• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Pengambilan Sampel

Wilayah pengambilan sampel ditentukan berdasarkan wawancara dan data dari laporan tahunan 2011 Dinas Pertanian dan Peternakan setempat. Hasil dari wawancara dan data laporan tahunan didapatkan satu wilayah peternakan pengambilan sampel. Pemilihan kandang dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus koperasi susu setempat dan tenaga medik serta paramedik yang telah menangani kasus di lapangan. Wawancara dilakukan dengan pemilik sapi perah dan penanggung jawab kandang tentang riwayat vaksinasi dan gejala klinisnya. Kandang yang pertama berjumlah 52 ekor yang terbagi dalam 4 blok dan yang diambil sebagai sampel sebanyak 42 ekor. Kandang yang kedua berjumlah 10 ekor dan seluruhnya diambil sebagai sampel. Kandang yang ketiga berjumlah 12 ekor yang terbagi dalam 2 blok dan yang diambil sebagai sampel berjumlah 6. Kandang yang keempat berjumlah 10 ekor dan diambil sebagai sampel sejumlah 5 ekor. Kandang yang kelima berjumlah 10 ekor dan diambil sebagai sampel 1 ekor.

Total hasil pengambilan sampel didapatkan 64 serum, 64 darah dengan EDTA dan 64 susu segar. Secara umum sapi mengalami penurunan produksi susu dari 10-15 liter menjadi 7-10 liter per hari. Vaksinasi dilakukan pada bulan Juni tahun 2011 dan 2008 dengan menggunakan vaksin RB51. Jumlah sampel dengan riwayat abortus, higroma dan gejala lain disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengambilan sampel

Kriteria sampel Jumlah

Abortus 6

Higroma 9

Abortus dan vaksin 3

Abortus dan higroma 2

Vaksin 14

Retensi uterus 1

Hanya penurunan susu 29

Hasil Pengujian Sampel

Seluruh sampel dilakukan pengujian dengan metode serologik dan PCR sesuai jenis sampel yang telah ditetapkan. Hasil pengujian terhadap 2 sampel dengan gejala klinis higroma dengan riwayat vaksinasi terdeteksi oleh semua uji serologik dan secara lengkap disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Hasil pengujian sampel

Kriteria sampel Jumlah dan persentase sampel positif

MRT RBT ELISA CFT PCR darah PCR susu Abortus 4 (67) 5 (83) 3(50) 3(50) 0 0 Higroma 5(56) 6(67) 5(56) 5(56) 0 0 Abortus dan Vaksin 2(67) 2(67) 3(100) 2(67) 0 0 Higroma dan Vaksin 2(100) 2(100) 2(100) 2(100) 0 0 Vaksin 12(86) 1(7) 3(21) 1(7) 0 0 Retensi uterus 1(100) 0 0 0 0 0 Penurunan susu 15(52) 6(21) 13(49) 5(17) 0 0

Total 41 22 29 18 0 0

Hasil positif masing-masing metode MRT, RBT dan ELISA dilakukan konfirmasi dengan CFT. Hasil uji confirmatin rate didapatkan RBT mempunyai nilai yang paling besar dibandingkan dengan MRT dan ELISA yaitu 82% dibandingkan dengan nilai confirmatin rate MRT dan ELISA yang secara lengkap disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Confirmation rate dengan CFT Metode Confirmation rate dengan CFT (%)

MRT 44

RBT 82

Hasil kuantifikasi DNA kontrol positif mengandung total DNA 18 ng/µl, sedangkan sampel darah dan susu masing-masing mengandung 20-140 ng/µl dan 16-115 ng/µl. Sampel kontrol dilakukan pengenceran dengan PCR grade water hingga 10-5. Hasil pengujian limit of detection (LOD) gen target omp2 dan Bcsp 31 sampai pada pengenceran 0.010 yang secara lengkap disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Hasil pengujian LOD

Gen target * 1.000 0.100 0.010 0.001 0.0001

Omp2 + + + - -

16S RNA + + - - -

Bcsp 31 + + + - -

Keterangan * = Hasil pengenceran dari kontrol positif dengan konsentrasi DNA 27 ng/ µl.

Konsentrasi DNA total yang masih terdeteksi dengan gen target Omp 2 sebesar 0.27 ng/µl dan 16S RNA sebesar 0.27 ng/µl serta Bcsp 31 sebesar 2.7 ng/µl. Menurut Bailey et al. (1992) 20 sel bakteri setara dengan 60 fg DNA sehingga LOD dengan gen target omp2 dan Bcsp 31 9 .101 cfu/ml, sedangkan dengan gen target 16S RNA 9 102 cfu/ml. Gen target 16S RNA terlihat pada 905 bp dan gen target omp2 terlihat pada 193 bp yang secara lengkap disajikan pada Gambar 4.

Nilai Kappa didapatkan dengan membandingkan antar metode dalam uji serologik. Nilai Kappa antara RBT dan CFT paling besar dibandingkan dengan metode lainnya yaitu sebesar 0.710 (71%) yang secara lengkap disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Nilai dan persentase Kappa

Nilai/Persentase MRT RBT ELISA CFT

MRT - 28.2 20.8 24.9

RBT 0.282 - 58.1 71.0

ELISA 0.208 0.581 - 51.1

CFT 0.249 0.710 0.511 -

Hasil uji sensitifitas penerapan secara pararel antara RBT dan CFT adalah 38% sedangkan penerapan secara serial adalah 25%. Uji spesifisitas interpretasi paralel antara RBT dan CFT adalah 38% sedangkan interpretasi serial adalah 25% yang secara lengkap disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil uji sensitifitas (Se) dan spesifisitas (Sp) penerapan paralel (P) dan serial (S) (%)Se(P/S)/%Sp(P/S) MRT RBT ELISA CFT* MRT - 30/70 25/70 33/67 RBT 70/30 - 50/70 62/75 ELISA 75/30 50/30 - 52/75 CFT* 67/33 38/25 48/25 -

Pembahasan

Pembahasan Uji Serologik

Abortus merupakan gejala klinis yang khas pada infeksi B. abortus dengan usia kebuntingan 7-9 bulan (Carter & Chengappu 1993). Unger et al. (2003) menemukan kejadian abortus pada sapi sebesar 22.1% dari sampel seropositif dan 2.6% dari sampel seronegatif. Penelitan ini menemukan bahwa lima dari 9 ekor sapi dengan riwayat abortus tidak semua menunjukkan seropositif, hal ini kemungkinan disebabkan oleh penyakit lain seperti leptospirosis, bovine genital camphylobacteriosis (vibriosis), trichomoniasis, mycotic abortion, infection bovine

rhinotracheitis virus, bovine virus diarrhea serta faktor manajemen dan

lingkungan seperti nutrisi, keracunan, dan vaksinasi (Carter & Chengappu 1993; Lopez et al. 2010).

Dampak lain dari B. abortus adalah meningkatnya calving rate, kemajiran sementara, retensi uterus, mastitis, higroma, dan penurunan produksi susu sekitar 10% (Carter & Chengappu 1993). Namun tidak semua sampel dengan gejala klinis higroma menunjukkan seropositif meskipun higroma pada carpal merupakan gejala klinis yang menciri dari B. abortus kronis (Makita et al. 2010). Menurut Unger et al. (2003) gejala higroma muncul sebagian besar pada sampel seropositif dan sebagian kecil pada sampel seronegatif. Higroma kadang merupakan satu-satunya indikator adanya infeksi B. abortus (Munir 2009).

Sampel dengan riwayat vaksinasi dalam penelitian ini masih ada yang menunjukan seropositif meskipun dengan vaksin RB51. Vaksin RB51 yang diberikan pada sapi dara dan dewasa tidak terdeteksi secara serologik sampai pada vaksinasi ulangan (Martins et al. 2009). Respon imun dengan pemberian vaksin RB51 mulai meningkat 6 (enam) hari pascavaksinasi dan stabil sampai 2 bulan kemudian akan menurun secara bertahap (Tittarelli et al. 2008).

O-polysaccharide Chains terkandung dalam outer membrane

lipopolysacharide (LPS) baik fenotif rough maupun smoth yang menentukan virulensi bruselosis (Martins 2011). Deteksi antibodi mendeteksi imunodominan dari antigen permukaaan S-LPS (Abbady et al. 2011), sehingga sapi yang divaksin dengan S19 akan terdeteksi positif karena menginduksi antibodi O- Chain dari outer-membrane lipopolysaccharide. Vaksin S19 kurang sesuai apabila diterapkan pada daerah dengan kebijakan test and slaughter karena sulit dibedakan antara antibodi hasil vaksinasi dan hasil infeksi alam. Vaksin RB51

dibuat dari rough-lipopolyshaccharide (R-LPS) Brucella dan tidak terdeteksi karena sedikit memproduksi smoth- lipopolyshaccharide (S-LPS) O-Chain side

yang dapat terdeteksi dengan uji serologik konvensional (El-Razik et al. 2011; Martins et al. 2009).

Sampel dengan riwayat vaksinasi dalam penelitian ini masih ada yang menunjukkan gejala abortus. Menurut Salmacov et al. (2010) pemberian vaksin S19 berisiko mengakibatkan terjadinya abortus pada babi meskipun ketika di isolasi tidak ditemukan strain yang sama dengan B. abortus strain S19. Menurut Lopez et al. (2010) pemberian vaksin RB51 pada populasi dengan prevalensi rendah dan tinggi masih berisiko mengakibatkan abortus yang disebabkan oleh

B. abortus biovar 1. Temuan tersebut didukung oleh El-Razik et al. (2011) yang

masih menemukan gejala abortus oleh infeksi alam B. abortus biovar 1 pada rusa serta kerbau yang divaksin. Hal yang sama juga ditemukan pada sapi dalam penelitian ini yang masih menunjukkan gejala higroma dan abortus meskipun sudah divaksin dengan RB51. Hal tersebut dimungkinkan berkaitan dengan kadar titer dalam darah sudah mengalami penurunan sehingga tidak protektif.

Kesepakatan antara MRT dengan RBT, ELISA dan CFT kurang bagus, hal ini disebabkan karena metode MRT lebih banyak mendeteksi Immunoglobulin A (IgA) dan sedikit Immunoglobulin M (IgM) sedangkan RBT dan CFT mendeteksi immunoglobulin G1 (IgG1) (Baum 1995). Hal ini juga terbukti dari nilai

Confirmation rate MRT terhadap CFT sangat rendah hanya 44%. Sensitifitas MRT akan meningkat jika diaplikasikan secara pararel dengan ELISA yaitu sebesar 75%. MRT secara rutin digunakan untuk screening test pada sampel

pooling dan monitoring peternakan sapi perah dengan skala besar (Ilhan et al. 2008). Metode MRT sangat mudah dan praktis dilakukan karena tidak membutuhkan keahlian khusus dan fasilitas laboratorium dengan syarat tertentu serta harganya murah. Keterbatasan metode ini adalah penggunaanya hanya pada sapi dan dapat memberikan hasil positif palsu.

Sampel kolostrum asal sapi yang mengalami retensi uterus menunjukkan hasil positif dan dengan metode lain negatif hal itu kemungkinan positif palsu karena kolostrum kurang sesuai untuk MRT. Selain kolostrum, positif palsu juga ditemukan pada susu yang diambil pada akhir periode laktasi, sapi mastitis dan vaksinasi kurang dari tiga bulan (Nielsen et al. 1996; Terzi et al. 2010). Positif MRT yang diakibatkan vaksinasi tidak ditemukan dalam penelitian ini karena

vaksinasi telah dilakukan lebih dari 3 (tiga) bulan yang lalu. MRT juga memberikan hasil yang meragukan apabila digunakan dalam populasi yang mempunyai prevalensi rendah (Terzi et al. 2010). Perbedaan hasil antara MRT dengan RBT dan ELISA serta CFT salah satunya disebabkan adanya penurunan immunoglobulin dalam susu setelah 30 hari pascainfeksi akan tetapi antibodi dalam darah justru meningkat (Bioncifiori et al. 2007). Respon IgM B. abortus

pada sapi muncul sekitar 5-15 hari setelah infeksi, baru diikuti dengan IgG1 dan IgG2 serta IgGA.

Gold standard deteksi antibodi dalam susu belum ada. Beberapa negara maju telah menggunakan deteksi antibodi dalam susu dengan metode M-ELISA. Metode MRT secara umum mendeteksi IgM dan IgA sedangkan ELISA dapat mendeteksi IgG1 dan IgG2. Infeksi Brucella spp. telah meningkatkan respon monosit dan makrofag sebagai reseptor IgG1 dengan meningkatkan IgG1 pada level humoral terhadap infeksi Brucella di daerah ambing. Metode MRT mempunyai sensitifitas lebih rendah dibandingkan dengan metode M-ELISA disebabkan karena konsentrasi IgG1 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi IgGA dan IgGM pada susu sapi dewasa. Metode MRT kurang sensitifif bila diterapkan pada sampel kelompok (pooling) (Bioncifiori et al. 2007).

Metode RBT sangat sensitif untuk mendeteksi kelompok ternak yang tertular atau untuk menjamin tidak adanya infeksi pada kelompok ternak yang bebas bruselosis. Metode RBT digunakan untuk screaning test (Abdoel et al.

2008) karena cepat, mudah dan praktis dilakukan, tidak membutuhkan peralatan yang banyak sehingga biasa digunakan dalam program pengawasan dan pengendalian. Keterbatasan metode RBT ini dapat memberikan hasil positif palsu akibat false-positive serological reactions (FPSR). Hasil negatif terjadi umumnya karena adanya prozon dan dapat dideteksi dengan melakukan pengenceran sampel serum atau diuji ulang setelah 4–6 minggu (OIE 2009). Kesepakatan antara RBT dengan CFT bagus, hal ini disebabkan karena kedua metode ini mempunyai kesamaan dalam mendeteksi jenis immunoglobulin yaitu IgG1. Hal ini juga didukung dengan nilai confirmation rate RBT terhadap CFT paling tinggi dibandingkan dengan MRT dan ELISA. Penggunaan RBT dalam program pengendalain harus dikonfirmasi dengan CFT karena spesifisitasnya rendah. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan interpretasi serial bersama CFT dapat meningkatkan spesifisitas sehingga menjadi 75%.

Penelitian ini menggunakan indirect ELISA untuk mendeteksi antibodi B.

abortus. Kit ELISA dalam penelitian ini menggunakan monoklonal antibodi

berlabel dengan horseradish peroxidase (brucellose-anti-ruminant-IgG-PO

conjugate) yang mampu mendeteksi IgG termasuk IgG1 dan IgG2. Kesepakatan

ELISA dengan RBT dan CFT sedang karena selain mendeteksi IgG1 ELISA juga mendeteksi IgG2. ELISA merupakan metode yang banyak dikembangkan saat ini karena metode ini praktis dan dapat diterapkan pada sampel dalam jumlah besar. Sensitifitas ELISA dengan interpretasi paralel bersama MRT dan spesifisisitasnya dengan interpretasi serial bersama CFT mempunyai nilai paling tinggi yaitu sebesar 75%. Hal ini didukung oleh Garin-Bastuji et al. (2006) bahwa ELISA lebih sensitif dibandingkan RBT dan CFT.

Metode CFT direkomendasikan sebagai metode konfirmasi serologik yang akurat (OIE 2009). Walaupun CFT mempunyai sensitifitas dan spesifisitas sebesar 88.1% dan 100% namun positif palsu dapat diakibatkan oleh vaksinasi S19 dan S45. Negatif palsu disebabkan karena adanya reaksi antikomplementer dan prozon akibat adanya antibodi IgG2 terhadap B. abortus yang memblokir IgG1 dan IgM pada infeksi kronis yang dapat dicegah dengan melakukan pengenceran ganda. Negatif palsu sering terjadi pada populasi dengan prevalensi tinggi (Al-Majali 2005; Montagnaro et al. 2008; Viglioco et al. 1997). Immunoglobulin jenis IgG2 dan IgGA biasanya mempunyai sensitifitas lebih rendah pada uji serologik, sehingga deteksi terbaik adalah IgG1 (Poester et al.

2010).

Metode CFT direkomendasikan oleh OIE sebagai metode untuk deteksi bruselosis dalam perdagangan internasional (Montagnaro 2008). Metode ini merupakan metode yang akurat apabila dilakukan dengan benar meskipun lebih kompleks dibandingkan dengan metode MRT dan RBT, karena membutuhkan fasilitas laboratorium dan analis yang terlatih untuk mempertahankan titer bahan uji yang digunakan. Deteksi bovine brucellosis dengan CFT digunakan sebagai

definitive test untuk program pemberantasan di banyak negara (Al-Majali 2005).

Hasil pengujian CFT dapat dibedakan dengan antibodi vaksinasi S19 apabila titernya selalu sama atau lebih dari 30 icftu/ml antara 3 dan 6 bulan pascavaksinasi pada ternak umur 18 bulan atau lebih (OIE 2009).

Pembahasan PCR

Hasil negatif PCR darah dapat disebabkan karena sapi dalam penelitian ini tidak mengalami bakteremia, sehingga tidak ditemukan adanya bakteri dalam sirkulasi darah. Bakteremia bersifat sementara dimana dimungkinkan jumlah bakteri yang beredar cukup kecil karena terjadinya infeksi B. abortus hanya membutuhkan dosis yang cukup rendah (Gemechu et al. 2011). Bakteriemia terjadi setelah 10-20 hari dan persisten selama 30 hari sampai 2 bulan pascainfeksi apabila sistem pertahanan tidak mampu mengatasi adanya infeksi (Garridino-Abellan et al. 2001). Bruselosis yang tidak menunjukkan gejala klinis umumnya berjalan kronis dan bakteremia berlangsung secara intermitten. PCR darah mendeteksi agen penyebab yang ditemukan di dalam aliran darah (bebas atau dalam sel darah putih yang terinfeksi) pada awal infeksi sehingga sensitif jika sampel diambil 2 minggu pascainfeksi (Aras & Ucan 2010; Gupta et al. 2006; Leal-Klevezas et al. 2000; Keid et al. 2008; Terzi et al. 2010). Hal yang sama juga dipaparkan oleh Keid et al. (2008) pada B. canis PCR darah lebih sensitif dibandingkan dengan uji serologik pada kondisi akut karena bakteremia terjadi terlebih dahulu sebelum terbentuk antibodi

Tahap bakteremia akan diikuti munculnya infeksi persisten di kelenjar mamari dan supramamari, dan limfonodus genital (Garridino-Abellan et al. 2001; Ahmed et al. 2010). Bakteri akan shedding secara terus menerus atau

intermittent di dalam susu dan sekresi genital (Capparelli et al. 2008; Corbel 2006). Hal inilah yang dapat menyebabkan tidak terdeteksinya bakteri dalam susu dengan PCR, yang dimungkinkan bakteri tidak shedding di dalam susu. Metode PCR susu mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Almariri & Haj-Mahmood 2010; Leal-Klevezas et al. 2000; Romero & Lopez-Goni 1999; Terzi et al. 2010). Kerbau yang diberikan vaksinasi dapat terdeteksi dalam susu pada minggu pertama sampai mingu ke empat pascavaksinasi (Longo et al.

2009). Menurut Uzal et al. (2010) sapi yang divaksin dengan RB51 akan

shedding di dalam susu sampai dengan 69 hari. Shedding dalam susu akibat vaksinasi dalam penelitian ini sangat kecil karena waktu vaksinasi lebih dari 69 hari. Kerbau yang diberikan vaksinasi dapat terdeteksi dalam susu pada minggu pertama sampai minggu ke empat pascavaksinasi (Longo et al. 2009). Menurut Uzal et al. (2010) sapi yang divaksin dengan RB51 akan shedding dalam susu sampai dengan 69 hari.

Selain pengaruh fase infeksi hasil negatif juga dapat terjadi apabila jumlah bakteri yang shedding kurang dari LOD. Hasil uji LOD yang didapatkan pada ketiga primer tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Baddour & Al- Khalifa(2008) pada B. militensis dengan sampel darah menggunakan pasangan primer B4/B5 adalah 7.102 cfu/ml yang setara dengan 2.1 ng, pasangan primer JPF/JPR 7.105 cfu/ml yang setara dengan 2.1 pg dan pasangan primer F4/R2 7.107 cfu/ml yang setara dengan 210 pg. Menurut Romero & Lopez-Goni (1999) LOD Brucella spp. dalam susu adalah 5-50 cfu/ml. Hasil uji LOD B. abortus

sebesar 80 ng yang setara dengan DNA total 60-100fg (Romero et al. 1995). LOD sampel klinik dalam setiap milliliter susu adalah 10 sel/ml dan 2.8.105 cfu/ml (Leal-Klevezas et al. 1995). Menurut Leyla et al. (2003) LOD B. melitensis

bakteri utuh adalah 2.8.105 cfu/ml yang setara dengan 7 000 sel/uji sedangkan jika dispike dalam jaringan sebesar 1.4.108 cfu/ml, sedangkan LOD B. abortus

dalam jaringan fetus abortus adalah 2.4.108/g - 1.4.1013 cfu/g. Limit deteksi menurut Terzi et al. (2010) eryCD gene-targeted PCR sebesar 1,0 x 103 cfu/ml.

Negatif palsu PCR darah dapat diakibatkan adanya inhibitor seperti leukosist, hemoglobin, urin, fenol dan heparin, sedangkan PCR susu inhibitornya berupa globula lemak (Hinic et al. 2009; Romero & Lopez-Goni 1999). Adanya inhibitor dalam penelitian ini dicegah dengan penggunaan EDTA dan pencucian darah untuk membersihkan hemoglobin dan pemisahan susu padat dan butterfat

(Bioncifiori et al. 2007). Proses preparasi sampel dalam penelitian digunakan kit ekstraksi komersil yang telah terbukti mampu mengoleksi template DNA paling tinggi dibandingkan dengan kit komersil lain (Ling Yu & Nielsen 2010; Tomaso et al. 2010). Primer F4/R2 mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap Brucella

spp. dan JPF/JPR Brucella abortus, B. canis, B. melitensis, B. suis sedangkan B4/B5 B. abortus dan B. melitensis dengan sampel darah, susu dan cairan tubuh pada sampel lapang dari sapi, kambing dan manusia.

Primer BCSP 31 (B4/B5) mempunyai senstifitas tinggi pada B. abortus dan B. melitensis dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Menurut Romero (1995) PCR dengan 56 sampel darah dari hasil positif serologis dengan metode MRT dan CFT mempunyai sensitifitas 87.5%. Primer ini mempunyai hasil yang setara dengan kombinasi PCR darah dengan primer omp-2 dan ELISA (Bailey 1992). Primer dari OMP -2 9JPF/JPR di gunakan untuk mendeteksi Brucella abortus, B. canis, B. melitensis, B. suis dengan sampel darah, susu dan cairan tubuh pada sampel lapang dari sapi, kambing dan manusia. Primer 16SRNA

(F4/R2) mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap 9 (sembilan) biovar B. abortus , 3 biovar B. mellitensis, 5 biovar B. suis, B. neonatame, B. ovis dan B.

canis. Spesifisitas yang tinggi terhadap bakteri gram negatif dekat

kekerabatannya dan bakteri yang bersifat intraseluler serta menimbulkan bakteremia.

Menurut Leal-Klevezas et al. (1995) dengan 22 (dua puluh dua) sampel darah kambing yang diinfeksi terdeteksi dengan metode PCR sebanyak 19 (sembilan belas) sampel sedangkan dengan metode RBT 14 (empat belas) sampel. Hasil ini sangat kontras dengan metode kultur hanya satu sampel yang menunjukkan positif. PCR dengan sampel darah sudah banyak dikembangkan untuk bruselosis pada manusia. Sensitifitas uji akan meningkat apabila sampel yang digunakan dalam kondisi segar dan belum disimpan dalam suhu dingin (Debeaumont et al. 2005).

Sampel dalam penelitian ini tidak dilakukan dengan metode kultur. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa metode kultur dapat menggunakan jenis sampel susu. Namun keterbatasan penggunaan sampel susu untuk metode kultur adalah jumlah shedding bakteri yang sering kali tidak terlalu banyak. Selain faktor jumlah sampel, penggunaan antibiotika dalam terapi penyakit tertentu dapat menunjukkan hasil negatif palsu. Negatif palsu diakibatkan adanya ekskresi antibiotik melalui air susu, sehingga dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh adanya bakteri penyebab bruselosis meskipun sebenarnya bakteri ini ada dalam air susu. Volume sampel susu yang diambil sebesar 10 ml untuk tiap-tiap sampel, sedangkan kebutuhan jumlah sampel untuk metode kultur sebesar 50 ml. Sampel darah belum pernah digunakan untuk metode kultur. Pengambilan cairan higroma dan flushing vagina tidak dilakukan karena adanya kesulitan perijinan dengan pemilik sapi.

Penerapan Metode dan Lalu Lintas Hewan

Program pengendalian bruselosis dengan test and slaughter pada sapi perah menurut Noor (2006b) belum mampu untuk mengendalikan bruselosis terutama di Pulau Jawa. Penyebab sulitnya mengendalikan bruselosis pada sapi di Pulau Jawa menurut Noor (2006b) ada lima penyebab dan salah satunya adalah faktor lalu lintas ternak. Lalu lintas ternak antar wilayah di Pulau Jawa sangat kompleks sehingga meyebabkan sulitnya pengawasan pergerakannya.

Selain faktor lalu lintas penerapan metode uji secara serologik dengan kebijakan pemakain vaksin B. abortus S19 dibeberapa daerah mengakibatkan kesulitan untuk membedakan dengan infeksi alam. Ketiga permasalahan lainnya adalah adanya ternak tanpa gejala klinis (subklinis) namun produksi susu tetap tinggi dan terjadinya abortus biasanya hanya satu kali pada kebuntingan pertama, sehingga mengakibatkan petani enggan melakukan pemotongan. Permasalahan kedua adalah pemberian kompensasi oleh pemerintah terhadap ternak yang dipotong menghadapi kendala berupa tidak sesuainya jumlah ternak yang dipotong dengan kompensasi. Selain itu turunnya dana kompensasi tidak bersamaan dengan hasil uji serologik sehingga memungkinkan penularan terjadi. Permasalahan ketiga adalah pelaksanaan test and slaughter belum dapat dilakukan secara serentak dan optimal karena keterbatasan dana, sumber daya manusia dan belum optimalnya sosialisasi program.

Deteksi antibodi merupakan pendekatan yang lebih praktis untuk diterapkan pada survei epidemiologi. Kemurnian antigen, suhu penyimpanan, filogenik bekteri, kontaminasi dan status vaksinasi berpengaruh pada hasil pengujian dengan metode serologik (Akhtar et al. 2010). Pemilihan antigen yang tepat sangat penting agar metode yang digunakan mempunyai efektifitas dan reabilitas yang tinggi. Antigen inilah yang menentukan spesifisitas uji terutama jika diterapkan di populasi hewan dengan vaksinasi atau infeksi bakteri gram positif yang menyebabkan adanya cross reaction (Garin-Bastuji et al. 2006).

Tidak ada uji serologik yang secara tunggal dapat menetapkan adanya bruselosis (Abernethy et al. 2011; Grushina et al. 2010), sehingga dibutuhkan metode gabungan antara uji serologik dan metode PCR (Terzi et al. 2010). Penggunaan metode PCR dan kultur diperlukan sebagai metode yang dapat secara cepat untuk mendeteksi adanya antigen dan harus dilanjutkan dengan metode kultur untuk menentukan apakah daerah tersebut bebas atau tertular. PCR juga digunakan untuk mendeteksi adanya spesies ataupun biovar yang baru masuk ke wilayah Indononesia. Badan Karantina Pertanian dalam fungsi pengawasan membutuhkan metode mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk memastikan bahwa hewan yang dilalulintaskan benar-benar negatif. Pemilihan penerapan uji secara paralel akan meningkatkan sensitifitas dan sesuai untuk daerah bebas sehingga dapat mencegah adanya negatif palsu yang mengakibatkan masuknya bruselosis ke wilayah bebas.

Selain metode yang sensitif kecepatan dan kepraktisan pengujian dibutuhkan untuk diterapkan dalam kegiatan tindak karantina pada saat lalu lintas hewan, karena untuk menunjang kelancaran arus masuk keluar barang di pelabuhan baik laut dan udara. Pengembangan ELISA poliklonal antibodi,

Dokumen terkait