• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK TEPUNG DELIMA (

Punica granatum L.

) SEBAGAI

SUMBER ANTIOKSIDAN PADA METABOLISME

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) YANG

DIKONTAMINASI ASAP ROKOK

SKRIPSI

ADITYA DANU WARDHANA

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

ADITYA DANU WARDHANA. D24060313. 2010. Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok Skripsi. Program Studi Ilmu Nutrisi Ternak dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Anita S Tjakradidjaja, MRur.Sc.

Pembimbing Anggota : dr. Francisca. A. Tjakradidjaja, MS, Sp.GK.

Radikal bebas berperan dalam terjadinya berbagai penyakit. Hal ini dikarenakan radikal bebas adalah molekul kimia yang memiliki pasangan elektron bebas di kulit terluar sehingga sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau DNA. Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan banyak terdapat pada berbagai jenis buah-buahan, salah satunya adalah buah delima (Punica granatum L). Buah delima kaya akan antioksidan, bahkan paling tinggi jika dibandingkan dengan buah-buahan lain yang telah diuji (Khomsan, 2009). Oleh karena itu, penggunaan tepung buah dan biji delima sebagai antioksidan akan dikaji dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian tepung buah dan biji delima sebagai sumber antioksidan terhadap konsumsi, kecernaan, dan metabolisme lemak dan serat kasar pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang telah terkontaminasi asap rokok.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2009 di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan lepas sapih yang berumur 21 hari. Perlakuan yang diberikan adalah: R0 = Ransum kontrol (tanpa diberi tepung buah dan biji delima); R1 = 95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima; dan R2 = 90% R0 + 10% tepung buah dan biji delima. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan masing-masing 10 ulangan. Peubah yang diamati adalah konsumsi, dan kecernaan lemak kasar (LK), serat kasar (SK), dan BETA-N, kadar lemak darah, glukosa darah, trigliserida, LDL, dan HDL, serta lingkar perut. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa sidik ragam (Analyses of Variance, ANOVA) untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dan untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan dilakukan Uji Ortogonal Kontras (Steel dan Torrie, 1993). Hasil penelitian menunjukkan, penambahan tepung buah dan biji delima ke dalam ransum kontrol dengan taraf 5% dan 10% dapat meningkatkan konsumsi LK, SK, dan BETA-N jika dinyatakan dalam bobot badan metabolis, tetapi tidak mempengaruhi kecernaan zat makanan tersebut dan pertambahan lingkar perut. Taraf 5% merupakan taraf yang terbaik karena menghasilkan hasil yang optimal dalam mengatasi efek radikal bebas.

(3)

ABSTRACT

Effect of Pomegranate Powder as Antioxidant Source on Metabolism of White

Rat (Rattus norvegicus) Contaminated with Cigarette Smoke

Wardhana, A. D., A. S. Tjakradidjaja, and F. A. Tjakradidjaja

The effect of pomegranate fruit and seed powder as a source of antioxidant on consumption, digestion of lipid and crude fiber are evaluated in this study. Thirty of 28 day old rats were used in this experiment. This experiment used completely randomized design with three treatments and ten replications. The experimental rats were given diets containing pomegranate at levels of 0% (R0= control diet), 5% (R1= R0 containing 5% pomegranate fruit and seed powder) and 10% (R2= R0 containing 10% pomegranate fruit and seed powder). Variables measured were ether extract, crude fiber, NFE intakes and digestibilities and abdominal circumference. Data were analyzed with Analysis of Variance (ANOVA) and differences among treatments were tested by contrast orthogonal tests. Results show treatments affected nutrient intakes (P<0.01), but did not produced significant effect on nutrient digestibilies. There were no significant effect of treatments on the change in abdominal circumference. In conclusion, the use of pomegranate fruit and seed powder increased fat and carbohydrate intake in mice contaminated with cigarette smoke; however there were no effect on fat and carbohydrate digestibilities, and the change in abdominal circumference. The best result was produced by R1 which contained 5% pomegranate fruit and seed powder.

(4)

EFEK TEPUNG DELIMA (Punica granatum L.) SEBAGAI SUMBER ANTIOKSIDAN PADA METABOLISME

TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) YANG DIKONTAMINASI ASAP ROKOK

ADITYA DANU WARDHANA D24060313

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok

Nama : Aditya Danu Wardhana NIM : D24060313

Menyetujui,

Tanggal Ujian : 13 dan 14 Januari 2011 Tanggal Lulus : Pembimbing Utama,

(Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc.) NIP. 19610930 198603 2 003

Pembimbing Anggota,

(dr. F. A. Tjakradidjaja, MS., Sp.GK) NIP. 010 605 0122

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1988 di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Giata dan Ibu Ginem.

Pendidikan dasar Penulis diselesaikan di SDN Cibuluh 2 Bogor pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTPN 5 Bogor dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMAN 6 Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT karena atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Efek Tepung Delima (Punica granatum L.) sebagai Sumber Antioksidan pada Metabolisme Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Dikontaminasi Asap Rokok yang ditulis berdasarkan hasil penelitian dari bulan Juli sampai dengan September 2009 di Laboratorium Lapang Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dan menentukan manfaat pemberian tepung buah dan biji delima (Punica granatum L.) sebagai sumber antioksidan terhadap konsumsi dan kecernaan serta metabolisme ransum tikus putih (Rattus norvegicus) yang telah terkontaminasi radikal bebas.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Januari 2011

(8)

DAFTAR ISI

Antioksidan dalam Buah Delima ... 14

Zat Makanan ... 15

Serat Kasar ... 15

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen ... 16

Lemak ... 16

Pengukuran Bobot Badan dan Lingkar Perut ... 23

Pengumpulan Feses ... 23

(9)

Peubah yang diamati ... 24

Rancangan dan Analisis Data ... 25

Rancangan ... 25

Analisis Data ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

Kandungan Zat Makanan dalam Ransum ... 26

Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N ... 27

Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N pada Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 30

Fraksi Lemak dan Glukosa Darah ... 34

Lingkar Perut dan Pertambahan Lingkar Perut ... 38

KESIMPULAN dan SARAN ... 41

Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

UCAPAN TERIMA KASIH ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kebutuhan Zat Makanan Tikus ... 5 2. Komposisi Gizi per 100 gram Buah Delima ... 13 3. Kandungan Zat Makanan ... 26 4. Rataan Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N . 28 5. Rataan Kecernaan Lemak Kasar, Serar Kasar, dan BETA-N

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Atom Radikal Bebas ... 7

2. Buah Delima ... 11

3. Struktur Punicalagin dan Ellagic Acid ... 14

4. Metode Pengasapan ... 22

5. Jumlah Zat Makanan Tercerna selama Masa Penelitian ... 35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

10.ANOVA Produksi Lemak Kasar Feses Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 53

11.ANOVA Produksi Serat Kasar Feses Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 53

12.ANOVA Produksi BETA-N Feses Minggu Ke-3 dan Ke-5... 53

13.ANOVA Lemak Kasar Tercerna Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 54

14.ANOVA Serat Kasar Tercerna Minggu Ke-3 dan Ke-5... 54

15.ANOVA BETA-N Tercerna Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 54

16.ANOVA Kecernaan Lemak Kasar Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 54

17.ANOVA Kecernaan Serat Kasar Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 55

18.ANOVA Kecernaan BETA-N Minggu Ke-3 dan Ke-5 ... 55

24.ANOVA Pertambahan Lingkar Pinggang ... 56

25.Uji Ortogonal Kontras Konsumsi Lemak Kasar dibagi BB0,75 ... 57

26.Uji Ortogonal Kontras Konsumsi Serat Kasar dibagi BB0,75 ... 57

27.Uji Ortogonal Kontras Konsumsi BETA-N dibagi BB0,75 ... 57

(13)

30.Uji Ortogonal Kontras Produksi Serat Kasar Feses Minggu

Ke-3 dan Ke-5 ... 58 31.Uji Ortogonal Kontras Produksi BETA-N Feses Minggu

Ke-3 dan Ke-5 ... 59 32.Uji Ortogonal Kontras Kecernaan BETA-N

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini peternakan telah berkembang tidak hanya di pedesaan, tetapi juga mulai merambah ke daerah perkotaan. Keberadaan peternakan di tengah perkotaan membutuhkan penanganan atau menejemen yang berbeda dalam pemeliharaan ternaknya. Kota-kota besar seperti Jakarta memiliki tingkat polusi yang tinggi. Hal ini tentunya dapat mengganggu kesehatan ternak. Polusi tersebut dapat berasal dari asap rokok, asap kendaraan, obat, bahan beracun, makanan dalam kemasan, bahan aditif, dan sinar ultraviolet dari matahari maupun radiasi yang merupakan sumber dari radikal bebas.

Radikal bebas merupakan suatu atom, molekul, atau senyawa yang mengandung

satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif, yang berasal

dari dalam tubuh ataupun lingkungan (Andayani, 2008). Pada proses metabolisme normal, tubuh ternak dapat memproduksi partikel kecil dengan tenaga besar disebut sebagai radikal bebas. Atom atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga dan beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan untuk membunuh virus dan bakteri. Namun karena zat ini juga dapat merusak jaringan normal yang diakibatkan oleh tenaga zat tersebut yang sangat tinggi. Radikal bebas dapat mengganggu proses konsumsi, kecernaan, dan metabolisme dalam tubuh ternak khususnya pada lemak. Contohnya, adalah menurunnya konsumsi, gangguan pada penyerapan zat makanan akibat rusaknya dinding sel, gangguan produksi DNA,

dan kerusakan lapisan lipid pada dinding sel, serta peningkatan jumlah LDL dalam darah

(Arief, 2009 ; Chen et al., 2006 ; Zakaria et al., 1996).

Radikal bebas yang sering dijumpai adalah asap rokok. Asap rokok termasuk radikal bebas yang memiliki reaktivitas tinggi sehingga dapat memicu reaksi berantai dalam sel. Asap rokok telah diketahui mengandung kurang lebih 4.800 jenis bahan kimia, dan 60 diantaranya bersifat karsinogenik pada hewan dan manusia. Bahan-bahan tersebut diantaranya adalah nikotin, tar, CO, amonia, naftalen, dan aseton. Bahan yang bersifat karsinogen pada asap rokok lebih banyak mempengaruhi perokok pasif (Yusuf dan Saad, 1991).

(15)

yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil (Sofia, 2005). Tubuh memiliki senyawa antioksidan, seperti: enzim superoksida dismutase (SOD), gluthatione, dan katalase (Prakash, 2001).

Banyaknya polusi di lingkungan yang merupakan sumber radikal bebas, antioksidan dalam tubuh kurang mencukupi untuk menangkal radikal bebas tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sumber antioksidan dari luar tubuh seperti buah dan sayur. Pemberian antioksidan pada ternak dapat mengurangi efek dari radikal bebas, seperti : memperbaiki konsumsi pakan, menurunkan kandungan kolesterol dalam darah dan memperbaiki kualitas daging pada sapi pedaging (Weiss dan Hogan, 2007; Gobert et al., 2009; Harris et al., 2001).

Salah satu contoh sumber antioksidan yang berasal dari buah-buahan adalah buah delima. Kelawala dan Ananthanarayan (2004) menyatakan bahwa buah delima memiliki kandungan antioksidan yang cukup tinggi dibandingkan buah lain sebagai sumber antioksidan. Menurut penelitian yang dilakukan Hora (2003), buah delima dapat menghambat pertumbuhan kanker pada tikus. Aviram et al. (2002) menyatakan bahwa buah delima dapat menghambat oksidasi low density lipoprotein (LDL) dan atherosklerosis. Jus delima yang telah difermentasi dan minyak yang diambil dari biji delima, juga diketahui aktif sebagai antioksidan yang setara dengan teh hijau (Astawan, 2008). Delima memiliki kandungan flavonoid atau polifenol yang cukup tinggi terutama saat biji dan buah delima diblender secara bersamaan (Astawan, 2008;

Ghasemian et al., 2006). Kandungan serat kasar (SK) yang tinggi pada buah delima

dapat menyerap lemak yang berlebih sehingga tidak teroksidasi oleh radikal bebas. Serat menurut James dan Gropper (1990) memiliki sifat adsortif, serat akan mengikat misel lemak sehingga akan mengurangi adsorbsi lemak, lemak darah dan kadar trigliserida yang dideposit dalam jaringan adiposa.

Akan tetapi penggunaan buah delima sebagai bahan antioksidan untuk

mengatasi masalah radikal bebas dari kontaminasi asap rokok belum diketahui. Oleh karena itu, sebagai langkah awal, akan dipelajari manfaat penambahan tepung buah dan biji delima sebagai sumber antioksidan untuk mengatasi efek dari asap rokok dilihat dari konsumsi, kecernaan dan metabolisme lemak kasar dan serat kasar.

(16)

Tujuan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Rattus norvegicus (tikus putih) sering disebut sebagai tikus laboratorium. Secara fisik, ukuran badan jantan biasanya lebih besar daripada betina. Taksonominya menurut Wilson dan Reeder (1993) adalah :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Famili : Muroidae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Untuk pakan tikus, kandungan protein yang dibutuhkan 20-25% (akan tetapi hanya 12% jika protein lengkap berisi semua 10 asam amino esensial dengan konsentrasi yang benar), lemak 5%, pati 45-50%, serat kasar kira-kira 5% dan abu 4-5% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pakan tikus juga harus mengandung vitamin A (4000 IU/kg), vitamin D (1000 IU/kg), alfa-tokoferol (30 mg/kg), asam linoleat (3 g/kg), tiamin (4 mg/kg), riboflavin (3 mg/kg), pantotenat (8 mg/kg), vitamin B12 (50

(18)

Kebutuhan zat makanan tikus putih lebih lengkap tercantum pada Tabel 1.

(19)

hidupnya yang relatif pendek, 2) dari segi pengadaan tidak sulit karena dapat berkembangbiak dengan cepat, 3) jenis hewan ini berukuran kecil sehingga pemeliharaannya relatif mudah, dan 4) merupakan hewan yang sehat dan cocok untuk berbagai penelitian.

Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan atom, molekul atau senyawa yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif (Surai, 2003). Radikal bebas memerlukan elektron yang berasal dari pasangan elektron di sekitarnya, sehingga terjadi perpindahan elektron dari molekul donor ke molekul radikal bebas untuk menjadikan radikal tersebut stabil. Hal tersebut menyebabkan molekul donor tidak stabil dan menimbulkan reaksi berantai (Simanjuntak et al., 2004).

Radikal bebas mempunyai banyak bentuk seperti radikal hidroksil, peroksil, anion superoksida dan lain-lain. Masing-masing bentuk radikal tersebut mempunyai waktu yang berbeda-beda dalam menimbulkan stres oksidatif tergantung pada tingkat kereaktifan, selektivitas dan serangan terhadap molekul-molekul organik yang terdapat dalam jaringan tubuh. Stres oksidatif yang berlangsung terlalu lama dapat menimbulkan kerusakan mulai dari tingkat molekul seperti DNA, protein, lipid sampai dengan kerusakan pada tingkat seluler, jaringan dan organ yang menyebabkan disfungsi, luka sel, degenerasi, penurunan fungsi dan akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif dan memperpendek umur biologis atau penuaan. Efek oksidatif radikal bebas dapat menyebabkan peradangan dan penuaan dini (Sunarno, 2009). Lipid yang seharusnya menjaga kulit agar tetap segar berubah menjadi lipid peroksida karena bereaksi dengan radikal bebas sehingga mempercepat penuaan. Kanker pun disebabkan oleh oksigen reaktif yang intinya memacu zat karsinogenik, sebagai faktor utama kanker. Selain itu, oksigen reaktif dapat meningkatkan kadar LDL yang kemudian menjadi penyebab penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah. Akibatnya timbullah atherosklerosis atau lebih dikenal dengan penyakit jantung koroner (Sofia, 2005).

(20)

menentukan jumlah dari elektron (bermuatan negatif) yang mengelilingi atom tersebut. Elektron berperan dalam reaksi kimia dan merupakan bahan yang menggabungkan atom-atom untuk membentuk suatu molekul. Elektron mengelilingi atau mengorbit pada suatu atom dalam satu atau lebih lapisan. Jika satu lapisan penuh, elektron akan mengisi lapisan kedua. Lapisan kedua akan penuh jika telah memiliki delapan elektron, dan seterusnya. Gambaran struktur terpenting sebuah atom dalam menentukan sifat kimianya adalah jumlah elektron pada lapisan luarnya. Suatu bahan yang elektron lapisan luarnya penuh tidak akan terjadi reaksi kimia. Karena atom-atom berusaha untuk mencapai keadaan stabilitas maksimum, sebuah atom akan selalu mencoba untuk melengkapi lapisan luarnya dengan :

a. Menambah atau mengurangi elektron untuk mengisi maupun mengosongkan lapisan luarnya.

b. Membagi elektron-elektronnya dengan cara bergabung bersama atom yang lain dalam rangka melegkapi lapisan luarnya.

Dalam rangka mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya. Struktur radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Atom Radikal Bebas Sumber : Arief, 2009.

(21)

Sumber endogenterdiri dari :

1. Autooksidasi

Autooksidasi merupakan produk dari proses metabolisme aerobik. Molekul yang mengalami autooksidasi berasal dari katekolamin, hemoglobin, mioglobin, sitokrom C yang tereduksi, dan thiol. Autoksidasi dari molekul diatas menghasilkan reduksi dari oksigen diradikal dan pembentukan kelompok reaktif oksigen. Superoksida merupakan bentukan awal radikal. Ion ferrous (Fe II) juga dapat kehilangan elektronnya melalui oksigen untuk membuat superoksida dan Fe III melalui proses autooksidasi (Proctor, 1984).

2. Oksidasi enzimatik

Beberapa jenis sistem enzim mampu menghasilkan radikal bebas dalam jumlah yang cukup bermakna, meliputi xanthine oxidase (activated in ischemia-reperfusion), prostaglandin synthase, lipoxygenase, aldehyde oxidase, dan amino acid oxidase. Enzim myeloperoxidase hasil aktivasi netrofil, memanfaatkan hidrogen peroksida untuk oksidasi ion klorida menjadi suatu oksidan yang kuat asam hipoklor (Inoue, 2001).

3. Respiratory burst

Respiratory burst merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan proses dimana sel fagositik menggunakan oksigen dalam jumlah yang besar selama fagositosis (Abate, 1990).

Sedangkan sumber eksogen terdiri atas :

1. Obat-obatan

(22)

2. Radiasi

Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radiasi elektromagnetik (sinar X, sinar gamma) dan radiasi partikel (partikel elektron, photon, neutron, alfa, dan beta) menghasilkan radikal primer dengan cara memindahkan energinya pada komponen seluler seperti air. Radikal primer tersebut dapat mengalami reaksi sekunder bersama oksigen yang terurai atau bersama cairan seluler (Droge, 2002).

3. Asap rokok

Oksidan dalam rokok mempunyai jumlah yang cukup untuk memainkan peranan yang besar terjadinya kerusakan saluran napas. Bahan lain seperti nitrit oksida, radikal peroksil, dan radikal yang mengandung karbon ada dalam fase gas. Juga mengandung radikal lain yang relatif stabil dalam fase tar. Contoh radikal dalam fase tar meliputi semiquinone moieties dihasilkan dari bermacam-macam quinone dan hydroquinone. Perdarahan kecil berulang merupakan penyebab yang sangat mungkin dari desposisi besi dalam jaringan paru perokok. Besi dalam bentuk tersebut menyebabkan pembentukan radikal hidroksil yang mematikan dari hidrogen peroksida. Juga ditemukan bahwa perokok mengalami peningkatan netrofil dalam saluran napas bawah yang mempunyai kontribusi pada peningkatan lebih lanjut konsentrasi radikal bebas (Proctor, 1984).

(23)

menyebabkan oksidasi polyunsaturated fatty acid (PUFA) dari sel membran yang akan menyebabkan gangguan pada fluiditas membran, fungsi barrier membran sel, dan inaktivasi dari enzim maupun reseptor yang tergantung pada membran fosfolipid seperti Na-K ATP ase.

Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Antioksidan menurut Lautan (1997) adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek reactive oxygen species (ROS). Penggunaan senyawa antioksidan saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, arterosklerosis, kanker, serta gejala penuaan.

Sumber perolehan antioksidan ada 2 macam, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik) (Dalimartha dan Soedibyo, 1999). Antioksidan dapat berasal dari kelompok yang terdiri atas satu atau lebih komponen pangan, substansi yang dibentuk dari reaksi selama pengolahan atau dari bahan tambahan pangan yang khusus diisolasi dari sumber-sumber alami dan ditambahkan ke dalam bahan makanan. Adanya antioksidan alami maupun sintetis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi komponen organik dalam bahan makanan sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Rohdiana, 2001). Tubuh memiliki sistem antioksidan internal terhadap radikal bebas, sistem antioksidan ini terbagi menjadi tiga jenis, yaitu :

1) Antioksidan primer (antioksidan primer/antioksidan enzimatis) Contohnya SOD, katalase dan glutathion peroksidase. Enzim-enzim ini mampu menekan atau menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. Reaksi ini disebut sebagai chain-breaking-antioxidant.

(24)

3) Antioksidan tersier, misalnya enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang dirusak oleh radikal bebas (Winarsi, 2005). Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi SOD, katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta karoten dan asam askorbat (vitamin C) (Sofia, 2005).

Antioksidan sangat dibutuhkan oleh tubuh, terutama oleh tubuh yang banyak terkontaminasi polusi lingkungan atau yang rentan terkena bahaya radikal bebas, seperti para lanjut usia, perokok, pasien diabetes melitus, penderita hipertensi, penderita peradangan kronis. Tubuh manusia tidak mempunyai cadangan antioksidan dalam jumlah berlebih, sehingga jika terjadi paparan radikal berlebih maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stress oksidatif dan penyakit-penyakit kronis yang dihasilkan (Sofia, 2005).

Delima (Punica granatum L.)

Delima (Punica granatum L.) adalah tanaman buah-buahan yang dapat tumbuh hingga 5-8 m.

Gambar 2. Buah Delima

Sumber : Crozier et al. 2009

(25)

kota kuno di Spanyol, Granada, berdasarkan nama buah ini. Tanaman ini juga banyak ditanam di daerah Tiongkok Selatan dan Asia Tenggara.

Klasifikasi ilmiah dari buah delima menurut California Rare Fruit Grower (1997) adalah :

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae Ordo : Myrtales

Familia : Lythraceae (Punicaceae) Genus : Punica

Spesies : Punica granatum L.

Buah delima tersebar di daerah subtropik sampai tropik, dari dataran rendah sampai dengan ketinggian hingga 1.000 m dpl (diatas permukaan laut). Tumbuhan ini menyukai tanah gembur yang tidak terendam air, dengan air tanah yang tidak dalam. Delima sering ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat, atau karena buahnya yang dapat dimakan. Tanaman ini juga berupa perdu atau pohon kecil dengan tinggi 2–5 m. Batang pohon delima berkayu, rantingnya bersegi, percabangannya banyak, lemah, berduri pada ketiak daunnya, berwarna coklat ketika masih muda, dan hijau kotor setelah tua. Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya berkelompok.

(26)

Komposisi gizi per 100 gram bagian yang dapat dimakan dari buah delima dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Gizi per 100 gram Buah Delima

Komponen Gizi Kadar

Menurut Astawan (2008), kandungan gula inversi mencapai 20%, terdiri dari 5 - 10 % berupa glukosa, asam sitrat (05-3,5%), asam borat dan vitamin C (4 mg/100 g). Kombinasi tersebut menyebabkan buah delima berasa manis-asam menyegarkan. Mineral yang paling dominan adalah kalium (259 mg/100 g). Selain untuk menjaga tekanan osmotik (mencegah hipertensi), kalium juga membantu mengaktivasi reaksi enzim, seperti piruvat kinase yang dapat menghasilkan asam piruvat dalam proses metabolisme karbohidrat. Kandungan mineral natriumnya sangat rendah, yaitu 3 mg/100 gram. Hal ini menguntungkan karena natrium berpotensi merugikan, yaitu dapat menimbulkan hipertensi.

(27)

kering juga mengandung banyak tanin (sampai 26%). Alkaloid di dalam kulit batangnya termasuk ke dalam kelompok piridina.

Khomsan (2009) mengatakan sari buah delima memiliki kandungan ion kalium (potasium), vitamin C, dan polifenol. Sari buah delima juga memilki kandungan flavonoid yang sangat penting peranannya untuk menurunkan radikal bebas, dan memberikan perlindungan terhadap penyakit jantung dan kanker kulit.

Antioksidan dalam Buah Delima

Astawan (2008) menyatakan bahwa buah delima mengandung antioksidan berupa senyawa fenol yaitu flavonoid dan tanin. Senyawa fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil (Harbourne, 1987). Flavonoid termasuk kedalam senyawa fitokimia selain senyawa fenol, tanin, alkaloid, steroid, dan triterpenoid (Harbourne, 1987). Menurut Bidlack dan Wang (2000), senyawa fitokimia dapat mencegah penyakit kardiovaskular dan kanker. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol (Harbourne, 1987). Berdasarkan strukturnya flavonoid dibagi menjadi flavonoid, isoflavon, dan neoflavonoid. Menurut Rimm et al. (1999), flavonoid sangat efektif digunakan sebagai antioksidan dan dapat mencegah penyakit kardiovaskuler dengan menurunkan oksidasi LDL. Jenis senyawa flavonoid dalam buah delima disebut ellagic acid atau ellagitanin dan punicalagin (Jimenez et al., 2006; Crozier et al., 2009), seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Punicalagin dan Ellagic Acid Sumber :Crozier et al. 2009

(28)

penghambatan lipoksigenase (Zeuthen dan Sorensen, 2003). Tanin pada buah delima disebut punicalagin.

Zat Makanan

Serat Kasar

Serat kasar mempunyai pengertian sebagai fraksi dari karbohidrat yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan masing-masing 30 menit. Menurut Linder (1992), serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna secara enzimatis oleh enzim yang diproduksi oleh saluran pencernaan manusia dan ternak. Termasuk dalam komponen serat kasar ini adalah campuran hemiselulosa, selulosa dan lignin yang tidak larut.

Untuk memperoleh data yang lebih akurat tentang fraksi lignin dan selulosa dapat dilakukan analisa lain yang lebih spesifik dengan metode analisa serat Van Soest (McDonald et al., 2002). Dari analisa Van Soest diperoleh fraksi lignin, selulosa dan hemiselulosa yang justru perlu diketahui komposisinya khusus untuk hijauan makanan ternak atau umumnya pakan berserat.

Menurut James dan Gropper (1990), serat pangan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, adalah bagian tak tercerna dari bahan pangan (biasanya nabati) yang melalui sistem pencernaan, menyerap air sehingga memudahkan defekasi (buang air besar). Serat pangan tersusun dari polisakarida non-pati seperti selulosa dan berbagai komponen tumbuhan seperti dekstrin, inulin, lignin, malam, kitin, pektin, beta-glukan, dan oligosakarida. Kalangan ahli gizi serat pangan biasa dibedakan menjadi serat larut (serat lunak) dan serat tidak larut (serat kasar). Kandungan keduanya tergantung bahan pangan serta umur panen dari bahan pangan tersebut. James dan Gropper (1990) menyatakan bahwa serat adalah komponen jaringan tanaman yang tahan terhadap hidrolisis enzim dalam lambung dan usus dan tidak larut dalam larutan deterjen netral.

Serat menurut James dan Gropper (1990) juga memiliki sifat adsortif, serat akan mengikat misel lemak sehingga akan mengurangi adsorbsi lemak, lemak darah dan kadar trigliserida yang dideposit dalam jaringan adiposa.

(29)

memiliki efek yang baik bagi kesehatan. Serat tak larut, misalnya selulosa dan lignin, membantu penyerapan air pasif, membuat feses lebih menggumpal dan mempersingkat perjalanannya di usus besar. Serat dapat mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, sehingga lebih banyak asam dan kolesterol yang dikeluarkan bersama feses (Winarno, 1997).

Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Ensminger et al. (1990) membagi pakan menjadi 6 (enam) fraksi, yaitu : kadar air, abu, protein, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETA-N). Pembagian zat makanan ini kemudian dikenal sebagai Skema Proksimat. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETA-N) dijadikan indeks bagian karbohidrat bahan pakan yang bukan selulosa. Kebalikan dari serat kasar yang kaya akan lignin dan selulosa sehingga sulit dicerna (Amrullah, 2004). Kandungan BETA-N suatu bahan pakan tergantung pada komponen lainnya, seperti abu, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar. Untuk memperoleh BETA-N adalah dengan cara perhitungan : 100% - (Air +Abu + Protein Kasar + Lemak Kasar + Serat Kasar)%. Dalam fraksi ini termasuk karbohidrat yang umumnya mudah tercerna antara lain pati dan gula (McDonald et al., 2002).

Lemak

Lemak merupakan bahan yang tidak dapat larut dalam air. Lemak adalah segolongan senyawa hidrofobik yang sangat penting untuk penyimpanan bahan pembakaran, untuk membentuk struktur membran, pembawa vitamin-vitamin yang larut dalam lemak, sebagai hormon dan sebagai pengemban oligosakarida (Champe et al., 2005).

(30)

Kolesterol

Kolesterol adalah senyawa kimia yang tergolong dalam kelompok senyawa organik yang tidak dapat larut dalam air. Kolesterol (C27H45OH) adalah alkohol

steroid, semacam lemak yang ditemukan dalam lemak hewani, minyak, empedu, susu, dan kuning telur, yang sebagian besar disintesis oleh hati dan bahan bakunya diperoleh dari karbohidrat, protein atau lemak. Jumlah yang disintesis bergantung pada kebutuhan tubuh dan jumlah yang diperoleh dari makanan (Champe et al., 2005)

Kolesterol berfungsi sebagai bahan baku pembentuk hormon steroid yang menjadi bagian dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit. Kolesterol di dalam tubuh mempunyai fungsi ganda, yaitu dapat diperlukan atau dapat membahayakan, tergantung kepada konsentrasi di dalam tubuh dan tergantung kepada bagian mana kolesterol berada. Jumlah kolesterol yang terlalu banyak dalam darah dapat membentuk endapan pada dinding pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan penyempitan yang sering disebut dengan arterosklerosis. Apabila penyempitan terjadi pada pembuluh darah jantung, maka akan menyebabkan penyakit jantung koroner (Almatsier, 2004).

(31)

Di dalam tubuh manusia dan hewan, jumlah kolesterol di dalam sel diatur oleh banyak faktor. Faktor tersebut dapat dibagi menjadi menjadi dua macam(pustaka):

1. Faktor luar sel, seperti jumlah kolesterol bebas atau yang terikat dalam lipoprotein di luar sel, persediaan asam lemak bebas, dan adanya hormon tertentu.

2. Faktor dalam sel, seperti kegiatan enzim yang berperan dalam sintesis kolesterol dan yang berperan dalam katabolisme kolesterol, jumlah ketersediaan terpenoida lanosterol dan skualin sebagai prazat untuk sintesis kolesterol, jumlah hasil metabolisme kolesterol, adanya kegiatan pengangkutan kolesterol atau derivatnya ke luar dari sel dengan mekanisme pengangkutan aktif melalui membran sel, dan pengaruh viskositas membran.

Kolesterol dalam tubuh berasal dari dua sumber, yaitu berasal dari makanan yang disebut kolesterol eksogen dan dari sintesis tubuh (kolesterol endogen). Kolesterol eksogen yang telah dicerna oleh usus akan bergabung dengan kolesterol endogen yang disintesis oleh tubuh (Pilliang dan Djojosoebagio, 2006).

Biosintesis kolesterol terbagi atas lima tahap (Mayes et al., 1996), yaitu : 1. Sintesis mevalonat, yaitu suatu senyawa enam karbo dari Asetil-KoA, terbentuk

akibat reaksi kondensasi dan reduksi yang berlangsung dalam mitokondria,

2. Unit isoprenoid dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO2 pada reaksi

fosforilasi oleh ATP,

3. Senyawa antar skualen terbentuk melalui kondensasi enam unit isoprenoid,

4. Skualen mengadakan siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk yaitu lanosterol yang berlangsung dalam retikulum endoplasma,

5. Kolesterol dibentuk di dalam membran retikulum endoplasma dari lanosterol setelah beberapa tahap.

Gangguan terhadap salah satu mekanisme pengaturan tersebut dapat

(32)

Fraksi Lemak Darah

Lemak dalam darah terdiri atas kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas. Trigliserida merupakan lemak makanan yang paling dominan. Jumlah lemak yang dapat dicerna dan diadsorbsi oleh orang dewasa adalah sekitar 95 % dari total lemak yang dikonsumsi. Sebelum dikonsumsi, kolesterol mengalami esterifikasi yang dikatalisis oleh asetil koenzim A, dan kolesterol asetil transferase. Hasil dari pencernaan lemak berupa monogliserida dan asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai pendek (C4 – C6) dan rantai panjang (C8 – C10) diadsorbsi langsung ke dalam vena porta kemudian dibawa ke hati untuk dioksidasi. Trigliserida dan lipida besar lainnya (kolesterol dan fosfolipid) yang terbentuk di dalam usus halus dikemas untuk diadsorbsi secara aktif dan ditransportasi oleh darah. Bahan – bahan ini bergabung dengan protein – protein khusus dan membentuk lipoprotein. Komponen – komponen dari lipoprotein yaitu kilomikron, LDL (Low Density Lipoprotein), VLDL (Very Low Density Lipoprotein),dan HDL (High bertambah berat dan berubah menjadi LDL. Semua kolesterol dan trigliserida yang berasal dari sisa kilomikron dan disintesis oleh hati, apabila melebihi kebutuhan hati maka akan diangkut dari hati ke dalam darah dalam bentuk VLDL. Nasib VLDL sama seperti kilomikron, selama dalam sirkulasi darah akan dihidrolisis oleh enzim lipoproteinlipase yang terdapat di sel-sel endotelium dinding pembuluh darah, kemudian trigliseridanya diambil oleh sel endothelium sebagai bahan bakar, sisa yang kaya kolesterol disebut Intermidiate Density Lipoprotein (IDL). Kemudian IDL ini separuhnya masuk kembali ke dalam hati dan separuhnva lagi diubah mejadi LDL yang melanjutkan tugasnya mengangkut kolesterol dan membagikan ke seluruh sel-sel tubuh untuk membentuk dinding sel-sel yang baru (Lehninger, 1990).

(33)

dan reseptor LDL ini sangat penting dalam pembentukan kolesterol darah karena 50 – 75 % reseptor LDL terdapat dalam sel hati. Pada tubuh, kolesterol LDL akan dirusak oleh sel perusak (scavenger pathway) sehingga tidak dapat kembali ke dalam aliran darah. Perusakan LDL ini akan menyebabkan terjadinya plak bila dibiarkan selama bertahun – tahun. Plak akan bercampur dengan protein dan ditutupi oleh sel – sel otot dan kalsium. Apabila kejadian ini dibiarkan begitu saja, hal ini akan mengakibatkan atherosklerosis (Almatsier, 2004).

(34)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sedangkan analisis darah dilakukan di Laboratorium Klinik Cimanggis, Depok.

Materi

Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley berumur 21 hari berjenis kelamin jantan. Tikus penelitian diperoleh dari Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Kandang dan Peralatan

Tikus penelitian dipelihara selama delapan minggu dalam kandang, beralaskan sekam dan penutup kawat yang dilapisi kain, dan cawan untuk tempat batang rokok, juga dilengkapi dengan tempat minum dan tempat pakan. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan.

Ransum, Tepung Buah dan Biji Delima, dan Rokok

Ransum kontrol yang digunakan selama penelitian adalah ransum komersial yaitu ransum tikus dengan PK 18 % berbentuk mash. Tepung buah dan biji delima komersial digunakan sebagai bahan antioksidan, sedangkan rokok (Marlboro Full Flavor) digunakan sebagai bahan pemicu terjadinya oksidasi.

Prosedur

Pembuatan Ransum Pellet

(35)

Penerapan Perlakuan

Pemeliharaan tikus dilakukan selama delapan minggu, dimulai dengan periode preliminary selama satu minggu dan dilanjutkan pemberian perlakuan serta pengamatan peubah. Sebelum digunakan tikus ditimbang terlebih dahulu. Selanjutnya setiap minggu tikus ditimbang untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Perlakuan yang diberikan pada tikus putih adalah pengasapan pada kandang tikus dengan menggunakan asap rokok, sehingga udara disekitar tikus putih terkontaminasi oleh radikal bebas yang berasal dari asap rokok tersebut. Pakan diberikan setelah tikus dikondisikan dalam lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok selama ± 30 menit.

Proses pengasapan rokok yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Metode Pengasapan

Keterangan gambar :

1. Batang rokok ditempatkan pada cawan rokok.

2. Bagian ujung rokok dibakar dengan api hingga mengeluarkan asap.

3. Rokok yang telah terbakar di dalam cawan dimasukkan ke dalam kandang individu.

4. Kandang individu ditutup dengan kawat penutup. Rokok yang ada di dalam kandang

individual dipastikan tetap terbakar dan mengeluarkan asap.

5. Selanjutnya kandang individu ditutup dengan kardus dan ditunggu hingga rokok habis

(36)

Pakan diberikan dalam tiga waktu, yaitu pagi, siang dan sore hari. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Konsumsi pakan dihitung setiap minggu sekali. Ransum tiap perlakuan dimasukkan ke dalam plastik, masing-masing sebanyak 25-50 gram untuk sepuluh ulangan per perlakuan sebagai persediaan selama satu minggu. Sisa ransum dihitung dari ransum yang tersisa dalam plastik, tempat pakan dan yang tercecer di kandang.

Penelitian ini menggunakan tiga macam ransum masing-masing dengan sepuluh ulangan yang dicobakan pada 30 ekor tikus putih jantan. Tiga ransum perlakuan tersebut adalah sebagai berikut :

R0 = Ransum kontrol (tanpa diberi tepung buah dan biji delima) R1 = 95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima

R2 = 90% R0 + 10% tepung buah dan biji delima

Pengukuran Bobot Badan dan Lingkar Perut

Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini bobot badannya ditimbang terlebih dahulu. Kemudian, selama penelitian bobot badan tikus putih diamati dengan cara melakukan penimbangan bobot badan setiap satu minggu sekali, sehingga akan terlihat ada atau tidaknya peningkatan bobot badan tikus putih setiap minggunya selama periode penelitian.

Setelah ditimbang, lingkar perut tikus diukur dengan pita ukur. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita ukur satuan centimeter pada posisi perut bagian tengah yang diukur melingkar pada tonjolan tulang rusuk terakhir.

Pengumpulan Feses

(37)

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan pada akhir penelitian yaitu pada minggu kedelapan. Sebelum darah diambil, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama delapan jam. Sampel darah diambil melalui ekor dengan cara memotong sedikit bagian ujung ekor tikus sehingga mengeluarkan darah. Darah yang keluar ditampung di dalam tabung yang berisi anti koagulan. Sampel darah kemudian dikirim ke Laboratorium Klinik di Cimanggis, Depok untuk dianalisa.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Konsumsi Lemak Kasar (g/ekor/hari)

Jumlah konsumsi zat makanan lemak kasar diperoleh dari perhitungan selisih antara jumlah lemak kasar yang diberikan dengan sisa lemak kasar.

2. Konsumsi Serat Kasar (g/ekor/hari)

Jumlah konsumsi serat kasar diperoleh dari perhitungan selisih antara jumlah serat kasar yang diberikan dengan sisa serat kasar.

3. Konsumsi BETA-N (g/ekor/hari)

Jumlah konsumsi BETA-N diperoleh dari perhitungan selisih antara jumlah BETA-N yang diberikan dengan sisa BETA-N.

4. Kecernaan Lemak Kasar (%)

Kecernaan lemak kasar dihitung dari selisih antara konsumsi lemak kasar ransum dengan produksi lemak kasar feses dibagi dengan konsumsi lemak kasar dikali seratus persen.

5. Kecernaan Serat Kasar (%)

Kecernaan serat kasar dihitung dari selisih antara konsumsi serat kasar ransum dengan produksi serat kasar feses dibagi dengan konsumsi serat kasar dikali seratus persen.

6. Kecernaan BETA-N (%)

(38)

7. Kadar Glukosa Darah, Kolesterol, Trigliserida, dan HDL (mg/dl)

Kadar glukosa darah, kolesterol, trigliserida, dan HDL diukur dengan menggunakan metode gas kromatografi.

8. Kadar LDL (mg/dl)

Kadar LDL diukur dengan menggunakan rumus Friedewald: kolesterol-(trigliserida/5+HDL)

9. Lingkar Perut (cm)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita ukur satuan centimeter pada posisi perut bagian tengah yang diukur melingkar pada tonjolan tulang rusuk terakhir.

Rancangan dan Analisis Data

Rancangan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan sepuluh ulangan. Tiga perlakuan tersebut adalah R0 = ransum kontrol (tanpa diberi tepung buah dan biji delima), R1 = 95% R0 + 5% tepung buah dan biji delima, dan R2 = 90% R0 + 10% tepung buah dan biji delima. Perlakuan ini diberikan secara acak, tiga puluh tikus percobaan pada sepuluh ulangan adalah jumlah tikus yang digunakan dalam masing-masing perlakuan. Model matematik dari rancangan adalah sebagai berikut :

Xij =  + i + ij

Keterangan :

 = Rataan umum pengamatan

i = Pengaruh pemberian ransum (i = 1, 2, 3)

ij = Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,

8,9,10)

Analisis Data

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Zat Makanan dalam Ransum

Berdasarkan hasil analisis proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan dan tepung buah dan biji delima (TBBD) disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa penambahan TBBD pada ransum kontrol dapat mengubah komposisi zat makanan ransum perlakuan. Kandungan bahan kering (BK) mengalami peningkatan, namun kandungan BK di R2 sedikit lebih rendah daripada R1. Kandungan serat kasar (SK) pada ransum R1 dan R2 lebih tinggi dibandingkan R0. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai kandungan SK pada tepung delima (16,82% BK), sehingga jika dicampurkan dengan ransum kontrol (R0) yang memiliki kandungan SK sebesar 11,68% BK maka kandungan SK akan semakin bertambah pada R1 dan R2

Tepung buah dan biji delima memiliki kandungan abu sebesar 5,06%, cukup tinggi jika dibandingkan dengan data Morton (1987) yaitu sebesar 0,36 gram per 100 gram buah delima. Kandungan protein kasar (PK) sebesar 4,86% dan lemak kasar (LK) sebesar 1,31%, serta kandungan serat kasar (SK) tinggi sebesar 16,82%. Energi bruto TBBD sebesar 3885 kal/g. Astawan (2008) menyatakan bahwa kandungan energi bruto pada buah delima sebesar 6800 kal/g. Dengan demikian, kandungan energi bruto TBBD lebih rendah daripada literatur.

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan

Energi Bruto(kal/g) 3855 4342,47 4418,58 4450,03

(40)

Kandungan abu dan SK ransum lebih tinggi jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar makanan tikus menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu abu (4-5%), dan SK (5%). Kandungan LK ransum lebih rendah daripada literatur yaitu 5,55% menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988). Buah delima mengandung senyawa antioksidan berupa tanin dan flavonoid (Astawan, 2008). Kandungan tanin pada ransum meningkat dengan penambahan TBBD dari nilai pada R0 sebesar 0,02%, R1 sebesar 0,06%, dan R2 sebesar 0,08% dan flavonoid sebesar 0,25% pada R0, 0,355% pada R1 dan R2 sebesar dan 0,57% (Sofriani et al., 2010 data belum dipublikasikan). Tanin dan flavonoid merupakan sumber antioksidan yang ada di dalam buah delima. Antioksidan tersebut berfungsi untuk mengatasi efek radikal bebas yang akan mempengaruhi kondisi tubuh tikus, seperti kesehatan, nafsu makan, dan metabolisme tubuh. Asupan tanin dan flavonoid diduga dapat mempengaruhi konsumsi, kecernaan, dan metabolisme pakan. Tanin dapat berikatan dengan PK sehingga kecernaan pakan akan menurun (Agni, 2005). Selain itu tanin juga diduga mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak (Cannas, 2009).

Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N

(41)

Konsumsi LK pada R0 lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi LK pada R1 dan R2. Hal ini dapat diduga karena kandungan LK ransum R0 lebih rendah dibandingkan R1 dan R2. Pratiwi (2010) menyatakan bahwa konsumsi BK ( 3,095-3,563 g BK/BB0,75/hari) dan bahan organik (BO) (3,240-2,795 g BK/BB0,75/hari) pada tikus yang diberi R0 paling rendah daripada perlakuan lain. Hal ini juga berpengaruh terhadap konsumsi LK, SK, dan BETA-N. Rendahnya konsumsi ini diduga dapat disebabkan oleh paparan asap rokok. Menurut Mendes (2008) dan Panda (2001), kandungan tar dan nikotin dalam rokok Marlboro Full Flavor (MFF) masing-masing 15 dan 1,1 mg/batang merupakan kandungan yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk Marlboro lainnya dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan seperti gangguan paru-paru dan hati. Berdasarkan literatur tersebut, rokok yang digunakan pada penelitian ini diduga dapat menyebabkan efek berbahaya bagi kesehatan

dan menggangu performans tikus yang salah satunya adalah penurunan konsumsi pada tikus terutama pada tikus yang memperoleh perlakuan R0.

Pada perlakuan R1 dan R2, penambahan TBBD ternyata dapat meningkatkan konsumsi zat makanan dibandingkan perlakuan R0. Konsumsi LK meningkat pada R1 sebesar 0,015 g/BB0,75 dan R2 sebesar 0,016 g/BB0,75. Konsumsi SK tikus yang dipapar asap rokok, tetapi diberi TBBD sebesar 5 dan 10% meningkat jika Tabel 4. Rataan Konsumsi Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N

Konsumsi Perlakuan

(42)

dibandingkan dengan tikus yang hanya diberi paparan asap rokok saja. Konsumsi BETA-N juga meningkat dari R0 (0,170 g/BB0,75/ekor/hari), R1 (0,195 g/BB0,75/ekor/hari), hingga R2 (0,196 g/BB0,75/ekor/hari).

Peningkatan konsumsi pada R1 dan R2 dapat diduga karena konsumsi BK dan bahan organik (BO) pada R1 dan R2 lebih besar daripada R0 (Pratiwi, 2010). Selain itu, kandungan zat makanan pada R1 dan R2 juga meningkat dengan penambahan TBBD. Kandungan SK pakan yang tinggi menyebabkan laju pergerakan zat makanan di dalam saluran pencernaan lebih cepat, sehingga lambung cepat kosong dan mendorong tikus untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak (McDonald et al., 2002).

(43)

Konsumsi Ransum, Ekskresi Feses, dan Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Rataan konsumsi ransum, ekskresi feses, kecernaan LK, SK dan BETA-N pada setiap ransum perlakuan terlihat dalam Tabel 5. Hasil sidik ragam menunjukkan baik ransum kontrol maupun yang ditambah TBBD tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi LK dan konsumsi SK, tetapi nyata (P<0,05) mempengaruhi konsumsi BETA-N. Rendahnya konsumsi pada R0 dapat diduga disebabkan oleh paparan rokok yang dilakukan pada tikus dapat menyebabkan kelainan psikis berupa menurunnya nafsu makan atau anoreksia (Chen et al., 2006). Rendahnya konsumsi ransum akan mempengaruhi kecernaan dan metabolisme khususnya pada tikus R0. Tabel 5. Rataan Kecernaan Lemak Kasar, Serat Kasar, dan BETA-N (Minggu Ke-3

dan Ke-5)

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2

Konsumsi (g/BB0,75)

LK 0,072+0,007 0,085+0,011 0,088+0,011

SK 0,204+0,021 0,233+0,029 0,319+0,037

BETA-N 0,944+0,098a 1,085+0,138b 0,949+0,112a

Ekskresi Feses (g/BB0,75)

LK 0,016+0,003a 0,020+0,006b 0,023+0,005b

SK 0,104+0,023A 0,108+0,031A 0,152+0,036B

BETA-N 0,152+0,034a 0,186+0,054b 0,205+0,048b

Zat makanan tercerna (g/BB0,75)

LK 0,055+0,009a 0,065+0,009b 0,066+0,009b

SK 0,100+0,035A 0,125+0,029A 0,167+0,042B

BETA-N 0,792+0,111a 0,899+0,119b 0,745+0,107a

Kecernaan (%)

LK 77,167+5,785 76,439+6,036 74,356+6,002

SK 48,527+13,041 53,851+11,823 52,249+11,177

BETA-N 83,737+4,121b 82,946+4,369b 78,345+5,069a Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

(44)

Hal ini berakibat sedikitnya jumlah pakan yang masuk ke dalam tubuh tikus sehingga ransum akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh dan kemungkinan tidak terbentuk simpanan cadangan makanan dalam jaringan adiposa, yang menyebabkan tikus harus memetabolis cadangan makanan di jaringan adiposa, khususnya yang terletak pada rongga perut.

Meskipun konsumsi LK dan SK tidak berbeda nyata, data menunjukkan perbaikan konsumsi terjadi pada tikus yang diberi perlakuan R1 dan R2. Hal ini dapat diduga berdasarkan konsumsi BO dan BK yang meningkat (Pratiwi, 2010), kandungan zat makanan yang meningkat pada R1 dan R2, serta kandungan antioksidan TBBD yang dapat meningkatkan konsumsi (Aviram et al., 2000; Lin et al., 2001; Chen et al., 2006).

Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan penambahan 5% TBBD (R1) berbeda nyata (P<0,05) dengan kontrol (R0) dan penambahan 10% TBBD pada konsumsi BETA-N. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan BETA-N dalam ransum yang menunjukkan peningkatan pada R1 kemudian menurun pada R2.

Penambahan TBBD nyata (P<0,05) mempengaruhi ekskresi kandungan zat makanan (LK, BETA-N) dan sangat nyata (P<0,01) pada SK dalam feses. Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan ekskresi LK dan BETA-N pada R0 berbeda nyata (P<0,05) dengan R1 dan R2, ekskresi SK R0 dan R1 sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan R2. Penambahan 5 dan 10% TBBD dapat meningkatkan produksi zat makanan dalam feses dibandingkan dengan R0. Ekskresi LK dan BETA-N pada R1 dan R2 tidak menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan hasil orthogonal kontras. Sedangkan pada ekskresi SK, penambahan 10% TBBD menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata dibandingkan penambahan 5% TBBD dan ransum kontrol. Hal ini menunjukkan dengan penambahan TBBD akan meningkatkan jumlah SK yang dikonsumsi sehingga sangat mempengaruhi ekskresi zat makanan pada feses tikus. Kandungan SK yang tinggi dalam ransum menyebabkan laju aliran zat makanan menjadi lebih cepat, sehingga banyak zat makanan yang keluar melalui feses.

(45)

makanan yang keluar, tetapi dengan tingginya konsumsi, jumlah zat makanan yang terdapat di dalam saluran pencernaan tetap tinggi.

Zat makanan yang tercerna merupakan zat makanan yang tersedia untuk dimetabolis di dalam tubuh tikus. Penambahan TBBD memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah zat makanan LK dan BETA-N tercerna dan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah zat makanan SK tercerna. Zat makanan LK tercerna meningkat pada R1 dan R2 dibandingkan dengan R0. Peningkatan BETA-N tercerna terjadi pada R1, tetapi kemudian menurun pada R2. Penambahan 10% TBBD paling mempengaruhi zat makanan SK tercerna. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak zat makanan yang tersedia untuk dimetabolis di dalam tubuh tikus.

Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan LK dan SK, tetapi memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap kecernaan BETA-N (Tabel 5). Hasil uji orthogonal kontras tidak menunjukkan perbedaan nyata antara kecernaan BETA-N R0 dengan R1, tetapi menunjukkan perbedaan nyata dengan R2. Tikus yang diberi perlakuan R0 memiliki kecernaan tertinggi dibandingkan dengan R1 dan R2. Konsumsi SK pada tikus R0 paling rendah diantara perlakuan, sehingga laju aliran digesta lebih lambat dan tikus dapat mencerna pakan lebih baik. Sebaliknya pada tikus R1 dan R2, diduga kandungan serat kasar dalam ransum R1 dan R2 yang dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan kecernaan pakan. Serat kasar yang tinggi menyebabkan laju pergerakan zat makanan tinggi, sehingga kerja enzim tidak optimal dan dapat mengakibatkan sejumlah zat makanan tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh (McDonald et al., 2002). Jumlah kandungan SK yang tinggi pada ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak menyebabkan laju pergerakan makanan dalam saluran pencernaan ternak tersebut menjadi tinggi, sehingga kerja enzim pencernaan menjadi lebih singkat dan akhirnya menurunkan kecernaan (Dewi, 2008). Selain itu, tanin dapat berikatan dengan pati membentuk suatu ikatan yang menyebabkan pati tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan (Cannas, 2010).

(46)

382,51; dan 623,22 mg/100 gram BK, sedangkan kadar tannin untuk R0, R1 dan R2 masing-masing sebesar 22,38; 65,57; dan 98,40 mg/100 gram BK. Asupan tanin sebesar 2% dapat menurunkan kecernaan protein dan karbohidrat (Smith dan Mackie, 2004; Reed, 1995). Agni (2005) dan Susanti (2002) menyatakan bahwa terikatnya tanin dalam ransum dengan saliva menjadikan ransum tidak palatabel karena tanin dapat berikatan dengan zat makanan ransum terutama protein, sehingga zat makanan ransum sulit dicerna. Tanin juga dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan seperti trypsin dan amilase (Griffith dan Mosleys, 1980).

(47)

Tabel 6. Fraksi Lemak dan Glukosa Darah

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2

Kolesterol (mg/dL) 198,650+45,054 178,450+49,545 228,850+74,543 Trigliserida (mg/dL) 220,700+84,347 176,150+40,236 222,350+93,729

HDL (mg/dL) 46,050+8,351 44,550+4,206 45,250+6,125

LDL (mg/dL) 108,460+50,496 98,670+47,538 139,130+58,702 Glukosa Darah (mg/dL) 107,100+16,928 124,800+41,709 98,400+9,658

Rasio LDL/HDL 2,355 2,215 3,075

Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

Fraksi Lemak Darah dan Glukosa Darah

Hasil rataan pengukuran kadar kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serta glukosa darah disajikan pada Tabel 6. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan penambahan TBBD di ransum tidak berpengaruh terhadap kolesterol, trigliserida, HDL, dan LDL serta glukosa darah.

Kandungan LK dalam ransum perlakuan lebih tinggi dibandingkan kebutuhan tikus menurut Malole dan Pramono (1989). Dengan demikian bahan baku untuk sintesis kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL tercukupi. Fraksi lemak darah merupakan hasil metabolisme dari lemak yang berasal dari pakan. Kolesterol dan trigliserida banyak disintesis di hati dan jaringan adipose (Muchtadi, 1993). Sintesis trigliserida dalam hati terutama digunakan untuk memproduksi lipoprotein darah yaitu VLDL. Jika ternak sedikit memetabolisme lemak dari ransum, maka kebutuhan trigliserida akan disintesis dari jaringan adiposa, sehingga kandungan deposit lemak akan berkurang.

Kadar kolesterol tikus yang diberikan TBBD berkisar antara 178,450 - 228,850 mg/dL dan kadar trigliserida berkisar antara 176,150 - 220,700 mg/dl. Kadar kolesterol ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar kolesterol menurut Malole dan Pramono (1989), kadar kolesterol tikus sebesar 40-130 mg/dL dan trigliserida sebesar 26-146 mg/dL.

(48)

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa tikus yang diberi R0 dan R2 hanya menyerap LK masing-masing sebesar 0,010 dan 0,011 g/BB0,75 dibandingkan dengan R1 sebesar 0,018 g/BB0,75.

Gambar 5. Jumlah Zat Makanan Tercerna selama Masa Penelitian

Gambar 6. Jumlah Fraksi Lemak dan Glukosa Darah pada Akhir Penelitian

(49)

dimetabolis didalam tubuh. Lemak kasar dan BETA-N nantinya akan dimetabolis menjadi fraksi lemak darah dan glukosa darah. Akibat kurangnya asupan LK tercerna, tikus pada perlakuan R0 memetabolis cadangan lemak di dalam tubuh untuk menutupi kebutuhan lemak di dalam tubuh. Perombakan cadangan lemak di dalam jaringan adiposa akan menyebabkan kadar fraksi lemak darah di dalam pembuluh darah meningkat. Kurangnya asupan BETA-N sebagai sumber glukosa menyebabkan glukosa yang diserap ke dalam tubuh sedikit, sehingga kadar glukosa dalam darah menurun.

Tikus yang memperoleh perlakuan R1 memiliki kandungan glukosa darah yang paling tinggi. Asupan BETA-N tercerna pada tikus R1 yang tinggi menyebabkan tikus memperoleh cukup asupan sumber glukosa untuk metabolisme energi. BETA-N merupakan jenis gula yang mudah tercerna dan mudah diserap oleh tubuh. Hal ini menyebabkan banyak glukosa yang diserap oleh tubuh sehingga glukosa darah pada tikus R1 menjadi tinggi. Jumlah SK tercerna pada tikus R1 juga cukup tinggi, tetapi SK merupakan sumber glukosa yang sulit dicerna tanpa bantuan mikroba sehingga harus dicerna dulu oleh mikroba di dalam sekum. Dengan demikian, glukosa yang berasal dari SK tercerna relatif lebih sedikit daripada dari BETA-N tercerna.

Tikus yang memperoleh perlakuan R1 memiliki kandungan fraksi lemak darah terendah dari semua perlakuan Tikus R1 memperoleh asupan LK tercerna lebih banyak daripada tikus R0, tetapi SK tercerna R1 lebih rendah dibanding R2. Hal ini berarti tidak banyak LK yang terbuang melalui feses dan siap dimetabolis. Hal ini menyebabkan tikus tidak memetabolis cadangan lemak dari jaringan adiposa, sehingga berakibat kadar fraksi lemak darah dan trigliserida menurun.

(50)

terbuang melalui feses akibat konsumsi SK yang tinggi. Hal ini menyebabkan tikus memperoleh sedikit BETA-N tercerna yang siap dimetabolis menjadi glukosa. Akibatnya kadar glukosa darah di dalam tubuh tikus mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 6, kandungan LDL tikus pada semua perlakuan lebih banyak dibandingkan kandungan HDL. Hal ini dikarenakan LDL mencakup dari 65% dari total kolesterol darah (Astawan, 2005). Jumlah LDL yang diperoleh pada penelitian berkisar antara 98,67 – 139,13 mg/dL dan jumlah HDL berkisar antara 44,55 – 46,05 mg/dL. Jumlah LDL normal adalah berkisar antara 130 -158 mg/dL dan jumlah HDL yang baik adalah lebih dari 40 mg/dL (National Cholesterol Education Program, 2001). Rasio LDL/HDL berkisar antara 2,215-3,075. Menurut Fernandez dan Webb (2008), rasio LDL/HDL yang terbaik berkisar antara 2,5-3,3. Rasio ini berguna untuk mengetahui tingkat resiko terkena penyakit atherosklerosis. Hal ini berarti jumlah LDL, HDL, dan rasio antara LDL dan HDL yang diperoleh dalam penelitian ini masih dalam batas normal. Dengan demikian, penggunaan TBBD dalam percobaan ini dapat mempertahankan kadar LDL dan HDL dalam kisaran normal yang diduga melalui peranan serat, tanin, dan flavonoid.

Serat mempunyai peranan dalam penurunan kolesterol melalui beberapa mekanisme, yaitu: 1) pengikatan asam empedu di dalam usus halus yang menyebabkan meningkatnya ekskresi asam empedu feses, 2) penurunan absorpsi lemak dan kolesterol, 3) penurunan laju absorpsi karbohidrat yang menyebabkan penurunan kadar insulin serum sehingga menurunkan rangsangan sintesis kolesterol dan lipoprotein, dan 4) penghambatan sintesis kolesterol oleh asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat larut di dalam kolon (Wolever et al., 1997).

(51)

Tabel 7. Rataan Lingkar Perut dan Pertambahan Lingkar Perut

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2

Lingkar Perut

Awal (cm) 10,710+0,710 9,950+1,189 9,850+0,580

Akhir (cm) 12,450+1,410 11,950+0,864 11,700+0,789

Pertambahan Lingkar Perut

(cm/35 hari) 1,750 +0,151 2,000+0,211 1,850+0,142

(cm/hari) 0,050+0,022 0,057+0,030 0,053+0,020

Keterangan : R0 = ransum kontrol, R1 = 95% R0 + 5% TBBD, R2 = 90% R0 + 10% TBBD.

enzim lipase dalam pembuluh darah sehingga cadangan lemak dalam tubuh tikus dirombak. Selain itu, flavonoid dan tanin juga dapat mencegah akumulasi lemak pada hati dan tubuh tikus dengan meningkatkan ekskresi asam empedu (Chan et al., 1999). Asam empedu dapat berfungsi sebagai agen emulsi lemak sehingga mempermudah lemak untuk didegradasi oleh enzim lipase. Hasil degradasi ini berupa fraksi lemak yang kemudian masuk ke dalam pembuluh darah menyebabkan banyaknya kolesterol yang beredar di dalam darah.

Lingkar Perut dan Pertambahan Lingkar Perut

Salah satu tempat penyimpanan lemak adalah rongga perut (abdomen) yaitu jaringan adiposa yang berperan dalam proses penyimpanan lemak tersebut (Pilliang dan Djojosoebagio, 2006). Pada awal penelitian tikus yang diberi ransum R0 adalah tikus yang mempunyai lingkar perut yang lebih besar daripada tikus yang mendapat perlakuan R1 dan R2. Lingkar perut tikus yang diberi R0 di akhir penelitian masih lebih besar daripada lingkar perut tikus dengan perlakuan R1 dan R2, tetapi penambahan lingkar perut tikus yang memperoleh R0 paling rendah diantara perlakuan lainnya.

(52)

pemberian TBBD dalam ransum dapat memperbaiki konsumsi ransum pada tikus yang dipapar asap rokok.

Perbaikan ini disebabkan oleh konsumsi ransum yang tinggi sehingga banyak zat makanan yang masuk ke dalam tubuh. Zat makanan tersebut akan dicerna, diserap dan dimetabolis serta kelebihan dari hasil metabolis akan disimpan dalam jaringan adiposa. Penambahan lingkar perut tikus yang diberi R2 lebih besar daripada R0, tetapi lebih kecil daripada R1. Hal ini diduga disebabkan oleh konsumsi SK yang tinggi sehingga menurunkan kecernaan LK dan BETA-N. Kecernaan yang menurun menyebabkan tubuh kurang mendapat asupan LK tercerna dan BETA-N tercerna untuk dimetabolis. Sehingga tikus menggunakan cadangan makanan dari jaringan adipose untuk menutupi kekurangan tersebut. Konsumsi SK yang tinggi pada ransum cenderung mengakibatkan penurunan bobot lemak abdomen yang terbentuk. Sifat adsorptif, mengikat misel lemak, yang dimiliki oleh SK mengakibatkan pengurangan absorpsi lemak, mengurangi lemak darah, dan mengurangi kadar trigliserida yang dideposit dalam jaringan adiposa (James dan Gropper, 1990).

Tikus yang diberi R1 mendapat LK tercerna yang lebih banyak dibanding R0 dan R2. Hal ini berakibat tikus mendapat cukup asupan lemak untuk proses metabolisme sehingga tidak perlu menggunakan cadangan lemak tubuh. Selain itu, tikus pada R1 memiliki kadar glukosa yang tinggi karena banyaknya BETA-N yang dicerna. Kadar glukosa darah yang tinggi dapat meningkatkan konsentrasi insulin dan menyebabkan penyimpanan lemak (Muchtadi et al., 1993). Hal ini menyebabkan cadangan lemak bertambah dan tidak digunakan untuk menutupi kekurangan lemak dalam tubuh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh dimana pertambahan lingkar perut tikus yang diberi ransum R1 paling tinggi dibandingkan R0 dan R2.

(53)
(54)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan tepung buah dan biji delima ke dalam ransum kontrol dengan taraf 5 dan 10% dapat memperbaiki konsumsi lemak kasar, serat kasar, dan BETA-N jika dinyatakan dalam bobot badan metabolis, dan dapat meningkatkan ketersediaan zat makanan tercerna lemak kasar, serat kasar, dan BETA-N. Penambahan tepung buah dan biji delima juga menurunkan kecernaan lemak kasar dan BETA-N tetapi tidak mempengaruhi kadar fraksi lemak darah, glukosa darah, dan pertambahan lingkar perut pada tikus yang dipapar asap rokok. Taraf penambahan tepung buah dan biji delima 5% dalam ransum kontrol merupakan taraf yang dapat memperoleh hasil yang optimal dalam mengatasi efek radikal bebas yaitu asap rokok.

Saran

Gambar

Tabel 1. Kebutuhan Zat Makanan Tikus
Gambar 1. Struktur Atom Radikal Bebas
Gambar 2. Buah Delima
Tabel 2. Komposisi Gizi per 100 gram Buah Delima
+7

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dari hipotesis yang telah dirumuskan dan telah diuji, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Berdasarkan hasil pengujian hipotesis

Karakteristik distress spiritual berdasarkan aspek hubungan dengan diri sendiri paling banyak berada pada karakteristik kurangnya makna hidup (51,7%), berdasarkan aspek

Freedom House 2012 menilai Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki sistem terkuat dalam perlindungan hukum bagi kebebasan pers. Kebebasan pers dan

Masyarakat multikultural di Kabupaten Tuban memberikan contoh kepada daerah lain di Indonesia bahwa walaupun terdapat beberapa agama di daerah tersebut, mereka masih bisa bersatu dan

berhasil diverifikasi dan sesuai dengan spesifikasi perancangan awal antena sehingga dapat diaplikasikan dalam sistem CP-SAR, dengan nilai return loss pada frekuensi

Terdapat satu responden yang tidak dapat menghindari makanan manis terutama gula dan sirup dengan alasan memang responden tersebut tidak bisa makan apabila tidak

wrinkling di badan rectangular cup , maka penetapan gap pada rentang 140% sampai dengan 180% dari ketebalan blank sheet ini tidak disarankan menjadi referensi