• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kelas Menengah Di Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Politik: Kasus Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kelas Menengah Di Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi Politik: Kasus Kota Bandung"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KELAS MENENGAH DI INDONESIA

DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK:

KASUS KOTA BANDUNG

ERLANGGA RYANSHA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kelas Menengah di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik: Kasus Kota Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ERLANGGA RYANSHA. Studi Kelas Menengah di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik: Kasus Kota Bandung. Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI.

Kelas menengah Indonesia sering diidentikkan dengan perilaku konsumtif, padahal keberadaannya adalah harapan untuk perubahan sosial. Penelitian ini bertujuan menganalisis perkembangan, karakteristik, dan peran kelas menengah di Indonesia dalam pembangunan demokrasi dan ekonomi. Penelitian dilakukan di Kota Bandung sebagai potret kelas menengah di Indonesia. Sampel yang diambil disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu laki-laki dan perempuan berdomisili di Kota Bandung, rentang usia antara 18 hingga 55 tahun, berpendidikan minimal sarjana, dan berpendapatan Rp2 000 000 sampai Rp10 000 000. Metode penelitian yang digunakan adalah stastistika deskriptif dan analisis pendekatan kualitatif dan kuantitatif.. Hasil penelitian menunjukkan kelas menengah Kota Bandung banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja dan memiliki jiwa sosial tinggi, terlihat dari gerakan sosial yang diikutinya. Walaupun pekerjaan, pendapatan, dan pengeluaran rata-rata per bulan tidak memiliki hubungan positif dan signifikan dengan keterlibatan dalam perubahan sosial sementara jenis kelamin dan pendidikan sebaliknya. Kelas menengah sebagai pengguna media sosial aktif punya peranan yang besar untuk menjadi opinion leader. Namun, perlu didorong untuk menciptakan perilaku kolektif tanpa hanya mengandalkan kesadaran pribadi.

Kata kunci: demokrasi, ekonomi, kelas menengah, konsumsi, Kota Bandung

ABSTRACT

ERLANGGA RYANSHA. Study of Middle Class in Indonesia in the Perspective of Political Economy: The Case of Bandung. Supervised by DIDIN S. DAMANHURI.

Indonesian middle class often identified with consumer behavior while its existence is the hope for social change. This study aims to analyze the development, characteristics, and the role of Indonesian middle class in the development of democracy and economy. This research was conducted in Bandung as a portrait of the middle class in Indonesia. Samples taken adapted to the purpose of the research, men and women living in Bandung, 18 to 55 years, at least hold bachelor degree, and revenues between Rp2 000 000 up to 10 000 000. The methods used are descriptive statistics and the analysis of qualitative and quantitative approach. The results show the middle class spends more time at work and have high social life according to social movements they followed. Although the results of work, income, and average expenses per month does not have a positive and significant relationship with involvement in social change on the contrary to gender and education. Middle class as active users of social media has a big role to become opinion leaders. Although it should be encouraged to create collective behavior without just relying on personal awareness.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

STUDI KELAS MENENGAH DI INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK: KASUS KOTA

BANDUNG

ERLANGGA RYANSHA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Studi Kelas Menengah di Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Poltik: Kasus Kota Bandung” dengan waktu penelitian yang dimulai sejak bulan Februari sampai dengan April 2014.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan ungkapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu, baik moril maupun materi, serta memberikan kritik, saran, dan dukungan dalam persiapan, pelaksanaan maupun penyusunan skripsi ini, terutama kepada:

1. Orang tua penulis Ir. Iryan Kusmarachmat dan Ir. Cut Syahnaz, M.Sc. serta kakak penulis Ersha Ezaryan, S.E. yang tiada hentinya memberikan dukungan.

2. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua masukan, transfer ilmu, serta bimbingannya yang sangat berharga bagi penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan dukungannya selama penulis berada di bangku kuliah.

4. Ibu Dr. Wiwiek Rindayati sebagai penguji utama dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si. selaku komisi pendidikan atas segala kritikan dan masukannya yang membangun sehingga penulis mendapat tambahan pengetahuan baru serta dapat mengetahui kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi.

5. Ibu Dr. Henny Warsilah atas kesediaan waktunya memberikan masukan dan inspirasi kepada penulis tentang penelitian.

6. Teman-teman satu bimbingan, Khoerul, Ikhsan, dan Candri yang berjuang bersama sampai skripsi ini selesai.

7. Keluarga Ekonomi Studi Pembangunan 47, khususnya sahabat penulis, Fazri, Alfin, Chika, Pupu, Uke, Tika, Fida, Amel, Heni, Dwiki, Dian, Arti, Yunus, Lia, Ayu, Angga, Nina, Ganis, Penny, Nindy, Dessy, Silvia, Kautsar, Carmin, Nicco, Ramdhani, dan lain-lain.

8. Sahabat-sahabat di Institut Pertanian Bogor, semenjak asrama, TPB, maupun di fakultas, Faqih, Asa, Fauziyah, Aldesta, Wildan, Taufiq, Faridh, Mutty, Qonita, Nurul, Rindang, serta adik-adik di FEM, Dody, Aldi, Meliana, Imam dan lain-lain yang punya banyak kisah indah bersama.

(10)

10.Keluarga di Bandung yang telah bersedia direpotkan dan dengan penuh ketulusan memberikan bantuan. Tanpa mereka skripsi ini mustahil dapat terselesaikan.

11.Teman-teman di Forum Indonesia Muda, khususnya Regional Bogor, dan XL Future Leaders Batch 2, khususnya Kelas Jakarta 1, atas ilmu dan pengalamannya yang tak tergantikan.

12.Semua pihak yang mohon maaf tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Tetapi percayalah segala bentuk dukungannya luar biasa berarti. Hanya Allah yang dapat membalas kebaikan-kebaikan kalian.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA 7

Ekonomi Politik 7

Kelas 8

Kelas Menengah 9

Konsumen 10

Wirausahawan 11

Agen Perubahan 12

Kelas Menengah di Indonesia 13

Penelitian Terdahulu 15

Kerangka Pemikiran 17

METODE 19

Pendahuluan 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 19

Metode Pengambilan Sampel 20

Metode Analisis dan Pengolahan Data 20

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 22

Perkembangan Wilayah dan Kependudukan di Kota Bandung 22

Perkembangan Pembangunan di Kota Bandung 25

Produk Domestik Regional Bruto 25

Pertumbuhan Ekonomi 26

(12)

Ketenagakerjaan dan Pendidikan Masyarakat 27

Pengeluaran Penduduk 29

Indikator Makro 30

Jumlah Usaha 31

HASIL DAN PEMBAHASAN 32

Perkembangan dan Karakteristik Kelas Menengah 32

Peran Kelas Menengah 38

Konsumen 38

Wirausahawan 42

Agen Perubahan 45

Partisipasi Politik 45

Inisiator Perubahan Sosial dan Gerakan Sosial 48

Keterlibatan dalam Masyarakat 49

Pandangan terhadap Demokrasi 52

Pandangan terhadap Ekonomi 54

Kepuasan dan Partisipasi terhadap Pemerintah Kota 56

Respons dan Langkah Nyata 58

Hubungan Karakteristik Responden dengan Perubahan Sosial 60

SIMPULAN DAN SARAN 60

Simpulan 60

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 65

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan jumlah kelas menengah di Indonesia 13 2 Daftar kecamatan, jumlah kelurahan, jumlah penduduk tahun 2013

dan jumlah rumah tangga tahun 2012 di Kota Bandung 23 3 Pendapatan domestik regional bruto Kota Bandung menurut lapangan

usaha atas dasar harga berlaku (dalam juta rupiah) 25 4 Pendapatan domestik regional bruto Kota Bandung per kapita 25 5 Indikator ketenagakerjaan dan pendidikan Kota Bandung 27 6 Kelompok pengeluaran rumah tangga per bulan tahun 2012 29

7 Indikator makro Kota Bandung 30

8 Potensi jumlah usaha kecil dan menengah serta stastistik industri

Kota Bandung 31

9 Segmentasi kelas menengah di Indonesia 32

10 Karakteristik responden 33

11 Jumlah keluarga inti bagi dengan status menikah 34

12 Pekerjaan 34

13 Pendapatan per bulan 35

14 Pengeluaran rata-rata per bulan 35

15 Pengeluaran paling besar selama sebulan terakhir 36 16 Pengeluaran rekening listrik rata-rata per bulan 37

17 Akses pada layanan kesehatan 37

18 Kepemilikan alat informasi dan komunikasi 39

19 Kepemilikan akun media sosial 39

20 Kepemilikan kendaraan bermotor 40

21 Kepemilikan kartu kredit 40

22 Prioritas tempat tujuan untuk mengisi waktu luang berdasarkan

frekuensi dan minat 41

23 Rata-rata waktu kerja per hari 42

24 Kepemilikan usaha 43

25 Data kepemilikan usaha 43

26 Penggunaan hak pilih pada pemilihan umum tahun 2014 46 27 Penggunaan hak pilih pada pemilihan umum sebelumnya 46 28 Penggunaan hak pilih pada pemilihan kepala daerah 47 29 Inisiator organisasi, komunitas, atau gerakan untuk menciptakan

perubahan sosial secara individu ataupun kolektif 48

30 Partisipasi dalam gerakan sosial 49

31 Keikutsertaan atau keanggotaan dalam komunitas, organisasi sosial,

dan organisasi politik 50

32 Keikutsertaan sebagai simpatisan partai politik 52

33 Pandangan terhadap demokrasi 53

34 Prioritas dalam demokrasi 53

35 Pandangan terhadap ekonomi 55

36 Prioritas dalam ekonomi 55

37 Kepuasan terhadap kinerja Pemerintah Kota Bandung 57

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Kelas menengah Indonesia 14

2 Kerangka pemikiran 18

3 Peta Kota Bandung 24

4 Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bandung tahun 2008–2012 dan perbandingannya dengan tingkat nasional (%) 26 5 Perkembangan pengeluaran makanan dan non makanan 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 65

2 Daftar pertanyaan wawancara mendalam 76

3 Hasil pengolahan Minitab 77

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mengelompokkan masyarakat dalam tingkatan atau strata bukanlah suatu perkara yang mudah. Di Indonesia, pembagian tingkatan tersebut didasarkan pada latar belakang sosial, gaya hidup, ataupun dari lingkungan pergaulannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah ini lazim disebut sebagai kelas sosial. Jika merujuk kepada Bank Dunia, maka kelas sosial dibagi berdasarkan tingkatan pengeluaran. Sementara, menurut Marx, ada dua kelompok besar dalam kapitalisme, yaitu para pekerja yang menjual tenaga buruh dan para kapitalis yang memiliki alat-alat produksi.1

Upaya pengelompokan strata sosial setidaknya terkait dengan tiga kepentingan. Pertama, kelas sebagai agregat politik. Perbedaan dalam pandangan ataupun sikap politik seseorang dipengaruhi oleh posisinya dalam strata sosial. Oleh karena itu, mengetahui karakteristik kelas dengan jumlah anggota terbesar adalah penting untuk menentukan strategi kampanye apa yang paling cocok dilakukan oleh kandidat calon pemimpin. Kelas terbesar juga menjadi perhatian utama ketika dikaitkan dengan perubahan sosial.

Kedua, berkaitan dengan segmentasi pasar. Sejak produksi barang-barang penunjang gaya hidup semakin banyak diciptakan, mengetahui karakteristik tiap kelas menjadi penting agar penetrasi pasar lebih efektif. Segmentasi terhadap penonton televisi, misalnya, akan membantu industri televisi menentukan jenis program apa yang cocok dengan karakter penontonnya.

Pemetaan terhadap daya beli kelas menengah atau atas akan berguna untuk menentukan seberapa besar pasokan barang-barang mewah dapat terserap ke dalam pasar. Dalam dimensi pasar, kelas menengah ke atas menjadi perhatian serius karena menjadi potensi besar pasar komoditas gaya hidup.

Ketiga, berhubungan dengan persoalan kesejahteraan, yang urusannya kerap dikaitkan dengan kinerja pemerintahan. Dalam dimensi ini, yang paling penting adalah memperoleh informasi tentang kelas miskin, yaitu mengetahui seberapa besar jumlah orang miskin dan rawan miskin yang layak mendapat bantuan. Oleh karena itu, kelas miskin menjadi sorotan utama daripada kelas-kelas lain.2

Secara teoritis, upaya pengelompokkan kelas sosial tersebut sebenarnya tergantung pada pengakuan. Hal ini mendorong terjadinya kesadaran kelas seperti yang disebutkan oleh Karl Marx. Agar kesadaran kelas yang mampu menghasilkan agenda politik bisa terbentuk, pendekatan Marxian menetapkan bahwa ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, bahwa individu-individu dalam kelas itu harus memandang kondisi dirinya sebagai bagian dari konteks yang lebih luas, dan memahami hubungan antara kondisi pribadinya dengan situasi yang dialami oleh orang-orang lain dari kelas yang sama. Kedua, kelas

1

Didin S. Damanhuri. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press, 2010), h. 44-45.

2

Bambang Setiawan. 2012. Siapa Kelas Menengah Indonesia?.

(16)

yang sudah terbentuk dengan cara seperti ini kemudian harus menerjemahkan kepentingan ekonomi pribadi dari masing-masing anggotanya menjadi sebuah agenda politik, di mana ini berarti bahwa kepentingan dari kelas itu harus memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan kepentingan umum yang dapat berlaku bagi masyarakat secara keseluruhan (dan bukan cuma bagi pribadi saja).3

Menelusuri fakta yang berkembang di Indonesia, fenomena munculnya

kelas “baru” memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan dewasa ini. Tidak hanya di kalangan akademisi dan media, tetapi juga para pelaku usaha yang mengaku sangat diuntungkan dengan keberadaan kelas tersebut. Itulah kelas menengah Indonesia yang menjadi fenomena atau bahkan primadona di tengah guncangan krisis yang terjadi di Amerika, Eropa, dan juga Asia. Kelas menengah disebut-sebut sebagai penyelamat negeri ini karena kontribusinya di sektor konsumsi yang demikian besar dan turut memicu pergeseran dalam struktur sosial masyarakat.

Fenomena kemunculannya di Indonesia tidak terlepas dari konteks Indonesia yang menjadi perhatian dunia dengan peningkatan ekonominya secara grafik sebagaimana dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik. Laporan pertumbuhan golongan kelas menengah dalam ekonomi Indonesia didasarkan pada analisis Bank Dunia dengan kriteria penggolongan pengeluaran tertentu. Pengeluaran per hari di bawah 2 dollar AS dalam penelitian ini digolongkan sebagai kelas miskin atau sangat bawah, USD 2-4 kelas menengah bawah, USD 4-10, kelas menengah, USD 10-20 mencerminkan kelas menengah atas, dan di atas USD 20 mewakili kelas atas.4

Tumbuhnya kelas menengah di Indonesia tidak lepas dari meningkatnya kemakmuran dan standar hidup masyarakat sebagai hasil dari proses pembangunan yang dilakukan sejak masa Orde Baru di awal tahun 1970-an. Pembangunan ini berlangsung sangat pesat hingga akhir tahun 1990-an saat Indonesia terkena krisis ekonomi yang memerosotkan pendapatan masyarakat. Sejak pertengahan tahun 2000-an ekonomi Indonesia mulai bangkit dan kembali mencapai momentum pertumbuhan yang cepat hingga saat ini.5

Saat ini, lima belas tahun pasca krisis ekonomi 1998, kelas menengah Indonesia semakin bertambah besar dan menegaskan posisinya. Krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997 hingga 1998 memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat untuk meredam sejenak pola konsumtivisme. Ketika krisis berlangsung, tidak sedikit masyarakat kelas menengah atas yang mengorbankan barang mewah yang dimilikinya untuk memburu beras, susu, dan kebutuhan pokok lainnya. Bahkan tak sedikit masyarakat yang tadinya berada di kelas menengah turun kelas menjadi kelas bawah.

Kokohnya kelas menengah juga akan mendorong permintaan dalam negeri kuat. Ketika permintaan dalam negeri kuat maka pengaruh krisis di berbagai belahan dunia kepada perekonomian Indonesia bisa lebih diminimalisasi.

3

James A. Caporaso dan David P. Levine. Teori-teori Ekonomi Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 146-147.

4Asy‟ari Mukrim. 2012.

Memahami Kelas Menengah dalam Perspektif Ekonomi Politik. http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/04/memahami-kelas-menengah-dalam-perspektif-ekonomi-politik-474633.html [13 Oktober 2013]

5

Yuswohady. 2013. The Three Dimmensions of Indonesian-Middle Class Segementation.

(17)

Indonesia akan lebih mandiri dan kuat menghadapi pengaruh dan gejolak ekonomi internasional. Tahun 2011 misalnya konsumsi domestik kita telah mencapai angka cukup besar sekitar Rp3 500 trilliun atau sekitar 60% dari GDP. Dengan kekuatan konsumsi dalam negeri ini kita menjadi lebih tahan terhadap krisis yang terjadi di Eropa maupun Amerika.6

Media internasional The Economist melihat permasalahan makna kelas menengah dari perspektif pembangunan ekonomi. Jumlah kelas menengah meningkat sangat pesat dari tahun 2004 ke tahun 2011 menjadi sekitar 50 juta, berdasarkan definisi pengeluaran per tahun USD 3 000. Namun, peningkatannya bukanlah mencerminkan tumbuhnya kelas profesional di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik banyak bertumpu pada penjualan komoditas ke negara lain dan konsumsi dalam negeri. Pertumbuhan industri pengolahan terbatas dan juga banyaknya agenda ekonomi bertaraf nasional yang tidak selesai semisal masalah infrastruktur dan persoalan korupsi yang semakin parah.

Media nasional Kompas melihat konteks ini secara lebih substantif, berangkat dari analisis kepentingan dan orientasi politiknya. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, disimpulkan bahwa kelas menengah bersifat apatis terhadap politik dan aktivisme perbaikan publik. Kesimpulan yang dapat ditarik dari sana adalah bahwa kelas menengah Indonesia tidak dapat menjadi kekuatan pembaharu bagi perbaikan kehidupan bernegara setelah melihat perilaku politik kelas menengah tersebut yang cenderung lebih menikmati hidup dalam zona kenikmatan hasil kerja mereka.7

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kelas menengah menjadi potensi pasar yang begitu besar. Dengan pendapatannya yang longgar, kelas menengah seakan haus dengan berbagai macam gadget mutakhir, mobil anyar, liburan, atau sekadar duduk-duduk di kafe untuk menopang gaya hidupnya. Meskipun tidak semua orang yang mampu melakukan itu dapat digolongkan sebagai kelas menengah atau sebaliknya. Perilaku kelas menengah yang banyak menjadi konsumen membuat istilah kelas menengah juga sering disebut sebagai consuming class (kelas konsumsi). Terjadi pola perubahan konsumsi, terutama bagi mereka yang dahulu belum tergolong ke dalam kelas ini dan sekarang “naik” kelas. Contohnya dalam pengeluaran pulsa, pendidikan, dan juga hiburan.

Seseorang yang naik kelas dari miskin menjadi lebih kaya maka ia akan memiliki daya beli (purchasing power) yang lebih besar. Daya beli yang kian meningkat tersebut pada suatu tingkat tertentu akan mempengaruhi perilaku mereka dalam membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa. Hal itu dikarenakan pergeseran masif suatu negara dari negara miskin menjadi negara perpendapatan menengah juga membawa dampak perubahan perilaku konsumen yang luar biasa.8

Negara-negara kesejahteraan (welfare state) di Eropa dibangun menurut aspirasi kelas menengah.9 Peran kelas menengah dapat menjadi agen perubahan (agent of change) yang partisipasinya dalam pembangunan politik dan

6

Yuswohady. 2012. Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Kelas Menengah.

http://www.yuswohady.com/2012/05/19/kebangkitan-nasional-kebangkitan-kelas-menengah/ [14

(18)

ekonominya tergolong signifikan. Kedudukannya independen karena kehidupannya tidak bergantung pada kekuasaan. Di Eropa, kelas menengah turut membangun terbentuknya negara kesejahteraan. Industrialisasi pada masa lampau melahirkan kalangan yang mandiri, profesional serta kecukupan ekonomi. Melalui bekal ini, maka kelas menengah di Eropa sanggup untuk memainkan peranan dalam masyarakat. Belakangan ini, kelas menengah juga telah menjadi agenda penting bagi Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan juga Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Sementara di Asia, pertumbuhan kelas menengah didorong oleh sektor konsumsi. Sehingga seringkali diidentikkan pada perilaku konsumtif. Bagaimana dengan Indonesia, apakah kelas menengahnya dapat dikategorikan sebagai konsumen, wirausaha, atau agen perubahan. Sebagai sebuah entitas ekonomi, kelas menengah Indonesia belum bisa seutuhnya dikatakan kelas yang produktif karena lebih mengarah pada konsumerisme. Di sisi lain, ada peran kelas menengah dalam mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, partisipasinya dalam pemilihan umum, dan juga pada pelayanan publik lainnya. Dengan jumlah dan potensi ekonomi yang besar, kelas menengah dapat menjadi pusat pertumbuhan wirausahawan baru serta menjadi katalisator perekonomian dalam negeri.

Melalui modal pendidikan yang tinggi dan finansial yang memadai, kelas menengah dapat berperan mendorong percepatan penurunan kemiskinan. Peran kelas menengah dituntut untuk mampu menjadi produsen yang mampu memperluas lapangan pekerjaan. Menurut studi Southeast Asian Middle Class (SEAMC) pada tahun 1996-1997, sebagian besar kelas menengah di Indonesia berasal dari keluarga berlatar belakang kelas yang sama. Kelas menengah yang baru tersebut cenderung mengembangkan gaya hidup yang mencerminkan kemakmuran. Maka, mereka akan mencari pekerjaan yang mampu menghasilkan pendapatan yang memadai untuk memenuhi pola hidupnya.10 Sisi yang mereka tampilkan banyak pada sisi konsumtif, belum pada penciptaan gagasan kreatif dan inovatif yang mendorong jiwa entrepreneur.

Menurut Budiman, kelas menengah di Indonesia berada dalam posisi yang dilematis. Kelas menengah Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya sadar politik. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang apatis terhadap politik. Sementara, sebagian lainnya memandang bahwa politik adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan bernegara. Kelas menengah yang merasakan dampak pembangunan merasa bahwa elit politik yang mereka pilih hanya memihak pada golongan atau pribadinya saja. Hal ini tercermin dari tingginya angka golongan putih seperti disampaikan oleh analisis Panitia Pengawas Pemilu DKI Jakarta dalam Tempo, persentase golongan putih dalam pemilihan presiden 2009 mencapai angka 34 persen, sedangkan golongan putih dalam putaran I pemilihan presiden 2004 mencapai 23 persen.11 Meskipun kemudian harus dibedakan golongan putih yang dimaksud apakah secara ideologi atau administratif.

10Bestian Nainggolan. “Menyibak Misteri Kelas Menengah Asia Tenggara. Kelompok

Masyarakat yang Makmur” dalam Kompas, 11 Agustus 1997, h. 20. 11

Nur Rochmi. 2009. Jumlah Golput di Jakarta Naik Dibanding 2004.

(19)

Dengan demikian pertanyaannya adalah apakah semakin nyamannya seseorang dengan kondisi ekonominya yang relatif baik turut memengaruhi proses demokratisasi. Di Eropa, kelas menengah secara sadar menjadi pelopor perubahan. Menurut penelitian yang dilakukan harian Kompas bekerja sama dengan Pusat Penelitian Wilayah Sudi Asia Tenggara, kelas menengah di Indonesia merasa perlu adanya perubahan sosial. Tetapi mereka tidak mau terlibat dalam aksi menuju perubahan tersebut.12 Ketidakpuasan diungkapkan dalam pendapat yang berujung lewat jejaring sosial, tetapi tidak menjadi tindakan riil yang mampu mengubah keadaan. Mereka terkadang tidak setia dengan tuntutan mereka serta membiarkan masalah bangsa menggantung tanpa penyelesaian.

Perumusan Masalah

Dalam mendefinisikan kelas secara serta merta harus ditilik dari segi sejarah. Pemahaman teori antara Karl Marx dan Max Weber bisa menjadi dasar atas konsep apa yang disebut dengan kelas. Penelitian-penelitian ekonomi yang

dilakukan Marx “memandang bahwa pembagian sebuah masyarakat menjadi beberapa kelas sepenuhnya terjadi sebagai akibat dari hubungan produksi (relation of production).13 Marx menggunakan dasar hubungan faktor produksi sebagai pembeda kelas, sehingga Marx percaya dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis atau kaum pemilik modal dan kelas pekerja atau proletar. Dalam sudut pandang Marx, tidak ada kelas yang berada di antara kedua kelas tersebut.

Sedangkan, Max Weber menilai kelas sosial tidak hanya dua atau tiga (atas-tengah-bawah), tapi bisa banyak tingkatan. Pembentukan kelas tidak hanya diukur oleh kepemilikan faktor produksi, tetapi juga ukuran lain seperti kegiatan konsumtif, status sosial, kewibawaan, dan pendidikan. Merujuk pada dua teori di atas, maka pendefinisian kelas menengah bisa saja memunculkan banyak persepsi. Pemikiran Marxian menekankan pertentangan kepentingan antar kelas yang dikotomis. Di sisi lain, pemikiran Weberian menunjukkan perbedaan kepentingan atau kemampuan di antara banyak kelas dengan mengacu pada realitas empirik.14

Dalam berbagai studi yang pernah dilakukan, kelas menengah di Asia Timur dan Asia Tenggara tidak bisa diperbandingkan langsung dengan kelas menengah di Eropa. Kelas menengah di Asia Timur lebih pro-kemapanan dengan mempertahankan status quo yang telah diperolehnya. Tujuannya karena kondisi mereka saat ini telah mendukung gaya hidup yang makmur. Di Jakarta, menurut survei Kompas tahun 1996, kelas menengah lebih peduli terhadap pertumbuhan ekonomi daripada politik dan cenderung ingin mempertahankan stabilitasnya.15

Di bidang politik politik, peran masyarakat dalam proses demokratisasi salah satunya melalui pemilihan umum (pemilu). Kelas menengah pun turut

12Kompas. “Kelas Menengah Jakarta dan Kemungkinan Terjadinya Perubahan Sosial” dalam

Kompas, 14 Desember 1996, h. 4. 13

James A. Caporaso dan David P. Levine, op. cit.,h. 130. 14

Ariel Heryanto dalam Hadi Jaya ed. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 6-7.

15

Farida A. Sondakh, Y. Anung Wendyartoko, dan Nikensari Setiadi. “Antara Stabilitas dan

(20)

berpartisipasi di dalamnya. Dalam masyarakat demokratis, preferensi masyarakat dan kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan dilakukan dengan cara pemungutan suara. Ahli ekonomi yang pertama kali menganalisa pengambilan keputusan dengan cara pemungutan suara adalah Knut Wicksell. Wicksell berpendapat bahwa proses politik dalam bidang ekonomi sangat penting untuk mencapai alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien. Sistem pemungutan suara dengan cara satu orang satu suara tidak akan memberi hasil yang mencerminkan kesukaan masyarakat apabila cara pemungutan suara dilakukan dengan suara mayoritas sederhana. Wicksell mengatakan hal ini tidak efisien karena yang tidak berkepentingan harus ikut menanggung biaya politik yang nanti terjadi.16

Dalam hal pemungutan suara berdasarkan mayoritas sederhana untuk menentukan calon pemimpin, pemilih yang bertindak sebagai median voter (pemilih tengah) adalah yang paling untung sebab pilihan yang disukainya yang pasti menang dalam suatu pemungutan suara.17 Sementara di sisi lain juga ada yang disebut swing voter (pemilih yang belum menentukan pilihan). Momentum pemilu menjadi acuan seberapa besar kelas menengah berperan di dalamnya. Partisipasi kelas menengah dalam politik pemilu merupakan wujud paling jelas kehidupan berdemokrasi.

Dari segi ekonomi, prospek kelas menengah di Indonesia cukup besar mengingat jumlahnya yang kian bertambah. Bahkan keberadaannya sering dianggap sebagai penyelamat negara ini dari krisis yang menghantam dunia beberapa tahun terakhir. Dalam perkembangannya, terdapat perubahan pola konsumsi dari mereka yang dahulu belum digolongkan ke dalam kelas menengah kemudian saat ini telah naik kelas. Saat ini konsumsi kelas menengah bukan hanya dihabiskan untuk makanan atau barang-barang primer tetapi juga untuk non makanan yang tergolong sekunder dan bahkan tersier, seperti barang mewah, pendidikan, dan hiburan.

Terjadi pergerseran peran kelas menengah dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi ekonomi dan politik tanah air. Mulai dari perannya sebagai agen pembaharu, seperti di era reformasi; menjadi wirausahawan yang menciptakan lapangan kerja baru; dan juga menikmati peran sebagai konsumen yang memang didukung dengan daya beli yang baik. Kelas menengah di Indonesia berbeda dengan kelas menengah di Eropa dan juga di negara-negara Asia lainnya. Potensi kelas menengah cukup besar meskipun dapat dikatakan belum optimal. Indikator-indikatornya dapat dilihat dari sikap kritis terhadap pemerintah, partisipasi politik dalam pemilu, kontribusinya terhadap perekonomian, dan membangun hubungan dengan kelompok lain.

Untuk itu permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perkembangan kelas menengah di Indonesia dari masa ke

masa?

2. Bagaimana karakteristik kelas menengah di Indonesia ditinjau dari sudut pandang teoritis?

3. Apa saja peran kelas menengah di Indonesia dalam pembangunan demokrasi dan pembangunan ekonomi?

16

Guritno Mangkoesoebroto. Ekonomi Publik (Yogyakarta: BPFE, 2000), h. 87-88. 17

(21)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perkembangan kelas menengah di Indonesia dari masa ke masa.

2. Menganalisis karakteristik kelas menengah di Indonesia ditinjau dari sudut pandang teoritis.

3. Menganalisis peran kelas menengah di Indonesia dalam pembangunan demokrasi dan pembangunan ekonomi.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh akademisi dalam memahami

fenomena kelas menengah di Indonesia dari sudut pandang ekonomi politik.

2. Berguna sebagai masukan bagi pemerintah dalam mengevaluasi rencana pembangunan ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh struktur masyarakat. 3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Ekonomi Politik

Menurut Rachbini, ekonomi politik adalah perpaduan dua disiplin ilmu, yaitu ekonomi dan politik. Ilmu ekonomi politik digunakan untuk menganalisis ilmu sosial lainnya dengan pendekatan yang relevan dengan isu ekonomi politik. Fokus dari studi ekonomi politik adalah fenomena-fenomena ekonomi secara umum, yang bergulir serta dikaji menjadi lebih spesifik, yakni menyoroti interaksi antara faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor politik. Namun, dalam perkembangan yang berikutnya, istilah ekonomi politik selalu mengacu pada adanya interaksi antara aspek ekonomi dan aspek politik.18

Kaitan antara ekonomi dan politik juga dapat digunakan untuk menganalisis persoalan kesejahteraan masyarakat. Disitu menyangkut bagaimana peran negara dan pasar dalam kaitannya dengan persoalan kualitas dari pertumbuhan pendapatan domestik bruto yang dihasilkan, mampu mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan di negara sedang berkembang. Sementara persoalan kualitas pertumbuhan yang diperankan negara dan pasar juga akan menyangkut dengan dimensi politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, kita juga

18

(22)

harus memahami hubungan timbal balik antara aspek, proses, institusi politik dan kekuasaan dengan kegiatan serta output ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi, dan seterusnya) dengan kualitas pertumbuhan (dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan).

Menurut Damanhuri, penting untuk memahami ilmu ekonomi politik agar dapat memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, radikal atau struktural, dan heterodoks. Pemahaman yang mendalam tentang ekonomi politik dapat menjadi analisis di dunia nyata dan bermanfaat bagi pengambil kebijakan dengan mempertimbangkan beberapa aspek sebelum akhirnya mengambil keputusan.19

Ekonomi politik menjadi begitu penting untuk memahami berbagai isu dan persoalan. Sebab ekonomi politik mampu menganalisis secara teoritis maupun empiris. Contohnya dalam penelitian kelas menengah dimana perannya sebagai konsumen. Kelas menengah memberikan sumbangsih terhadap perekonomian negara lewat pengeluarannya. Sementara kelas menengah juga dapat menjadi agen perubahan yang punya hak untuk menyuarakan aspirasinya, baik melalui pemilihan umum ataupun kritiknya terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Dalam perspektif ekonomi politik, kelas menengah memiliki peran sentral dalam pembangunan ekonomi dan politik suatu negara. Tetapi apabila menggunakan indikator pengeluaran yang dirilis Bank Dunia, kelas menengah menjadi kelas konsumen yang begitu besar. Di satu sisi, kelas konsumen tersebut akan menciptakan pasar dengan segala aktivitasnya sekaligus mendorong tumbuhnya PDB melalui sektor konsumsi. Sementara di sisi lain, perekonomian yang sebagian besarnya ditopang oleh konsumsi dapat menjadi rapuh, apalagi jika kehilangan konsumennya.

Padahal jika ditelaah lebih dalam, peran kelas menengah tidak hanya sebatas konsumen semata. Pada masa Revolusi Industri, kelas menengah mampu berperan sebagai wirausahawan yang membuka lapangan pekerjaan. Di negara lain seperti Kuba, kelas menengah menjadi agen pembaharu yang dipimpin oleh Fidel Castro. Salah satu negara di Asia Tenggara, Filipina juga merasakan peran besar kelas menengah dalam proses perombakan dengan menggulingkan kekuasaan Ferdinand Marcos.20

Kelas

Stratifikasi sosial atau dapat juga disebut pelapisan sosial merupakan pengelompokkan anggota masyarakat secara bertingkat (vertikal). Istilah ini dalam agama Hindu dikenal sebagai kasta. Pengelompokkan tersebut dinamakan juga dengan kelas. Dimana pada sebagian besar masyarakat ada kesenjangan dalam distribusi kekayaan dan berbagai keuntungan lain seperti status dan kekuasaan.

Tanpa menggunakan suatu model, akan sulit untuk menggambarkan prinsip-prinsip apa yang akan menentukan sistem distribusi serta hubungan sosial yang

19

Didin S. Damanhuri, op. cit., h. 2.

20Budi Darma. “Peran Kelas Menengah” dalam

(23)

diakibatkan oleh kesenjangan itu. Dasar-dasar yang menentukan terbentuknya kelas ditandai dengan beberapa ukuran. Contohnya adalah ukuran kekayaan, kekuasaan dan wewenang, kehormatan, dan ilmu pengetahuan. Para pelaku (aktor) di dalam nya kemudian ditempatkan pada suatu tangga atau piramida sosial. Keadaan ini yang membuat adanya penggolongan siapa yang termasuk dalam kelas atas ataupun kelas bawah. Jadi, bisa saja individu atau kelompok tertentu memandang hormat sekaligus di saat yang bersamaan memandang rendah individu atau kelompok lain. Stratifikasi sosial dan struktur sosial merupakan kiasan yang dipinjam dari disiplin geologi dan arsitektur.

Menurut Marx, kelas adalah suatu kelompok sosial yang memiliki fungsi tertentu dalam proses produksi. Pemilik tanah, pemilik modal, dan pekerja yang tidak memiliki apa pun selain dua tangannya, adalah tiga kelas sosial besar, yang sejajar dengan tiga faktor produksi dalam ilmu ekonomi klasik, yakni tanah, tenaga kerja, dan modal. Perbedaan fungsi dari kelas-kelas ini menimbulkan pertentangan kepentingan yang memungkinkan berbedanya pikiran dan tindakan mereka. Jadi, sejarah adalah cerita tentang pertentangan kelas.21

Yang lebih mengkhawatirkan ialah bahwa model Marx itu tidaklah sejelas dan sesederhana kelihatannya. Para analis mencatat bahwa dia menggunakan

istilah „kelas‟ untuk beberapa pengertian yang berbeda-beda. Pada beberapa kesempatan ia membedakan tiga macam kelas: pemilik tanah, pemilik modal, dan buruh. Tetapi pada kesempatan lain dia hanya menyebut dua macam kelas, dua pihak yang berseberangan dalam konflik antara pihak pemeras dan yang diperas, penindas dan yang ditindas.22

Membahas persoalan kelas sedikitnya menyinggung dua pendekatan. Pertama, sudut pandang Marxist menekankan pemisahan pada kerangka ekonomi seperti peran dalam kepemilikan faktor produksi. Implikasinya, hanya terdapat dua kelas dalam masyarakat, yaitu para pemilik atau penguasa faktor produksi dan mereka yang tidak memiliki faktor produksi. Pendekatan yang kedua, pengklasifikasian kelas berdasarkan latar belakang pekerjaan seseorang. Pekerjaan dijadikan dasar dalam penentuan kelas karena kondisi pasar dan situasi pekerjaan yang terus berkembang daripada aspek kepemilikan faktor produksi.

Kelas Menengah

Apabila melihat dari teori yang dikemukakan oleh Marx, sebenarnya dalam penggolongan masyarakat hanya dibagi menjadi dua kelas saja. Sehingga pertanyaannya menjadi di manakah posisi kaum profesional yang seharusnya berada di antara kepentingan kaum buruh dan para kapitalis atau kalangan borjuis. Sementara menurut Weber (1920) mengelaborasi kelas sosial dengan lebih luas ketika memandang persoalan kelas bukan hanya bagaimana kekuasaan (power) atas alat produksi terletak, tetapi juga menyangkut derajat ekonomi dan prestise. Tiga hal itu menjadi penentu untuk mengukur derajat kelas seseorang.23

21

Peter Burke. Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 85-86. 22

Ibid, h. 87. 23

Bambang Setiawan. 2012. Siapa Kelas Menengah Indonesia?.

(24)

Pengertian kelas menengah ditinjau dari disiplin ilmu dapat menjadi bias. Dari segi intelektual, seseorang dapat dianggap tergolong dalam kelas elit. Sebaliknya, dari segi ekonomi, bisa saja dia mask ke kelas bawah. Faktor lingkungan pun turut menentukan keberadaan kelas atas, menengah, ataupun bawah sehingga sangat relatif. Terlepas dari kategorisasi tersebut, kelas menengah diidentikkan dengan perubahan.

Peran kelas menengah tidak hanya sebatas pada koridor ekonomi semata tetapi dapat juga dikaitkan kepada aspek politik yang cukup dalam. Di Eropa, kelas menengahnya mampu memainkan peran baik dalam partisipasi maupun pembangunan politik dan ekonomi secara baik. Sebab, keberadaan mereka secara langsung tak bergantung kepada para penguasa yang mengisi kursi-kursi di parlemen dan eksekutif. Sehingga dapat saja kelas menengah di sana disebut sebagai agen perubahan.

Contoh nyata dari kebangkitan kelas menengah terjadi pada masa Revolusi Industri di negara-negara Barat. Tokoh penting Revolusi Industri adalah James Watt. Penemuannya berupa mesin uap berhasil menjadikannya kaya raya karena memanfaatkan peluang bisnis. Di sisi lain, Thomas Alva Edison hanya sanggup menjual hak paten dan yang menikmati hasil penemuannya justru kaum industrialis. Fakta ini menggambarkan bahwa jiwa kewirausahaan begitu penting, dengan ditopang oleh para profesional. Kemudian mereka saling berhubungan dan terbentuklah kelas menengah baru. Kelas menengah sebagiannya dapat dikatakan adalah kelas orang-orang yang awalnya kurang beruntung namun berhasil menaikkan derajatnya. Status mereka yang berubah menjadikannya dianggap sebagai orang kaya baru.

Di Eropa kelas menengahnya diawali dengan industrialisasi. Akibatnya, muncul sekelompok masyarakat yang memiliki berbagai kelebihan, antara lain kekuatan ekonomi dan kemandirian. Maka salah satu peran mereka adalah menjadi jembatan antara pemilik modal dan buruh. Ciri khas lainnya adalah gaya hidup yang makmur didukung oleh kemampuan finansial. Dengan bekal tersebut maka kalangan ini sanggup memainkan banyak peranan dalam masyarakat, baik secara ekonomi maupun proses demokratisasi.

Inti dari kelas menengah pada awalnya adalah kelompok pedagang dan pengusaha (kaum borjuis). Namun dalam sejarah perkembangannya di Eropa, kelas menengah juga kemudian mencakup kelompok petani, pegawai negeri maupun swasta, dan golongan profesional seperti dokter, pengacara, artis, dan wartawan. Kelas menengah dari masa ke masa memiliki berbagai karakteristik yang turut menentukan perannya. Dalam penelitian ini, kelas menengah terbagi menjadi konsumen, wirausahawan, dan agen perubahan.

Konsumen

(25)

konsumtif dipratikkan oleh kelas menengah. Pusat perbelanjaan, rumah makan, bahkan jalan raya penuh sesak oleh mereka yang membelanjakan pendapatannya.

Tetapi ada hal positif dari peran kelas menengah sebagai konsumen. Konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto, seperti di Indonesia dan Tiongkok. Pada masa krisis ekonomi melanda Amerika Serikat dan Eropa, perekonomian Indonesia tetap tumbuh positif karena tingginya konsumsi domestik. Meskipun barang dan jasa yang dikonsumsinya ternyata mendorong terjadi defisit neraca pembayaran karena meningkatkan impor.

Wirausahawan

Menurut sejarah kelahirannya di Eropa, kelas menengah terbentuk sebagai akibat dari kemajuan ekonomi pada masa Revolusi Industri dahulu. Melalui kekuatan ekonomi yang dimilikinya, kelas menengah berusaha mengendalikan kesewenang-wenangan "kelas atas" terhadap "kelas bawah". Puncaknya adalah saat kelas menengah berhasil mendorong terjadinya perubahan tatanan masyarakat dari yang feodal menjadi demokratis. Nilai-nilai kewiraswastaan yang menjadi basis kelas menengah memang merupakan mesin pendorong utama bagi proses modernisasi di Eropa.

Sementara, masyarakat kelas menengah Indonesia yang masih didominasi oleh kelompok menengah bawah dapat terjebak dalam negara berpendapatan menengah (middle income trap), yakni negara-negara yang pendapatannya sudah masuk level menengah, tapi tidak beranjak dari kondisi itu karena tidak ada terobosan-terobosan lanjutan untuk meningkatkan perekonomiannya. Sebabnya, negara tersebut lebih banyak mengandalkan ekspor komoditas dan konsumsi barang impor. 24

Masyarakat kelas menengah memiliki peranan menjadi wirausaha. Sebagian besar dari mereka menikmati subsidi yang tidak produktif, maka fenomena ini dapat menjadi kontraproduktif. Maka perlu didorong kelas menengah menjadi wirausaha agar bertindak sebagai katalisator pertumbuhan. Wirausaha adalah mereka yang tidak hanya berbuat untuk dirinya sendiri tetapi juga ikut andil dalam membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Untuk itu, kelas menengah harus dapat dikelola dengan baik sehingga bisa tumbuh kelas wirausaha yang mandiri.

Wirausahawan adalah seseorang yang menemukan gagasan baru dan selalu berusaha menggunakan sumber daya yang dimiliki secara optimal untuk mencapai tingkat keuntungan tertinggi. Wirausahawan memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha yang baru. Wirausahawan memiliki pemahaman sendiri akan kebutuhan masyarakat dan dapat bereaksi terhadap perubahan ekonomi serta kemudian menjadi pelaku dalam mengubah permintaan menjadi produksi. Wirausahawan adalah seseorang yang menciptakan sebuah usaha atau bisnis yang dihadapkan dengan risiko dan ketidakpastian untuk memperoleh keuntungan dan mengembangkan bisnis dengan cara mengenali

24

(26)

kesempatan, memanfaatkan sumber daya yang diperlukan, dan memberikan nilai tambah ke barang untuk memenuhi kebutuhan manusia.25

Agen Perubahan

Menurut Muhaimin, unsur esensial dalam kelas menengah, di samping unsur penghasilan yang relatif besar, adalah unsur intelektualitasnya yang relatif terdidik, dinamis, dan memiliki peranan penting dalam masyarakat. Kelas menengah di Eropa tampil menjadi moderating factor dan berperan menjembatani kelas atas dengan kelas bawah, agar tindakan yang radikal dan ekstrem dalam masyarakat terhindarkan. Kelas menengah di banyak negara sedang berkembang justru pada awalnya tampil paling radikal dan revolusioner. Namun seiring dengan meningkatnya kuantitasnya, kelas menengah di negara sedang berkembang cenderung beralih menjadi golongan paling konservatif, yang menikmati fasilitas dari lembaga birokrasi dan bisnis.26

Dalam sejarah politik Asia modern, kelas menengah telah diakui peran sentralnya dalam sebagian besar peristiwa politik, mulai dari proses tergulingnya diktator Ferdinand Marcos pada tahun 1986 di Filipina, perang jalanan antar militer di Thailand pada Mei 1992, hingga runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Kelas menengah di situ merupakan ujung tombak demokrasi atau disebut juga agen perubahan.

Meskipun menurut pengamat ekonomi Laksamana Sukardi, kelas menengah di Indonesia masih sulit menjadi agen reformasi. Mereka merupakan produk dari sistem ekonomi yang cenderung konservatif terhadap perubahan. Jika mengacu kepada pendapat tersebut maka kelas menengah di Indonesia berarti hanya ingin menikmati hasil pembangunan tanpa mau ikut berjuang.27 Padahal mengacu kepada peristiwa Reformasi pada tahun 1998, kelas menengah dapat menjadi inisiator dalam gerakan perubahan, yang mengarah kepada berbagai gerakan-gerakan sosial seperti gerakan-gerakan pekerja, gerakan-gerakan pro demokrasi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), bahkan perlindungan lingkungan dan gerakan lainnya di bidang pendidikan serta keagamaan.

Dalam survei Litbang Kompas yang dilakukan Maret-April 2012 memperlihatkan, semakin tinggi kelas sosial, masyarakat berlomba menaikkan citra kelasnya dengan berusaha mengadopsi gaya hidup konsumerisme. Di sisi lain, mereka cenderung menanggalkan nilai-nilai demokrasi dan kembali menarik bandul politik ke arah otoritarianisme. Membandingkan kelas menengah saat ini dengan hasil survei sejenis yang pernah dilakukan Litbang Kompas tahun 1997 sangat kontradiktif. Pada survei yang dilakukan setahun menjelang kejatuhan Soeharto tersebut, gambaran tentang demokrasi begitu menggembirakan. Semua kelas, termasuk kelas menengah, cenderung memandang pentingnya demokrasi.

25

Suharyadi, dkk. Kewirausahaan: Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda (Jakarta: Salemba Empat, 2007), h. 7.

26 Yahya Muhaimin. “Politik, Pengusaha Nasional, dan Kelas Menengah Indonesia” dalam

Prisma, Maret 1984, h. 63-64. 27

(27)

Namun, sekarang gambaran yang tertangkap adalah masyarakat justru mengharapkan negara lebih berperan dalam mengendalikan iklim demokrasi.28

Kelas Menengah di Indonesia

Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia kita mengalami lonjakan pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa. Ada hubungan yang erat antara laju pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan kelas menengah. Dengan menggunakan definisi kelas menengah dari Asian Development Bank (ADB) yaitu pengeluaran per kapita per hari sebesar USD 2-20 (PPP, 2005), kita mendapatkan indikator-indikator kelas menengah yang menakjubkan. Berdasarkan data SUSENAS, selama kurun waktu 1999-2009 jumlah kelas menengah Indonesia melonjak hampir dua kali lipat selama 10 tahun, dari 45 juta penduduk menjadi 93 juta. Kalau tahun 1999 jumlah kelas menengah hanya 25% dari total penduduk, pada tahun 2009 menjadi 45%.

Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2013 lalu, terlihat peningkatan pada jumlah kelas menengah ke bawah dan kelas menengah ke atas. Di sisi lain, kelas miskin dan rentan miskin mengalami penurunan. Hal ini berarti ada perbaikan ekonomi karena di masyarakat terjadi pergeseran dari kelas bawah ke kelas di atasnya. Selengkapnya ada di dalam Tabel 8 berikut ini.

Tabel 1 Perkembangan jumlah kelas menengah di Indonesia

Kelas Pengeluaran per kapita

Indonesia mengalami pertumbuhan kelas menengah yang luar biasa. Jika merujuk kepada tabel di atas, kelas menengah Indonesia dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan antara Rp360 000 sampai dengan Rp3 600 000 meningkat dari sebesar 37.6 persen pada tahun 2003 menjadi 56.5 persen pada tahun 2012. Berdasarkan data tersebut berarti dalam kurun waktu selama tujuh tahun telah terjadi lonjakan jumlah kelas menengah dari 80.8 juta menjadi 132.9 juta.

28

Bambang Setiawan. 2012. Makin Konsumtif, Makin Konservatif.

(28)

Sementara, data yang dirilis oleh CLSA Asia-Pacific Markets pada tahun 2010 menunjukkan sebagian besar kelas menengah Indonesia berada pada taraf pengeluaran USD 2-4 per kapita. Jumlah ini mencapai 71 persen dari total kelas menengah Indonesia. Seperti yang digambarkan pada gambar 1 di bawah ini.

Sumber: CLSA Asia-Pacific Markets, 2010

Gambar 1 Kelas menengah Indonesia

Menurut Rajasa, ekonomi Indonesia saat ini didorong oleh konsumsi dan investasi yang tinggi. Pola konsumsi yang tinggi ini pula yang ikut melahirkan istilah kelas menengah, yang dalam kasus negara ini semakin tinggi jumlahnya. Kelas menengah Indonesia sedang tumbuh pesat. Tercermin dari perubahan gaya hidup seperti hinggap di berbagai pusat perbelanjaan, kepemilikan smartphone lebih dari satu, dan lain sebagainya.29 Namun di satu sisi, konsumtifnya kelas menengah ini belum diikuti dengan produktivitas sehingga sulit disebut sebagai critical mass.

Dari komponen faktor pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi, porsi konsumsi masih tertinggi. Dalam Berita Resmi Statistik yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 menyebutkan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga mendominasi struktur PDB sebesar 55.82%.30 Angka ini salah satunya disumbang oleh kelas menengah dan masih harus diimbangi dengan porsi investasi yang tinggi pula.

Kelas menengah Indonesia harus menjadi pelopor bagi tumbuhnya basis produksi. Di Indonesia, mayoritas kelas menengahnya demikian berpeluang untuk menjadi target pasar. Untuk itu mereka kerap disebut big spender dan big consumer tetapi belum berperan sebagai produser atau wirausahawan. Dari segi politik pun demikian. Kelas menengah-atas utamanya cenderung apolitis terlihat dari kurangnya kepercayaan pemilih terhadap penyelenggara dan peserta pemilu, serta fakta yang diperlihatkan para elit politik di legislatif. Kejenuhan publik terhadap politik juga terjadi di sejumlah negara-negara Eropa.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Didin S. Damanhuri, kelas menengah di Indonesia masih sangat lemah dan belum terbentuk jika ditinjau dari perspektif sifatnya yang independen dan kritis.

29

Jaka Perdana. 2013. Hatta Rajasa: Kelas Menengah Indonesia Masih Konsumtif, Belum Produktif. http://www.the-marketeers.com/archives/hatta-rajasa-kelas-menengah-indonesia-masih-konsumtif-belum-produktif.html#.Up74P8QW1Xk [27 November 2013]

30

BPS 2014. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Berita Resmi Statistik No. 16/02/Th.XVII, 6 Februari 2014.

USD 2-4

USD 4-6

USD 6-10

(29)

Sejumlah orang kaya dari kalangan swasta belum memiliki jiwa entrepreneur. Mereka hanya sebatas memanfaatkan fasilitas dan kroniisme dalam berwirausaha. Apabila dikategorikan sebagai orang yang berpenghasilan di atas USD 2 per hari sesuai definisi Bank Dunia, maka kelas menengah lebih parah lagi. Sebagai konsumsen, mereka lebih banyak membebani keuangan negara dengan subsidi dan konsumsi barang dan jasa impor.31

Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dalam sebuah artikel menyebutkan kelas menengah di Indonesia sangat unik. Umumnya, mereka adalah orang-orang yang berjuang sendiri untuk mencapai posisi menengah. Kelas menengah di Indonesia punya ciri menuntut gaya hidup seperti kendaraan roda empat untuk prestise. Di sisi lain kelas menengah Indonesia menuntut layanan yang murah.32

Sementara menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lainnya Anwar Nasution, kelas menengah memiliki karakteristik tersendiri yang dinamis. Salah satunya adalah karena kenaikan tingkat pendapatan mereka juga memiliki elastisitas permintaan terhadap demokratisasi politik. Mereka memiliki pengaruh dalam kebijakan ekonomi pemerintah sebagai pressure group. Dari perilaku ekonominya, kelas menengah dapat memelopori produksi dan konsumsi dalam berbagai bidang usaha. Munculnya kelas menengah lebih banyak menurut Anwar sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang baik. Pertumbuhan ekonomi mendorong peningkatan pendapatan per kapita sehingga memunculkan kelas menengah baru di Indonesia.33

Penelitian Terdahulu

Penulis menemukan penelitian tentang kelas menengah dari sudut pandang ekonomi maupun politik dalam bentuk tulisan ilmiah, survei, jurnal, maupun tesis. Adapun penelitian-penelitian terdahulu tersebut antara lain:

1. Studi tentang kelas menengah di Asia pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Studi Wilayah Asia Tenggara dari Academia Sinica, Lembaga Ilmu Pengetahuan Taiwan bekerja sama dengan Harian Kompas. Penelitian ini dilaksanakan pada 1996-1997 di empat negara Asia Tenggara: Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Survei sejenis dilakukan kembali oleh Litbang Kompas pada tahun 2012 dengan artikel

berjudul “Siapa Kelas Menengah Indonesia”. Survei ini dilakukan terhadap 2.550 responden yang tersebar di beberapa kota besar. Responden adalah penduduk berumur 17 tahun ke atas yang diambil dengan metode penarikan multistage random sampling. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen, kesalahan pencuplikan berkisar 1,9 persen.

2. Penelitian lainnya dalam bentuk lembar kerja ditulis pada tahun 2000 oleh William Easterly, ekonom berkebangsaan Amerika Serikat. Judulnya

adalah “The Middle Class Consensus and Economic Development”.

31

Didin S. Damanhuri, op. cit.

32

Suhendra. 2012. Rhenald Kasali: Kelas Menengah Kita di Posisi Tak Tahu Malu!

http://finance.detik.com/read/2012/04/04/143742/1885069/4/rhenald-kasali-kelas-menengah-kita-di-posisi-tak-tahu-malu [5 November 2013]

33

(30)

Menurut penelitian ini, semakin tinggi share pendapatan dari kelas menengah dan semakin rendah polarisasi etnis secara empiris berkaitan dengan pendapatan yang lebih tinggi, pertumbuhan yang lebih tinggi, pendidikan yang lebih banyak, kesehatan dan infrastruktur yang lebih baik, kebijakan ekonomi yang lebih baik, berkurangnya instabilitas politik, serta lebih demokratis.

3. Tesis berjudul “Perubahan Pola Konsumsi Kelas Menengah Baru di

Jakarta” oleh Dharyagitha Rizal dari Universitas Indonesia pada tahun

2001. Penelitian ini mengungkapkan pola konsumsi dalam gaya hidup golongan masyarakat kelas menengah baru di Jakarta, khusus di era pasca krisis. Hasilnya, gaya hidup kelas menengah baru di Jakarta antara sebelum dan sesudah krisis tidak mengalami perubahan. Di sisi lain, jenis-jenis kegiatannya tetap sama tetapi dengan intensitas yang berbeda, bertambah maupun berkurang. Seperti kegiatan dalam mengisi waktu luang, kebutuhan akan pengetahuan, konsumsi kebutuhan pokok, dan lainnya. Dimana pergeseran tersebut lebih disebabkan karena faktor pendapatan riil yang nilainya menurun akibat krisis.

4. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melakukan penelitian tentang peran kelas menengah dan demokratisasi di Kota Denpasar-Bali, Kota Manado-Sulawesi Utara, Kota Kendari-Manado-Sulawesi Tenggara, dan Kota Lombok-Nusa Tenggara Barat pada tahun 2005-2006. Temuan penting dari dua kajian ini adalah keterlibatan kelas menengah daerah secara intens dalam mendorong proses demokratisasi di daerah melalui gerakan sosial yang mereka bangun. Tujuannya untuk pemberantasan korupsi, mendorong partisipasi publik dalam pembuatan, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan dana APBD, membentuk institusi sosial untuk mendorong pendidikan kritis dan advokasi publik. Penelitian ini diterbitkan dalam bentuk buku

dengan judul “Kelas Menengah dan Demokratisasi: Partisipasi Kelas

Menengah dalam Kontrol Sosial Terhadap Pelaksanaan Pemerintahan

yang Baik dan Bersih”.

5. Sebuah penelitian oleh Pew Research Center pada tahun 2009 mengenai dampak positif kelas menengah terhadap proses demokratisasi di 13

negara (tidak termasuk Indonesia). Judulnya “The Global Middle Class: Views on Democracy, Religion, Values, and Life Satisfaction in Emerging Nations”. Survei yang dilakukan menunjukkan di negara dengan pendapatan menengah, kelas menengah lebih menekankan pada pentingnya institusi dan praktik demokrasi, kebebasan berpendapat, dan sistem peradilan yang adil dibandingkan masyarakat kelas bawah. Fenomena ini terjadi di Indonesia selama satu dekade terakhir pasca reformasi dimana transformasi politik terjadi amat cepat menuju demokrasi yang tidak terlepas dari peran kelas menengah.

6. Lembar kerja yang ditulis oleh Homi Kharas pada tahun 2010 berjudul

(31)

lebih dari 40 persen konsumsi kelas menengah global. Sebab, saat ini banyak yang pendapatannya hanya sedikit di bawah kelas menengah global dan berpotensi masuk ke golongan tersebut dalam sepuluh tahun ke depan.

Adapun poin penting yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sebagai berikut.

1. Penulis mengacu pada pendidikan dan pola konsumsi sebagai indikator penentuan sampel. Indikator yang digunakan menggunakan definisi Marx dan Weber dengan pendekatan sosiologis. Kemudian, melihat perilaku konsumsinya, minatnya berwirausaha dan kontribusinya sebagai agen perubahan.

2. Penelitian ini berfokus pada sebuah wilayah, yaitu Kota Bandung. Sehingga, hasil yang berbeda bisa saja ditemukan ketika penelitian sejenis dilakukan di wilayah atau kota lainnya dengan alasan kelas menengahnya lebih heterogen.

3. Penelitian sejenis masih sangat jarang dilakukan, terutama pada tingkat strata satu atau sarjana. Padahal, bidang pembahasannya masih sangat luas untuk dieksplorasi.

Kerangka Pemikiran

Kelas menengah merupakan bagian daripada kelas sosial yang sebenarnya dapat didefinisikan pula melalui indikator ekonomi. Dalam penelitian ini digunakan kelas menengah Indonesia di Kota Bandung sebagai studi kasusnya. Menurut pendekatan teori Marxisme, kelas menengah dapat berada di antara kelas buruh dan kelas majikan, atau dengan kata lain adalah kelas profesional. Tetapi menurut Weber, kelas menengah tidak serta merta ditentukan berdasarkan kepemilikan faktor-faktor produksi melainkan juga latar belakang sosial, gabungan pendapatan, dan juga pendidikan.

Dengan jumlahnya yang fantastis dan terus bertambah (menggunakan pendekatan Bank Dunia) kelas menengah di Indonesia sudah seharusnya ambil andil dalam kebijakan pembangunan perekonomian nasional. Baik itu melalui kesadaran kelas sehingga mendorong tumbuhnya partisipasi politik maupun ditinjau dari aspek lain. Peran tersebut bukan hanya sebagai konsumen semata namun juga sebagai pencipta lapangan kerja baru atau wirausahawan. Kelas menengah yang memiliki usaha, baik skala mikro hingga menengah dan bahkan besar, turut menggerakkan sektor perekonomian. Sama halnya dengan pola konsumsi yang terjadi secara langsung memberikan sumbangsih terhadap pendapatan domestik bruto.

Pada akhirnya nanti kelas menengah Indonesia mampu diberdayakan secara optimal dan menjadi prioritas pembangunan. Kelas menengah harus diperhitungkan dan dilibatkan dalam perumusan kebijakan pemerintah. Harapannya kemudian terciptalah kelas menengah sebagai agen perubahan yang peduli terhadap pembangunan ekonomi dan politik Indonesia.

(32)

1960-an hingga kini menempati berbagai posisi di banyak bidang pekerjaan. Peran kelas menengah tidak bisa dipandang sebelah mata untuk akhirnya dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Kelas menengah menjadi tumpuan sebuah bangsa untuk maju. Sebab kelas menengah dapat menjadi penolong bagi kelas bawah sekaligus juga mengkritisi kelas di atasnya. Kelas menengah merupakan potret masyarakat Indonesia dengan jumlahnya lebih dari 50 persen penduduk atau mencapai 135 juta jiwa34. Maka perannya harus diberdayakan untuk mencapai kemakmuran bangsa.

Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2 Kerangka pemikiran

34

Benny D. Koestanto. Jebakan Kelas Menengah.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/11/19/0738508/Jebakan.Kelas.Menengah [22 Januari 2014]

Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi Indonesia oleh Kelas Menengah

Kelas Menengah Indonesia

Karakteristik Kelas Menengah

Peran Kelas Menengah

Potret Kelas Menengah Kota Bandung

Konsumen

Konsumsi

Kontribusi Sektor Konsumsi

Wirausahawan

Kepemilikan Usaha

Kontribusi terhadap Sektor Riil

Agen Perubahan

Pandangan terhadap Demokrasi dan Ekonomi

Keterlibatan dalam Proses Demokratisasi Perkembangan

(33)

METODE

Pendahuluan

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tentang suatu masalah. Dalam proses mencari kebenaran tersebut, maka dibutuhkan alat untuk mengidentifikasi berbagai gejala atau fenomena yang ditemukan selama penelitian berlangsung. Alat itu terdapat dalam metodologi penelitian yang diartikan sebagai studi tentang sistem dan atau tata cara dalam melaksanakan penelitian. Metode-metode di dalamnya digunakan untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan secara ilmiah dengan prosedur dan sistematika yang jelas.

Metodologi penelitian tidak terbatas hanya pada alat analisis tetapi juga mencakup aspek lainnya dalam penelitian. Misalnya untuk mengetahui bagaimana merumuskan masalah. Selain itu juga untuk menentukan rancangan penelitian yang cocok untuk masalah penelitian meskipun sudah diketahui instrumen pengumpulan datanya. Metode-metode ilmiah digunakan juga untuk menemukan sesuatu yang baru maupun menguji kebenaran suatu pengetahuan.35

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian untuk kelas menengah dilakukan di Kota Bandung, Jawa Barat. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai April 2014. Kota Bandung dipilih secara purposive sebagai lokasi penelitian karena dianggap merepresentasikan karakteristik kelas menengah di Indonesia. Waktu selama dua bulan tersebut digunakan untuk mengambil informasi dan data dari kelas menengah yang ada di sana.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu: a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari responden. Dalam

penelitian ini, cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data primer yaitu survei berupa kuesioner dan wawancara mendalam (indepth interview). Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk dijawab dan kemudian dikembalikan pada peneliti.36 Dalam penelitian ini, pertanyaan dalam kuesioner terdiri atas pertanyaan tertutup dan pertanyaan semi terbuka dan dilakukan dengan metode wawancara tatap muka. Wawancara mendalam adalah cara untuk mengumpulkan data atau informasi secara langsung tatap muka dengan responden agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara mendalam digunakan untuk melengkapi data kuesioner.

35

Bambang Juanda. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis (Bogor: IPB Press, 2009), h. 1-2. 36

(34)

Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden yang mewakili kalangan politisi, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dosen, guru, wiraswasta, dan ibu rumah tangga. Besarnya jumlah responden ditentukan berdasarkan latar belakang yang beragam. Survei dalam penelitian ini dilakukan dengan mencakup beberapa kecamatan di Kota Bandung.

b. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik yaitu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Kota Bandung tahun 2003-2012, Kementerian Keuangan, serta survei Kompas tentang kelas menengah tahun 1996-1997 dan 2012. Adapun data sekunder lainnya yang dipakai dalam penelitian berasal dari Bank Dunia, artikel, buku, jurnal ilmiah, karya ilmiah yang relevan, serta survei terhadap kelas menengah di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai lembaga untuk mendukung penelitian.

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling, yaitu purposive sampling dan snowball sampling. Pengambilan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan kriteria yang cocok dengan anggota sampel (purposive) yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.37 Pengambilan sampel dimulai dengan beberapa responden, kemudian responden tersebut merekomendasikan relasi atau kenalannya (snowball) dan didapatkanlah responden selanjutnya. Proses ini berlangsung hingga beberapa kali sehingga jumlah responden terus bertambah banyak seperti bola salju. Penelitian dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan responden.

Responden adalah pria dan wanita yang berdomisili (dan memiliki kartu tanda penduduk) di Kota Bandung, berusia antara 28 tahun sampai dengan 55 tahun, berpendidikan minimal sarjana (S1), bekerja dengan pendapatan antara Rp2 000 000-Rp10 000 000 per bulan, dan secara acak tersebar di beberapa kecamatan. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 58 orang untuk kuesioner dan 7 orang untuk wawancara mendalam.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Uji validitas pada kuesioner digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut mampu mengukur apa yang ingin diukur. Sedangkan uji reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten jika pengukuran dilakukan dua kali atau lebih. Dalam penelitian, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah instrumen yang dipersiapkan untuk mengumpulkan data penelitian benar-benar mengukur apa yang ingin diukur.

Sedangkan, validitas terletak pada pemilihan sampel yang representatif (secara acak di berbagai kecamatan) karena temuan data pada kelompok sampel tersebut dianggap mewakili populasi yang lebih besar yaitu masyarakat kelas menengah Kota Bandung.

37

Gambar

Tabel 1  Perkembangan jumlah kelas menengah di Indonesia
Gambar 2  Kerangka pemikiran
Tabel 2  Daftar kecamatan, jumlah kelurahan, jumlah penduduk tahun 2013 dan    jumlah rumah tangga tahun 2012 di Kota Bandung
Gambar 3  Peta Kota Bandung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peran Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Kota Surakarta dalam Mengembangkan UMKM di Kelurahan Semanggi Kota Surakarta. Fakultas Ilmu Sosial

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di DPC Partai Demokrat Kota Medan mengenai peran perempuan dalam melaksanakan fungsi rekrutmen politik sudah mengarah pada

KONTRIBUSI MOTIVASI EKSTRINSIK DAN MOTIVASI INTRINSIK TERHADAP AKTIVITAS FISIK CABANG OLAHRAGA SOFTBALL PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA BANDUNG Universitas

STUDI EKSPLORASI KETERSERAPAN LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI DI KOTA BANDUNG PADA INDUSTRI OTOMOTIFM. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

KONTRIBUSI MOTIVASI EKSTRINSIK DAN MOTIVASI INTRINSIK TERHADAP AKTIVITAS FISIK CABANG OLAHRAGA SOFTBALL PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS DI

Judul : Peran Politik Anggota Legislatif Perempuan Dalam Merespon Kepentingan Perempuan (Studi Kasus DPRD Kota Pematang Siantar 2016).. Menyetujui: Ketua Departemen

Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Dinas Perhubungan Kota Bandung dalam menanggulangi kemacetan di Kota Bandung.

(3) Wujud pembauran sosial Etnis Tionghoa di Pecinan Cibadak diantaranya dapat dilihat melalui kemampuan berbahasa Sunda yang dimiliki oleh Etnis Tionghoa, anggota