• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Analisis Struktur Komunitas Echinodermata Komposisi Jenis

Echinodermata yang ditemukan di Pantai Pandaratan Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara selama penelitian ini sebanyak 1482 individu terdiri dari 5 family dan 7 spesies. Pada stasiun I ditemukan 5 spesies dengan jumlah 639 individu, stasiun II ditemukan sebanyak 3 spesies dengan jumlah 470 individu dan stasiun III sebanyak 4 spesies dengan jumlah 363 individu. Komposisi Echinodermata yang didapat pada stasiun lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Jenis Echinodermata pada Setiap Stasiun

No Jenis Echinodermata Stasiun

Jumlah

Keterangan : (+) ditemukan; (-) tidak ditemukan

Kepadatan (K)

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh jenis Echinodermata Holothuria scabra pada stasiun I dan II memiliki kepadatan sebesar 0 ind/m2 sedangkan pada stasiun III sebesar 2 ind/m2. Holothuria atra pada stasiun I dan II memiliki kepadatan sebesar 0 ind/m2

sedangkan pada stasiun III sebesar 3 ind/m2. Holothuria leucospilota pada stasiun I memiliki kepadatan sebesar 15 ind/m2, stasiun II sebesar 0 ind/m2 dan stasiun III sebesar 16 ind/m2. Jenis Laganum laganum pada stasiun I memiliki kepadatan sebesar 11 ind/m2, stasiun II sebesar 21 ind/m2 dan stasiun III sebesar 0 ind/m2. Archaster typicus pada stasiun I memiliki kepadatan sebesar 39 ind/m2, stasiun II sebesar 31 ind/m2 dan stasiun III sebesar 23 ind/m2. Jenis Ophiocoma erinaceus pada stasiun I memiliki kepadatan sebesar 11 ind/m2, stasiun II sebesar 5 ind/m2 dan stasiun III sebesar 0 ind/m2. Diadema setosum pada stasiun I memiliki kepadatan sebesar 1 ind/m2 sedangkan pada stasiun II dan III sebesar 0 ind/m2. Kepadatan Echinodermata dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kepadatan Echinodermata pada Setiap Stasiun Pengamatan

No Nama Spesies Kepadatan (ind/m2)

Stasiun I Stasiun II Stasiun III

1 Holothuria scabra 0 0 2

Dari hasil penelitian yang dilakukukan di Pantai Pandaratan Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara diperoleh jenis Echinodermata Holothuria scabra memiliki nilai kepadatan relatif yang sama dengan jenis Holothuria atra yaitu sebesar 1%. Holothuria leucospilota dan Laganum laganum memiliki kepadatan relatif yang sama yaitu sebesar 18%.

Archaster typicus memiliki kepadatan relatif tertinggi yaitu sebesar 52%. Jenis

Ophiochoma erinaceus memiliki kepadatan relatif sebesar 9%. Diadema setosum memiliki nilai kepadatan relatif terendah yakni 0%. Kepadatan relatif Echinodermata di Pantai Pandaratan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Kepadatan Relatif Echinodermata

Indeks Keanekeragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Nilai Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Echinodermata di Pantai Pandaratan Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman pada stasiun I sebesar 1,268, stasiun II sebesar 0,918 dan stasiun III sebesar 1,015 dengan Indeks Keanekaragaman tertinggi diperoleh pada stasiun I yakni 1,268 dan terendah pada stasiun II yakni 0,918. Nilai Indeks Keseragaman pada stasiun I sebesar 0,788, stasiun II sebesar 0,836 dan stasiun III sebesar 0,732 dengan nilai Indeks Keseragaman tertinggi diperoleh pada stasiun II yakni 0,836 dan terendah pada stasiun III yakni 0,732. Indeks Dominansi pada stasiun I sebesar 0,335, stasiun II sebesar 0,437 dan stasiun III sebesar 0,418 dengan nilai Indeks Dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II yakni 0,437 dan terendah pada stasiun I yakni 0,335.

Tabel 4. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Echinodermata

Indeks Stasiun

I II III

H’ (Keanekaragaman) 1,268 0,918 1,015

Kategori Sedang Rendah Sedang

E (Keseragaman) 0,788 0,836 0,732

Kategori Tinggi Tinggi Tinggi

C (Dominansi) 0,335 0,437 0,418

Kategori Rendah Sedang Sedang

Penutupan lamun

Data penutupan lamun di Pantai Pandaratan Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan data sekunder yang diperoleh melalui penelitian yang dilakukan oleh wajuna (2018), yaitu hasil persentase tutupan lamun pada stasiun I adalah 34,47%

dan termasuk kategori sedang, persentase tutupan lamun pada stasiun II yaitu 20,27%, termasuk kategori jarang dan persentase tutupan lamun pada stasiun III yaitu 25,38% dan termasuk kategori jarang. Namun secara keseluruhan lamun di Pantai Pandaratan memiliki persentase tutupan sebesar 26,70% yang termasuk ke dalam kategori sedang.

Parameter Fisika Kimia Perairan

Kisaran dari hasil pengukuran parameter fisika dan kimia yang dilakukan di lapangan dapat dilihat pada Tabel 5 dengan menyesuaikan pada baku mutu air laut untuk biota laut menurut Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.

Tabel 5. Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter Satuan Stasiun Baku

Mutu

Parameter Satuan Stasiun Baku

Tabel 6. Karakteristik Substrat dan Kandungan C-Organik di Pandaratan Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara Stasiun

Hubungan Struktur Komunitas Echinodermata dengan Penutupan Lamun dan Parameter Fisika Kimia Perairan

Berdasarkan analisis statistika yaitu Principal Componen Analysis (PCA) (Gambar 11) kepadatan Echinodermata membentuk sudut < 900 terhadap penutupan lamun dan parameter fisika kimia perairan meliputi DO, posfat dan kedalaman. Hal ini menunjukkan kepadatan memiliki hubungan positif berpengaruh dengan penutupan lamun dan parameter fisika kimia perairan meliputi DO, posfat dan kedalaman sedangkan antara kepadatan dengan suhu, pH, arus, salinitas, nitrat, kecerahan dan C-Organik membentuk sudut > 900. Hal ini menunjukkan hubungan antara kepadatan dengan suhu, pH, arus, salinitas, nitrat, kecerahan dan C-Organik bersifat negatif.

Gambar 10. Hubungan Struktur Komunitas Echinodermata dengan Penutupan Lamun dan Parameter Fisika Kimia Perairan

Pembahasan

Analisis Struktur Komunitas Echinodermata Komposisi Jenis

Echinodermata yang ditemukan di ekosistem lamun Pantai Pandaratan Kecamatan Sarudik Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara diperoleh 7 jenis Echinodermata dari 4 kelas yang berbeda yaitu kelas Holothuroidea terdiri dari 3 jenis meliputi Holothuria scabra, Holothuria atra dan Holothuria leucospilota, kelas Asteroidea terdiri dari 1 jenis yaitu Archaster typicus, kelas Echinoidea terdiri dari 2 jenis meliputi Laganum laganum dan Diadema setosum, kelas Ophiuroidea terdiri dari 1 jenis yaitu Ophiocoma erinaceus. Echinodermata pada ekosistem lamun dapat dijumpai dengan jumlah dan pola penyebaran yang berbeda. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Tahe et al., (2013) di pantai Tanamon Kecamatan Sinonsayang Sulawesi Utara, yaitu jenis Echinodermata yang ditemukan di ekosistem lamun diperoleh 18 jenis Echinodermata dari 4 kelas yang berbeda yaitu Asteroidea 4 jenis, Ophiuroidea 6 jenis, Holothuroidea 3 jenis dan Echinoidea 5 jenis. Kemudian Oktavianti et al., (2014) melaporkan sebanyak 11 jenis fauna Echinodermata ditemukan di Ekosistem Padang Lamun Pulau Panggang Kepulauan Seribu, Jakarta yang terdiri dari 3 kelas yang berbeda yaitu kelas Echinoidea 5 jenis, kelas Holothuroidea 3 jenis dan kelas Asteroidea 3 jenis.

Jenis Holothuria scabra yang tertangkap dari seluruh stasiun sebanyak 17 individu, jenis Holothuria atra sebanyak 21 individu, Holothuria leucospilota sebanyak 262 individu, jenis Archaster typicus sebanyak 766 individu, Laganum laganum sebanyak 264 individu, jenis Ophiocoma erinaceus sebanyak 137 individu dan Diadema setosum sebanyak 5 individu. Echinodermata yang banyak tertangkap di ekosistem lamun Pantai Pandaratan adalah berasal dari jenis Archaster typicus, karena jenis ini dapat dijumpai disemua stasiun. Hal ini sejalan dengan penelitian Irawan (2014), yang melaporkan bahwa pada perairan litoral pesisir Pulau Bintan ditemukan 15 spesies hewan dari filum Echinodermata yaitu 4 spesies bintang laut, 3 spesies bintang ular, 2 spesies bulu babi, 1 spesies dolar pasir dan 5 spesies teripang. Spesies yang selalu ditemukan pada semua lokasi adalah bintang laut dengan spesies Archaster typicus dimana ada kesamaan habitat yaitu pasir berlumpur di sekitar padang lamun. Kemudian hasil penelitian Jumanto et al., (2013)., ditemukan jenis Archaster typicus memiliki kerapatan tertinggi yaitu 0,158667 ind/m2 atau dapat diasumsikan bahwa dalam 17 m2 ditemukan 1 individu jenis. Jenis ini banyak ditemukan bila dibandingkan dengan

jenis lain disebabkan karena substrat yang terdapat pada perairan padang lamun Desa Pangudang memiliki tipe substrat pasir halus yang sesuai dengan habitat jenis ini.

Kepadatan (K)

Kepadatan Echinodermata di Ekosistem Lamun Pantai Pandaratan yang tertinggi pada stasiun I adalah jenis Archaster typicus yaitu 39 ind/m2 sedangkan yang terendah adalah Holothuria scabra dan Holothuria atra yaitu 0 ind/m2. Stasiun II kepadatan Echinodermata yang tertinggi adalah jenis Archaster typicus yaitu 31 ind/m2 dan yang terendah adalah jenis Holothuria scabra, Holothuria atra, Holothuria lucospilota dan Diadema setosum yaitu 0 ind/m2. Pada stasiun III kepadatan Echinodermata yang tertinggi adalah jenis Archaster typicus yaitu 23 ind/m2 sedangkan yang terendah adalah jenis Laganum laganum, Ophiocoma erinaceus dan Diadema setosum yaitu 0 ind/m2 (Tabel 3).

Kepadatan tertinggi pada lokasi penelitian yaitu terdapat pada stasiun I dengan kepadatan sebesar 11 ind/m2 (Tabel 3). Jumlah jenis yang paling banyak dijumpai pada stasiun I yaitu sebanyak 5 jenis. Hal ini disebabkan karena penutupan lamun pada stasiun ini lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lain yaitu sebesar 34,47%, sehingga banyak terdapat serasah yang dapat dijadikan sumber makanan bagi biota di daerah tersebut dan DO di stasiun ini lebih tinggi dibanding dengan stasiun II dan III. Menurut pernyataan Amrul (2007), tinggi rendahnya kepadatan suatu organisme sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan di sekitarnya. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh yaitu ketersediaan makanan dan oksigen yang cukup.

Kepadatan Echinodermata yang terendah pada lokasi penelitian yaitu terdapat pada stasiun III dengan kepadatan sebesar 6 ind/m2 (Tabel 3). Hal ini diduga karena adanya aktivitas penangkapan yang berlebihan oleh nelayan maupun masyarakat setempat sehingga mengakibatkan berkurangnya populasi Echinodermata pada stasiun ini. Hal ini sesuai dengan Radjab (2001) yang diacu oleh Budiman et al., (2014) yang menyatakan bahwa kurangnya fauna Echinodermata disebabkan karena penangkapan secara terus-menerus oleh masyarakat untuk dijadikan bahan konsumsi dan perdagangan. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi rendahnya nilai kepadatan dari Echinodermata salah satunya disebabkan karena kurangnya kemampuan bersaing dalam menempati suatu habitat.

Kepadatan Relatif (KR)

Kepadatan relatif Echinodermata yang tertinggi di ekosistem lamun Pantai Pandaratan terdapat pada jenis Archaster typicus dengan nilai kepadatan relatif sebesar 52% (Gambar 9). Archaster typicus merupakan yang paling dominan dan dapat ditemukan di setiap stasiun penelitian dibandingkan dengan jenis lain (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena jenis ini dapat hidup dengan baik pada ekosistem lamun dengan substrat berpasir yang terdapat pada lokasi penelitian. Selain itu A.

typicus dapat beregenerasi dengan cepat, sehingga jenis ini memiliki kepadatan relatif yang tinggi di perairan. Menurut Purwati et al., (2011), A. typicus menempati bagian tepi dari padang lamun supaya dapat membenamkan diri.

Archaster typicus membenamkan diri di dalam pasir untuk berlindung dari sinar matahari. Campbell et al., (2003) dalam Hidayat et al., (2017) berpendapat bahwa Archaster typicus memiliki kelimpahan yang tinggi di perairan karena memiliki

kemampuan beregenerasi (menambah organisme baru) dengan cara yang unik dan cepat.

Jenis Diadema setosum merupakan jenis echinodermata dengan nilai kepadatan relatif terendah yakni sebesar 0% (Gambar 9). Hal ini dikarenakan Diadema setosum umumnya hidup dalam kelompok agregasi dan ditemukan di perairan dangkal daerah rataan terumbu karang. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Suryanti dan Ruswahyuni (2014) yaitu kelimpahan bulu babi pada ekosistem terumbu karang lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem lamun dikarenakan terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai estetika yang tinggi serta merupakan habitat utama bulu babi.

Jenis H. Scabra dan H. atra memiliki nilai kepadatan relatif terendah kedua setelah Diadema setosum yaitu sebesar 1%. Jenis teripang ini hanya dapat ditemukan di stasiun III. Hal ini dikarenakan kepadatan bintang laut pada stasiun ini masih sedikit dibandingkan dengan stasiun I dan II yang mana bintang laut merupakan predator bagi teripang sehingga adanya bintang laut dapat menjadi salah satu faktor menurunnya kepadatan teripang. Menurut Hana (2011), adanya kepiting, bintang laut, dan bulu babi dapat menjadi salah satu faktor menurunnya kepadatan teripang. Kepiting dan bintang laut merupakan predator dan hama dari teripang atau timun laut. Hewan tersebut suka menempel pada tubuh teripang sehingga dapat menimbulkan luka pada tubuh teripang. Apabila teripang tidak tahan maka luka akan semakin membesar dan menyebabkan kematian pada teripang.

Indeks Keanekeragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Indeks Keanekeragaman digunakan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman Echinodermata di lokasi penelitian. Berdasarkan data yang telah diperoleh, diketahui bahwa Indeks Keanekaragaman (H’) Echinodermata di stasiun I yaitu sebesar 1,268, stasiun II sebesar 0,918 dan stasiun III sebesar 1,015. H’ dengan nilai terendah ditemukan pada stasiun II yakni 0,918 (Tabel 4).

Hal ini diduga karena stasiun ini merupakan daerah dengan luasan lamun yang sedikit, didukung dengan data tutupan lamun pada stasiun ini yang bernilai 20,27% sehingga ketersediaan makanan dan tempat biota berlindung di daerah ini terbatas. Namun apabila dirata-ratakan maka H’ dari ketiga stasiun akan diperoleh 1,067. Menurut Shanon Wienner nilai H’ 1 < H < 3 : keanekaragaman sedang.

Berdasarkan kriteria Shanon-Wienner tersebut, nilai Indeks Keanekaragaman (H’) Echinodermata di Pandaratan tergolong sedang. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan komposisi, jenis dan jumlah individu, sehingga mempengaruhi nilai keanekaragaman jenis. Menurut Arifah et al., (2017), suatu komunitas dapat dikatakan memiliki Indeks Keanekaragaman tinggi apabila pada komunitas tersebut tersusun atas banyak spesies dengan kelimpahan spesies yang sama atau hampir sama.

Nilai H’ yang diperoleh dapat dijadikan sebagai pendugaan bagaimana kondisi perairan tersebut. Nilai H’ sebesar 1,067 dapat diduga bahwa kondisi perairan pada lokasi penelitian tergolong tercemar sedang. Hal ini sesuai dengan Begon et al., (1989) dalam Karolina et al., (2014) yang menyatakan nilai keanekaragaman indeks Shannon-Wienner dihubungkan dengan tingkat pencemaran yaitu apabila H’<1 tercemar berat, 1<H’<3 tercemar sedang dan

apabila H’>3 tidak tercemar/bersih. Dengan demikian kondisi perairan Pantai Pandaratan dalam keadaan kurang baik atau tercemar sedang yang disebabkan karena buangan limbah plastik oleh masyarakat dan kapal-kapal yang lalu lintas di perairan tersebut juga menyumbangkan bahan-bahan tercemar seperti buangan bahan bakar kapal ke perairan. Hal inilah yang dapat menyebabkan turunnya keanekaragaman biota akuatik seperti halnya Echinodermata di perairan tersebut.

Indeks Keseragaman (E) setiap stasiun cukup berbeda. Nilai pada stasiun I yaitu 0,788, stasiun II yaitu 0,836 dan stasiun III yaitu 0,732 (Tabel 4). Apabila dirata-ratakan maka nilai E dari ketiga stasiun akan diperoleh 0,785. Nilai tersebut menunjukkan bahwa indeks keseragaman Echinodermata di Pantai Pandaratan tergolong tinggi. Nilai E merupakan komposisi organisme tertentu pada suatu komunitas yaitu mengenai penyebaran organisme tersebut. Nilai E yaitu berkisar antar 0-1. Nilai E mendekati 0 maka terjadi ketidakseimbangan penyebaran organisme perairan dan diduga adanya satu jenis Echinodermata yang mendominasi perairan tersebut begitu juga sebaliknya apabila nilai E mendekati 1 maka adanya penyebaran yang cukup merata di perairan. Menurut Suwartimah et al., (2017), nlai Indeks Keseragaman jika mendekati nilai 0 maka dalam ekosistem ada kecenderungan terjadinya dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila Indeks Keseragaman mendekati nilai 1 maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi relatif sedang yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama atau tidak ada kecenderungan terjadi dominansi spesies.

Indeks Dominansi (C) yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,335-0,437. Indeks Dominansi tertinggi pada stasiun II yaitu

sebesar 0,437 dan terendah pada stasiun I sebesar 0,335 (Tabel 4). Secara keseluruhan Indeks Dominansi pada ketiga stasiun tergolong rendah yang artinya tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya. Menurut Kordi (2012), dominansi spesies dalam komunitas bisa terpusat pada satu spesies, beberapa spesies atau pada banyak spesies yang dapat diperkirakan dari tinggi rendahnya dominansi. Apabila nilai Indeks Dominansi tinggi, maka dominansi terpusat pada satu spesies, tetapi apabila nilai Indeks Dominansi rendah maka dominansi terpusat pada beberapa spesies.

Penutupan Lamun

Hasil persentase tutupan lamun di Pantai Pandaratan pada stasiun I adalah 34,47% dan termasuk kategori sedang, persentase tutupan lamun pada stasiun II yaitu 20,27%, termasuk kategori jarang dan persentase tutupan lamun pada stasiun III yaitu 25,38% dan termasuk kategori jarang. Namun secara keseluruhan lamun di Pantai Pandaratan memiliki persentase tutupan sebesar 26,70% yang termasuk ke dalam kategori sedang (Wajuna, 2018). Menurut COREMAP-LIPI (2014), persentase tutupan 0-25 termasuk dalam kategori jarang, 26-50 termasuk dalam kategori sedang, 51-75 termasuk kategori padat dan 76-100 termasuk dalam kategori sangat padat.

Perbedaan persentase tutupan lamun di setiap stasiun pengamatan disebabkan karena perbedaan karakteristik perairan dari masing-masing stasiun.

Menurut Dahuri et al., (2004) luas tutupan dan sebaran lamun dapat dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik tertentu.

Pada lokasi penelitian stasiun II memiliki persentase tutupan lamun terendah dibanding stasiun I dan III dengan nilai 20,27% (Gambar 9) yang diduga karena stasiun ini merupakan daerah yang banyak mendapat gangguan seperti aktivitas wisata serta merupakan daerah surut terendah. Faktor lain yaitu rendahnya kandungan C-Organik di stasiun II yakni 0,29% (Tabel 6) lebih rendah dibanding dua stasiun lainnya. Wiryawan et al., (2005) berpendapat bahwa luas tutupan padang lamun yang rendah dapat dijumpai pada daerah yang banyak mendapat gangguan, serta terbuka pada saat surut terendah, sedangkan padang lamun yang mempunyai luas tutupan tinggi terdapat pada daerah yang selalu tergenang air laut dan terlindung dari hempasan ombak. Selanjutnya Rahmawati et al., (2014) menyatakan bahwa persentase penutupan lamun dipengaruhi oleh pertumbuhan lamun itu sendiri dan amat erat hubungannya dengan ketersediaan unsur hara dan pengaruh kualitas air.

Parameter Fisika Kimia Perairan

Hasil penelitian didapatkan suhu rata-rata perairan pada stasiun I sebesar 30,2 0C serta stasiun II dan III sebesar 30,6 0C dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun II dan III (Tabel 5). Suhu pada ketiga stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Suhu yang terukur masih memenuhi bagi pertumbuhan lamun secara optimal. Hal ini diperkuat oleh penelitian Oktavianti et al., (2014), yaitu suhu air pada lokasi penelitian didapatkan berkisar 30-33 0C, kondisi untuk lamun dan Echinodermata cukup sesuai dan stabil karena kisaran suhu tersebut memasuki suhu optimum.

Secara umum, suhu antar stasiun tidak menunjukkan variasi yang besar.

Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada saat pengukuran. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi serta faktor anthropogen yang disebabkan oleh kegiatan manusia (Barus, 2004). Hal ini dibuktikan dengan nilai suhu pada stasiun I lebih rendah dibandingkan dengan suhu di kedua stasiun lainnya disebabkan karena pada saat melakukan pengambilan data kondisi cuaca mendung selain itu pengambilan data dilakukan pada pagi hari (pukul 09.00 WIB-10.00 WIB).

Kedalaman perairan berada pada kisaran 0,32 m - 0,47 m. Pengukuran kedalaman diambil pada saat surut. Kedalaman berpengaruh terhadap tingkat intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Tingkat kecerahan lokasi penelitian mencapai 100 %, sehingga artinya keping secchi disk terlihat hingga ke dasar perairan dan menunjukkan tingkat penetrasi cahaya matahari hingga ke dasar perairan. Berdasarkan Keputusan Mentri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, kecerahan Pantai Pandaratan telah memenuhi persyaratan kehidupan biota yang baik.

Berdasarkan hasil pengukuran arus pada setiap stasiun diperoleh pada stasiun I dan II sebesar 0,09 m/s dan stasiun III sebesar 0,10 m/s (Tabel 5). Arus yang terukur pada lokasi penelitian tergolong lemah disebabkan karena laut dalam kondisi tenang dan keadaan laut sedang surut. Arus dapat memberikan dampak positif terhadap kehidupan biota laut seperti Echinodermata yaitu dengan membawa makanan, oksigen dan sebagainya tetapi dapat pula menyebabkan

ketidakseimbangan dasar perairan yang lunak seperti dasar perairan berpasir dan berlumpur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syakur dan Wiyanto (2016) yang menyatakan bahwa arus berperan dalam membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan dan berperan dalam menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas.

Salinitas rata-rata hasil penelitian pada stasiun I sebesar 29 ppt, stasiun II sebesar 29,33 ppt dan stasiun III sebesar 30 ppt. Secara keseluruhan, kisaran salinitas di lokasi penelitian yaitu 29-30 ppt. Stasiun I memiliki kisaran salinitas terendah dibandingkan dengan stasiun II dan III. Salinitas berbeda tiap stasiun juga disebabkan perbedaan dari suhu pada setiap stasiun, suhu yang rendah memungkinkan terjadinya penguapan yang rendah begitu juga sebaliknya, sehingga kisaran suhu terendah pada stasiun I memiliki nilai salinitas yang lebih rendah dari stasiun II dan III. Hal ini sesuai dengan Ramawijaya et al., (2012) dalam Harvianto et al., (2015) yaitu suhu berhubungan langsung dengan salinitas.

Suhu yang tinggi mengindikasikan salinitas di tempat tersebut juga tinggi. Hal tersebut karena suhu yang tinggi menyebabkan air laut menguap menyisahkan garam yang akan terlarut kembali di laut sehingga meningkatkan salinitas lautan.

Berdasarkan Keputusan Mentri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, kisaran salinitas air laut ekosistem lamun adalah 33-34 ppt. Untuk salinitas 29-30 ppt masih dapat menopang kehidupan Echinodermata. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Nurfajriyah (2014), yaitu salinitas yang diperoleh memperlihatkan kisaran rata-rata antara 32-33 ppt yang mana kisaran salinitas tersebut masih tergolong normal, karena

kisaran salinitas yang masih mendukung kehidupan organisme perairan khususnya fauna makrobenthos termasuk Echinodermata adalah 15-35 ppt.

Kisaran pH hasil penelitian tidak memiliki perbedaan yang besar yaitu pada stasiun I sebesar 7,57, stasiun II sebesar 7,68 dan stasiun III sebesar 7,72.

Nilai pH ketiga stasiun mendukung kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu 7-8,5.

Dengan demikian nilai pH pada masing-masing stasiun penelitian masih layak untuk kehidupan biota Echinodermata.

Hasil penelitian oksigen terlarut yang didapatkan pada setiap stasiun berbeda-beda. Stasiun I yaitu 6,33 mg/l, stasiun II yaitu 6,13 mg/l dan stasiun III yaitu 5,77 mg/l. DO pada stasiun III memiliki nilai kisaran yang terendah

Hasil penelitian oksigen terlarut yang didapatkan pada setiap stasiun berbeda-beda. Stasiun I yaitu 6,33 mg/l, stasiun II yaitu 6,13 mg/l dan stasiun III yaitu 5,77 mg/l. DO pada stasiun III memiliki nilai kisaran yang terendah

Dokumen terkait