• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Zat Makanan dalam Ransum

Berdasarkan hasil analisis proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan dan tepung buah dan biji delima (TBBD) disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa penambahan TBBD pada ransum kontrol dapat mengubah komposisi zat makanan ransum perlakuan. Kandungan bahan kering (BK) mengalami peningkatan, namun kandungan BK di R2 sedikit lebih rendah daripada R1. Kandungan serat kasar (SK) pada ransum R1 dan R2 lebih tinggi dibandingkan R0. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai kandungan SK pada tepung delima (16,82% BK), sehingga jika dicampurkan dengan ransum kontrol (R0) yang memiliki kandungan SK sebesar 11,68% BK maka kandungan SK akan semakin bertambah pada R1 dan R2

Tepung buah dan biji delima memiliki kandungan abu sebesar 5,06%, cukup tinggi jika dibandingkan dengan data Morton (1987) yaitu sebesar 0,36 gram per 100 gram buah delima. Kandungan protein kasar (PK) sebesar 4,86% dan lemak kasar (LK) sebesar 1,31%, serta kandungan serat kasar (SK) tinggi sebesar 16,82%. Energi bruto TBBD sebesar 3885 kal/g. Astawan (2008) menyatakan bahwa kandungan energi bruto pada buah delima sebesar 6800 kal/g. Dengan demikian, kandungan energi bruto TBBD lebih rendah daripada literatur.

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan

Zat Makanan

Tepung Perlakuan

Buah dan Biji

Delima R0 R1 R2 Bahan Kering (%) 81,50 89,35 91,50 91,46 Abu (%) 5,06 9,69 9,63 9,05 Protein Kasar (%) 4,86 20,35 19,03 20,19 Lemak Kasar (%) 1,31 4,11 4,52 4,59 Serat Kasar (%) 16,82 11,68 12,54 16,64 Beta-N (%) 71,95 54,17 54,28 49,52

Energi Bruto(kal/g) 3855 4342,47 4418,58 4450,03

Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2009). R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima, R2 = 90% R0 + 10% tepung buah dan biji delima.

Kandungan abu dan SK ransum lebih tinggi jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar makanan tikus menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu abu (4-5%), dan SK (5%). Kandungan LK ransum lebih rendah daripada literatur yaitu 5,55% menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988). Buah delima mengandung senyawa antioksidan berupa tanin dan flavonoid (Astawan, 2008). Kandungan tanin pada ransum meningkat dengan penambahan TBBD dari nilai pada R0 sebesar 0,02%, R1 sebesar 0,06%, dan R2 sebesar 0,08% dan flavonoid sebesar 0,25% pada R0, 0,355% pada R1 dan R2 sebesar dan 0,57% (Sofriani et al., 2010 data belum dipublikasikan). Tanin dan flavonoid merupakan sumber antioksidan yang ada di dalam buah delima. Antioksidan tersebut berfungsi untuk mengatasi efek radikal bebas yang akan mempengaruhi kondisi tubuh tikus, seperti kesehatan, nafsu makan, dan metabolisme tubuh. Asupan tanin dan flavonoid diduga dapat mempengaruhi konsumsi, kecernaan, dan metabolisme pakan. Tanin dapat berikatan dengan PK sehingga kecernaan pakan akan menurun (Agni, 2005). Selain itu tanin juga diduga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak (Cannas, 2009).

Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N

Konsumsi ransum sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum diantaranya adalah kandungan energi pada ransum, kecepatan pertumbuhan, dan bentuk ransum. Berdasarkan hasil sidik ragam, perlakuan tidak memberikan efek yang nyata terhadap konsumsi LK, konsumsi SK dan konsumsi BETA-N jika dinyatakan dalam g/ekor/hari. Perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi LK, SK, dan BETA-N apabila konsumsi dinyatakan dalam g/bobot badan metabolis (BB0,75)/hari (Tabel 4). Penggunaan BB0,75 dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh bobot badan terhadap konsumsi. Berdasarkan uji ortogonal kontras, tikus yang mendapatkan perlakuan R0, konsumsi semua zat makanan yang berdasarkan BB0,75 lebih rendah dibandingkan dengan R1 dan R2.

Konsumsi LK pada R0 lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi LK pada R1 dan R2. Hal ini dapat diduga karena kandungan LK ransum R0 lebih rendah dibandingkan R1 dan R2. Pratiwi (2010) menyatakan bahwa konsumsi BK ( 3,095-3,563 g BK/BB0,75/hari) dan bahan organik (BO) (3,240-2,795 g BK/BB0,75/hari) pada tikus yang diberi R0 paling rendah daripada perlakuan lain. Hal ini juga berpengaruh terhadap konsumsi LK, SK, dan BETA-N. Rendahnya konsumsi ini diduga dapat disebabkan oleh paparan asap rokok. Menurut Mendes (2008) dan Panda (2001), kandungan tar dan nikotin dalam rokok Marlboro Full Flavor (MFF) masing-masing 15 dan 1,1 mg/batang merupakan kandungan yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk Marlboro lainnya dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan seperti gangguan paru-paru dan hati. Berdasarkan literatur tersebut, rokok yang digunakan pada penelitian ini diduga dapat menyebabkan efek berbahaya bagi kesehatan dan menggangu performans tikus yang salah satunya adalah penurunan konsumsi pada tikus terutama pada tikus yang memperoleh perlakuan R0.

Pada perlakuan R1 dan R2, penambahan TBBD ternyata dapat meningkatkan konsumsi zat makanan dibandingkan perlakuan R0. Konsumsi LK meningkat pada R1 sebesar 0,015 g/BB0,75 dan R2 sebesar 0,016 g/BB0,75. Konsumsi SK tikus yang dipapar asap rokok, tetapi diberi TBBD sebesar 5 dan 10% meningkat jika Tabel 4. Rataan Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N

Konsumsi Perlakuan R0 R1 R2 Lemak Kasar (g/ekor/hari) (g/BB0,75/ekor/hari) Serat Kasar (g/ekor/hari) (g/BB0,75/ekor/hari) BETA-N (g/ekor/hari) (g/BB0,75/ekor/hari) 0,522+0,071 0,545+0,065 0,543+0,060 0,013+0,001A 0,015+0,001B 0,016+ 0,002B 1,487+0,202 1,551+0,185 1,547+0,170 0,037+0,004A 0,042+0,004B 0,042+0,006B 6,895+0,937 7,192+0,860 7,172+0,789 0,170+0,019A 0,195+ 0,019B 0,196+0,027B Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

dibandingkan dengan tikus yang hanya diberi paparan asap rokok saja. Konsumsi BETA-N juga meningkat dari R0 (0,170 g/BB0,75/ekor/hari), R1 (0,195 g/BB0,75/ekor/hari), hingga R2 (0,196 g/BB0,75/ekor/hari).

Peningkatan konsumsi pada R1 dan R2 dapat diduga karena konsumsi BK dan bahan organik (BO) pada R1 dan R2 lebih besar daripada R0 (Pratiwi, 2010). Selain itu, kandungan zat makanan pada R1 dan R2 juga meningkat dengan penambahan TBBD. Kandungan SK pakan yang tinggi menyebabkan laju pergerakan zat makanan di dalam saluran pencernaan lebih cepat, sehingga lambung cepat kosong dan mendorong tikus untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak (McDonald et al., 2002).

Kandungan antioksidan dalam TBBD diduga juga dapat menurunkan efek negatif dari paparan asap rokok (Aviram et al., 2000; Lin et al., 2001). Pemberian antioksidan pada ransum R1 dan R2 berupa flavonoid dan tanin yang diberikan secara bersamaan dengan paparan asap rokok pada tikus dalam penelitian ini diduga mencegah terjadinya inflamasi atau peradangan dalam tubuh tikus pada hipotalamus akibat asap rokok sehingga dapat menekan kenaikan kadar TNF-α dan menekan penurunan enzim neuropeptida Y axis. Keadaan ini akan mengurangi timbulnya anoreksia dan memperbaiki sistem fisiologi tubuh tikus akibat radikal bebas yang berasal dari paparan asap rokok, sehingga nafsu makan tikus bertambah dan meningkatkan konsumsi (Chen et al., 2006). Perbaikan konsumsi tersebut akan mempengaruhi proses pencernaan dan metabolisme zat makanan.

Konsumsi Ransum, Ekskresi Feses, dan Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Rataan konsumsi ransum, ekskresi feses, kecernaan LK, SK dan BETA-N pada setiap ransum perlakuan terlihat dalam Tabel 5. Hasil sidik ragam menunjukkan baik ransum kontrol maupun yang ditambah TBBD tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi LK dan konsumsi SK, tetapi nyata (P<0,05) mempengaruhi konsumsi BETA-N. Rendahnya konsumsi pada R0 dapat diduga disebabkan oleh paparan rokok yang dilakukan pada tikus dapat menyebabkan kelainan psikis berupa menurunnya nafsu makan atau anoreksia (Chen et al., 2006). Rendahnya konsumsi ransum akan mempengaruhi kecernaan dan metabolisme khususnya pada tikus R0. Tabel 5. Rataan Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N (Minggu Ke-3

dan Ke-5) Peubah Perlakuan R0 R1 R2 Konsumsi (g/BB0,75) LK 0,072+0,007 0,085+0,011 0,088+0,011 SK 0,204+0,021 0,233+0,029 0,319+0,037 BETA-N 0,944+0,098a 1,085+0,138b 0,949+0,112a Ekskresi Feses (g/BB0,75) LK 0,016+0,003a 0,020+0,006b 0,023+0,005b SK 0,104+0,023A 0,108+0,031A 0,152+0,036B BETA-N 0,152+0,034a 0,186+0,054b 0,205+0,048b

Zat makanan tercerna (g/BB0,75)

LK 0,055+0,009a 0,065+0,009b 0,066+0,009b SK 0,100+0,035A 0,125+0,029A 0,167+0,042B BETA-N 0,792+0,111a 0,899+0,119b 0,745+0,107a Kecernaan (%) LK 77,167+5,785 76,439+6,036 74,356+6,002 SK 48,527+13,041 53,851+11,823 52,249+11,177 BETA-N 83,737+4,121b 82,946+4,369b 78,345+5,069a Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan nyata (P< 0,05), Superskrip yang berbeda pada baris yang sama dengan huruf kapital menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)

Hal ini berakibat sedikitnya jumlah pakan yang masuk ke dalam tubuh tikus sehingga ransum akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan kemungkinan tidak terbentuk simpanan cadangan makanan dalam jaringan adiposa, yang menyebabkan tikus harus memetabolis cadangan makanan di jaringan adiposa, khususnya yang terletak pada rongga perut.

Meskipun konsumsi LK dan SK tidak berbeda nyata, data menunjukkan perbaikan konsumsi terjadi pada tikus yang diberi perlakuan R1 dan R2. Hal ini dapat diduga berdasarkan konsumsi BO dan BK yang meningkat (Pratiwi, 2010), kandungan zat makanan yang meningkat pada R1 dan R2, serta kandungan antioksidan TBBD yang dapat meningkatkan konsumsi (Aviram et al., 2000; Lin et al., 2001; Chen et al., 2006).

Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan penambahan 5% TBBD (R1) berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (R0) dan penambahan 10% TBBD pada konsumsi BETA-N. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan BETA-N dalam ransum yang menunjukkan peningkatan pada R1 kemudian menurun pada R2.

Penambahan TBBD nyata (P<0,05) mempengaruhi ekskresi kandungan zat makanan (LK, BETA-N) dan sangat nyata (P<0,01) pada SK dalam feses. Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan ekskresi LK dan BETA-N pada R0 berbeda nyata (P<0,05) dengan R1 dan R2, ekskresi SK R0 dan R1 sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan R2. Penambahan 5 dan 10% TBBD dapat meningkatkan produksi zat makanan dalam feses dibandingkan dengan R0. Ekskresi LK dan BETA-N pada R1 dan R2 tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan hasil orthogonal kontras. Sedangkan pada ekskresi SK, penambahan 10% TBBD menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata dibandingkan penambahan 5% TBBD dan ransum kontrol. Hal ini menunjukkan dengan penambahan TBBD akan meningkatkan jumlah SK yang dikonsumsi sehingga sangat mempengaruhi ekskresi zat makanan pada feses tikus. Kandungan SK yang tinggi dalam ransum menyebabkan laju aliran zat makanan menjadi lebih cepat, sehingga banyak zat makanan yang keluar melalui feses.

Walaupun produksi zat makanan feses mengalami peningkatan, tetapi ketersediaan zat makanan tercerna juga meningkat. Pola peningkatan zat makanan tercerna mengikuti pola peningkatan konsumsi. Hal ini berarti walau banyak zat

makanan yang keluar, tetapi dengan tingginya konsumsi, jumlah zat makanan yang terdapat di dalam saluran pencernaan tetap tinggi.

Zat makanan yang tercerna merupakan zat makanan yang tersedia untuk dimetabolis di dalam tubuh tikus. Penambahan TBBD memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah zat makanan LK dan BETA-N tercerna dan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah zat makanan SK tercerna. Zat makanan LK tercerna meningkat pada R1 dan R2 dibandingkan dengan R0. Peningkatan BETA-N tercerna terjadi pada R1, tetapi kemudian menurun pada R2. Penambahan 10% TBBD paling mempengaruhi zat makanan SK tercerna. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak zat makanan yang tersedia untuk dimetabolis di dalam tubuh tikus.

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan LK dan SK, tetapi memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan BETA-N (Tabel 5). Hasil uji orthogonal kontras tidak menunjukkan perbedaan nyata antara kecernaan BETA-N R0 dengan R1, tetapi menunjukkan perbedaan nyata dengan R2. Tikus yang diberi perlakuan R0 memiliki kecernaan tertinggi dibandingkan dengan R1 dan R2. Konsumsi SK pada tikus R0 paling rendah diantara perlakuan, sehingga laju aliran digesta lebih lambat dan tikus dapat mencerna pakan lebih baik. Sebaliknya pada tikus R1 dan R2, diduga kandungan serat kasar dalam ransum R1 dan R2 yang dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan kecernaan pakan. Serat kasar yang tinggi menyebabkan laju pergerakan zat makanan tinggi, sehingga kerja enzim tidak optimal dan dapat mengakibatkan sejumlah zat makanan tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh (McDonald et al., 2002). Jumlah kandungan SK yang tinggi pada ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan ternak tersebut menjadi tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan menjadi lebih singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan (Dewi, 2008). Selain itu, tanin dapat berikatan dengan pati membentuk suatu ikatan yang menyebabkan pati tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Cannas, 2010).

Keberadaan tanin dan flavanoid yang merupakan sumber antioksidan dalam ransum perlakuan di penelitian ini diduga mempunyai pengaruh terhadap kecernaan ransum. Kadar flavonoid untuk R0, R1 dan R2 masing-masing sebesar 279,80;

382,51; dan 623,22 mg/100 gram BK, sedangkan kadar tannin untuk R0, R1 dan R2 masing-masing sebesar 22,38; 65,57; dan 98,40 mg/100 gram BK. Asupan tanin sebesar 2% dapat menurunkan kecernaan protein dan karbohidrat (Smith dan Mackie, 2004; Reed, 1995). Agni (2005) dan Susanti (2002) menyatakan bahwa terikatnya tanin dalam ransum dengan saliva menjadikan ransum tidak palatabel karena tanin dapat berikatan dengan zat makanan ransum terutama protein, sehingga zat makanan ransum sulit dicerna. Tanin juga dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan seperti trypsin dan amilase (Griffith dan Mosleys, 1980).

Tikus dapat mencerna SK di dalam sekumnya, karena pada sekum tikus terdapat enzim pencerna serat yang berasal dari mikroba. Tikus termasuk hewan monogastrik, walaupun dapat mencerna SK, tetapi belum dapat menggunakan SK secara maksimal sebagai sumber energi utama. Kecernaan SK meningkat dengan penambahan TBBD pada ransum (Tabel 5), padahal tanin dapat menurunkan kecernaan SK dengan menghambat kerja bakteri yang menghasilkan enzim yang berperan dalam metabolisme karbohidrat seperti selulase, amilase, atau galaktosidase (Butter et al., 1999). Reed (1995) dan McSweeney et al. (2001) melaporkan bahwa tanin membentuk ikatan hidrogen dengan hemiselulosa, pati dan pektin. Menurut Pratiwi (2010), kecernaan tanin TBBD cukup tinggi sehingga dapat diduga banyak tanin yang terserap dalam tubuh.

Tabel 6. Fraksi Lemak dan Glukosa Darah Peubah Perlakuan R0 R1 R2 Kolesterol (mg/dL) 198,650+45,054 178,450+49,545 228,850+74,543 Trigliserida (mg/dL) 220,700+84,347 176,150+40,236 222,350+93,729 HDL (mg/dL) 46,050+8,351 44,550+4,206 45,250+6,125 LDL (mg/dL) 108,460+50,496 98,670+47,538 139,130+58,702 Glukosa Darah (mg/dL) 107,100+16,928 124,800+41,709 98,400+9,658 Rasio LDL/HDL 2,355 2,215 3,075

Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

Fraksi Lemak Darah dan Glukosa Darah

Hasil rataan pengukuran kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serta glukosa darah disajikan pada Tabel 6. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan penambahan TBBD di ransum tidak berpengaruh terhadap kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serta glukosa darah.

Kandungan LK dalam ransum perlakuan lebih tinggi dibandingkan kebutuhan tikus menurut Malole dan Pramono (1989). Dengan demikian bahan baku untuk sintesis kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL tercukupi. Fraksi lemak darah merupakan hasil metabolisme dari lemak yang berasal dari pakan. Kolesterol dan trigliserida banyak disintesis di hati dan jaringan adipose (Muchtadi, 1993). Sintesis trigliserida dalam hati terutama digunakan untuk memproduksi lipoprotein darah yaitu VLDL. Jika ternak sedikit memetabolisme lemak dari ransum, maka kebutuhan trigliserida akan disintesis dari jaringan adiposa, sehingga kandungan deposit lemak akan berkurang.

Kadar kolesterol tikus yang diberikan TBBD berkisar antara 178,450 - 228,850 mg/dL dan kadar trigliserida berkisar antara 176,150 - 220,700 mg/dl. Kadar kolesterol ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar kolesterol menurut Malole dan Pramono (1989), kadar kolesterol tikus sebesar 40-130 mg/dL dan trigliserida sebesar 26-146 mg/dL.

Gambar 5 menggambarkan banyaknya zat makanan tercerna yang siap dimetabolis di dalam saluran pencernaan selama masa penelitian dan Gambar 6 menggambarkan kadar fraksi lemak darah dan glukosa darah yang dihasilkan dari proses metabolisme zat makanan tercerna tersebut.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa tikus yang diberi R0 dan R2 hanya menyerap LK masing-masing sebesar 0,010 dan 0,011 g/BB0,75 dibandingkan dengan R1 sebesar 0,018 g/BB0,75.

Gambar 5. Jumlah Zat Makanan Tercerna selama Masa Penelitian

Gambar 6. Jumlah Fraksi Lemak dan Glukosa Darah pada Akhir Penelitian

Tikus yang mendapat ransum R0 merupakan tikus yang dipapar asap rokok tanpa diberikan TBBD. Kondisi ini menyebabkan konsumsi zat makanan tikus pada R0 paling rendah diantara semua perlakuan. Hal ini berakibat tikus tidak mendapatkan cukup asupan zat makanan khususnya LK dan BETA-N untuk

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 R0 R1 R2 Z at M akan an Ter ce rn a (g/B B 0,75) BETA-N SK LK 0 50 100 150 200 250 R0 R1 R2 Fr ak si Le m ak Dar ah d an Glu k o sa Dar ah (m g/ d L) Kolesterol Trigliserida HDL LDL Glukosa Darah

dimetabolis didalam tubuh. Lemak kasar dan BETA-N nantinya akan dimetabolis menjadi fraksi lemak darah dan glukosa darah. Akibat kurangnya asupan LK tercerna, tikus pada perlakuan R0 memetabolis cadangan lemak di dalam tubuh untuk menutupi kebutuhan lemak di dalam tubuh. Perombakan cadangan lemak di dalam jaringan adiposa akan menyebabkan kadar fraksi lemak darah di dalam pembuluh darah meningkat. Kurangnya asupan BETA-N sebagai sumber glukosa menyebabkan glukosa yang diserap ke dalam tubuh sedikit, sehingga kadar glukosa dalam darah menurun.

Tikus yang memperoleh perlakuan R1 memiliki kandungan glukosa darah yang paling tinggi. Asupan BETA-N tercerna pada tikus R1 yang tinggi menyebabkan tikus memperoleh cukup asupan sumber glukosa untuk metabolisme energi. BETA-N merupakan jenis gula yang mudah tercerna dan mudah diserap oleh tubuh. Hal ini menyebabkan banyak glukosa yang diserap oleh tubuh sehingga glukosa darah pada tikus R1 menjadi tinggi. Jumlah SK tercerna pada tikus R1 juga cukup tinggi, tetapi SK merupakan sumber glukosa yang sulit dicerna tanpa bantuan mikroba sehingga harus dicerna dulu oleh mikroba di dalam sekum. Dengan demikian, glukosa yang berasal dari SK tercerna relatif lebih sedikit daripada dari BETA-N tercerna.

Tikus yang memperoleh perlakuan R1 memiliki kandungan fraksi lemak darah terendah dari semua perlakuan Tikus R1 memperoleh asupan LK tercerna lebih banyak daripada tikus R0, tetapi SK tercerna R1 lebih rendah dibanding R2. Hal ini berarti tidak banyak LK yang terbuang melalui feses dan siap dimetabolis. Hal ini menyebabkan tikus tidak memetabolis cadangan lemak dari jaringan adiposa, sehingga berakibat kadar fraksi lemak darah dan trigliserida menurun.

Tikus yang diberi perlakuan R2, walaupun mendapat konsumsi LK yang tinggi, konsumsi SK pada R2 juga tinggi. Serat kasar yang tinggi menyebabkan penurunan kecernaan LK, sehingga zat makanan tercerna LK akan rendah. Lemak kasar tercerna yang rendah mengakibatkan kurangnya asupan lemak ke dalam tubuh sehingga akan kekurangan sumber lemak untuk dimetabolis. Tikus menggunakan cadangan lemak di dalam tubuh untuk mengatasi kekurangan tersebut. Hal ini mengakibatkan kandungan fraksi lemak darah meningkat. Kecernaan BETA-N pada tikus yang diberi R2 juga mengalami penurunan karena banyak BETA-N yang

terbuang melalui feses akibat konsumsi SK yang tinggi. Hal ini menyebabkan tikus memperoleh sedikit BETA-N tercerna yang siap dimetabolis menjadi glukosa. Akibatnya kadar glukosa darah di dalam tubuh tikus mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 6, kandungan LDL tikus pada semua perlakuan lebih banyak dibandingkan kandungan HDL. Hal ini dikarenakan LDL mencakup dari 65% dari total kolesterol darah (Astawan, 2005). Jumlah LDL yang diperoleh pada penelitian berkisar antara 98,67 – 139,13 mg/dL dan jumlah HDL berkisar antara 44,55 – 46,05 mg/dL. Jumlah LDL normal adalah berkisar antara 130 -158 mg/dL dan jumlah HDL yang baik adalah lebih dari 40 mg/dL (National Cholesterol Education Program, 2001). Rasio LDL/HDL berkisar antara 2,215-3,075. Menurut Fernandez dan Webb (2008), rasio LDL/HDL yang terbaik berkisar antara 2,5-3,3. Rasio ini berguna untuk mengetahui tingkat resiko terkena penyakit atherosklerosis. Hal ini berarti jumlah LDL, HDL, dan rasio antara LDL dan HDL yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam batas normal. Dengan demikian, penggunaan TBBD dalam percobaan ini dapat mempertahankan kadar LDL dan HDL dalam kisaran normal yang diduga melalui peranan serat, tanin, dan flavonoid.

Serat mempunyai peranan dalam penurunan kolesterol melalui beberapa mekanisme, yaitu: 1) pengikatan asam empedu di dalam usus halus yang menyebabkan meningkatnya ekskresi asam empedu feses, 2) penurunan absorpsi lemak dan kolesterol, 3) penurunan laju absorpsi karbohidrat yang menyebabkan penurunan kadar insulin serum sehingga menurunkan rangsangan sintesis kolesterol dan lipoprotein, dan 4) penghambatan sintesis kolesterol oleh asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat larut di dalam kolon (Wolever et al., 1997).

Tanin dan flavonoid pada TBBD juga dapat meningkatkan aktivitas metabolisme lemak di dalam tubuh (Cannas, 2010; Darusman et al., 2001). Flavonoid meningkatkan aktivitas lipolisis dengan menghambat enzim phospodiesterase (PDE) sehingga tidak ada dekomposisi cyclic adenosine monophospate (cAMP), yang berakibat mengaktifkan protein kinase A yang bertugas memfosforilasi dan mengaktifasi hormon sensitif lipase (HSL) sehingga terjadi lipolisis dalam jaringan adiposa (Jeon et al., 2005). Tanin berfungsi sebagai aktivator

Tabel 7. Rataan Lingkar Perut dan Pertambahan Lingkar Perut Peubah Perlakuan R0 R1 R2 Lingkar Perut Awal (cm) 10,710+0,710 9,950+1,189 9,850+0,580 Akhir (cm) 12,450+1,410 11,950+0,864 11,700+0,789 Pertambahan Lingkar Perut (cm/35 hari) 1,750 +0,151 2,000+0,211 1,850+0,142 (cm/hari) 0,050+0,022 0,057+0,030 0,053+0,020

Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

enzim lipase dalam pembuluh darah sehingga cadangan lemak dalam tubuh tikus dirombak. Selain itu, flavonoid dan tanin juga dapat mencegah akumulasi lemak pada hati dan tubuh tikus dengan meningkatkan ekskresi asam empedu (Chan et al., 1999). Asam empedu dapat berfungsi sebagai agen emulsi lemak sehingga mempermudah lemak untuk didegradasi oleh enzim lipase. Hasil degradasi ini berupa fraksi lemak yang kemudian masuk ke dalam pembuluh darah menyebabkan banyaknya kolesterol yang beredar di dalam darah.

Lingkar Perut dan Pertambahan Lingkar Perut

Salah satu tempat penyimpanan lemak adalah rongga perut (abdomen) yaitu jaringan adiposa yang berperan dalam proses penyimpanan lemak tersebut (Pilliang dan Djojosoebagio, 2006). Pada awal penelitian tikus yang diberi ransum R0 adalah tikus yang mempunyai lingkar perut yang lebih besar daripada tikus yang mendapat perlakuan R1 dan R2. Lingkar perut tikus yang diberi R0 di akhir penelitian masih lebih besar daripada lingkar perut tikus dengan perlakuan R1 dan R2, tetapi penambahan lingkar perut tikus yang memperoleh R0 paling rendah diantara perlakuan lainnya.

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pertambahan lingkar perut tikus. Meskipun tidak berpengaruh nyata, tikus yang diberi pakan R1 dan R2 memiliki pertambahan lingkar perut yang lebih besar dibandingkan tikus yang mendapat perlakuan R0. Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian TBBD dalam ransum dapat memperbaiki konsumsi ransum pada tikus yang dipapar asap rokok.

Perbaikan ini disebabkan oleh konsumsi ransum yang tinggi sehingga banyak zat makanan yang masuk ke dalam tubuh. Zat makanan tersebut akan dicerna, diserap dan dimetabolis serta kelebihan dari hasil metabolis akan disimpan dalam jaringan adiposa. Penambahan lingkar perut tikus yang diberi R2 lebih besar daripada R0, tetapi lebih kecil daripada R1. Hal ini diduga disebabkan oleh konsumsi SK yang tinggi sehingga menurunkan kecernaan LK dan BETA-N. Kecernaan yang menurun menyebabkan tubuh kurang mendapat asupan LK tercerna dan BETA-N tercerna untuk dimetabolis. Sehingga tikus menggunakan cadangan makanan dari jaringan adipose untuk menutupi kekurangan tersebut. Konsumsi SK yang tinggi pada ransum cenderung mengakibatkan penurunan bobot lemak abdomen yang terbentuk. Sifat adsorptif, mengikat misel lemak, yang dimiliki oleh SK mengakibatkan pengurangan absorpsi lemak, mengurangi lemak darah, dan mengurangi kadar trigliserida yang dideposit dalam jaringan adiposa (James dan Gropper, 1990).

Tikus yang diberi R1 mendapat LK tercerna yang lebih banyak dibanding R0 dan R2. Hal ini berakibat tikus mendapat cukup asupan lemak untuk proses

Dokumen terkait