengah yang nantinya bermuara pada perilaku konsumsinya. Sebagai gambaran maka digunakan pengeluaran rata-rata per bulan bagi kelas menengah di Kota Bandung yang ditentukan berdasarkan definisi sebelumnya. Sebesar 37.9 persen berpengeluaran Rp3 600 000-6 000 000, 32.8 persen berpengeluaran Rp2 160 000-3 600 000, 17.2 persen berpengeluaran Rp720 000-1 440 000, dan 12.1 persen berpengeluaran Rp1 440 000-2 160 000.

Dari data tersebut sebetulnya sedikit ironis, mengingat mayoritas responden memiliki pengeluaran rata-rata per bulan sebesar Rp2 160 000-Rp3 600 000 dan

Rp.3 600 000-6 000 000. Padahal pendapatan per bulan mayoritas berada di kisaran Rp2 000 000 sampai Rp6 000 000. Hal ini menunjukkan sebagian dari kelas menengah di Kota Bandung memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada pendapatannya. Sumber untuk menutupi pengeluarannya bisa berupa pinjaman atau hutang. Selain itu, keadaan ini agak berbahaya untuk masa depan karena peluang mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan masa depan menjadi kecil.

Kelas menengah di Kota Bandung ini menarik karena mereka adalah kelas yang dulunya tergolong kelas menengah ke bawah. Terjadi perubahan pola konsumsi dalam diri mereka dan keluarganya, khususnya saat sebelum dan setelah krisis ekonomi tahun 1998, seperti hasil wawancara dari seorang responden yang dahulu merasa sulit untuk membeli makanan yang berkualitas (bergizi) karena kecilnya penghasilan. Apalagi untuk membeli pakaian harus menabung cukup lama. Sekarang merasa ada perubahan dan lebih mudah karena penghasilan bertambah dan berbagai faktor, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, sekunder dan tersier.

Sebagian besar responden menjawab ada perubahan, terutama dalam peningkatan kesejahteraan. Sebelum krisis rata-rata belum memiliki penghasilan yang memadai, misalnya hanya sebagai karyawan, atau bahkan belum bekerja sehingga belum punya penghasilan. Lainnya menjawab sama saja karena prinsipnya hidup tidak perlu konsumtif, apa adanya sesuai kebutuhan. Responden lainnya mengatakan adanya krisis moneter tersebut mengubah dirinya menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi suatu masalah. Contohnya dengan banyaknya pengeluaran, maka harus cermat dalam mengelola keuangan. Meskipun penghasilan yang dimiliki membuat mereka lebih mudah memutuskan untuk membeli sesuatu.

Anggapan yang mengatakan bahwa kelas menengah adalah kaum hedonis dan berperilaku konsumtif tidak sepenuhnya benar. Salah satu responden menyebutkan sebenarnya masyarakat bawahlah yang paling merasakan perubahan. Kalangan menengah ke atas tidak akan terlalu terganggu, kecuali mengganggu bisnis mereka. Salah satu responden mengakui bukan tipe orang konsumtif sehingga perubahan hanya sedikit saja. Dalam keluarga pun tidak terlalu neko- neko. Jika itu dibutuhkan, maka dibeli, bukan semata-mata memenuhi keinginan.

Kelas menengah di Kota Bandung ternyata juga memikirkan kehidupan hari tua dan masa depannya. Dari seluruh responden yang diwawancarai, hampir seluruhnya memiliki asuransi dalam berbagai jenis, baik asuransi kesehatan seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, asuransi jiwa dan juga tabungan masa depan, baik tabungan pensiun maupun tabungan pendidikan. Tetapi besarannya bervariasi, ada yang karena sebagai pegawai negeri sehingga sudah ditentukan, ada juga yang berasal dari perusahaan swasta dengan premi yang ditentukan sendiri. Jadi, mereka tidak hanya memikirkan kebutuhan saat ini namun juga masa depan, baik secara individu maupun keluarga.

Tabel 15 Pengeluaran paling besar selama sebulan terakhir

Jenis pengeluaran Frekuensi Persentase (%)

Makanan 29 50.0

Dengan pengeluaran paling besar selama satu bulan terakhir berimbang antara untuk makanan (50 persen) dan bukan makanan (50 persen). Salah satu faktor yang membuat pengeluaran makanan dan bukan makanan berada pada persentase yang sama adalah responden tidak memiliki catatan yang lengkap tentang detil pengeluarannya selama sebulan terakhir sehingga agak sulit membedakan pengeluaran makanan dan bukan makanan.

Berdasarkan data Susenas yang diambil dari Statistik Daerah Kota Bandung 2012, semakin tinggi tingkat kesejahteraan maka konsumsi non makanan lebih besar daripada konsumsi makanan. Pada tahun 2012 pengeluaran makanan sebanyak 42.13 persen, menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai 47.77 persen, sedangkan pengeluaran non makanan mecapai 57.87 persen, meningkat 5.64 persen dari tahun 2011.

Tabel 16 Pengeluaran rekening listrik rata-rata per bulan

Rekening listrik rata-rata per bulan Frekuensi Persentase (%)

<Rp250 000 34 58.6

Rp250 000-500 000 17 29.3

Rp500 000-750 000 4 6.9

>Rp750 000 3 5.2

Rekening listrik kelas menengah di Kota Bandung sebagian besar yaitu 58.6 persen sebesar kurang dari Rp250 000. Sebesar 29.3 persen memiliki rekening listrik Rp250 000-500 000, sisanya sebesar 6.9 persen dan 5.2 persen masing- masing untuk Rp500 000-750 000 dan >Rp750 000. Terlihat bahwa pos pengeluaran untuk rekening listrik tidak terlalu besar dan cenderung rendah karena di bawah Rp250 000.

Tabel 17 Akses pada layanan kesehatan

Akses pada layanan kesehatan Frekuensi Persentase (%)

Memadai 56 96.6

Tidak memadai 2 3.4

Dalam mengakses layanan kesehatan, maksudnya terjangkau secara lokasi, administrasi, dan biaya, hampir semua responden kelas menengah di Kota Bandung menjawab memadai yaitu sebesar 96.6 persen. Hanya 3.4 persen yang menjawab akses pada layanan kesehatan tidak memadai. Angka ini menunjukkan bahwa kelas menengah di Bandung mampu secara materi maupun non materi untuk memenuhi kebutuhannya di bidang kesehatan. Baik untuk berobat maupun check-up, sekalipun dalam keadaan yang terdesak. Hal ini menandakan akses terhadap layanan kesehatan bagi kelas menengah di Kota Bandung relatif baik. Meskipun dalam praktiknya digunakan jalur yang berbeda-beda, mulai dari BPJS Kesehatan, asuransi kesehatan, dan lainnya.

Peran Kelas Menengah

Menurut berbagai kajian yang dilakukan, pada dasarnya kelas menengah memiliki peran terhadap bangsa. Dari hasil penelitian, peran-peran tersebut dikerucutkan menjadi peran sebagai konsumen, wirausahawan, dan agen perubahan yang mana pada akhirnya memberikan sumbangsih dalam pembangunan ekonomi dan demokrasi. Berikut adalah hasil penelitian tentang kelas menengah Kota Bandung ditilik dari perannya.

Konsumen

Menurut pakar pemasaran, Yuswohady, di balik kencangnya perilaku konsumtif kelas menengah, sebenarnya ada kultur yang juga turut merebak. Kultur yang dimaksud adalah knowledgeable dan highly connected. Knowledgeable atau berpengetahuan luas mengacu kepada seseorang yang secara rutin mengakses informasi dari berbagai sumber, baik surat kabar, majalah hingga internet. Dengan mengakses informasi, seseorang akan memperoleh informasi yang diinginkannya dengan mudah.

Sementara itu, highly connected atau sangat terhubung adalah seseorang yang setiap saat terhubung dengan orang lain melalui jejaring sosial seperti Blackberry Messenger, Facebook, Twitter, dan sebagainya. Dua kultur tersebut telah menjadi bagian dari gaya hidup kelompok kelas menengah, di samping kemampuan konsumsi yang tinggi.50

Berpengetahuan luas memungkinkan seseorang bisa mengambil keputusan secara tepat mengenai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Berbagai referensi menjadi acuan bagi seseorang untuk menentukan pilihannya. Seseorang akan dihadapkan pada informasi yang selalu berlimpah setiap saat, baik dibutuhkan maupun tidak. Budaya sangat terhubung membuat seseorang selalu memiliki relasi dengan orang lain dan tidak ada batasan jarak dan waktu. Akibatnya, ada jejaring yang terjadi karena konsumen menjadi penjual (salesman). Promosi dari mulut ke mulut menjadi sebuah tren yang mendorong seseorang semakin gencar melakukan konsumsi.

Berjejalnya informasi, serta semakin tingginya keterhubungan seseorang dengan orang lain menjadikan kelompok kelas menengah menghadapi kompleksitas yang tinggi. Akibatnya, kelompok ini sangat tergantung pada gadget, aplikasi, dan tentunya koneksi internet. Tiga hal tersebut seolah telah menjadi kebutuan primer untuk menunjang berbagai aktivitas dan gaya hidup masyarakat kelas menengah. Berikut adalah tabel tentang kepemilikan gadget atau alat komunikasi dan informasi di kalangan kelas menengah Kota Bandung.

50

Anonim. 2013. Internet: Oksigen Baru Kelas Menengah

http://www.lintasarta.net/OurCompany/NewsandMedia/News/tabid/568/aid/347/language/id- ID/Default.aspx [3 Juni 2014]

Tabel 18 Kepemilikan alat informasi dan komunikasi Kepemilikan Alat (%) Telepon selular Telepon pintar Telepon

rumah Televisi Tablet Laptop

Komputer personal

Tidak memiliki 29.3 12.1 39.7 6.9 53.4 12.1 37.9

Memiliki 70.7 87.9 60.3 93.1 46.6 87.9 62.1

Tabel 18 menggambarkan kepemilikan alat komunikasi dan informasi yang dimiliki oleh responden kelas menengah di Kota Bandung. Untuk telepon selular, telepon pintar, laptop, dan televisi, kepemilikannya mencapai di atas 70 persen. Bahkan untuk telepon pintar dan laptop, hanya 12.1 persen saja yang tidak memilikinya.

Kelas menengah sekarang, terutama di kota-kota besar, adalah mereka yang selalu haus akan informasi. Berdasarkan penelitian, selama satu bulan terakhir responden paling sering mengakses informasi melalui internet (baik menggunakan telepon pintar, tablet, laptop, dan sebagainya) baru diikuti dengan televisi dan surat kabar. Kecenderungan kelas menengah menggunakan internet sebagai sumber informasi adalah karena di era digital seperti saat ini, internet lebih praktis dan mudah digunakan dimana saja. Dengan perangkat canggih yang dimilikinya, maka tidak mengherankan apabila televisi dan surat kabar tidak lagi menjadi pilihan utama dalam mengakses informasi.

Terdapat pola yang saling memengaruhi antara perkembangan gadget dengan kebutuhan masyarakat golongan kelas menengah. Di satu sisi, teknologi baru akan berpengaruh terhadap pola hidup kelompok kelas menengah. Sementara itu di sisi lain, permintaan kelas menengah akan mendorong lahirnya teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan kelompok itu. Perkembangan teknologi informasi dan permintaan kelas menengah terhadap teknologi informasi saling berkejaran. Terkadang, teknologi informasi yang berpengaruh terhadap kelompok ini, namun ada kalanya juga permintaan kelompok kelas menengah yang mendorong munculnya inovasi.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat juga mendorong pentingnya eksistensi kelas menengah di dunia maya. Seperti hal nya di kota-kota besar lainnya, di Bandung sendiri dari data yang dikumpulkan, hampir 90 persen dari responden memiliki akun media sosial. Hanya sebagian kecil yaitu 10.3 persen yang mengaku tidak memiliki akun media sosial.

Tabel 19 Kepemilikan akun media sosial

Kepemilikan Persentase (%) Tidak memiliki 10.3 Memiliki 89.7 Akun (%) Facebook Twitter Tidak memiliki 12.1 48.3 Memiliki 87.9 51.7

Dari responden yang memiliki akun media sosial tersebut, sebanyak 87.9 persen memiliki akun Facebook 87.9 persen dan sebanyak 51.7 persen memiliki akun Twitter 51.7 persen). Hal ini menguatkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah Amerika Serikat, Brazil, dan India serta peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, Brazil, Jepang dan Inggris.51

Data statistik menunjukkan akses internet meningkat 2.32 persen pada 2005 menjadi 30.66 persen pada 2012.52 Bahkan menurut survei Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia tahun 2012 mencapai 63 juta orang atau 24.23 persen dari total populasi negara ini. Tahun 2013, angka itu mencapai 71.19 juta orang. 53 Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.54

Selain memiliki jaringan yang luas dengan akses informasi yang tinggi, kelas menengah juga kerap memenuhi jalan-jalan dengan kendaraan mereka. Di Kota Bandung rata-rata kelas menengahnya memiliki kendaraan bermotor seperti terlihat dalam Tabel 20 berikut ini.

Tabel 20 Kepemilikan kendaraan bermotor

Kepemilikan Kendaraan (%)

Motor Mobil

Tidak memiliki 22.4 31.0

Memiliki 77.6 69.0

Untuk kepemilikan kendaraan bermotor, 77.6 persen menjawab memiliki motor dan 69 persen menjawab memiliki mobil. Terlepas dari apakah mereka memiliki keduanya secara bersama-sama dan berapa jumlah kendaraan yang dimilikinya, tetapi kendaraan bermotor merupakan salah satu simbol tumbuhnya kelas menengah. Tidak hanya di Kota Bandung, tetapi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia, kendaraan bermotor menjadi penyebab kemacetan yang luar biasa jika tidak segera ditangani.

Tabel 21 Kepemilikan kartu kredit

Kepemilikan Persentase (%)

Tidak punya 56.9

Satu atau dua 32.8

Lebih dari dua 10.3

51

Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2013. Kominfo: Pengguna Internet di Indonesia 63 Juta Orang.

http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indone sia+63+Juta+Orang/0/berita_satker#.U56e7pSSxic [3 Juni 2014]

52

Sardan Marbun ed. Satu Dasawarsa Membangun Untuk Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial, 2013), h. 8.

53

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2013. Indonesia Internet Users. http://www.apjii.or.id/v2/read/page/halaman-data/9/statistik.html [3 Juni 2014] 54

Dari segi kepemilikan kartu kredit, sebagian besar responden menjawab tidak memiliki kartu kredit yaitu sebanyak 56.9 persen, sementara yang menjawab memiliki satu atau dua kartu kredit sebesar 32.8 persen, dan hanya 10.3 persen yang menjawab memiliki lebih dari dua kartu kredit. Maraknya penggunaan kartu kredit adalah fenomena yang sedang terjadi di kalangan kelas menengah di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI), tren jumlah kartu kredit yang dimiliki masyarakat Indonesia selama lima tahun terakhir terus meningkat meskipun pertumbuhannya agak menurun. Pada kelas menengah muncul istilah cashless society atau masyarakat dengan transaksi non-tunai.

Untuk mengukur tingkat konsumtivisme masyarakat kelas menengah, perlu dicermati tempat-tempat yang menjadi tujuan ketika mengisi waktu luang (leisure time). Poin ini diurutkan berdasarkan pada frekuensi selama satu tahun terakhir dan juga minat responden sendiri.

Tabel 22 Prioritas tempat tujuan untuk mengisi waktu luang berdasarkan frekuensi dan minat

Tujuan Frekuensi

(setahun terakhir) Minat Pusat perbelanjaan moderen (mal, pasar swalayan, factory

outlet) 2 2

Sarana edukasi dan ruang publik (museum, kebun binatang,

taman buah, perpustakaan, taman kota) 5 4

Tempat makan (restoran, rumah makan) 1 1

Taman hiburan/water park/olahraga (Trans Studio, kolam

renang) 4 5

Luar kota (di dalam negeri) (Jakarta, Bogor, dan lainnya) 3 3

Berdasarkan hasil penelitian, pada saat hari libur, akhir pekan, dan waktu luang di luar pekerjaan tetap, selama satu tahun terakhir responden paling sering pergi ke tempat makan, seperti restoran dan rumah makan. Disusul dengan pergi ke pusat perbelanjaan moderen, seperti mal, pasar swalayan, factory outlet, kemudian rekreasi ke luar kota (domestik), seperti Jakarta, Bogor, dan lainnya, berikutnya rekreasi ke taman hiburan dan atau olahraga, seperti Trans Studio Bandung, kolam renang, dan terakhir ke sarana edukasi dan ruang publik, seperti museum, kebun binatang, perpustakaan, dan taman kota.

Berikutnya apabila diurutkan berdasarkan minat, hasilnya tidak jauh berbeda. Urutan pertama sampai ketiga tetap sama, yang membedakan hanyalah urutan keempat dan kelima dengan posisi terbalik. Jika dianalisis, kelas menengah di Kota Bandung gemar berkunjung ke tempat makan dan pusat perbelanjaan moderen, yang mana biasanya kedua tujuan itu berada dalam tempat yang sama. Sementara sarana edukasi dan ruang publik serta taman hiburan tampaknya kurang terlalu dikunjungi maupun diminati. Sebab, umumnya orang yang berkunjung ke tempat-tempat tersebut adalah wisatawan domestik dari luar kota, seperti Jakarta dan daerah lainnya di sekitar Kota Bandung.

Menurut salah satu responden, kegiatan saat waktu senggang diisi dengan kegiatan yang produktif.

“Saya dari kecil selalu menggunakan waktu luang untuk kegiatan bermanfaat. Misalnya kursus memasak dan membaca buku. Mengisi

waktu luang bisa dengan berkebun atau pergi ke luar kota.”

Dokumen terkait