• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Wilayah Desa Ciherang

Desa Ciherang merupakan salah satu dari dua puluh enam desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. Wilayah Desa Ciherang sebagian besar berupa daerah berbukit-bukit dan sebagian merupakan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 1100 meter diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 769 ha. Curah hujan rata-rata 225 mm/tahun, dengan suhu udara rata-rata 22 °C. Sebelah utara dan barat berbatasan dengan Desa Cipendawa, sedangkan sebelah selatan dan timur berberbatasan dengan Desa Ciputri. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai petani dan buruh tani. Sebagian besar wilayah desa merupakan lahan pertanaman sayuran dengan komoditas di antaranya kubis, caisin, selada air, seledri, timun, wortel, terong, kacang panjang, dan jenis tanaman sayuran dataran tinggi lainnya (Sumber: Data Monografi Desa dan Kelurahan Ciherang 2008).

Karakteristik Petani dan Usaha Tani

Secara umum petani di Desa Ciherang adalah petani sayuran, dengan status kepemilikan lahan merupakan lahan milik pribadi. Sebagian besar petani mengelola sendiri lahannya (pemilik-penggarap), luas lahan yang diusahakan untuk sayuran berkisar antara 300–400 m2. Untuk menekan kerugian kehilangan hasil pada lahan akibat pengaruh hama, penyakit, fluktuasi harga, dan besarnya biaya produksi, maka petani melakukan pola tanam tumpang sari. Namun, sebagian besar tanaman seledri diusahakan secara monokultur, sehingga lahan contoh yang diambil seperti yang dikemukakan dalam Tabel 3. Umumnya para petani menanam tanaman sayuran yang memiliki harga tinggi, tetapi tidak sedikit yang menanam tanaman yang sama sepanjang tahun.

Tabel 3 Karakterisitik lahan pertanaman contoh Lahan contoh Luas (m2) Jarak tanam ( cm x cm ) Umur tanaman (Minggu) Tanaman pokok Tanaman

lain Lokasi dusun 1 2 3 4 5 6 7 8 300 400 350 400 300 400 300 350 10 x 10 10 x 10 10 x 10 10 x 10 10 x 10 10 x 10 10 x 10 10 x 10 5 8 4 6 4 3 3 1 Seledri Seledri Seledri Seledri Seledri Seledri Seledri Seledri - - - Selada air - - Daun bawang - Sawah Lega Nangeuk Legok Sawah Lega Nangeuk Legok Sawah Lega Sawah Lega

Budidaya Tanaman Seledri Pengolahan Tanah

Setelah proses pemanenan seledri, lahan yang ada diratakan lalu digenangi dengan air selama seminggu. Menurut petani setempat hal ini bertujuan untuk menghilangkan hama dan mengembalikan kondisi tanah dalam keadaan semula. Pengolahan tanah dilakukan dengan membentuk bedengan-bedengan dengan tinggi antara 30–40 cm dan lebar antara 100–120 cm, dengan jarak antar bedengan adalah 30–40 cm yang berupa parit. Panjang bedengan biasanya sama panjangnya dengan lahan. Bedengan yang telah terbentuk lalu diberi kapur kalsit atau dolomit dengan dosis 0,5 kg/m2 dan pupuk kandang dengan dosis 2,5 kg/m2. Pemberian kapur ditujukan untuk menjaga keseimbangan pH tanah. Lahan yang selesai diolah dibiarkan terbuka selama satu minggu jika musim kemarau, dan ketika musim hujan dilakukan penutupan lahan dengan menggunakan jerami agar kandungan pupuk dan kapur tidak terkikis air hujan.

Persemaian

Hampir semua petani menggunakan lahan khusus persemaian yang terdiri dari bedengan tunggal dengan lebar 100–120 cm, tinggi 30–40 cm, namun ada juga petani yang menggunakan bedengan paling tepi pada lahan pertanaman 29

sebagai tempat persemaian. Waktu persemaian berkisar antara 1,5–2 bulan, setelah benih tumbuh menjadi bibit dengan 3–4 helai daun tanaman dipindahkan ke lahan pertanaman. Varietas benih seledri yang umum digunakan oleh petani di Desa Ciherang adalah Bamby dan Amigo. Varietas Amigo merupakan varietas yang paling banyak ditanam petani karena jumlah anakan dan daunnya lebih banyak dibandingkan dengan varietas lainnya, serta cocok dengan keadaan lingkungan setempat dan umur panen yang singkat ± 50 hari.

Penanaman

Jarak tanam yang digunakan adalah 10 cm x 10 cm. Satu lubang tanam ditanami 1–2 bibit seledri. Pemberian naungan plastik banyak dilakukan oleh petani setempat pada bedengan lahan, agar bibit yang ditanam tidak rusak terkena siraman air hujan, petisida yang diberikan tidak mudah tercuci air hujan, dan terlindung dari penyakit busuk. Pertanaman seledri umumnya membutuhkan sinar matahari yang cukup dan tidak tahan air hujan (Soewito 1991).

Penyulaman

Penyulaman dilakukan petani jika ada bibit yang tidak tumbuh dalam jangka waktu 2 minggu. Menurut Rukmana (1995), penyulaman yang terlambat dapat menyebabkan tanaman kalah bersaing dengan tanaman yang tumbuh terlebih dahulu. Keadaan di lapangan pada saat pengamatan, menunjukkan petani jarang sekali melakukan penyulaman. Secara umum semua bibit yang ditanam tumbuh dengan baik.

Pemupukan

Pada umumnya petani setempat melakukan pemberian pupuk pada pertanaman seledri dilakukan 4 kali dari masa persemaian hingga panen. Pupuk dasar yang diberikan yaitu NPK 15 g/m2, urea 30 g/m2, dan TSP 15 g/m2 lahan. Pada saat persemaian memasuki umur satu minggu kembali diberikan pupuk urea dengan dosis 15 g/m2. Setelah tanaman dipindahkan ke lahan tanam kurang lebih 7–10 hari sesudah tanam dilakukan pemberian pupuk urea 30 g/m2 , NPK 15 g/m2, 30

dan TSP 15 g/m2. Pemberian pupuk dengan dosis yang sama dilakukan lagi saat usia tanaman mencapai 4 MST. Menurut Susila (2006), untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan pupuk oleh tanaman seledri, sebaiknya pupuk diberikan sebanyak 3 kali selama masa tanam, yaitu 1 kali pupuk dasar pada saat tanam, dan 2 kali pemberian pupuk alternatif yaitu pada saat tanaman berusia 2 MST dan 4 MST.

Pengairan dan Penyiraman

Pengairan dilakukan dengan cara menggenangi parit antar bedengan,

sepanjang musim tanam. Menurut Soewito (1991) keadaan tanah lahan pertanaman seledri tidak boleh dalam keadaan terlalu kering atau terlalu basah, karena hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman terganggu. Penyiraman dilakukan seminggu 3 kali. Proses penyiraman dilakukan dengan menggunakan air yang tergenang pada parit antara bedengan kemudian disiramkan pada tanaman secukupnya hingga tanaman terlihat basah. Menurut Rukmana (1995), pada awal masa pertumbuhan, pengairan perlu dilakukan 1–2 kali sehari, sedangkan pengairan berikutnya dikurangi menjadi 2–3 kali seminggu tergantung dari keadaan cuaca.

Penyiangan Gulma

Penyiangan dilakukan secara manual terhadap gulma selama masa pertanaman. Penyiangan dilakukan 1–2 kali sampai panen, tetapi jika dianggap perlu pengendalian dilakukan ketika gulma sudah banyak. Menurut Susila (2006) penyiangan gulma sebaiknya dilakukan secara bersamaan pada saat penggemburan dan pemupukan yaitu pada saat 2 MST dan 4 MST agar unsur hara dapat termanfaatkan secara maksimal oleh tanaman.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian secara mekanik dilakukan dengan mematikan hama yang ditemukan dengan mencabut langsung tanaman yang terlihat layu dan tidak tumbuh normal. Pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan pestisida, 31

merupakan pengendalian yang rutin dilakukan oleh semua petani seledri setempat. Aplikasi pestisida dilakukan 1–2 kali seminggu pada saat tanam sampai menjelang panen. Pada saat menjelang panen (kira-kira 5–6 MST), aplikasi pestisida ditingkatkan menjadi 2–3 kali seminggu. Pada saat 8 MST lahan tidak diaplikasikan insektisida. Menurut Soewito (1991) frekuensi aplikasi pestisida juga bisa meningkat apabila serangan hama dan penyakit pada lahan pertanaman seledri dirasa berat atau merugikan. Pestisida yang digunakan antara lain Orthene 75 SP, Curacron 500 EC, Agrimec 18 EC, Decis 2,5 EC, Dursban 20 EC (Insektisida), Antracol 70 WP, Score 250 EC, Revus 250 SC, Amistar 250 SC, Bion – M 1/48 WP, dan Dithane M-45 80 WP (Fungisida). Aplikasi pestisida pada lahan diberikan dengan cara mencampur Curacron, Antracol dan Decis dengan dosis masing-masing 1 tutup, 1 sendok, dan 1 tutup/15 liter air. Selain itu beberapa komposisi campuran lainnya adalah Agrimec, Score, Antracol, dan Dithanedengan menambahkan Tenaxsebagai bahan perekat.

Panen dan Pemasaran

Panen dilakukan ketika tanaman berumur 2–4 bulan setelah tanam tergantung keadaan harga. Pada keadaan tertentu bila harga tinggi petani memanen lebih awal, tetapi jika harga rendah maka petani memanen di waktu akhir. Pada saat penelitian berlangsung harga seledri di tingkat petani mencapai Rp. 5000/kg dan merupakan harga yang tergolong cukup tinggi. Hasil panen tanaman seledri petani setempat dapat mencapai rata-rata 15–18 kwintal/lahan. Pemasaran hasil panen dilakukan melalui dua cara, menjual ke pasar tradisional secara langsung atau menjual seledri pada saat masih di lahan dengan sistem borongan.

Hama dan Penyakit pada Tanaman Seledri

Pada saat pengamatan di lapangan, terdapat beberapa jenis hama dan penyakit yang ditemukan. Hama yang ditemukan adalah lalat pengorok daun

Liriomyza huidobrensis (Diptera: Agromyzidae), trips Thrips parvispinus, (Thysanoptera: Thripidae), kutu daun Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae), dan 32

ulat grayak Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), sedangkan penyakit yang ditemukan adalah bercak daun septoria (Septoria apii) dan bercak daun cercospora(Cercospora apii).

Hama Pada Tanaman Seledri

Lalat pengorok daun. Dari hasil pengamatan diketahui spesies lalat

pengorok daun yang menyerang pertanaman seledri adalah

Liriomyza huidobrensis Blanc. (Diptera: Agromyzidae). Imago L. huidobrensis

ditemukan pada beberapa petak lahan contoh, biasanya imago berada pada permukaan atas daun pada bagian tengah tanaman seledri (Gambar 3). Secara umum tubuh imago berwarna hitam mengkilap, dengan bagian tengah kepala, bagian samping toraks, dan skutelum berwarna kuning (Rauf 2001).

Gambar 3 Imago L. huidobrensis (Diptera: Agromyzidae)

Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah imago yang hinggap di tanaman. Populasi imago L. huidobrensis ditemukan pada beberapa tanaman contoh dengan jumlah yang bervariasi, bahkan ada beberapa tanaman contoh yang

tidak terdapat populasi imago hama ini. Rata-rata populasi imago

L. huidobrensis tertinggi terdapat pada lahan contoh Sawah Lega 4 yaitu 0,53 ekor/tanaman, sedangkan populasi imago terendah pada lahan contoh Sawah Lega 3 yaitu 0,17 ekor/tanaman. Populasi imago L. huidobrensis pada lahan contoh lain relatif tidak terlalu berbeda (Tabel 4).

Meskipun imago L. huidobrensis tidak terlalu banyak ditemukan di lapangan, namun gejala yang ditimbulkan hama ini hampir ditemukan pada keseluruhan tanaman pada petak lahan contoh yang diamati. Gejala berupa korokan berwarna putih yang terdapat pada permukaan daun tanaman (Gambar 4). Gejala ini sudah mulai timbul pada lahan yang tanamannya berusia 1 MST.

Gambar 4 Gejala korokan L. huidobrensis pada tanaman seledri

Semakin tinggi usia tanaman maka gejala korokan di tanaman seledri akan semakin banyak dan lebih lebar. Gejala korokan akan semakin melebar dengan semakin besarnya ukuran larva (Rauf 2001). Rata-rata persentase anak daun

terserang tertinggi pada lahan contoh Sawah Lega 1 mencapai 21,04% per tanaman, sedangkan persentase terendah pada lahan contoh Sawah Lega 4

mencapai 8,75% per tanaman. Kisaran rata-rata persentase anak daun terserang pada setiap lahan contoh berbeda-beda (Tabel 4). Hasil wawancara dengan petani setempat menunjukkan bahwa gejala hama L. huidobrensis yang lebih dikenal petani setempat dengan nama ”sulidad” merupakan jenis hama yang sangat merugikan pada pertanaman seledri dan hingga saat ini sangat sulit untuk diatasi. Secara umum tingginya serangan L. huidobrensis pada pertanaman seledri disebabkan oleh beberapa hal diantaranya faktor pengendalian dan teknik budidaya. Para petani setempat mengendalikan hama ini dengan menggunakan campuran berbagai jenis pestisida (insektisida dan fungisida), dan aplikasi dilakukan secara intensif. Menurut Rauf (2001) frekuensi aplikasi insektisida yang terlalu sering dapat menyebabkan terjadinya resistensi hama. Teknik 34

budidaya setempat tentang pengendalian gulma yang terbatas dan jarak lahan yang berdekatan dengan tanaman sayuran lainnya, menyebabkan tanaman inang hama ini selalu tersedia di lapangan. Hal ini dikarenakan L. huidobrensisbersifat polifag dan menyerang tanaman kentang, tomat, cabai, kacang-kacangan, mentimun, wortel, selada dan berbagai jenis gulma (Rauf 2001).

Tabel 4 Rata-rata kerapatan populasi (ekor/tanaman) dan intensitas serangan

L. huidobrensis

Lahan contoh Kerapatan populasi (Rata-rata ± SE) Jumlah korokan/tanaman (Rata-rata ± SE) Persentase anak daun terserang (Rata-rata ±SE) Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4 0,23 ± 0,10 0,37 ± 0,12 0,23 ± 0,10 0,27 ± 0,11 0,23 ± 0,10 0,20 ± 0,09 0,17 ± 0,08 0,53 ± 0,13 9,47 ± 0,96 2,90 ± 0,49 1,20 ± 0,29 4,73 ± 0,66 3,13 ± 0,48 3,30 ± 0,61 3,63 ± 0,42 0,70 ± 0,22 21,04 ± 2,14 9,67 ± 1,62 10,00 ± 2,44 17,53 ± 2,43 12,53 ± 1,92 18,33 ± 3,39 14,53 ± 1,69 8,75 ± 2,69

Lalat Pengorok Daun dan Parasitoidnya

Pengumpulan daun contoh yang memperhatikan gejala korokan dilakukan pada delapan lokasi pertanaman seledri di daerah Buniaga Ciherang. Dari 350 helai anak daun yang dikoleksi, didapatkan sebanyak 56 ekor lalat yang semuanya adalah spesies L. huidobrensis (Gambar 5). Hama L. huidobrensis merupakan hama yang bersifat polifag, hama ini memiliki inang yang sangat luas menyerang lebih dari 20 famili tanaman inang yang salah satunya adalah famili Umbelliferae (Rauf 2001).

Gambar 5 Imago L. huidobrensis

Tabel 5 Hasil inkubasi daun seledri yang terserang lalat pengorok daun Waktu pengambilan sampel Umur tanaman (MST) ∑ Helai daun contoh ∑ Pupa aborsi ∑ Imago lalat pengorok daun muncul ∑ Imago parasitoid muncul 9 April 2008 5 50 48 12 35 9 April 2008 8 40 27 11 13 17 April 2008 3 50 11 5 6 24 April 2008 6 50 37 11 22 3 Mei 2008 4 50 12 9 7 1 Juni 2008 7 40 23 1 62 1 Juni 2008 8 40 17 5 29 1 Juni 2008 2 30 3 2 1 Total 350 178 56 175

Dari tabel 5 diketahui bahwa jumlah total imago parasitoid yang muncul mencapai 175 ekor, jumlah pupa aborsi 178, dan imago lalat pengorok daun yang muncul mencapai 56 ekor. Hal ini mununjukan hasil penghitungan tingkat parasitisasi yang tidak memperhitungkan pupa aborsi adalah sebesar 75,76%, sedangkan untuk nilai tingkat parasitisasi yang memperhitungkan jumlah pupa aborsi mencapai 42,79%. Tingkat parasitisasi yang tinggi pada lokasi penguimpulan contoh daun seledri menunjukkan potensi parasitoid untuk digunakan dalam pengendalian hayati hama pengorok daun. Namun menurut Johnson (1987) tingkat keberhasilan pengendalian lalat pengorok daun oleh parasitoid di lapangan sangat dipengaruhi beberapa faktor seperti aplikasi pestisida, keragaman tanaman inang, dan pola budidaya. Aplikasi pestisida secara terus menerus dapat mengakibatkan kematian parasitoid di lapangan, sehingga keberhasilan parasitoid dalam pengendalian hayati menjadi kecil. Ketersediaan tanaman inang yang beragam bagi parasitoid dapat mempengaruhi populasi parasitoid semakin berlimpah. Penggunaan jarak tanam yang tepat, pengendalian gulma, dan penekanan aplikasi pestisida dapat mengurangi kemungkinan terbunuhnya parasitoid sehingga populasi parasitoid di lapangan tetap seimbang.

Hasil identifikasi imago parasitoid yang muncul dari inkubasi daun bergejala korokan, menunjukkan terdapat dua spesies parasitoid yaitu

Hemiptarsenus varicornis (Hymenoptera: Eulophidae), dan Opius chromatomyiae

(Hymenoptera: Braconidae) (Gambar 6). Ciri khas dari parasitoid H. varicornis

tubuh imago berwarna coklat gelap atau biru-hijau metalik, ukuran tubuh bervariasi antara 1,2–2,16 mm dan imago jantan memiliki tipe antena pektinose (berbentuk percabangan seperti sisir) sedangkan imago betinanya memiliki antena yang panjang dan halus. Ciri khas dari parasitoid O.chromatomyiae tubuh imago berwarna hitam, ukuran tubuh rata-rata 1,49–1,5 mm dan memiliki antena yang panjangnya hampir sama dengan tubuhnya (Fisher et al. 2005).

Gambar 6 Parasitoid yang didapatkan dari hasil inkubasi daun yang terserang

L. huidobrensis, a) H. varicornis (jantan), b) H. varicornis (betina) (Hymenoptera: Eulophidae), c) O. chromatomyiae (Hymenoptera: Braconidae)

Persentase komposisi parasitoid yang berasosiasi dengan L. huidobrensis

pada pertanaman seledri adalah H. varicornis (70,27%) dan O. chromatomyiae

(29,73%) (Gambar 7).

Gambar 7 Persentase komposisi parasitoid yang berasosiasi dengan pengorok daun L. huidobrensis pada seledri di Kampung Buniaga-Ciherang.

a b c

29,73

70,27

O.chromatomyiae H.varicornis 37

Lebih berlimpahnya H. varicornis karena jenis parasitoid ini merupakan salah satu parasitoid yang dominan ditemukan pada berbagai ketinggian tempat di Indonesia (Hidrayani 2002). Sedangkan keberadaan O. chromatomyiae sebagai parasitoid L. huidobrensis telah banyak ditemukan pada pertanaman kacang kapri yang ditanam di daerah dataran tinggi (Gultom 2005). Banyaknya jumlah imago parasitoid H. varicornis dan O. chromatomyiae yang muncul, menunjukkan potensi kedua jenis parasitoid ini untuk dapat digunakan dalam tindakan pengendalian hayati hama L. huidobrensis pada pertanaman seledri.

Trips. Trips yang ditemukan berukuran sangat kecil sekitar 1 mm, berwarna coklat kehitaman, dengan abdomen seperti kerucut dan berwarna gelap. Trips ditemukan diantara tangkai daun dan pada permukaan bawah daun (Gambar 8). Hasil identifikasi dengan menggunakan program identifikasi LUCID: Pest Thrips of The World (Moritz et al. 2004), menunjukan bahwa trips yang ditemukan merupakan spesies Thrips parvispinus Karny. (Thysanoptera: Thripidae). Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan jumlah populasi hama trips merupakan hama yang terdapat pada hampir seluruh pertanaman lahan contoh. Populasi trips tertinggi terdapat pada lahan Sawah lega 2 sebanyak 8,30 ekor/tanaman, sedangkan populasi hama terendah terdapat pada Lahan Legok 1 sebanyak 0,60 ekor/tanaman ( Tabel 6).

Gambar 8 Imago T. parvispinus pada permukaan bawah daun seledri 38

Gejala serangan hama trips pada tanaman seledri diduga berupa bercak berwarna putih seperti keperakan pada permukaan bawah daun (Gambar 9). Hal ini dikarenakan gejala seperti itu selalu ada ketika imago hama ini ditemukan pada permukaan bawah daun. Menurut Kalshoven (1981) serangan T. parvispinus, dicirikan dengan bercak berwarna keperakan dekat dengan tulang daun. Rata-rata populasi trips yang tinggi di lapangan, belum menimbulkan kerusakan yang begitu berarti. Hail ini ditunjukkan dengan luas serangan trips pada masing- masing lahan contoh yang relatif rendah berkisar antara 0,28% –5,37% (Tabel 5).

Tabel 6 Rata-rata kerapatan populasi (ekor/tanaman) dan intensitas serangan

T. parvispinus (%)

Lahan contoh Kerapatan populasi (Rata-rata ±SE) Intensitas serangan (Rata-rata ± SE) Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4 4,30 ± 0,81 6,83 ± 0,98 0,60 ± 0,21 8,30 ± 0,64 7,63 ± 0,73 6,97 ± 0,63 4,10 ± 0,32 0,97 ± 0,23 1,48 ± 0,57 2,56 ± 0,54 0,28 ± 0,28 2,96 ± 0,60 3,33 ± 0,42 5,37 ± 0,68 4,53 ± 0,68 0,42 ± 0,41

Jumlah populasi trips yang tinggi pada setiap tanaman seledri yang diamati disebabkan karena tanaman seledri merupakan salah satu tanaman inang alternatif dari trips. Menurut Sutrisna et al. (2005) tingkat serangan trips pada tanaman kentang menurun sebesar 44%, ketika tanaman kentang ditanam secara tumpang sari dengan seledri. Luas serangan trips yang rendah di lapangan lebih disebabkan oleh pengaruh musim, karena serangan trips pada tanaman akan meningkat ketika terjadi musim kering (Kalshoven 1981). Namun pada saat pengamatan serangan trips tetap terlihat karena penggunaan plastik pada lahan untuk melindungi tanaman dari hujan, sehingga trips tetap ada.

Gambar 9 Gejala serangan hama T. parvispinus pada daun

Kutu daun. Kutu daun yang ditemukan di lapang memiliki ciri-ciri berwarna hijau kehitaman berukuran kecil ± 1–2,5 mm, dan tubuhnya berbentuk seperti buah pir (Gambar 10). Hasil identifikasi kutu menggunakan menggunakan buku identifikasi Blackman dan Eastop (2000), menunjukan spesies kutu daun adalah Aphis gossypii Glov. (Hemiptera: Aphididae). Kutu daun hanya ditemukan pada beberapa lahan contoh pengamatan dalam jumlah yang bervariasi. Populasi

kutu daun tertinggi terdapat pada lahan contoh Nangeuk 1 sebanyak 6,43 ekor/tanaman, sedangkan populasi terendah terdapat pada beberapa lahan

contoh yang tidak ditemukannya hama ini (Tabel 7). Pada saat pengamatan kutu daun banyak ditemukan pada permukaan atas daun pada bagian bawah tanaman seledri.

Tabel 7 Rata-rata kerapatan populasi A. gossypii (ekor/tanaman) Lahan contoh Kerapatan populasi

(Rata-rata ± SE) Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4 - 6,43 ± 1,06 0,33 ± 0,20 4,70 ± 1,08 1,60 ± 0,55 2,43 ± 0,63 - - - Hama tidak ditemukan pada lahan contoh

Gambar 10 A. gossypii pada tanaman seledri

Kutu daun yang terdapat pada tanaman seledri saat pengamatan tidak menimbulkan kerusakan yang jelas. Peranan utama kutu daun pada pertanaman seledri adalah sebagai vektor virus mosaik seledri di Florida (Webb 2006). Tingginya populasi kutu daun pada lahan contoh Nanguek 1, karena pada lahan tidak dilakukan pengendalian gulma dan lokasi lahan yang berdekatan dengan pertanaman mentimun yang juga terdapat banyak kutu daun. Menurut Mossler et al. (2007) gulma dapat menjadi inang alternatif bagi virus dan kutu daun yang menyerang pertanaman seledri.

Secara umum populasi kutu daun yang ditemukan di lahan cukup rendah, hal ini disebabkan keadaan lahan yang cukup lembab merupakan kondisi yang tidak mendukung perkembangan hama. Selain itu penggunaan insektisida berbahan aktif acephate dan abamectin diduga ikut menekan populasi kutu daun. Pengendalian dengan inesktisida berbahan aktif asephat, pimetrozin, dan abamektin efektif mengendalikan kutu daun pada berbagai lahan pertanaman seledri di Florida Hausbeck (2002).

Ulat grayak. Hasil identifikasi menunjukkan ulat grayak yang ditemukan merupakan larva dari Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae). Larva

S. litura (Gambar 11), ditemukan pada bagian permukaan tanah lahan pertanaman seledri. Populasi Ulat grayak sedikit sekali ditemukan di lapang, dengan rata-rata populasi tertinggi sebanyak 0,23 ekor/tanaman pada lahan Sawah Lega 2, sedangkan populasi rata-rata terendah terdapat pada beberapa lahan yang tidak ditemukan hama ini (Tabel 8).

Tabel 8 Rata-rata kerapatan populasi larva S. litura (ekor/tanaman) Lahan contoh Kerapatan populasi

(Rata-rata ± SE) Sawah lega 1 Nangeuk 1 Legok1 Sawah Lega 2 Nangeuk 2 Legok 2 Sawah Lega 3 Sawah Lega 4 - - 0,20 ± 0,09 0,23 ± 0,08 0,10 ± 0,06 - - - - Hama tidak ditemukan pada lahan contoh

Hama ulat grayak pada saat pengamatan, tidak menunjukan serangan hama. Gejala serangan hama ini dapat mengakibatkan rusaknya daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas atau daun menjadi transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja (Ditlinhor 2008). Hasil wawancara dengan petani setempat mengatakan bahwa ulat ini sering sekali ditemukan pada lahan ketika musim kemarau. Menurut Kalshoven (1981) Selama musim hujan populasi

S. litura akan berkurang di lahan pertanaman. Selain pengaruh musim, perilaku hama yang beraktivitas pada malam hari mungkin menjadi salah satu faktor tidak teramatinya populasi hama ini di lapangan.

Gambar 11 Larva S. litura

Arthropoda Lain Pada Tanaman Seledri

Selain ditemukan serangga-serangga yang berstatus hama, pada lahan pertanaman seledri juga ditemukan beberapa jenis arthropoda lain yang belum diketahui secara pasti peranannya. Arthropoda tersebut adalah laba-laba (Lycosidae), semut (Formicidae), beberapa serangga Famili Syrphidae, dan Famili Tipulidae. Laba-laba diduga merupakan predator dari serangga-serangga lain yang ada di pertanaman seledri. Penggunaan beberapa jenis laba-laba merupakan salah satu pengendalian hayati untuk mengendalikan populasi trips di tanaman paprika (Ditlinhor 2008). Menurut Kalshoven (1981) laba-laba merupakan predator dari berbagai jenis serangga, baik serangga yang berstatus hama maupun jenis serangga yang berguna (musuh alami). Kehadiran semut pada lahan pertanaman seledri merupakan hasil asosiasinya dengan kutu daun yang menghasilkan embun madu. Menurut Capinera (2005), kutu daun dapat menghasilkan embun madu sebagai aktivitas ekskresinya yang kemudian dapat mengundang kehadiran semut pada pertanaman. Kehadiran beberapa serangga Famili Syrphidae, diduga mempunyai peranan dalam pengendalian kutu daun pada pertanaman seledri. Penggunaan predator Famili Syrphidae merupakan salah satu metode pengendalian Aphis gossypii secara biologis. Menurut Kalshoven (1981), populasi kutu daun pada pertanaman biasanya dapat dikendalikan dengan beberapa jenis musuh alami seperti Coccinellidae dan Syrphidae. Beberapa jenis serangga Famili Tipulidae yang ditemukan pada lahan diduga berperan sebagai dekomposer (Borror et al. 1996).

Penyakit pada Tanaman Seledri

Bercak daun Septoria. Penyakit bercak septoria hampir ditemukan pada seluruh tanaman contoh, namun umumnya hanya pada daun-daun tua. Gejala awal serangan patogen pada daun, yaitu terdapat bercak-bercak berwarna kecoklatan (Gambar 12), yang kemudian melebar (Gambar 13).

Gambar 12 Gejala bercak Septoria daun seledri

Gambar 13 Gejala lanjut bercak Septoria daun seledri

Pada daun yang menunjukkan gejala tersebut ditemukan konidia hialin, dengan bentuk panjang menyempit hingga filiform, dan memiliki beberapa sekat (Gambar 14). Menurut Barnet dan Barry (1999) ciri-ciri patogen seperti itu

Dokumen terkait