• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Distress Spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Distress Spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Lampiran 4

Kode: Tanggal / waktu:

Instrumen Penelitian

Petunjuk pengisian

Bapak/Ibu (responden) diharapkan:

a. Menjawab semua pertanyaan yang tersedzia dengan memberikan tanda

check list (√) pada setiap tempat yang disediakan

b. Semua pertanyaan harus dijawab

c. Semua pertanyaan diisi dengan satu jawaban

d. Bila ada yang kurang dimengerti dapat ditanyakan kepada peneliti

Bagian 1 kuisioner data demografi

1. Usia:

2. Jenis kelamin

a. Laki-laki

b. Perempuan

3. Suku

a. Batak toba g. Minang

b. Karo h. Aceh

c. Simalungun i. Melayu

(5)

e. Dairi k. WNI/cina

f. Nias l. Lain-lain

4. Agama

a. Islam d. Hindu

b. Kristen e. Lain-lain

c. Budha

5. Pendidikan

a. Tidak ada

b. SD

c. SMP

d. SMA

e. Perguruan tinggi

6. Status perkawinan

a. Kawin

b. Tidak kawin

c. Janda / duda

7. Pekerjaan

a. Pegawai negeri

b. Pegawai swasta

c. Pedagang

d. Petani

e. Lainnya

(6)

No Pertanyaan YA TIDAK

1 Apakah dengan kondisi anda

sekarang anda mengalami

kesulitan dalam menemukan

makna dan tujuan hidup melalui

hubungan dengan diri sendiri,

orang lain, alam dan zat yang

paling tinggi (Tuhan)?

2 Apakah keyakinan anda

terganggu sehingga anda merasa

kehilangan makna dan kekuatan

(7)

Bagian 3 Kuisioner Karakteristik Distress Spiritual

No Pernyataan YA TIDAK

1 Saya merasa marah pada diri saya sendiri

2 Saya merasakan kurangnya ketenangan dan kedamaian

3 Saya merasa tidak dicintai

4 Saya merasa bersalah pada diri saya sendiri

5 Saya tidak dapat menerima kondisi saya saat ini

6 Jika saya ada masalah, maka saya akan mengurung diri seharian

7 Saya tidak cukup tabah dengan kondisi ini

8 Saya merasa sia-sia hidup di dunia ini

9 Saya merasa diasingkan

10 Saya tidak ingin/menolak bertemu dengan pemimpin agama

11 Saya tidak ingin berinteraksi dengan keluarga saya

12 Saya memisahkan diri dari kelompok agama di masyarakat

13 Saya tidak mampu menyanyi, mendengarkan musik, menulis

(8)

15 Saya tidak suka membaca literatur spiritual (kitab suci, buku

agama)

16 Saya marah kepada Tuhan

17 Saya merasa ditinggalkan Tuhan

18 Saya merasa putus asa dengan kondisi saya saat ini

19 Saya tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri

20 Saya tidak mampu memaknai kegiatan keagamaan yang saya

lakukan

21 Saya tidak mampu mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat

22 Saya tidak mampu berdoa

23 Saya merasa menderita dengan kondisi saya saat ini

24 Saya ingin/saya butuh nasehat dari pemimpin agama

(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

Koefisien Validitas Isi - Aiken's V

Klasifikasi koefisien sangat sesuai sangat

(14)
(15)

Lampiran 8 Master Tabel Data Demografi

No responden Usia jenis kelamin suku agama pendidikan

status

perkawinan pekerjaan

1 30 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin pedagang

2 31 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin pedagang

3 45 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya

4 37 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin pedagang

5 30 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya

6 46 tahun laki-laki batak kristen SMA tidak kawin lainnya

7 49 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin lainnya

8 31 tahun laki-laki batak islam SMA tidak kawin lainnya

9 30 tahun laki-laki jawa islam SMA kawin lainnya

10 30 tahun laki-laki melayu islam SMA kawin lainnya

11 41 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin lainnya

12 33 tahun Perempuan batak kristen SMA tidak kawin lainnya

13 37 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya

14 37 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya

15 26 tahun laki-laki jawa islam perguruan tinggi tidak kawin pegawai swasta

16 27 tahun laki-laki jawa islam SMA kawin pegawai swasta

17 32 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin pedagang

18 39 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin petani

19 39 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin pegawai swasta

20 26 tahun laki-laki batak kristen SMA tidak kawin pegawai swasta

(16)

27 24 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin pedagang

28 34 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin petani

29 32 tahun laki-laki cina budha SMA tidak kawin lainnya

30 34 tahun Perempuan jawa islam perguruan tinggi kawin PNS

31 34 tahun laki-laki jawa islam SMA tidak kawin pedagang

32 27 tahun Perempuan jawa islam perguruan tinggi kawin pegawai swasta

33 27 tahun laki-laki jawa islam SMA kawin pedagang

39 30 tahun laki-laki batak kristen perguruan tinggi kawin lainnya

(17)
(18)
(19)

32 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1

33 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0

34 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1

35 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1

36 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1

37 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1

38 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0

39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

40 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1

41 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1

42 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1

43 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0

44 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1

45 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1

46 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0

47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

48 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0

49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

50 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0

51 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0

52 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1

53 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1

54 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0

(20)
(21)
(22)

Hasil Analisa Data Demografi Responden Lampiran 10

Frequency Table

USIA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Remaja akhir 2 3.4 3.4 3.4

Dewasa awal 33 56.9 56.9 60.3

Dewasa akhir 18 31.0 31.0 91.4

Lansia awal 4 6.9 6.9 98.3

Lansia akhir 1 1.7 1.7 100.0

Total 58 100.0 100.0

JENIS KELAMIN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid laki-laki 36 62.1 62.1 62.1

perempuan 22 37.9 37.9 100.0

Total 58 100.0 100.0

SUKU

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid batak 42 72.4 72.4 72.4

cina 1 1.7 1.7 74.1

jawa 14 24.1 24.1 98.3

melayu 1 1.7 1.7 100.0

(23)

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid budha 1 1.7 1.7 1.7

islam 23 39.7 39.7 41.4

kristen 34 58.6 58.6 100.0

Total 58 100.0 100.0

PENDIDIKAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid pergurua 7 12.1 12.1 12.1

SMA 39 67.2 67.2 79.3

SMP 12 20.7 20.7 100.0

Total 58 100.0 100.0

STATUS PERKAWINAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid duda 5 8.6 8.6 8.6

janda 3 5.2 5.2 13.8

kawin 34 58.6 58.6 72.4

tidak ka 16 27.6 27.6 100.0

(24)

PEKERJAAN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid lainnya 22 37.9 37.9 37.9

pedagang 15 25.9 25.9 63.8

pegawai 10 17.2 17.2 81.0

petani 6 10.3 10.3 91.4

PNS 3 5.2 5.2 96.6

tidak ad 2 3.4 3.4 100.0

(25)

Hasil Analisa Data Karakteristik Distress Spiritual Lampiran 11

Frequency Table

P1

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 29 50.0 50.0 50.0

Ya 29 50.0 50.0 100.0

Total 58 100.0 100.0

P2

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 30 51.7 51.7 51.7

Ya 28 48.3 48.3 100.0

Total 58 100.0 100.0

P3

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 32 55.2 55.2 55.2

Ya 26 44.8 44.8 100.0

Total 58 100.0 100.0

P4

(26)

P5

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 29 50.0 50.0 50.0

Ya 29 50.0 50.0 100.0

Total 58 100.0 100.0

P6

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9

Ya 25 43.1 43.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

P7

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9

Ya 25 43.1 43.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

P8

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 28 48.3 48.3 48.3

Ya 30 51.7 51.7 100.0

(27)

P9

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 27 46.6 46.6 46.6

Ya 31 53.4 53.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

P10

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9

Ya 25 43.1 43.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

P11

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9

Ya 25 43.1 43.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

P12

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 28 48.3 48.3 48.3

(28)

P13

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 27 46.6 46.6 46.6

Ya 31 53.4 53.4 100.0

Total 58 100.0 100.0

P14

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 25 43.1 43.1 43.1

Ya 33 56.9 56.9 100.0

Total 58 100.0 100.0

P15

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 28 48.3 48.3 48.3

Ya 30 51.7 51.7 100.0

Total 58 100.0 100.0

P16

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9

Ya 36 62.1 62.1 100.0

(29)

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 23 39.7 39.7 39.7

Ya 35 60.3 60.3 100.0

Total 58 100.0 100.0

P18

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9

Ya 36 62.1 62.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

P19

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 20 34.5 34.5 34.5

Ya 38 65.5 65.5 100.0

Total 58 100.0 100.0

P20

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 21 36.2 36.2 36.2

Ya 37 63.8 63.8 100.0

(30)

P21

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9

Ya 36 62.1 62.1 100.0

Total 58 100.0 100.0

P22

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 25 43.1 43.1 43.1

Ya 33 56.9 56.9 100.0

Total 58 100.0 100.0

P23

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 20 34.5 34.5 34.5

Ya 38 65.5 65.5 100.0

Total 58 100.0 100.0

P24

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 26 44.8 44.8 44.8

Ya 32 55.2 55.2 100.0

(31)

P25

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9

Ya 36 62.1 62.1 100.0

(32)

Lampiran 12

TAKSASI DANA

1. Print dan penjilidan proposal Rp 150.000,-

2. Konsumsi sidang proposal Rp 200.000,-

3. Perbanyak kuisioner Rp 100.000,-

4. Biaya transportasi Rp 250.000,-

5. Souvenir penelitian Rp 100.000,-

6. Administrasi survei awal Rp 70.000,-

7. Administrasi reliabilitas Rp 44.000,-

8. Administrasi penelitian Rp 175.000,-

9. Print dan jilid skripsi Rp 200.000,-

10.Konsumsi sidang skripsi Rp 200.000,-

11.Biaya tak terduga Rp 300.000,-

(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)

Lampiran 19

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dewi Murni Tanjung

Tempat Tanggal Lahir : Sigompul, 3 Mei 1994

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Sigompul, Kec.Lintongnihuta

Email : dewitanjung255@gmail.com

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 173326 Sigompul Tahun 2000-2006

2. SMP Negeri 2 Lintongnihuta Tahun 2006-2009

3. SMA Negeri 1 Lintongnihuta Tahun 2009-2012

(43)
(44)
(45)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Ahwan, Z. (2014). Stigma dan diskriminasi HIV & AIDS pada Orang dengan HIV

dan AIDS (ODHA) di masyarakat basis anggota Nahdlatul Ulama’ [NU]

Bangil. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan

Armiyati, Y., Rahayu, D.A., & Aisah, S. (2015). Manajemen Masalah Psikososiospiritual Pasien HIV/AIDS di Kota Semarang. Fakultas Ilmu

Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang

Baldacchino, D. (2006). Nursing competencies in spiritual care. Journal of Clinical Nursing, vol 15, hal. 885 – 896

Carpenito, L.J. (2013). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 13. Alih Bahasa: Fruriolina Ariani & Estu Tiar. Jakarta: EGC

Caldeira, S., et al. (2015). Nursing Diagnosis of Spiritual Distress in Women With Breast Cancer: Prevalence and Major Defining Characteristics. Cancer Nursing An International Journal for Cancer Care

Cotton, S., et al. (2006). Changes in Religiousness and Spirituality Attributed to HIV/AIDS. Journal of General Internal Medicine, vol 21, S14

Cotton, S., Puchalski, C.M., Sherman, S.N., Mrus, J.M., Peterman, A.H., Feinberg, J., Pargament, K., Justice, A.C., Leonard, A.C., and Tsevat, J.(2006). Spirituality and Religion in Patients with HIV/AIDS. J Gen Intern Med. 2006 Dec; 21 (Suppl 5) : S5-S13

Ditjen PP & PL, Kemenkes RI. (2014). Situasi dan Analisis HIV AIDS Tahun 2014

(46)

French, K. (Ed). (2015). Kesehatan Seksual. Alih Bahasa: Bhetsy Angelina.

Hermawan, G. (2006). Perspektif Masa Depan Immunologi-Infeksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Herdman, T.H. (Ed). (2012). Diagnosis Keperawatan Defenisi dan Klasifikasi 2012-2014. Alih Bahasa: Sumarwati Made, dkk. Jakarta: EGC

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA Internasional Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley

Blackwell

Hidayat, A.A.A. (2009). Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Ironson, G., Stuetzle, R., Fletcher, M.A. (2006). An Increase in Religiousness/Spirituality Occurs After HIV Diagnosis Predicts Slower Disease Progression over 4 Years in People with HIV. J Gen Intern Med: 21: S62-68

Kozier, B., et al. (1995). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice. (5th edition). California: Wesley Publishing Company

Kozier, B., et al. (2004). Fundamental of Nursing: Concepts, Process, and Practice. (7th edition). New Jersey: Prentice Hall Inc

(47)

Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Alih Bahasa: Yasmin Asih,

dkk. Jakarta: EGC

Soedarto. (2010). Virologi Klinik: Membahas Penyakit-Penyakit Virus Termasuk AIDS, Flu Burung, Flu Babi dan SARS. Jakarta: CV. Sagung Seto

Trevino, K.M., Pargament, K.I., Cotton, S., Leonard, A.C., Hahn, J., Caprini-Faigin, C.A., &Tsevat, J.(2010). Religious Coping Outcomes in Patients with HIV/AIDS: Cross-sectional and Longitudinal Findings.AIDS and

Behaviour, vol 4(2), 379-389

Yi, M.S., et al. (2006). Religion, Spirituality, and Depressive Symptoms in Patients with HIV/AIDS. Journal of General Internal Medicine, vol 21, pp

S21-S27

Young, C. & Koopsen, C. (2007). Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan: Bina Media Perintis

(48)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Penelitian

Kerangka konseptual dalam penelitian ini memberikan gambaran tentang

karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP

Haji Adam Malik Medan. Distress spiritual merupakan suatu keadaan penderitaan

yang terkait dengan gangguan kemampuan untuk mengalami makna dalam hidup

melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dunia atau alam dan kekuatan

yang lebih besar dari diri (Herdman & Kamitsuru, 2014).

Skema 3.1. Karakteristik Distress Spritual pada Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan

Karakteristik Distress Spritual pada Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji

Adam Malik Medan

Hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya Hubungan dengan alam, seni, literatur

(49)

3.2. Definisi Operasional

Nama Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Distress spiritual

Suatu gangguan kesejahteraan spiritual atau penderitaan yang

dialami Orang Dengan

HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan, karena tidak mampu menemukan makna dan tujuan hidup, tidak mampu

(50)

pendukung. pada merasa ditinggalkan, putus asa,

(51)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif yang bertujuan

untuk mengidentifikasi karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan

HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan

4.2. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

4.2.1. Populasi

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua pasien

HIV/AIDS yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan

Januari sampai Desember tahun 2015 sebanyak 139 orang (Data Rekam

Medik RSUP HAM, 2015).

4.2.2. Sampel

Pada penelitian ini jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut (Nursalam, 2009).

n=

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Besar populasi

(52)

Maka didapatkan jumlah sampel

n=

n=

n=

n= 58,15 (dibulatkan menjadi 58 orang)

Adapun kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah pasien

HIV/AIDS rawat inap, mengalami distres spiritual, dan bersedia untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini

4.2.3. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive

sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara memilih sampel

diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel

tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal

sebelumnya.

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan Penelitian

ini dilakukan pada tanggal 16 Juni sampai 15 Juli 2016, adapun pertimbangan

pemilihan rumah sakit tersebut dikarenakan dekat dengan tempat tinggal dan

menghemat biaya karena tidak jauh dari tempat tinggal.

4.4. Pertimbangan Etik

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mengajukan

permohonan pada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera

(53)

Kemudian dengan surat pengantar tersebut peneliti akan memberikan kuesioner

kepada responden yang akan di teliti dengan terlebih dahulu menanyakan

kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam pengisian kuesioner dan

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden dengan

mempertimbangkan tiga aspek penting terkait dengan etik yang meliputi:

1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Jika

responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka peneliti akan

memberikan surat persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani.

Bila respon tidak bersedia menandatangani informed consent, responden

dapat menyampaikan persetujuan secara lisan. Tetapi apabila responden

menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian, peneliti tidak akan

memaksa dan tetap menghormati hak responden.

2. Anomity (tanpa nama)

Dalam menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti tidak

mencantumkan nama (anonimity), tetapi hanya menuliskan kode atau

inisial pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan

disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti menjamin kerahasiaan (confidentiality) responden dan data-data

responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan hanya

(54)

4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk

kuisioner yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama yaitu kuisioner data

demografi responden yang meliputi umur, jenis kelamin, suku, agama,

pendidikan, status perkawinan, dan pekerjaan. Bagian kedua adalah kuisioner

skrining distress spiritual yang terdiri dari 2 pertanyaan dengan pilihan jawaban

ya dan tidak. Bagian ketiga yaitu kuisioner data mengenai karakteristik distress

spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yaitu pernyataan berstruktur

yang dibuat oleh peneliti sendiri yang terdiri dari 25 pernyataan negatif yang

merupakan skala guttman dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Untuk jawaban ya

diberi nilai 1 dan jawaban tidak diberi nilai 0. Nilai tertinggi adalah 25 dan nilai

terendah adalah 0. Kuisioner karakteristik distress spiritual terbagi atas pernyataan

hubungan dengan diri sendiri sebanyak 8 butir yang terdapat pada pernyataan

nomor 1-8, pernyataan hubungan dengan orang lain sebanyak 4 butir yang

terdapat pada pernyataan nomor 9-12, pernyataan hubungan dengan alam

sebanyak 3 butir yang terdapat pada pernyataan nomor 13-15 dan pernyataan

hubungan dengan Tuhan sebanyak 10 butir yang terdapat pada pernyataan nomor

(55)

4.6. Validitas dan Reliabilitas

4.6.1. Validitas

Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti

prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulakn data. Instrumen harus

dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Penelitian ini menggunakan

uji validitas dengan memenuhi unsur penting dengan menentukan validitas

pengukuran instrumen yaitu: relevansi isi, instrumen disesuaikan dengan

tujuan penelitian agar dapat mengukur objek dengan jelas (Nursalam, 2008).

Jenis penelitian ini digunakan uji content validity, yang mana instrumen

diujikan pada dosen yang berkompetensi di bidang Spiritualitas di Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dinyatakan valid.

4.6.2. Reliabilitas

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila

fakta atau kenyataan diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang

berlainan (Nursalam, 2008). Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui

seberapa besar kemampuan alat ukur untuk mengukur sasaran yang akan

diukur, sehingga dapat digunakan untuk penelitian dalam lingkup yang

sama. Uji reliabilitas dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan pada 30

orang responden yang tidak termasuk dalam jumlah sampel penelitian. Uji

reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus KR-20 dikarenakan

pernyataan berjumlah ganjil dan dikatakan reliabel dengan nilai

reliabilitasnya > 0,7 (Arikunto, 2010). Hasil uji reliabilitas dari 25

(56)

Medan adalah 0,7683. Oleh karena itu kuisioner yang digunakan peneliti

dapat dikatakan reliabel.

4.7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pada tahap awal peneliti

mangajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, kemudian permohonan ijin

yang didapatkan dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Peneliti menentukan

responden yang memenuhi kriteria inklusi penelitian yaitu pertama sekali

melakukan skrining terhadap responden untuk mendapatkan pasien yang

mengalami distress spiritual. Setelah mendapatkan responden, peneliti meminta

kesediaan responden menjadi sampel penelitian dengan terlebih dahulu

menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian terhadap responden. Bagi

responden yang bersedia menjadi sampel penelitian diminta untuk

menandatangani lembar informed consent. Setelah itu responden diminta mengisi

kuisioner dan responden menjawab sesuai dengan keadaan yang dialaminya saat

itu. Selesai mengisi lembar kuisioner selanjutnya data yang terkumpul dianalisa.

4.8. Analisa Data

Analisa data dilakukan setelah semua data dalam kuisioner dikumpulkan,

data yang diperoleh diolah dengan menggunakan komputer melalui beberapa

tahap sebagai berikut: editing yaitu memeriksa kelengkapan data yang diperoleh

atau dikumpulkan serta memastikan bahwa semua jawaban sudah diisi, kemudian

data yang sesuai diberikan kode (coding). Pemberian kode sangat penting bila

pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Kemudian memasukkan

(57)

Pengolahan data dilakukan dengan analisis data univariat yaitu untuk menganalisa

data demografi dan karakteristik distress spiritual dalam bentuk tabel distribusi

(58)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai

karakteristik responden dan karakteristik distress spiritualitas pada Orang Dengan

HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data

dilakukan pada tanggal 16 Juni 2016 sampai 15 Juli 2016 terhadap 58 responden

dengan memberikan kuisioner.

5.1.1. Distribusi Karakteristik Data Demografi Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden berusia

26-35 tahun sebanyak 33 orang (56,9 %), jenis kelamin laki-laki sebanyak 36

orang (62,1%) dan perempuan sebanyak 22 orang (37,9%). Mayoritas

responden bersuku batak sebanyak 42 orang (72,4 %), agama kristen

sebanyak 34 orang (58,6%) dan islam sebanyak 23 orang (39,7%).

Selanjutnya dari tingkat pendidikan terakhir responden dengan

pendidikan SMP sebanyak 12 orang (20,7%), SMA sebanyak 39 orang

(67,2%) dan perguruan tinggi sebanyak 7 orang (12,1%). Umumnya

responden dengan status perkawinan adalah kawin yaitu sebanyak 34 orang

(58,6%) dan pekerjaan paling banyak adalah poin lainnya yaitu sebanyak 22

orang (37,9%).

(59)
(60)

5.1.2. Karakteristik Distress Spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA)

Tabel 5.2. menunjukkan bahwa sebanyak 30 orang responden (51,7%)

merasa sia-sia hidup di dunia, 29 orang responden (50%) merasa marah

pada diri sendiri dan sebanyak 29 orang responden (50%) mengatakan tidak

dapat menerima kondisinya saat ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress

Spiritual dari Aspek Hubungan dengan Diri Sendiri (n=58)

No Pernyataan Hubungan dengan Diri Sendiri

5 Saya tidak dapat menerima kondisi saya saat ini

8 Saya merasa sia-sia hidup di dunia ini

(61)

Tabel 5.3. menunjukkan bahwa sebanyak 31 orang responden (53,4%)

merasa diasingkan dan 30 orang responden (51,7%) memisahkan diri dari

kelompok agama di masyarakat.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress

Spiritual dari Aspek Hubungan dengan Orang Lain (n=58)

No Pernyataan Hubungan

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak suka

dengan alam (lingkungan, tumbuhan, hewan peliharaan) yaitu sebanyak 33

orang responden (56,9%).

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress

Spiritual dari Aspek Hubungan denganSeni, Musik, Literatur,

(62)

Tabel 5.5. menunjukkan bahwa sebanyak 38 orang responden (65,5%)

tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri dan sebanyak 38 orang

responden (65,5%) merasa menderita dengan kondisinya saat ini.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress

Spiritual dari Aspek Hubungan dengan Kekuatan yang Lebih

Besar (Tuhan) (n=58) kegiatan keagamaan yang saya lakukan

9 Saya ingin/saya butuh nasehat dari pemimpin agama

32 (55,2) 26 (44,8)

10 Saya mengalami perubahan dalam kegiatan keagamaan

36 (62,1) 22 (37,9)

Berdasarkan jawaban pada setiap pernyataan dari keempat aspek

karakteristik distress spiritual didapatkan hasil bahwa karakteristik distress

spiritual kebanyakan berada pada aspek hubungan dengan Tuhan yaitu pada

karakteristik tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri dan

(63)

5.2. Pembahasan

Pasien yang mengalami distress spiritual mungkin berkata mereka patah hati

atau semangat mereka runtuh, mungkin bercerita tentang perasaan ditinggalkan

Tuhan atau sesama, atau meragukan kepercayaan keagamaan atau spiritual.

Seorang pasien mungkin berkata tidak tahu mengapa menderita penyakit tersebut

(Davidhizar et al, 2000 dalam Young dan Koopsen, 2007).

Berdasarkan penelitian Armiyati, Rahayu, dan Aisah (2015) pada komunitas

orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Semarang dengan jumlah responden 9 orang

didapatkan bahwa ketika didiagnosis HIV/AIDS pertama kali semuanya merasa

kaget, takut, marah, jengkel, malu, sedih dan tidak percaya diri. Studi kualitatif

mengindikasikan bahwa individu dengan HIV/AIDS akan berakibat buruk pada

spiritualitasnya setelah mengetahui bahwa mereka terdiagnosis HIV/AIDS

(Tarakeshwar, et al, 2006 dalam Trevino, et al 2010).

Hasil penelitian Ironson et al (2006) memaparkan bahwa 45% dari sampel

penelitian menunjukkan peningkatan spiritualitas setelah didiagnosa HIV, 42%

tetap sama, dan 13% mengalami penurunan spiritualitas. Hal ini bertentangan

dengan hasil penelitian Cotton, Tsevat, Szaflarski, et al (2006) mengenai

perubahan religiositas dan spiritualitas dikaitkan dengan HIV/AIDS didapatkan

hasil bahwa 88 sampel (25%) melaporkan menjadi lebih religius dan 142 (41%)

melaporkan menjadi lebih rohani sejak didiagnosa HIV/AIDS.

Berdasarkan penelitian Cotton, Puchalski, Sherman, et al (2006) terhadap

450 pasien HIV/AIDS mengenai spiritualitas dan agama pada pasien dengan

(64)

strategi koping agama yang positif misalnya mencari cinta dan pemeliharaan

Allah daripada strategi koping yang negatif misalnya bertanya-tanya apakah

Tuhan telah meninggalkan saya. Penelitian Cotton, dkk (2006) juga menemukan

bahwa jumlah pasien yang menyalahkan Tuhan lebih sedikit dibanding yang

mendekatkan diri pada Tuhan. Didapat kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa

kebanyakan pasien HIV/AIDS menggunakan agama mereka untuk mengatasi

penyakit yang dialami, pasien lebih optimis, harga diri lebih besar dan kepuasan

hidup yang lebih besar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik distress spiritual pada

Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan paling

banyak pada aspek hubungan dengan Tuhan yaitu sebanyak 38 orang responden

menjawab ya pada pernyataan tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri

dan pernyataan merasa menderita dengan kondisi saat ini. Hasil ini didukung oleh

rujukan teori yang menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri khusus dari distress

spiritual adalah amarah pada Tuhan (Benedict, 2002; Taylor, 2002 dalam Young

dan Koopsen, 2007).

Berdasarkan aspek hubungan dengan diri sendiri mayoritas karakteristik

distress spiritualitas pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) berada pada item

kurangnya makna hidup yaitu sebanyak 30 orang (51,7%) menjawab ya pada

pernyataan merasa sia-sia hidup di dunia, ini merupakan salah satu tanda perilaku

maladaptif ekspresi pemenuhan kebutuhan spiritual (Hamid, 2009). Hal ini

didukung berdasarkan penelitian Hardiansyah, Amiruddin, dan Asyad (2014)

terhadap 21 responden ODHA mengenai kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS

(65)

responden sering merasa takut akan masa depan dan 38,1% responden biasa

merasakan khawatir akan kematian yang akhirnya menimbulkan perasaan sia-sia

hidup di dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik distress spiritual

berdasarkan aspek hubungan dengan orang lain paling banyak berada pada

karakteristik mengungkapkan rasa terasing yaitu dapat dilihat sebanyak 31 orang

(53,4%) menjawab ya pada pernyataan merasa diasingkan. Menurut asumsi

peneliti hal ini dapat diakibatkan karena sebagian dari pasien ODHA di rumah

sakit dirawat diruang yang berbeda dengan pasien lain sehingga kemungkinan

akan menimbulkan perasaan diasingkan dari pasien lain. Diagnosis HIV/AIDS

yang dialami pasien tentunya dapat menimbulkan banyak stres, gangguan emosi

saat kelebihan beban oleh tuntutan pemberian perawatan, mengalami keterasingan

atau stigmatisasi (WHO, 2006).

Berdasarkan penelitian Ahwan (2014) mengenai stigma dan diskriminasi

HIV & AIDS pada Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) ditemukan

bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi HIV yang terjadi baik dalam ruang keluarga

sampai pada ruang publik. Beberapa kasus yang terjadi adalah sebagai berikut.

Pertama, stigma dan diskriminasi pada ODHA yang terjadi dalam keluarga.

Keluarga menjadi tempat pertama stigma dan diskriminasi ODHA terjadi.

Keluarga seharusnya menjadi tempat yang memberikan ketenangan dan

perlindungan pada ODHA bukan malah justru sebaliknya. Keluarga malah

memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai

(66)

Kedua, stigma dan diskriminasi pada ODHA yang terjadi dimasyarakat

Dalam konteks ini tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV dan AIDS

seringkali terjadi dimana masyarakat merasa takut ketika harus melakukan

kegiatan sosial keagamaan dengan ODHA. Tindakan stigmatisasi dan

diskriminasi pada ODHA inilah yang seringkali menjadikan ODHA merasa

frustasi, merasa diasingkan dan dendam terhadap semua orang.

Menurut penelitian Cotton, Tsevat, Szaflarski, et al (2006) mengenai

perubahan religiositas dan spiritualitas dikaitkan dengan HIV/AIDS didapatkan

hasil bahwa sekitar 1 dari 4 peserta juga melaporkan bahwa mereka merasa lebih

terasing oleh kelompok agama. Hal ini bertentangan dengan penelitian Cotton,

Puchalski, Sherman, et al (2006) terhadap 450 pasien HIV/AIDS mengenai

spiritualitas dan agama pada pasien dengan HIV/AIDS dimana sebagian besar

pasien menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan faktor penting dalam

kehidupan mereka yaitu 23% pasien menghadiri layanan keagamaan seminggu

sekali atau lebih sering.

Dari hasil penelitian ini didapat karakteristik distress spiritual berdasarkan

aspek hubungan dengan seni, musik, literatur, alam paling banyak berada pada

karakteristik tidak berminat/tertarik pada alam yaitu sebanyak 33 orang (56,9%)

menjawab ya pada pernyataan saya tidak suka dengan alam (tumbuhan,

lingkungan dan hewan peliharaan). Berdasarkan aspek hubungan dengan Tuhan

didapat hasil karakteisitk distress spiritual pada pasien ODHA yaitu sebanyak 38

orang responden menjawab ya pada pernyataan tidak mampu

menginstrospeksi/menilai diri sendiri dan pernyataan merasa menderita dengan

(67)

khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan. Pasien biasa

mengalami masalah finansial, berduka berkepanjangan, frustasi, merasa bersalah,

(68)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan dan

saran mengenai karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan.

6.1. Kesimpulan

Karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

paling banyak pada aspek hubungan dengan Tuhan. Karakteristik distress spiritual

berdasarkan aspek hubungan dengan diri sendiri paling banyak berada pada

karakteristik kurangnya makna hidup. Karakteristik distress spiritual berdasarkan

aspek hubungan dengan orang lain paling banyak berada pada karakteristik

mengungkapkan rasa terasing. Karakteristik distress spiritual berdasarkan aspek

hubungan dengan seni, musik, literatur, alam paling banyak berada pada

karakteristik tidak berminat/tertarik pada alam. Karakteristik distress spiritual

berdasarkan aspek hubungan dengan Tuhan paling banyak berada pada

karakteristik ketidakmampuan untuk introspeksi diri dan merasakan penderitaan.

6.2. Saran

6.2.1. Bagi praktik keperawatan

Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan bahan evaluasi bagi

praktik keperawatan dalam meningkatkan mutu asuhan keperawatan

melalui pendidikan kesehatan dan kolaborasi. Bagi perawat sebagai orang

yang dekat dengan pasien di rumah sakit hendaknya memberikan asuhan

keperawatan terkait dengan distress spiritual untuk meningkatkan

(69)

Dalam melaksanakan spiritual care yaitu perawat perlu mendengarkan

pasien, perawat perlu hadir setiap saat untuk pasien. Membantu berdoa

atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan keperawatan

terkait spiritual pasien, menghubungi atau merujuk pasien kepada pemuka

agama, perawat dan pemuka agama dapat bekerja sama untuk memenuhi

kebutuhan spiritual pasien.

6.2.2. Bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

pendidikan keperawatan tentang distress spiritual dan Orang Dengan

HIV/AIDS (ODHA) sehingga perawat dapat melakukan asuhan

keperawatan secara holistik dan komprehensif kepada pasien ODHA

dengan distress spiritual.

6.2.3. Bagi peneliti lain

Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat menjadi bahan

acuan untuk penelitian yang lebih mendalam mengenai variabel distress

(70)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Spiritualitas

2.1.1. Definisi Spiritualitas

Spiritualitas diartikan sebagai keyakinan dalam hubungannya dengan

Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Pencipta (Hamid, 2009). Menurut

Mickey, et al (1992 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritualitas

adalah suatu hal yang multidimensi yaitu dimensi eksistensial dan dimensi

agama. Dimensi eksistensial lebih berfokus pada makna dan tujuan hidup

sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang

Maha Pencipta atau Yang Maha Kuasa.

Selanjutnya, Stoll (1998 dalam Kozier et al, 1995) menjelaskan bahwa

spiritualitas adalah konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi

horizontal. Dimensi vertikal adalah hubunganya dengan Tuhan Yang Maha

Kuasa. Dimensi horizontal adalah hubungannya dengan diri sendiri, orang

lain dan juga lingkungan. Sementara itu menurut Dossey, et al (2000 dalam

Young dan Koopsen, 2007) spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan

bagaimana manusia bisa hidup di dunia. Spiritualitas dapat diartikan seperti

nafas yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.

Spiritualitas juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dipercaya oleh

seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan)

yang menimbulkan suatu kebutuhan, serta rasa cinta terhadap adanya Tuhan

dan permohonan maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat (Hidayat,

(71)

2.1.2. Aspek Spiritualitas

Menurut Burkhardt (1993 dalam Hamid, 2009) spiritualitas terdiri dari

berbagai aspek, yaitu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau

ketidakpastian dalam hidup, menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari

kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri

dan yang terakhir mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan

dengan Yang Maha Tinggi.

2.1.3. Dimensi Spiritualitas

Stoll (1998 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritual terdiri

dari dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi

vertikal adalah hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang

menuntun kehidupan manusia sedangkan dimensi horizontal adalah

hubungannya dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan atau alam.

2.1.4. Karakteristik Spiritualitas

Karakteristik spiritual menggambarkan bagaimana keadaan spiritual

seseorang. Terdapat beberapa karakteristik spiritualitas yaitu sebagai berikut

(Hamid, 2009).

2.1.4.1. Hubungan dengan Diri Sendiri

Hubungan dengan diri sendiri meliputi tentang pengetahuan diri

yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya serta mengenai sikap

yang menyangkut percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan

masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri

(72)

2.1.4.2. Hubungan dengan Alam

Hubungan dengan alam harmonis dan selaras yaitu mengetahui

tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim serta melindungi alam dan

berkomunikasi dengan alam contohnya bertanam dan berjalan kaki.

2.1.4.3. Hubungan dengan Orang Lain

Hubungan ini dibagi atas harmonis dan tidak harmonisnya

hubungan dengan orang lain. Hubungan yang harmonis meliputi

berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik,

mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang sakit, serta meyakini

kehidupan dan kematian contohnya dengan mengunjungi, melayat,

dan lain-lain. Apabila hubungannya tidak harmonis maka akan terjadi

konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan

ketidakharmonisan dan friksi.

2.1.4.4. Hubungan dengan Ketuhanan

Hubungan dengan ketuhanan dapat dilihat pada orang-orang

agamis atapun tidak agamis. Dalam hal ini meliputi tindakan individu

dalam praktik ibadahnya seperti sembayang, berdoa, meditasi.

2.1.5. Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas menjadi sumber dukungan, pada saat individu mengalami

stress maka individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya.

Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima sakit yang dialami,

khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang

lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca

(73)

kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh

(Hamid, 2009).

Spiritualitas juga menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan. Miller

(1995 dalam Young dan Koopsen, 2007) mengatakan bahwa spiritualitas

merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi manusia.

Menurut Burkhardt dan Nagai-Jacobson (2002 dalam Young, 2007)

spiritualitas dan penyembuhan berkaitan sangat erat kaitannya.

Penyembuhan merupakan proses spiritual yang bertujuan agar seseorang

sehat. Penyembuhan terjadi sepanjang waktu, berlanjut sepanjang perjalanan

hidup manusia dan menjadi cara hidup yang mengalir dari mencerminkan

dan memelihara jiwa. Penyembuhan bersifat spiritual, tak tampak dan

eksperiensial (dialami), yang mengintegrasikan tubuh, jiwa dan spirit.

2.1.6. Pengaruh Budaya pada Spiritual

Martsolf (1997 dalam Young &Koopsen, 2007) mengemukakan

bahwa spiritualitas dapat dipengaruhi oleh budaya maupun pengalaman

pribadi yang berlawanan dengan norma budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai

yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya.

Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual

keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk

nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk

kegiatan keagamaan.

Setiap kebudayaan memiliki sistem kepercayaanya sendiri. Sistem

(74)

menentukan siapa yang mereka imani, budaya mempengaruhi cara manusia

menghadapi hidup, kematian, kelahiran, mengandung, membesarkan anak,

sakit, dan relasi (Hitchcock, et al 1999 dalam Young & Koopsen, 2007).

2.1.7. Peran Perawat dalam Kesehatan Spiritual

Dahulu spiritual care belum dianggap sebagai suatu dimensi nursing

terapeutik, tetapi dengan munculnya Holistic Nursing maka Spiritual care

menjadi aspek yang harus diperhatikan dan pengkajian kebutuhan spiritual

pasien berkembang dan dikenal sebagai aktivitas-aktivitas legitimasi dalam domain keperawatan (O’Brien, 1999). Perawat selalu hadir ketika seseorang

sakit, kelahiran, dan kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut kebutuhan

spiritual sering menonjol, dalam hal ini perawat berperan untuk memberikan

spiritual care (Cavendish, 2003).

Baldacchino (2006) meyimpulkan bahwa perawat berperan dalam

proses keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa

keperawatan, menyusun rencana dan implementasi keperawatan serta

melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien. Perawat juga berperan

dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya dan organisasi

(75)

2.1.8. Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Taylor (1997) dan Craven & Himle (1996) dalam Hamid

(2009) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang

adalah sebagai berikut:

Tahap perkembangan, berdasarkan hasil penelitian terhadap

anak-anak dengan empat agama yang berbeda, ditemukan bahwa mereka

mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda

menurut usia, seks, agama dan kepribadian anak. Mereka mempersepsikan

Tuhan dalam bentuk atau hal yang berbeda-beda, contohnya gambaran

tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling

keterikatan dengan kehidupan. Ada yang mempercayai bahwa Tuhan

mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut menghadapi kekuasaan

Tuhan, dan ada juga anak-anak yang menggambarkan Tuhan itu adalah

gambaran cahaya atau sinar.

Keluarga, peran orang tua sangat berpengaruh dalam menentukan

perkembangan spiritualitas anak. Perlu diperhatikan, hal yang penting itu

adalah bukan apa yang diajarkan oleh orang tua terhadap anaknya mengenai

Tuhan, tetapi apa yang anak peajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri

sendiri dari perilaku orang tua mereka. Keluarga dan orang tua adalah

lingkungan terdekat dan pengalaman pertama bagi anak untuk

mempersepsikan kehidupan di dunia.

Latar belakang etnik dan budaya, sikap, keyakinan, dan nilai yang

(76)

keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk

nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk

kegiatan keagamaan.

Pengalaman hidup sebelumnya, pengalaman hidup yang baik dan

buruk dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dapat

dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian

atau pengalaman tersebut. Sebagai contoh, dua orang ibu yang percaya

dengan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan mencintai umatnya

kehilangan anak yang mereka cintai karena kecelakaan. Salah satu dari

mereka bereaksi dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan tidak mau

sembahyang lagi. Sebaliknya ibu yang satunya lagi akan terus berdoa dan

meminta Tuhan membantunya untuk bisa menerima kehilangan anaknya.

Krisis dan perubahan, krisis dan perubahan dapat menguatkan

kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang

menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, bahkan

kematian khususnya pada pasien dengan penyakit terminal. Perubahan

dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman

spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisik dan emosional. Krisis

dapat berhubungan dengan perubahan patofisiologi, terapi atau pengobatan

dan situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit pada

umumnya akan menimbulakan pertanyaan tentang sistem kepercayaan

seseorang.

Terpisah dari ikatan spiritual, menderita sakit terutama yang

(77)

sistem dukungan sosial. Individu yang dirawat merasa terisolasi dalam

ruangan yang asing baginya dan merasa tidak nyaman. Dengan dirawatnya

individu maka akan terjadi perubahan pada kebiasaan hidup sehari-hari

contohnya tidak dapat menghadiri suatu acara, tidak dapat mengikuti

kegiatan keagamaan, ataupun tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau

teman dekat yang biasa memberi dukungan setiap saat diinginkan.

Terpisahnya klien dari kegiatan spiritual dan orang-orang di sekitarnya

dapat beresiko terjadinya perubahan spiritual pada klien.

Isu moral terkait dengan terapi, pada sebagian agama, proses

penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan menunjukkan kebesarannya

walaupun ada juga sebagian yang menolak proses pengobatan. Prosedur

medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama misalnya

transplantasi organ, pencegahan kehamilan.

Asuhan keperawatan yang kurang sesuai, ketika memberikan

asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka terhadap

kebutuhan spiritual klien dan mampu memberikan asuhan spiritual kepada

klien. Tetapi ada berbagai alasan yang membuat perawat tidak mampu dan

menghindar dalam memberikan asuhan spiritual kepada klien. Alasan

tersebut antara lain perawat kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya,

menganggap kurang pentingnya kebutuhan spiritual, merasa pemenuhan

spiritual hanya diberikan oleh pemuka agama atau mungkin belum

(78)

2.1.9. Kebutuhan Spiritualitas

Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahanakan atau

mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta

kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai dan

menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan juga

dapat diartikan sebagai kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan

untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan maaf dan

mendapat maaf (Carson, 1989 dalam Hamid, 2009).

Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual

adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau

kelompok mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam

kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan

arti kehidupan (Hidayat, 2009).

2.2. Distres Spiritual

2.2.1. Definisi Distress Spiritual

Menurut Bergren-Thomas dan Griggs (1995 dalam Young &

Koopsen, 2007) menjelaskan bahwa distress spiritual adalah suatu keadaan

dimana seseorang mengalami gangguan atau kekacauan nilai dan keyakinan

yang biasanya memberikan kekuatan, harapan dan makna hidup. Menurut

Herdman & Kamitsuru (2014) dijelaskan bahwa distress spiritual

merupakan suatu keadaan penderitaan yang terkait dengan gangguan

kemampuan untuk mengalami makna dalam hidup melalui hubungan

dengan diri sendiri, orang lain, dunia atau alam dan kekuatan yang lebih

(79)

Distress spiritual atau krisis spiritual terjadi ketika seseorang tidak

dapat menemukan makna dan tujuan hidup, harapan, cinta, kedamaian atau

kekeuatan dalam hidup mereka. Krisis ini bisa terjadi saat seseorang

mengalami ketiadaan hubungan dengan hidup, sesama, alam dan ketika

situasi hidup bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya

(Anandarajah dan Hight, 2001 dalam Young dan Koopsen, 2007).

Distress spiritual mengacu pada tantangan dari kesejahteraan spiritual

atau sistem kepercayaan yang memberikan kekuatan, harapan dan arti hidup

(Carpenito 2002 dalam Kozier et al, 2004). Pendapat lain menjelaskan

bahwa distress spiritual merupakan masalah yang sering terjadi pada

pemenuhan kebutuhan spiritual (Hidayat, 2009). Kebutuhan spiritual yang

dimaksud yaitu kebutuhan untuk mencari makna dan tujuan hidup,

kebutuhan mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memberi maaf dan

dimaafkan (Hamid, 2009).

2.2.2. Ciri-ciri Khusus Distress Spiritual

Menurut Benedict dan Taylor (2002, dalam Young dan Koopsen,

2007) ciri-ciri khusus dari distress spiritual meliputi hal berikut: pertanyaan

tentang implikasi moral/etis dari aturan terapeutik, perasaan tidak bernilai,

kepahitan, penolakan, rasa salah dan rasa takut, mimpi buruk, gangguan

tidur, anorexia, keluhan somatis, pengungkapan konflik dalam batin atas

kepercayaan yang dihayati, ketidakmampuan dalam berpartisipasi dalam

praktik keagamaan yang biasa diikuti, mencari bantuan spiritual,

(80)

perasaan atau perilaku (marah, menangis, menarik diri, cemas, apatis dan

sebagainya), dan untuk yang terakhir menghindari humor.

2.2.3. Batasan Karakteristik Distress Spiritual

Menurut Herdman & Kamitsuru (2014) batasan karakteristik dari

distress spiritual yaitu sebagai berikut.

2.2.3.1. Hubungan dengan Diri Sendiri

Yang berhubungan dengan diri sendiri meliputi: marah,

kurangnya ketenangan atau kedamaian, perasaan tidak dicintai, rasa

bersalah, kurang dapat menerima atau kurang pasrah, koping yang

tidak efektif, tidak cukup tabah, mengungkapkan kurangnya makna

hidup.

2.2.3.2. Hubungan dengan Orang Lain

Berhubungan dengan orang lain meliputi: mengungkapkan rasa

terasing, menolak berinteraksi dengan pemimpin spiritual, menolak

berinteraksi dengan orang yang dianggap penting, pemisahan dari

sistem pendukung.

2.2.3.3. Hubungan dengan Seni, Musik, Literatur, Alam

Berhubungan dengan seni, musik, literatur, alam meliputi

ketidakmampuan mengungkapkan kondisi kreativitas sebelumnya

(misalnya menyanyi, mendengarkan musik ataupun menulis), dan

tidak berminat atau tertarik pada alam maupun membaca literatur

(81)

2.2.3.4. Hubungan dengan Kekuatan yang Lebih Besar

Berhubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya

meliputi mengungkapkan kemarahan terhadap kekuatan yang lebih

besar dari dirinya, merasa ditinggalkan, putus asa, ketidakmampuan

untuk introspeksi diri, ketidakmampuan untuk mengalami pengalaman

religiositas, ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan

keagamaan, ketidakmampuan untuk berdoa, merasakan penderitaan,

meminta menemui pemimpin keagamaan, dan mengalami perubahan

yang tiba-tiba dalam praktik spiritual.

Menurut Carpenito (2013) batasan karakteristik distress spiritual

dibagi berdasarkan mayor dan minor. Karakteristik mayor adalah

karakteristik yang harus ada pada distress spiritual yaitu klien mengalami

suatu gangguan dalam sistem keyakinan. Batasan karakteristik minor yaitu

karakteristik yang mungkin ada pada klien dengan distress yaitu (Carpenito,

2013) meliputi:

1. Mempertanyakan makna kehidupan, kematian, dan penderitaan

2. Mempertanyakan kredibilitas terhadap sistem keyakinan

3. Mendemonstrasikan keputusan atau kekecewaan

4. Memilih untuk tidak melakukan ritual keagamaan yang biasa

dilakukan

5. Mempunyai perasaan ambivalen (ragu) mengenai keyakinan

6. Mengungkapkan bahwa ia tidak mempunyai alasan untuk

(82)

8. Menunjukkan keterpisahan emosional dari diri sendiri dan

orang lain

9. Menunjukkan kekhawatiran-marah, dendam,

ketakutan-mengenai arti kehidupan, penderitaan, kematian

10.Meminta bantuan spiritual terhadap suatu gangguan dalam

sistem keyakinan.

2.2.4. Faktor yang Berhubungan Distress Spiritual

Menurut Anandarajah dan Hight (2001, dalam Young dan Koopsen,

2007) distress atau krisis spiritual dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan

mental dan sering diperburuk oleh penyakit medis atau takut mati. Faktor

tambahan lain yang berhubungan dengan distress spiritual meliputi (Taylor,

2002 dalam Young dan Koopsen 2007) : kehilangan orang yang dicintai,

rendahnya harga diri, penyakit mental, penyakit alamiah, penyakit fisik,

perasaan kehilangan sesaat, penyalahgunaan benda terlarang, reaksi yang

buruk dengan sesama, tekanan fisik atau psikologis, ketidakmampuan untuk

mengampuni, kekurangan mencintai diri sendiri dan yg terakhir kecemasan

ekstrem.

Menurut Herdman (2012) faktor yang berhubungan dengan distress

spiritual yaitu sebagai berikut: menjelang ajal, ansietas, sakit kronis,

kematian, perubahan hidup, kesepian, nyeyi, keterasingan diri maupun

(83)

2.2.5. Proses Keperawatan Distress Spiritual

Proses keperawatan distress spiritual terdiri dari 5 tahap yaitu:

1. Proses keperawatan – pengkajian. Pada proses pengkajian yaitu

dilakukan pengkajian terhadap keyakinan klien seperti sumber

kekuatan dan arti spiritual pada klien, mengkaji bagaimana kepuasan

atau pencapain hidup, hubungan dengan masyarakat, ritual dan

praktek keagamaan, pekerjaan dan harapan klien.

2. Proses keperawatan – diagnosa. Kesejahteraan spiritual sebaiknya

dipikirkan secara luas dan tidak terbatas pada agama. Semua orang

beragama, dalam arti bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang

dapat memberikan arti dalam hidup mereka. Untuk sebagian orang

hal ini berarti percaya kepada Tuhan dalam arti tradisional, untuk

yang lainnya hal ini merupakan perasaan keselarasan dengan alam,

sementara yang lainnya lagi hal ini dapat keluarga dan anak-anak.

Ketika pasien percaya bahwa hidup tidak memiliki arti dan tujuan

hidup dalam arti apapun saat itulah terjadi distress spiritual.

3. Proses keperawatan – perencanaan. Pada proses perencanaan perlu

diperhatikan kolaborasi dengan klien dan keluarga akan pilihan

intervensi, konsul dengan pemimpin keagamaan, ritual spiritual dan

observasi.

4. Proses keperawatan – implementasi. Dalam melaksanakan spiritual

care yaitu perawat perlu mendengarkan pasien, perawat perlu hadir

(84)

keterbukaan pasien pada perawat. Promosi kesehatan yaitu

menyatakan pentingnya kebutuhan spiritual pada pasien. Membantu

berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan

keperawatan terkait spiritual pasien, menghubungi atau merujuk

pasien kepada pemuka agama, perawat dan pemuka agama dapat

bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.

5. Proses keperawatan – evaluasi. Untuk melengkapi siklus proses

keperawatan spiritual pasien, perawat harus melakukan evaluasi

yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini sulit

dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih

kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang

telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik untuk

mengevaluasi spiritual care pasien (Govier, 2000).

2.3. HIV/AIDS

2.3.1. Definisi HIV/AIDS

HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus dalam

bahasa indonesia yang berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh

manusia. Virus ini termasuk RNA virus genus Lentivirus golongan

retrovirus famili retroviridae. Spesies HIV-1 dan HIV-2 merupakan

penyebab infeksi HIV pada manusia (Soedarto, 2010). Jadi, HIV adalah

virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian

menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih

yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Virus HIV ditemukan dalam darah,

(85)

AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency

Syndrome. Acquired berarti didapat bukan keturunan, immune terkait

dengan sistem kekebalan tubuh, deficiency berarti kekurangan dan

syndrome berarti penyakit dengan kumpulan gejala bukan gejala tertentu.

Maka AIDS dapat sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat

menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang didapat bukan karena

keturunan, tetapi disebabkan oleh virus HIV (Maryunani & Aeman, 2009).

Menurut Djuanda (2007) AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan

tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia

sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan

kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi

bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain

itu penderita AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma

kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.

Menurut Hermawan (2006) AIDS adalah sindrom atau kumpulan

gejala yang disebabkan oleh HIV yang mudah menular dan mematikan.

Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh, dengan akibat turunnya /

hilangnya daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terjangkit dan meninggal

karena penyakit infeksi, keganasan dan lain-lain.

2.3.2. Penyebab HIV/AIDS

Beberapa peneliti sependapat bahwa penyebab AIDS adalah sejenis

retrovirus yang disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) atau

(86)

T-dkk pada tahun 1983 di Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh

Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini

ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200

monyet hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa

menimbulkan penyakit. HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 yang merupakan

peyebab infeksi HIV pada manusia (Djuanda, 2007).

HIV diklasifikasikan sebagai retrovirus, yaitu virus asam ribonukleat

(RNA). Retrovirus memiliki enzim yang disebut transkriptase balik yang

memberikan kemampuan untuk mengubah kode RNA mereka menjadi asam

deoksiribonukleat (DNA). Kemudian, DNA retrovirus berintegrasi ke dalam

DNA sel inang sehingga membuat sel inang menjadi pabrik HIV. Pada

manusia, yang berperan sebagai sel inang adalah sistem imun dan dikenal

sebagai sel cluster of differentiation 4 (CD4) (French, 2015).

2.3.3. Cara penularan HIV/AIDS

Cairan tubuh yang dapat mengandung HIV yakni air mani, darah,

cairan vagina, air susu ibu, air mata, air liur, air seni, air ketuban dan cairan

serebrospinal. Akan tetapi yang potensial sebagai media penularan hanya air

mani, darah, dan cairan vagina. Hingga saat ini cara penularan yang

diketahui ialah melalui hubungan seksual, darah, dan secara perinata yakni

dari ibu ke bayi yang dikandungnya (Hermawan, 2006).

Menurut French (2015) HIV bukan fenomena yang terjadi secara

alamiah, virus ini harus ditransmisikan dari mana pun agar seseorang dapat

terinfeksi. Transmisi HIV dapat terjadi baik melalui kontak seksual, via

Gambar

Gambaran persentase
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Data Demografi Pasien
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak suka
+4

Referensi

Dokumen terkait

Objektif: untuk mengetahui karakteristik penderita mioma uteri di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009 berdasarkan usia, menarke, kehamilan, paritas, aborsi, indeks

Tujuan Penelitian : Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sindrom depresif pada penderita-penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner BDI dan tujuan

Harga diri pada pasien HIV/AIDS mempunyai peranan penting dalam proses perawatan seperti yang diunhkapkan oleh Stuart dan Sundeen (2000) self esteem (harga diri)

Analisis Distribusi Karakteristik Pasien Retinoblastoma Berdasarkan Status Sosial dengan Gejala Klinis ....

yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan

Pengumpulan data dengan kuesioner yang menggunakan skala likert untuk variabel harga diri dan skala guttman untuk variabel interaksi sosial. Analisa data univariat dilakukan dengan

Permasalahan yang timbul tidak hanya berkaitan dengan kondisi penyakit, namun juga kondisi psikososial seperti stigma sosial, diskriminasi pekerjaan, penerimaan

Sementara individu dengan harga diri tinggi akan lebih dapat. berperilaku efektif (Coopersmith dan Branden) dalam