• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Hasil Tangkapan Ikan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di perairan Sungai Belumai berjumlah 55 ekor, diantaranya 12 ekor terdapat di stasiun I, 10 ekor di stasiun II, 23 ekor di stasiun III dan stasiun IV terdapat 10 ekor. Hasil tangkapan ikan tertinggi diperoleh di stasiun III yang merupakan pertemuan Sungai Belumai dengan Sungai Kualanamu. Hasil tangkapan yang diperoleh pada tiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hasil Tangkapan Ikan Lemeduk di Sungai Belumai

Analisis Karakter Morfometrik

Berdasarkan hasil analisis komponen utama dari 12 karakter morfometrik diperoleh 12 komponen utama. Dari keseluruhan data dikelompokkan berdasarkan

0 5 10 15 20 25

jenis kelamin. Diambil dua komponen utama yang dapat mewakili informasi dari beberapa stasiun. Dari dua komponen utama yang digunakan diperoleh ragam kumulatif karakter morfometrik ikan Lemeduk keseluruhan yang tertangkap di perairan Sungai Belumai sebesar 84,3% yang terdiri dari komponen utama ke-1: 76,6% dan komponen utama ke-2: 7,7%. Hasil ini merupakan ekstraksi dari 12 komponen karakter morfometrik yang diukur baik jantan, betina, ataupun keseluruhan. Nilai Komponen utama yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen Utama ke-1 dan ke-2 ikan Lemeduk

Karakter

Jantan Betina Gabungan

PC1 PC2 PC1 PC2 PC1 PC2 PT -0.331 -0.081 -0.305 0.108 -0.317 0.115 PS -0.311 -0.107 -0.305 -0.013 -0.306 0.091 PK -0.264 -0.187 -0.265 0.249 -0.266 0.125 PBE -0.260 -0.194 -0.265 0.463 -0.255 0.356 PM -0.249 -0.328 -0.260 0.189 -0.258 0.247 TSP -0.323 -0.030 -0.295 0.204 -0.308 0.109 PPSP -0.195 0.646* -0.272 -0.568* -0.245 -0.620* DM -0.208 0.614* -0.268 -0.549* -0.244 -0.611* TBE -0.313 -0.069 -0.309 -0.026 -0.310 0.066 TB -0.323 0.043 -0.306 -0.025 -0.315 -0.033 PSD -0.324 0.012 -0.305 -0.082 -0.312 -0.005 PSP -0.319 0.003 -0.302 0.050 -0.310 0.022 Eigenvalue 8.4515 1.3096 10.010 0.619 9.1936 0.9251 Proportion 0.704 0.109 0.834 0.052 0.766 0.077 Cumulative 0.704 0.813 0.834 0.886 0.766 0.843

Berdasarkan Hasil Penelitian Keragaman Fenotip pada ikan Lemeduk di Sungai Belumai Keragaman fenotip tiap karakter menunjukkan nilai tertinggi pada variabel panjang total (PT) dengan 11,74 dan Diamater mata (DM) dengan keragaman terendah (0,0194). Nilai keragaman fenotip yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai Keragaman Fenotip Ikan Lemeduk

Karakter Rata-rata Simpangan baku Keragaman Fenotip

PT 20.55818 3.426406 11.74026 PS 15.91131 3.558574 12.66345 PK 3.500164 0.687856 0.473146 PBE 2.029236 0.523869 0.274439 PM 0.794673 0.185162 0.034285 TSP 3.592182 0.683437 0.467087 PPSP 2.552273 0.639406 0.40884 DM 1.0224 0.139443 0.019444 TBE 2.316836 0.426214 0.181659 TB 6.658636 1.076183 1.158169 PSD 3.278582 0.60767 0.369262 PSP 3.119436 0.615044 0.378279

Kesamaan karakter morfometrik menunjukkan ikan Lemeduk di Sungai Belumai adalah unit populasi yang sama. Aktifitas yang terdapat di Sungai Belumai tidak memberikan pengaruh nyata terhadap bentuk morfometrik ikan Lemeduk. Pada Gambar 10 ditampilkan hasil analisis penyebaran individu dan korelasi karakter morfometrik ikan Lemeduk di Sungai Belumai pada 4 stasiun.

Analisis Karakter Meristik

Untuk hasil perhitungan meristik ikan Lemeduk di Sungai Belumai disajikan pada tabel 3.

Tabel 3. Kisaran Meristik Ikan Lemeduk (B. Schwanenfeldii)

No karakter St I St II St III St IV Kottelat

(1993)

Fishbase

1 Sisik Linea Literalis 35-36 34-36 34-36 36 35-36

2 Sisik Melintang Badan 17-18 17-20 17-20 20

3 Sisik Di Depan Sirip

Punggung

13-14 13-14 13-14 13-14 13-14

4 Jumlah Sisik Di

Sekeliling Batang Ekor

16 16 16 16

5 Sirip Punggung DIII.9 DIII.9 DIII.9 DIII.9 DIII.8

6 Sirip Perut VI.8 VI.8 VI.8 VI.8

7 Sirip Dada PI.14 PI.14 PI.14 PI.13-14

8 Sirip Dubur AIII.6 AIII.6 AIII. 6 AIII. 6 AIII.5

9 Sirip Ekor 33 32 33 33

Parameter Fisika kimia perairan Sungai Belumai

Berdasarkan hasil pengamatan kondisi Perairan Sungai Lemeduk diperoleh nilai faktor fisika-kimia yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter Fisika Kimia Perairan di Sungai Belumai Parameter yang diukur Stasiun 1 II III IV Suhu (oC) 28-30 29 - 30 28-31 27-34 pH 5,6 – 7,5 5,6 - 7 5,3 – 6,5 4,2 - 6,6 Kedalaman (cm) 94,6 - 137 66,3 – 87,3 116,3 –137,6 261,6 -308,3 Kekeruhan (NTU) 1,03 – 7,15 2,18 – 6,93 5,38 – 34,7 3,34 – 36,5 DO (mg/l) 4,081 - 8,16 3,57 – 6,12 1,42 – 4,08 0,61 – 3,06 Kecepatan arus (m/s) 0.509 – 1,25 0,89 – 1,08 0,15 – 0,39 0,095 - 0,3

Pembahasan Hasil Tangkapan

Ikan Lemeduk yang diteliti pada penelitian ini keseluruhan berjumlah 55 ekor yang terdiri dari 21 ekor ikan betina dan 34 ekor ikan jantan. Pada stasiun I terdapat 12 ekor ikan Lemeduk yang tertangkap, 10 ekor tertangkap di stasiun II, 23 ekor pada stasiun III dan stasiun IV terdapat 10 ekor. Ikan yang tertangkap banyak terdapat di stasiun III yang merupakan pertemuan antara Sungai Kualanamu dengan Sungai Batugingging.

Berdasarkan kisaran ukuran ikan yang didapat pada tiap stasiun maka ditemukan perbedaan ukuran dari ikan yang diukur pada keempat stasiun tersebut. Untuk stasiun I ukuran ikan (panjang total) kisaran 21,4 mm - 29 mm, Stasiun II ukuran ikan sekitar 184 mm - 295 mm, Stasiun III berkisar 153 mm -208 mm dan stasiun IV berkisar antara 166 mm – 204 mm dengan bobot 53-151,14 gram Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Dari hasil penelitian Setiawan (200) diperoleh jumlah keseluruhan ikan lampam (B. Schwanenfeldii) yang tertangkap diperairan Sungai Musi dari hulu sampai hilir sebanyak 425 ekor, yang terdiri dari 238 ekor ikan jantan dan 187 ekor ikan betina. Ikan yang tertangkap memiliki panjang total 51-280 mm dengan bobot tubuh 1,25-336 gram.

Perbedaan hasil tangkapan baik berupa jumlah tangkapan, bobot tubuh maupun kisaran panjang total ini diduga karena interval pengambilan sampel ikan ini di Sungai Musi jauh lebih lama daripada yang dilakukan di Sungai Belumai. Pengambilan sampel di Sungai Musi interval 3 bulan sedangkan di Sungai Belumai

dengan interval 2 minggu. Untuk pengambilan sampel di Sungai Musi menggunakan berbagai ukuran mata jaring (0,5-2 inci) sedangkan pengambilan sampel di Sungai Belumai hanya menggunakan satu ukuran mata jaring yaitu 2 inci. Alat tangkap gillnet dengan beberapa ukuran mata jaring memungkinkan ikan yang tertangkap memiliki ukuran yang beragam. Banyak tertangkapnya ikan yang berukuran kecil diduga adalah hasil tangkapan yang berukurun 0,5 inci, sedangkan ikan yang tertangkap berukuran besar hasil tangkapan gillnet dengan ukuran 2 inci.

Analisis Karakter Morfometrik

Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data hingga mendapatkan suatu komponen utama yang dapat menggambarkan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Seluruh karakter morfometrik yang dianalisis menggunakan program PCA (Principal Components Analysis) didapat suatu matriks data yang nilai-nilainya menunjukkan seberapa dekat suatu karakter memiliki keterkaitan dengan karakter lainnya.

Berdasarkan hasil analisis komponen utama dari 12 karakter morfometrik diperoleh 12 komponen utama. Dari keseluruhan komponen diambil dua komponen utama yang dapat mewakili informasi dari beberapa stasiun. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1. yakni ragam kumulatif yang besar pada kedua komponen utama. Hasil ini merupakan ekstraksi dari 12 komponen karakter morfometrik yang di ukur. Data morfometrik ikan Lemeduk yang tertangkap dapat dilihat pada lampiran 2.

Pada ikan jantan diperoleh ragam kumulatif karakter morfometrik ikan Lemeduk di Sungai Belumai sebesar 81,3% dengan komponen utama ke-1 bernilai 70,4% dan komponen ke-2 bernilai 10,9%. Nilai 12 komponen yang dihitung dapat dilihat pada lampiran 3. Untuk ikan betina memiliki ragam kumulatif sebesar 88,6% diberikan komponen utama ke-1 sebesar 83,4% dan komponen 2 sebesar 5,2%. Nilai 12 komponen yang dihitung dapat dilihat pada lampiran 4. Secara keseluruhan (gabungan jantan dan betina) dari dua komponen utama yang digunakan diperoleh ragam kumulatif karakter morfometrik ikan Lemeduk di Sungai Belumai sebesar 84,3% diberikan oleh komponen utama ke-1 : 76,6% dan komponen utama ke-2 : 7,7%. Hal ini berarti apabila 12 variabel asli direduksi menjadi 2 variabel, maka variabel tersebut dapat menjelaskan 84,3% dari total keragaman 12 variabel asli. Nilai 12 komponen yang dihitung secara keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 5.

Pada komponen utama pertama baik data jantan, data betina maupun data keseluruhan yang merupakan gabungan antara jantan dan betina ikan Lemeduk yang terdapat di perairan ini menunjukkan semua koefisiennya (komponen pertama) bertanda negatif. Hasil penelitian oleh Doherty dan McCarthy (2004), menunjukkan metode yang sama dan hasil sesuai untuk jenis ikan yang berbeda. ikan yang diteliti merupakan ikan Salvelinus alpines.

Jolicoeur dan Mosimann diacu oleh Doherty dan McCarthy (2004) juga menunjukkan bahwa setiap komponen memiliki semua koefisien dari tanda yang sama adalah indikasi dari variasi ukuran, sedangkan setiap komponen yang memiliki baik positif maupun negatif koefisien adalah indikasi dari variasi bentuk. Dengan demikian nilai pada komponen utama pertama hanya menunjukkan adanya variasi

ukuran bukan perbedaan bentuk dari ikan Lemeduk. Hal ini dibuktikan oleh variasi ukuran ikan Lemeduk yang diukur pada empat stasiun.

Pada komponen utama kedua secara keseluruhan diperoleh ragam kumulatif sebesar 7,7 %. Pada nilai komponen utama kedua terlihat ada sebagian kecil variabel dari komponen utamanya yang bertanda negatif dengan dominasi variabel bertanda positif. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan ikan pada tiap stasiun juga memiliki keragaman bentuk, akan tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan untuk membuktikan bahwa ikan yang diteliti memiliki perbedaan bentuk. Pada tabel 1 juga terlihat beberapa karakter seperti Panjang Pangkal Sirip Punggung dan Diameter Mata memberikan pengaruh keragaman morfometrik.

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa perbedaan aktifitas pada lokasi penelitian tidak mempengaruhi karakter fenotip ikan Lemeduk. Diduga karena lokasi stasiun yang berdekatan. Kesamaan karakter morfometrik menunjukkan ikan Lemeduk di Sungai Belumai adalah unit populasi yang sama.

Perbedaan kisaran karakter morfometrik spesies pada tiap stasiun tersebut disebabkan adanya perbedaan umur dan jenis kelamin. Sedangkan faktor lingkungan seperti suhu, Arus dan pH diduga tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap perbedaan ukuran perbandingan ciri morfometrik pada empat stasiun tersebut karena keseluruhannya dianggap berasal dari satu habitat yang memiliki faktor lingkungan sama yaitu aliran Sungai Belumai.

Pada Tabel 2 yang merupakan Keragaman fenotip tiap karakter menunjukkan nilai tertinggi pada variabel panjang total (PT) dengan 11,74 dan Diamater mata (DM) dengan keragaman terendah (0,0194). Diameter mata merupakan salah satu karakter morfometrik yang mempengaruhi keragaman morfometrik, akan tetapi nilai

keragamannya termasuk paling rendah. Dari nilai keragaman fenotip yang diperoleh diketahui bahwa perbedaan stasiun tidak mempengaruhi karakter morfologi ikan Lemeduk secara umum, hal ini ditunjukkan nilai keragaman fenotip yang tergolong rendah. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat ikan yang tertangkap memiliki keragaman ukuran bukan keragaman bentuk.

Berdasarkan analisis korelasi data morfometrik ikan Lemeduk, terlihat bahwa korelasi antar karakter memiliki kisaran yang cukup lebar yaitu antara 0,377 sampai 0,946. Hubungan yang sangat erat ditunjukkan oleh karakter Tinggi Batang Ekor (TBE) dan Panjang standar (PS) dengan nilai korelasi sebesar 0,946 sedangkan untuk korelasi terendah ditunjukkan oleh karakter panjang pangkal sirip punggung (PPSP) dan Panjang Batang Ekor (PBE) dengan nilai korelasi sebesar 0,377. Namun analisis korelasi karakter morfometrik ini hanya menunjukkan karakter-karakter yang memiliki hubungan saling terkait dengan karakter lainnya dan bukan menjadi standar dalam identifikasi ikan Lemeduk. Nilai korelasi karakter morfometrik pada B. schwanenfeldii dapat dilihat pada Lampiran 6.

Analisis Karakter Meristik

Untuk penghitungan meristik mencakup pengukuran sirip ikan maupun jumlah sisik ikan. Sirip pada ikan ini dapat dibedakan atas dua macam, yaitu sirip keras dan sirip lemah. Sirip keras tidak berbuku-buku, tidak dapat dibengkokkan dan biasanya berupa duri, cucuk, atau patil, dan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan diri. Jari-jari lemah bersifat agak cerah, seperti tulang rawan, mudah dibengkokkan, dan berbuku-buku atau beruas-ruas. Bentuknya berbeda-beda tergantung pada jenis ikannya. Perumusan jari-jari keras digambarkan dengan angka

Romawi, walaupun jari-jari itu pendek sekali. Untuk pengukuran sirip lemah digambarkan menggunakan angka biasa.

Penghitungan karakter meristik berupa jumlah jari – jari sirip dorsal (D) pada ikan Lemeduk di keempat stasiun menunjukkan kisaran hasil yang sama yaitu 3 buah sirip keras dan 9 sirip lemah. Hal ini mendekati rumus umum sirip dorsal menurut fishbase yaitu 3 sirip keras dan 8 sirip lemah. Untuk jumlah jari – jari sirip anal memiliki jumlah yang sama untuk ikan di keempat stasiun yaitu berkisar 2 buah dengan literatur dari fishbase.org dimana ikan ini memiliki 3 sirip keras dan 6 sirip lemah.

Untuk karakter meristik yang lain, sirip ventral memiliki 1 buah sirip keras dan sirip lemah sebanyak 8 buah, jumlah sirip caudal sekitar 32-33 buah, jumlah sisik pada garis rusuk (LL) 34-36 buah, jumlah sisik melintang badan 17-20 buah, jumlah sisik di muka sirip dorsal 13-14 buah, dan Jumlah sisik sekeliling batang ekor berjumlah 16 buah. Untuk melihat data meristik ikan Lemeduk dapat dilihat pada lampiran Hasil yang didapat dari keempat stasiun menunjukkan kesamaan jumlah karakter meristik pada ikan Lemeduk. Sebagai tambahan, diperoleh hasil penelitian Setiawan (2007) pada ikan yang sama (B. Schwanenfeldii) dengan jumlah sisik sepanjang Linea Literalis berjumlah 34-36, jumlah sisik di muka sirip dorsal berjumlah 13 sisik, jumlah sisik sekeliling batang ekor berjumlah 18 sisik. hasil pengukuran yang dilakukan oleh Setiawan masih dalam kisaran meristik yang dihitung pada penelitian ini.

Hasil penelitian Gante dkk., (2008) menunjukkan hasil yang tidak berbeda pada penelitian ini. Pada pengukuran meristik B. schwanenfeldii di Portugal memiliki linea literalis 36 buah, pada sirip punggung terdapat 4 buah jari-jari keras dan 9 buah

jari-jari lemah, 1 buah jari-jari keras dan 14 buah jari-jari pada sirip dada, 1 buah jari-jari keras dan 8 jari-jari lemah pada sirip perut dan sirip dubur memiliki 3 buah jari-jari keras dan 6 jari-jari lemah. Pada penelitian ini nilai meristik yang dihitung tidak terlalu berbeda kecuali pada jari-jari keras sirip punggung. Hal ini diduga karena perbedaan bentang alam sehingga ikan beradaptasi terhadap lingkungan dimana ikan itu berada. Sebagai tambahan Pada penelitian Gante dkk., (2008) juga menyebutkan bahwa salah satu karakteristik B. schwanenfeldii adalah panjang moncong lebih pendek daripada diameter mata. Hal ini juga dibuktikan pada penelitian ini. Pada penelitian ini juga panjang moncong lebih pendek daripada diameter mata.

Hasil analisis perbandingan karakter meristik menunjukkan jumlah dan kisaran jumlah karakter meristik menunjukkan nilai yang sama pada keempat stasiun. Identifikasi karakter meristik ini menguatkan dugaan bahwa ikan Lemeduk pada ketiga stasiun adalah unit populasi yang sama.

Sebagai tambahan, Ikan ini badannya berbentuk bundar telur memanjang apabila dilihat dari samping, dan memipih tegak dilihat dari depan dengan perut agak membundar.posisi mulut terminal, dapat disembulkan dan dilengkapi dua pasang sungut. Ikan Lemeduk memiliki sirip yang lengkap dan hanya memiliki 1 sirip dorsal. ujungnya, sirip dubur dan sirip perut berwarna merah atau oranye dengan pinggiran garis hitam sepanjang cupang sirip ekor. Ikan ini juga memiliki linea literalis yang bentuknya melengkung sedikit dan lengkap dari belakang tutup insang hingga batang ekor dan tidak terputus.

Parameter Kualitas Air

Dari hasil parameter kualitas air yang diperoleh secara umum masih mendukung kehidupan biota termasuk ikan dan ini dapat diketahui dari beberapa parameter kualitas air di masing-masing stasiun. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Belumai berkisar 270 C - 340 C (Tabel 4.). Variasi tersebut diduga disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan maupun perbedaan kondisi lingkungan di setiap stasiun. Pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

Nilai pHdari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Belumai berkisar 4,2-7,5. Nilai pHterendah terdapat pada stasiun 4 sebesar 4,2 dan pHtertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 7,5. Rendahnya nilai pH pada stasiun 4 ini disebabkan karena stasiun IV merupakan aliran hilir sungai. Sehingga buangan limbah yang terdapat dari hulu mengalir ke hilir sungai (stasiun 4). Tingginya nilai pH pada stasiun I disebabkan daerah ini belum ada aktivitas yang menghasilkan senyawa organik sehingga tidak terjadi penguraian yang dapat menurunkan nilai pH di perairan tersebut.

Fungsi pH sendiri menjadi faktor pembatas karena masing-masing organism memiliki toleransi kadar maksimal dan minimal nilai pH. Dengan nilai pH perairan kita dapat mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan perairan. Kisaran pH di perairan ini masih mendukung kehidupan plankton yang hidup di

dalamnya. Menurut Sinambela (1994), dalam Surbakti (2009) menyatakan kehidupan di dalam air masih dapat bertahanbila perairan mempunyai kisaran pH 5-9.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kekeruhan dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Belumai berkisar 1,03 - 36,5 NTU. Nilai kekeruhan terendah terdapat di stasiun I sebesar 1,03 dan nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 36,5 NTU. Tingginya nilai kekeruhan pada stasiun 4 disebabkan adanya masukan zat-zat terlarut ke badan perairan seperti buangan dari hulu sungai.

Nilai kekeruhan yang cukup tinggi di beberapa stasiun sudah tidak baik untuk kehidupan organisme. Tingkat kekeruhan menggambarkan jumlah bahan organik tersuspensi maupun terlarut pada perairan. Semakin keruh suatu perairan berarti semakin banyak bahan tersuspensi dan terlarut yang ada di perairan. Menurut Boyd (1982) diacu oleh Johan dan Edirmawan (2011) perairan yang memiliki Kisaran kekeruhan 13,65 – 18,94 NTU secara umum cukup baik dan masih mendukung kehidupan organisme aquatik. Alearts dan Santika (1984) juga menambahkan bahwa nilai minimum untuk kekeruhan adalah 5 NTU dan maksimum yang diperbolehkan adalah 25 NTU.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh arus dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Belumai berkisar 0,095 - 1,25 m/s. Kecepatan arus yang lebih tinggi terdapat pada stasiun I sebesar 1,25 m/s dan kecepatan arus terendah ada pada stasiun IV. Jenis substrat akan mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah. Menurut Siahaan dkk (2012) Faktor gravitasi, lebar sungai dan material yang dibawa oleh air sungai membuat kecepatan arus di hulu paling besar.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kedalaman dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Belumai berkisar 66,3 – 308,3 cm. Kedalaman yang lebih tinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 308,3 cm dan kedalaman terendah ada pada stasiun II. Pada penelitian Fisesa (2014 ) kedalaman yang diukur pada Sungai Belumai berkisar antara 2,5 – 3,1 M. perbedaan nilai kedalaman ini dikarenakan perbedaan penentuan titik sampel di Sungai Belumai.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai DO dari masing-masing stasiun di perairan Sungai Belumai berkisar 0,61-8,16 mg/l. nilai DO yang tertinggi berada di stasiun I yakni 8,16 dan DO terendah terdapat pada stasiun IV yakni 0,61. Perbedaan nilai DO yang cukup tinggi ini disebabkan karena stasiun I merupakan daerah bagian hulu sungai dimana buangan limbah masih sedikit sedangkan stasiun IV merupakan daerah hilir dimana seluruh buangan akan mengalir ke stasiun IV tersebut. Menurut Michael (1984) oksigen hilang dari air secara alami oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu.

Pengelolaan sumber daya hayati ikan diarahkan pada upaya-upaya yang menjamin kelestarian stok ikan di alam. Ikan Lemeduk memiliki potensi yang tinggi dalam bidang perikanan. Meningkatnya permintaan pasar terhadap ikan Lemeduk menyebabkan semakin tingginya kegiatan penangkapan dan penggunaan alat tangkap oleh nelayan. Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi suatu spesies di alam yaitu terjadinya degradasi lingkungan. Terjadinya kerusakan lingkungan perairan dapat mengganggu pertumbuhan biota perairan terutama ikan. Dengan demikian perlu dibuat strategi pengelolaan yang tepat untuk mencegah terjadinya kepunahan dan ikan Lemeduk dapat tetap lestari.

Menurut Dahuri (1996) diacu oleh Khamsani (2010), empat aspek berikut harus benar-benar diperlihatkan secara sungguh-sungguh dalam rangka pembangunan berkelanjutan, yaitu : (1) kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi yang secara ekologis sesuai tata ruang, (2) laju pemanfaatan sumberdaya pulih tidak melebihi potensi lestari, (3) laju pembuangan limbah ke lingkungan tidak melebihi kapasitas asimilasinya, dan (4) tidak merusak bentang alam. Banyak cara untuk mencegah kepunahan ikan, khusus untuk ikan Lemeduk, pendirian suaka perikanan, domestikasi, penebaran kembali, dan pengembangan budidaya menjadi alternatif tindakan pencegahan kepunahan yang strategis.

Mengacu pada uraian di atas, serta dikaitkan dengan hasil penelitian ini maka perlu adanya strategi pengelolaan ikan Lemeduk di Sungai Belumai agar tidak merusak kelestarian ikan Lemeduk, antara lain :

1. Domestikasi ikan Lemeduk dan Pengembangan budidaya. Berhasilnya upaya domestikasi dapat mendorong pengembangan budidaya sehingga tekanan penangkapan dapat berkurang, sehingga diharapkan populasi ikan Lemeduk dapat meningkat dan produksi ikan dapat cepat tercapai.

2. Minimalisasi Tingkat Pencemaran. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem di perairan, diperlukan suatu pengelolaan perikanan terhadap sumberdaya yang beragam. Usaha pengelolaan dapat berupa penyuluhan terhadap masyarakat setempat tentang dampak lingkungan terhadap organisme perairan bahkan juga berdampak pada manusia.

3. Identifikasi Stok Ikan Lemeduk

Disamping itu dalam hal manajemen perikanan di Sungai Belumai, informasi ilmiah terkait identifikasi stok ikan Lemeduk diperlukan agar tidak

terjadi kesalahan introduksi spesies dalam pengelolaan stok ikan terutama ikan Lemeduk.

Agar upaya pengelolaan dapat diterapkan dan berjalan dengan baik, maka perlu adanya kerjasama dengan masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pemerintah setempat.

Dokumen terkait