Lampiran 4
Kode: Tanggal / waktu:
Instrumen Penelitian
Petunjuk pengisian
Bapak/Ibu (responden) diharapkan:
a. Menjawab semua pertanyaan yang tersedzia dengan memberikan tanda
check list (√) pada setiap tempat yang disediakan
b. Semua pertanyaan harus dijawab
c. Semua pertanyaan diisi dengan satu jawaban
d. Bila ada yang kurang dimengerti dapat ditanyakan kepada peneliti
Bagian 1 kuisioner data demografi
1. Usia:
2. Jenis kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
3. Suku
a. Batak toba g. Minang
b. Karo h. Aceh
c. Simalungun i. Melayu
e. Dairi k. WNI/cina
f. Nias l. Lain-lain
4. Agama
a. Islam d. Hindu
b. Kristen e. Lain-lain
c. Budha
5. Pendidikan
a. Tidak ada
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Perguruan tinggi
6. Status perkawinan
a. Kawin
b. Tidak kawin
c. Janda / duda
7. Pekerjaan
a. Pegawai negeri
b. Pegawai swasta
c. Pedagang
d. Petani
e. Lainnya
No Pertanyaan YA TIDAK
1 Apakah dengan kondisi anda
sekarang anda mengalami
kesulitan dalam menemukan
makna dan tujuan hidup melalui
hubungan dengan diri sendiri,
orang lain, alam dan zat yang
paling tinggi (Tuhan)?
2 Apakah keyakinan anda
terganggu sehingga anda merasa
kehilangan makna dan kekuatan
Bagian 3 Kuisioner Karakteristik Distress Spiritual
No Pernyataan YA TIDAK
1 Saya merasa marah pada diri saya sendiri
2 Saya merasakan kurangnya ketenangan dan kedamaian
3 Saya merasa tidak dicintai
4 Saya merasa bersalah pada diri saya sendiri
5 Saya tidak dapat menerima kondisi saya saat ini
6 Jika saya ada masalah, maka saya akan mengurung diri seharian
7 Saya tidak cukup tabah dengan kondisi ini
8 Saya merasa sia-sia hidup di dunia ini
9 Saya merasa diasingkan
10 Saya tidak ingin/menolak bertemu dengan pemimpin agama
11 Saya tidak ingin berinteraksi dengan keluarga saya
12 Saya memisahkan diri dari kelompok agama di masyarakat
13 Saya tidak mampu menyanyi, mendengarkan musik, menulis
15 Saya tidak suka membaca literatur spiritual (kitab suci, buku
agama)
16 Saya marah kepada Tuhan
17 Saya merasa ditinggalkan Tuhan
18 Saya merasa putus asa dengan kondisi saya saat ini
19 Saya tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri
20 Saya tidak mampu memaknai kegiatan keagamaan yang saya
lakukan
21 Saya tidak mampu mengikuti kegiatan keagamaan di masyarakat
22 Saya tidak mampu berdoa
23 Saya merasa menderita dengan kondisi saya saat ini
24 Saya ingin/saya butuh nasehat dari pemimpin agama
Koefisien Validitas Isi - Aiken's V
Klasifikasi koefisien sangat sesuai sangat
Lampiran 8 Master Tabel Data Demografi
No responden Usia jenis kelamin suku agama pendidikan
status
perkawinan pekerjaan
1 30 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin pedagang
2 31 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin pedagang
3 45 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya
4 37 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin pedagang
5 30 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya
6 46 tahun laki-laki batak kristen SMA tidak kawin lainnya
7 49 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin lainnya
8 31 tahun laki-laki batak islam SMA tidak kawin lainnya
9 30 tahun laki-laki jawa islam SMA kawin lainnya
10 30 tahun laki-laki melayu islam SMA kawin lainnya
11 41 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin lainnya
12 33 tahun Perempuan batak kristen SMA tidak kawin lainnya
13 37 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya
14 37 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin lainnya
15 26 tahun laki-laki jawa islam perguruan tinggi tidak kawin pegawai swasta
16 27 tahun laki-laki jawa islam SMA kawin pegawai swasta
17 32 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin pedagang
18 39 tahun laki-laki batak kristen SMA kawin petani
19 39 tahun Perempuan batak kristen SMA kawin pegawai swasta
20 26 tahun laki-laki batak kristen SMA tidak kawin pegawai swasta
27 24 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin pedagang
28 34 tahun laki-laki batak kristen SMP kawin petani
29 32 tahun laki-laki cina budha SMA tidak kawin lainnya
30 34 tahun Perempuan jawa islam perguruan tinggi kawin PNS
31 34 tahun laki-laki jawa islam SMA tidak kawin pedagang
32 27 tahun Perempuan jawa islam perguruan tinggi kawin pegawai swasta
33 27 tahun laki-laki jawa islam SMA kawin pedagang
39 30 tahun laki-laki batak kristen perguruan tinggi kawin lainnya
32 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1
33 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0
34 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1
35 1 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1
36 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1
37 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
38 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0
39 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
40 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
41 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1
42 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
43 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
44 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1
45 1 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1
46 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 0
47 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
48 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0
49 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
50 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0
51 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0
52 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
53 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1
54 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0
Hasil Analisa Data Demografi Responden Lampiran 10
Frequency Table
USIA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Remaja akhir 2 3.4 3.4 3.4
Dewasa awal 33 56.9 56.9 60.3
Dewasa akhir 18 31.0 31.0 91.4
Lansia awal 4 6.9 6.9 98.3
Lansia akhir 1 1.7 1.7 100.0
Total 58 100.0 100.0
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid laki-laki 36 62.1 62.1 62.1
perempuan 22 37.9 37.9 100.0
Total 58 100.0 100.0
SUKU
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid batak 42 72.4 72.4 72.4
cina 1 1.7 1.7 74.1
jawa 14 24.1 24.1 98.3
melayu 1 1.7 1.7 100.0
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid budha 1 1.7 1.7 1.7
islam 23 39.7 39.7 41.4
kristen 34 58.6 58.6 100.0
Total 58 100.0 100.0
PENDIDIKAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid pergurua 7 12.1 12.1 12.1
SMA 39 67.2 67.2 79.3
SMP 12 20.7 20.7 100.0
Total 58 100.0 100.0
STATUS PERKAWINAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid duda 5 8.6 8.6 8.6
janda 3 5.2 5.2 13.8
kawin 34 58.6 58.6 72.4
tidak ka 16 27.6 27.6 100.0
PEKERJAAN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid lainnya 22 37.9 37.9 37.9
pedagang 15 25.9 25.9 63.8
pegawai 10 17.2 17.2 81.0
petani 6 10.3 10.3 91.4
PNS 3 5.2 5.2 96.6
tidak ad 2 3.4 3.4 100.0
Hasil Analisa Data Karakteristik Distress Spiritual Lampiran 11
Frequency Table
P1
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 29 50.0 50.0 50.0
Ya 29 50.0 50.0 100.0
Total 58 100.0 100.0
P2
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 30 51.7 51.7 51.7
Ya 28 48.3 48.3 100.0
Total 58 100.0 100.0
P3
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 32 55.2 55.2 55.2
Ya 26 44.8 44.8 100.0
Total 58 100.0 100.0
P4
P5
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 29 50.0 50.0 50.0
Ya 29 50.0 50.0 100.0
Total 58 100.0 100.0
P6
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9
Ya 25 43.1 43.1 100.0
Total 58 100.0 100.0
P7
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9
Ya 25 43.1 43.1 100.0
Total 58 100.0 100.0
P8
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 28 48.3 48.3 48.3
Ya 30 51.7 51.7 100.0
P9
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 27 46.6 46.6 46.6
Ya 31 53.4 53.4 100.0
Total 58 100.0 100.0
P10
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9
Ya 25 43.1 43.1 100.0
Total 58 100.0 100.0
P11
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 33 56.9 56.9 56.9
Ya 25 43.1 43.1 100.0
Total 58 100.0 100.0
P12
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 28 48.3 48.3 48.3
P13
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 27 46.6 46.6 46.6
Ya 31 53.4 53.4 100.0
Total 58 100.0 100.0
P14
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 25 43.1 43.1 43.1
Ya 33 56.9 56.9 100.0
Total 58 100.0 100.0
P15
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 28 48.3 48.3 48.3
Ya 30 51.7 51.7 100.0
Total 58 100.0 100.0
P16
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9
Ya 36 62.1 62.1 100.0
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 23 39.7 39.7 39.7
Ya 35 60.3 60.3 100.0
Total 58 100.0 100.0
P18
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9
Ya 36 62.1 62.1 100.0
Total 58 100.0 100.0
P19
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 20 34.5 34.5 34.5
Ya 38 65.5 65.5 100.0
Total 58 100.0 100.0
P20
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 21 36.2 36.2 36.2
Ya 37 63.8 63.8 100.0
P21
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9
Ya 36 62.1 62.1 100.0
Total 58 100.0 100.0
P22
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 25 43.1 43.1 43.1
Ya 33 56.9 56.9 100.0
Total 58 100.0 100.0
P23
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 20 34.5 34.5 34.5
Ya 38 65.5 65.5 100.0
Total 58 100.0 100.0
P24
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 26 44.8 44.8 44.8
Ya 32 55.2 55.2 100.0
P25
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak 22 37.9 37.9 37.9
Ya 36 62.1 62.1 100.0
Lampiran 12
TAKSASI DANA
1. Print dan penjilidan proposal Rp 150.000,-
2. Konsumsi sidang proposal Rp 200.000,-
3. Perbanyak kuisioner Rp 100.000,-
4. Biaya transportasi Rp 250.000,-
5. Souvenir penelitian Rp 100.000,-
6. Administrasi survei awal Rp 70.000,-
7. Administrasi reliabilitas Rp 44.000,-
8. Administrasi penelitian Rp 175.000,-
9. Print dan jilid skripsi Rp 200.000,-
10.Konsumsi sidang skripsi Rp 200.000,-
11.Biaya tak terduga Rp 300.000,-
Lampiran 19
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dewi Murni Tanjung
Tempat Tanggal Lahir : Sigompul, 3 Mei 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sigompul, Kec.Lintongnihuta
Email : dewitanjung255@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
1. SD Negeri 173326 Sigompul Tahun 2000-2006
2. SMP Negeri 2 Lintongnihuta Tahun 2006-2009
3. SMA Negeri 1 Lintongnihuta Tahun 2009-2012
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Ahwan, Z. (2014). Stigma dan diskriminasi HIV & AIDS pada Orang dengan HIV
dan AIDS (ODHA) di masyarakat basis anggota Nahdlatul Ulama’ [NU]
Bangil. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Yudharta Pasuruan
Armiyati, Y., Rahayu, D.A., & Aisah, S. (2015). Manajemen Masalah Psikososiospiritual Pasien HIV/AIDS di Kota Semarang. Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang
Baldacchino, D. (2006). Nursing competencies in spiritual care. Journal of Clinical Nursing, vol 15, hal. 885 – 896
Carpenito, L.J. (2013). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 13. Alih Bahasa: Fruriolina Ariani & Estu Tiar. Jakarta: EGC
Caldeira, S., et al. (2015). Nursing Diagnosis of Spiritual Distress in Women With Breast Cancer: Prevalence and Major Defining Characteristics. Cancer Nursing An International Journal for Cancer Care
Cotton, S., et al. (2006). Changes in Religiousness and Spirituality Attributed to HIV/AIDS. Journal of General Internal Medicine, vol 21, S14
Cotton, S., Puchalski, C.M., Sherman, S.N., Mrus, J.M., Peterman, A.H., Feinberg, J., Pargament, K., Justice, A.C., Leonard, A.C., and Tsevat, J.(2006). Spirituality and Religion in Patients with HIV/AIDS. J Gen Intern Med. 2006 Dec; 21 (Suppl 5) : S5-S13
Ditjen PP & PL, Kemenkes RI. (2014). Situasi dan Analisis HIV AIDS Tahun 2014
French, K. (Ed). (2015). Kesehatan Seksual. Alih Bahasa: Bhetsy Angelina.
Hermawan, G. (2006). Perspektif Masa Depan Immunologi-Infeksi. Surakarta: Sebelas Maret University Press
Herdman, T.H. (Ed). (2012). Diagnosis Keperawatan Defenisi dan Klasifikasi 2012-2014. Alih Bahasa: Sumarwati Made, dkk. Jakarta: EGC
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA Internasional Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley
Blackwell
Hidayat, A.A.A. (2009). Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Ironson, G., Stuetzle, R., Fletcher, M.A. (2006). An Increase in Religiousness/Spirituality Occurs After HIV Diagnosis Predicts Slower Disease Progression over 4 Years in People with HIV. J Gen Intern Med: 21: S62-68
Kozier, B., et al. (1995). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice. (5th edition). California: Wesley Publishing Company
Kozier, B., et al. (2004). Fundamental of Nursing: Concepts, Process, and Practice. (7th edition). New Jersey: Prentice Hall Inc
Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Alih Bahasa: Yasmin Asih,
dkk. Jakarta: EGC
Soedarto. (2010). Virologi Klinik: Membahas Penyakit-Penyakit Virus Termasuk AIDS, Flu Burung, Flu Babi dan SARS. Jakarta: CV. Sagung Seto
Trevino, K.M., Pargament, K.I., Cotton, S., Leonard, A.C., Hahn, J., Caprini-Faigin, C.A., &Tsevat, J.(2010). Religious Coping Outcomes in Patients with HIV/AIDS: Cross-sectional and Longitudinal Findings.AIDS and
Behaviour, vol 4(2), 379-389
Yi, M.S., et al. (2006). Religion, Spirituality, and Depressive Symptoms in Patients with HIV/AIDS. Journal of General Internal Medicine, vol 21, pp
S21-S27
Young, C. & Koopsen, C. (2007). Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan: Bina Media Perintis
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Penelitian
Kerangka konseptual dalam penelitian ini memberikan gambaran tentang
karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP
Haji Adam Malik Medan. Distress spiritual merupakan suatu keadaan penderitaan
yang terkait dengan gangguan kemampuan untuk mengalami makna dalam hidup
melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, dunia atau alam dan kekuatan
yang lebih besar dari diri (Herdman & Kamitsuru, 2014).
Skema 3.1. Karakteristik Distress Spritual pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan
Karakteristik Distress Spritual pada Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji
Adam Malik Medan
Hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya Hubungan dengan alam, seni, literatur
3.2. Definisi Operasional
Nama Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Distress spiritual
Suatu gangguan kesejahteraan spiritual atau penderitaan yang
dialami Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan, karena tidak mampu menemukan makna dan tujuan hidup, tidak mampu
pendukung. pada merasa ditinggalkan, putus asa,
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk mengidentifikasi karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan
4.2. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
4.2.1. Populasi
Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua pasien
HIV/AIDS yang dirawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan
Januari sampai Desember tahun 2015 sebanyak 139 orang (Data Rekam
Medik RSUP HAM, 2015).
4.2.2. Sampel
Pada penelitian ini jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (Nursalam, 2009).
n=
Keterangan :
n = Besar sampel
N = Besar populasi
Maka didapatkan jumlah sampel
n=
n=
n=
n= 58,15 (dibulatkan menjadi 58 orang)
Adapun kriteria inklusi sampel pada penelitian ini adalah pasien
HIV/AIDS rawat inap, mengalami distres spiritual, dan bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini
4.2.3. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive
sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara memilih sampel
diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal
sebelumnya.
4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan Penelitian
ini dilakukan pada tanggal 16 Juni sampai 15 Juli 2016, adapun pertimbangan
pemilihan rumah sakit tersebut dikarenakan dekat dengan tempat tinggal dan
menghemat biaya karena tidak jauh dari tempat tinggal.
4.4. Pertimbangan Etik
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mengajukan
permohonan pada bagian pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Kemudian dengan surat pengantar tersebut peneliti akan memberikan kuesioner
kepada responden yang akan di teliti dengan terlebih dahulu menanyakan
kesediaan responden untuk berpartisipasi dalam pengisian kuesioner dan
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden dengan
mempertimbangkan tiga aspek penting terkait dengan etik yang meliputi:
1. Informed consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan
responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Jika
responden bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka peneliti akan
memberikan surat persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani.
Bila respon tidak bersedia menandatangani informed consent, responden
dapat menyampaikan persetujuan secara lisan. Tetapi apabila responden
menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian, peneliti tidak akan
memaksa dan tetap menghormati hak responden.
2. Anomity (tanpa nama)
Dalam menjaga kerahasiaan identitas responden, maka peneliti tidak
mencantumkan nama (anonimity), tetapi hanya menuliskan kode atau
inisial pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan
disajikan.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Peneliti menjamin kerahasiaan (confidentiality) responden dan data-data
responden hanya digunakan untuk kepentingan penelitian dan hanya
4.5. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk
kuisioner yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama yaitu kuisioner data
demografi responden yang meliputi umur, jenis kelamin, suku, agama,
pendidikan, status perkawinan, dan pekerjaan. Bagian kedua adalah kuisioner
skrining distress spiritual yang terdiri dari 2 pertanyaan dengan pilihan jawaban
ya dan tidak. Bagian ketiga yaitu kuisioner data mengenai karakteristik distress
spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yaitu pernyataan berstruktur
yang dibuat oleh peneliti sendiri yang terdiri dari 25 pernyataan negatif yang
merupakan skala guttman dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Untuk jawaban ya
diberi nilai 1 dan jawaban tidak diberi nilai 0. Nilai tertinggi adalah 25 dan nilai
terendah adalah 0. Kuisioner karakteristik distress spiritual terbagi atas pernyataan
hubungan dengan diri sendiri sebanyak 8 butir yang terdapat pada pernyataan
nomor 1-8, pernyataan hubungan dengan orang lain sebanyak 4 butir yang
terdapat pada pernyataan nomor 9-12, pernyataan hubungan dengan alam
sebanyak 3 butir yang terdapat pada pernyataan nomor 13-15 dan pernyataan
hubungan dengan Tuhan sebanyak 10 butir yang terdapat pada pernyataan nomor
4.6. Validitas dan Reliabilitas
4.6.1. Validitas
Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti
prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulakn data. Instrumen harus
dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Penelitian ini menggunakan
uji validitas dengan memenuhi unsur penting dengan menentukan validitas
pengukuran instrumen yaitu: relevansi isi, instrumen disesuaikan dengan
tujuan penelitian agar dapat mengukur objek dengan jelas (Nursalam, 2008).
Jenis penelitian ini digunakan uji content validity, yang mana instrumen
diujikan pada dosen yang berkompetensi di bidang Spiritualitas di Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan dinyatakan valid.
4.6.2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila
fakta atau kenyataan diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang
berlainan (Nursalam, 2008). Uji reliabilitas bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar kemampuan alat ukur untuk mengukur sasaran yang akan
diukur, sehingga dapat digunakan untuk penelitian dalam lingkup yang
sama. Uji reliabilitas dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan pada 30
orang responden yang tidak termasuk dalam jumlah sampel penelitian. Uji
reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus KR-20 dikarenakan
pernyataan berjumlah ganjil dan dikatakan reliabel dengan nilai
reliabilitasnya > 0,7 (Arikunto, 2010). Hasil uji reliabilitas dari 25
Medan adalah 0,7683. Oleh karena itu kuisioner yang digunakan peneliti
dapat dikatakan reliabel.
4.7. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pada tahap awal peneliti
mangajukan permohonan ijin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, kemudian permohonan ijin
yang didapatkan dari RSUP Haji Adam Malik Medan. Peneliti menentukan
responden yang memenuhi kriteria inklusi penelitian yaitu pertama sekali
melakukan skrining terhadap responden untuk mendapatkan pasien yang
mengalami distress spiritual. Setelah mendapatkan responden, peneliti meminta
kesediaan responden menjadi sampel penelitian dengan terlebih dahulu
menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian terhadap responden. Bagi
responden yang bersedia menjadi sampel penelitian diminta untuk
menandatangani lembar informed consent. Setelah itu responden diminta mengisi
kuisioner dan responden menjawab sesuai dengan keadaan yang dialaminya saat
itu. Selesai mengisi lembar kuisioner selanjutnya data yang terkumpul dianalisa.
4.8. Analisa Data
Analisa data dilakukan setelah semua data dalam kuisioner dikumpulkan,
data yang diperoleh diolah dengan menggunakan komputer melalui beberapa
tahap sebagai berikut: editing yaitu memeriksa kelengkapan data yang diperoleh
atau dikumpulkan serta memastikan bahwa semua jawaban sudah diisi, kemudian
data yang sesuai diberikan kode (coding). Pemberian kode sangat penting bila
pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Kemudian memasukkan
Pengolahan data dilakukan dengan analisis data univariat yaitu untuk menganalisa
data demografi dan karakteristik distress spiritual dalam bentuk tabel distribusi
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
karakteristik responden dan karakteristik distress spiritualitas pada Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data
dilakukan pada tanggal 16 Juni 2016 sampai 15 Juli 2016 terhadap 58 responden
dengan memberikan kuisioner.
5.1.1. Distribusi Karakteristik Data Demografi Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden berusia
26-35 tahun sebanyak 33 orang (56,9 %), jenis kelamin laki-laki sebanyak 36
orang (62,1%) dan perempuan sebanyak 22 orang (37,9%). Mayoritas
responden bersuku batak sebanyak 42 orang (72,4 %), agama kristen
sebanyak 34 orang (58,6%) dan islam sebanyak 23 orang (39,7%).
Selanjutnya dari tingkat pendidikan terakhir responden dengan
pendidikan SMP sebanyak 12 orang (20,7%), SMA sebanyak 39 orang
(67,2%) dan perguruan tinggi sebanyak 7 orang (12,1%). Umumnya
responden dengan status perkawinan adalah kawin yaitu sebanyak 34 orang
(58,6%) dan pekerjaan paling banyak adalah poin lainnya yaitu sebanyak 22
orang (37,9%).
5.1.2. Karakteristik Distress Spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA)
Tabel 5.2. menunjukkan bahwa sebanyak 30 orang responden (51,7%)
merasa sia-sia hidup di dunia, 29 orang responden (50%) merasa marah
pada diri sendiri dan sebanyak 29 orang responden (50%) mengatakan tidak
dapat menerima kondisinya saat ini.
Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress
Spiritual dari Aspek Hubungan dengan Diri Sendiri (n=58)
No Pernyataan Hubungan dengan Diri Sendiri
5 Saya tidak dapat menerima kondisi saya saat ini
8 Saya merasa sia-sia hidup di dunia ini
Tabel 5.3. menunjukkan bahwa sebanyak 31 orang responden (53,4%)
merasa diasingkan dan 30 orang responden (51,7%) memisahkan diri dari
kelompok agama di masyarakat.
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress
Spiritual dari Aspek Hubungan dengan Orang Lain (n=58)
No Pernyataan Hubungan
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak suka
dengan alam (lingkungan, tumbuhan, hewan peliharaan) yaitu sebanyak 33
orang responden (56,9%).
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress
Spiritual dari Aspek Hubungan denganSeni, Musik, Literatur,
Tabel 5.5. menunjukkan bahwa sebanyak 38 orang responden (65,5%)
tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri dan sebanyak 38 orang
responden (65,5%) merasa menderita dengan kondisinya saat ini.
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentasi Karakteristik Distress
Spiritual dari Aspek Hubungan dengan Kekuatan yang Lebih
Besar (Tuhan) (n=58) kegiatan keagamaan yang saya lakukan
9 Saya ingin/saya butuh nasehat dari pemimpin agama
32 (55,2) 26 (44,8)
10 Saya mengalami perubahan dalam kegiatan keagamaan
36 (62,1) 22 (37,9)
Berdasarkan jawaban pada setiap pernyataan dari keempat aspek
karakteristik distress spiritual didapatkan hasil bahwa karakteristik distress
spiritual kebanyakan berada pada aspek hubungan dengan Tuhan yaitu pada
karakteristik tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri dan
5.2. Pembahasan
Pasien yang mengalami distress spiritual mungkin berkata mereka patah hati
atau semangat mereka runtuh, mungkin bercerita tentang perasaan ditinggalkan
Tuhan atau sesama, atau meragukan kepercayaan keagamaan atau spiritual.
Seorang pasien mungkin berkata tidak tahu mengapa menderita penyakit tersebut
(Davidhizar et al, 2000 dalam Young dan Koopsen, 2007).
Berdasarkan penelitian Armiyati, Rahayu, dan Aisah (2015) pada komunitas
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Semarang dengan jumlah responden 9 orang
didapatkan bahwa ketika didiagnosis HIV/AIDS pertama kali semuanya merasa
kaget, takut, marah, jengkel, malu, sedih dan tidak percaya diri. Studi kualitatif
mengindikasikan bahwa individu dengan HIV/AIDS akan berakibat buruk pada
spiritualitasnya setelah mengetahui bahwa mereka terdiagnosis HIV/AIDS
(Tarakeshwar, et al, 2006 dalam Trevino, et al 2010).
Hasil penelitian Ironson et al (2006) memaparkan bahwa 45% dari sampel
penelitian menunjukkan peningkatan spiritualitas setelah didiagnosa HIV, 42%
tetap sama, dan 13% mengalami penurunan spiritualitas. Hal ini bertentangan
dengan hasil penelitian Cotton, Tsevat, Szaflarski, et al (2006) mengenai
perubahan religiositas dan spiritualitas dikaitkan dengan HIV/AIDS didapatkan
hasil bahwa 88 sampel (25%) melaporkan menjadi lebih religius dan 142 (41%)
melaporkan menjadi lebih rohani sejak didiagnosa HIV/AIDS.
Berdasarkan penelitian Cotton, Puchalski, Sherman, et al (2006) terhadap
450 pasien HIV/AIDS mengenai spiritualitas dan agama pada pasien dengan
strategi koping agama yang positif misalnya mencari cinta dan pemeliharaan
Allah daripada strategi koping yang negatif misalnya bertanya-tanya apakah
Tuhan telah meninggalkan saya. Penelitian Cotton, dkk (2006) juga menemukan
bahwa jumlah pasien yang menyalahkan Tuhan lebih sedikit dibanding yang
mendekatkan diri pada Tuhan. Didapat kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa
kebanyakan pasien HIV/AIDS menggunakan agama mereka untuk mengatasi
penyakit yang dialami, pasien lebih optimis, harga diri lebih besar dan kepuasan
hidup yang lebih besar.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik distress spiritual pada
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan paling
banyak pada aspek hubungan dengan Tuhan yaitu sebanyak 38 orang responden
menjawab ya pada pernyataan tidak mampu menginstrospeksi/menilai diri sendiri
dan pernyataan merasa menderita dengan kondisi saat ini. Hasil ini didukung oleh
rujukan teori yang menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri khusus dari distress
spiritual adalah amarah pada Tuhan (Benedict, 2002; Taylor, 2002 dalam Young
dan Koopsen, 2007).
Berdasarkan aspek hubungan dengan diri sendiri mayoritas karakteristik
distress spiritualitas pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) berada pada item
kurangnya makna hidup yaitu sebanyak 30 orang (51,7%) menjawab ya pada
pernyataan merasa sia-sia hidup di dunia, ini merupakan salah satu tanda perilaku
maladaptif ekspresi pemenuhan kebutuhan spiritual (Hamid, 2009). Hal ini
didukung berdasarkan penelitian Hardiansyah, Amiruddin, dan Asyad (2014)
terhadap 21 responden ODHA mengenai kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS
responden sering merasa takut akan masa depan dan 38,1% responden biasa
merasakan khawatir akan kematian yang akhirnya menimbulkan perasaan sia-sia
hidup di dunia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik distress spiritual
berdasarkan aspek hubungan dengan orang lain paling banyak berada pada
karakteristik mengungkapkan rasa terasing yaitu dapat dilihat sebanyak 31 orang
(53,4%) menjawab ya pada pernyataan merasa diasingkan. Menurut asumsi
peneliti hal ini dapat diakibatkan karena sebagian dari pasien ODHA di rumah
sakit dirawat diruang yang berbeda dengan pasien lain sehingga kemungkinan
akan menimbulkan perasaan diasingkan dari pasien lain. Diagnosis HIV/AIDS
yang dialami pasien tentunya dapat menimbulkan banyak stres, gangguan emosi
saat kelebihan beban oleh tuntutan pemberian perawatan, mengalami keterasingan
atau stigmatisasi (WHO, 2006).
Berdasarkan penelitian Ahwan (2014) mengenai stigma dan diskriminasi
HIV & AIDS pada Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) ditemukan
bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi HIV yang terjadi baik dalam ruang keluarga
sampai pada ruang publik. Beberapa kasus yang terjadi adalah sebagai berikut.
Pertama, stigma dan diskriminasi pada ODHA yang terjadi dalam keluarga.
Keluarga menjadi tempat pertama stigma dan diskriminasi ODHA terjadi.
Keluarga seharusnya menjadi tempat yang memberikan ketenangan dan
perlindungan pada ODHA bukan malah justru sebaliknya. Keluarga malah
memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai
Kedua, stigma dan diskriminasi pada ODHA yang terjadi dimasyarakat
Dalam konteks ini tindakan stigmatisasi dan diskriminasi HIV dan AIDS
seringkali terjadi dimana masyarakat merasa takut ketika harus melakukan
kegiatan sosial keagamaan dengan ODHA. Tindakan stigmatisasi dan
diskriminasi pada ODHA inilah yang seringkali menjadikan ODHA merasa
frustasi, merasa diasingkan dan dendam terhadap semua orang.
Menurut penelitian Cotton, Tsevat, Szaflarski, et al (2006) mengenai
perubahan religiositas dan spiritualitas dikaitkan dengan HIV/AIDS didapatkan
hasil bahwa sekitar 1 dari 4 peserta juga melaporkan bahwa mereka merasa lebih
terasing oleh kelompok agama. Hal ini bertentangan dengan penelitian Cotton,
Puchalski, Sherman, et al (2006) terhadap 450 pasien HIV/AIDS mengenai
spiritualitas dan agama pada pasien dengan HIV/AIDS dimana sebagian besar
pasien menunjukkan bahwa spiritualitas merupakan faktor penting dalam
kehidupan mereka yaitu 23% pasien menghadiri layanan keagamaan seminggu
sekali atau lebih sering.
Dari hasil penelitian ini didapat karakteristik distress spiritual berdasarkan
aspek hubungan dengan seni, musik, literatur, alam paling banyak berada pada
karakteristik tidak berminat/tertarik pada alam yaitu sebanyak 33 orang (56,9%)
menjawab ya pada pernyataan saya tidak suka dengan alam (tumbuhan,
lingkungan dan hewan peliharaan). Berdasarkan aspek hubungan dengan Tuhan
didapat hasil karakteisitk distress spiritual pada pasien ODHA yaitu sebanyak 38
orang responden menjawab ya pada pernyataan tidak mampu
menginstrospeksi/menilai diri sendiri dan pernyataan merasa menderita dengan
khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan. Pasien biasa
mengalami masalah finansial, berduka berkepanjangan, frustasi, merasa bersalah,
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan dan
saran mengenai karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) di RSUP Haji Adam Malik Medan.
6.1. Kesimpulan
Karakteristik distress spiritual pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
paling banyak pada aspek hubungan dengan Tuhan. Karakteristik distress spiritual
berdasarkan aspek hubungan dengan diri sendiri paling banyak berada pada
karakteristik kurangnya makna hidup. Karakteristik distress spiritual berdasarkan
aspek hubungan dengan orang lain paling banyak berada pada karakteristik
mengungkapkan rasa terasing. Karakteristik distress spiritual berdasarkan aspek
hubungan dengan seni, musik, literatur, alam paling banyak berada pada
karakteristik tidak berminat/tertarik pada alam. Karakteristik distress spiritual
berdasarkan aspek hubungan dengan Tuhan paling banyak berada pada
karakteristik ketidakmampuan untuk introspeksi diri dan merasakan penderitaan.
6.2. Saran
6.2.1. Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian yang diperoleh dapat dijadikan bahan evaluasi bagi
praktik keperawatan dalam meningkatkan mutu asuhan keperawatan
melalui pendidikan kesehatan dan kolaborasi. Bagi perawat sebagai orang
yang dekat dengan pasien di rumah sakit hendaknya memberikan asuhan
keperawatan terkait dengan distress spiritual untuk meningkatkan
Dalam melaksanakan spiritual care yaitu perawat perlu mendengarkan
pasien, perawat perlu hadir setiap saat untuk pasien. Membantu berdoa
atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan keperawatan
terkait spiritual pasien, menghubungi atau merujuk pasien kepada pemuka
agama, perawat dan pemuka agama dapat bekerja sama untuk memenuhi
kebutuhan spiritual pasien.
6.2.2. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
pendidikan keperawatan tentang distress spiritual dan Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) sehingga perawat dapat melakukan asuhan
keperawatan secara holistik dan komprehensif kepada pasien ODHA
dengan distress spiritual.
6.2.3. Bagi peneliti lain
Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
acuan untuk penelitian yang lebih mendalam mengenai variabel distress
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Spiritualitas
2.1.1. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas diartikan sebagai keyakinan dalam hubungannya dengan
Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Pencipta (Hamid, 2009). Menurut
Mickey, et al (1992 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritualitas
adalah suatu hal yang multidimensi yaitu dimensi eksistensial dan dimensi
agama. Dimensi eksistensial lebih berfokus pada makna dan tujuan hidup
sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Yang
Maha Pencipta atau Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya, Stoll (1998 dalam Kozier et al, 1995) menjelaskan bahwa
spiritualitas adalah konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi
horizontal. Dimensi vertikal adalah hubunganya dengan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Dimensi horizontal adalah hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain dan juga lingkungan. Sementara itu menurut Dossey, et al (2000 dalam
Young dan Koopsen, 2007) spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan
bagaimana manusia bisa hidup di dunia. Spiritualitas dapat diartikan seperti
nafas yang sangat berarti bagi kehidupan manusia.
Spiritualitas juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang dipercaya oleh
seseorang dalam hubungannya dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan)
yang menimbulkan suatu kebutuhan, serta rasa cinta terhadap adanya Tuhan
dan permohonan maaf atas kesalahan yang pernah diperbuat (Hidayat,
2.1.2. Aspek Spiritualitas
Menurut Burkhardt (1993 dalam Hamid, 2009) spiritualitas terdiri dari
berbagai aspek, yaitu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau
ketidakpastian dalam hidup, menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari
kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri
dan yang terakhir mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan
dengan Yang Maha Tinggi.
2.1.3. Dimensi Spiritualitas
Stoll (1998 dalam Hamid, 2009) menguraikan bahwa spiritual terdiri
dari dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi
vertikal adalah hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang
menuntun kehidupan manusia sedangkan dimensi horizontal adalah
hubungannya dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan atau alam.
2.1.4. Karakteristik Spiritualitas
Karakteristik spiritual menggambarkan bagaimana keadaan spiritual
seseorang. Terdapat beberapa karakteristik spiritualitas yaitu sebagai berikut
(Hamid, 2009).
2.1.4.1. Hubungan dengan Diri Sendiri
Hubungan dengan diri sendiri meliputi tentang pengetahuan diri
yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya serta mengenai sikap
yang menyangkut percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan
masa depan, ketenangan pikiran, harmoni atau keselarasan dengan diri
2.1.4.2. Hubungan dengan Alam
Hubungan dengan alam harmonis dan selaras yaitu mengetahui
tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim serta melindungi alam dan
berkomunikasi dengan alam contohnya bertanam dan berjalan kaki.
2.1.4.3. Hubungan dengan Orang Lain
Hubungan ini dibagi atas harmonis dan tidak harmonisnya
hubungan dengan orang lain. Hubungan yang harmonis meliputi
berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik,
mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang sakit, serta meyakini
kehidupan dan kematian contohnya dengan mengunjungi, melayat,
dan lain-lain. Apabila hubungannya tidak harmonis maka akan terjadi
konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dan friksi.
2.1.4.4. Hubungan dengan Ketuhanan
Hubungan dengan ketuhanan dapat dilihat pada orang-orang
agamis atapun tidak agamis. Dalam hal ini meliputi tindakan individu
dalam praktik ibadahnya seperti sembayang, berdoa, meditasi.
2.1.5. Fungsi Spiritualitas
Spiritualitas menjadi sumber dukungan, pada saat individu mengalami
stress maka individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya.
Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima sakit yang dialami,
khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang
lama dengan hasil yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca
kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh
(Hamid, 2009).
Spiritualitas juga menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan. Miller
(1995 dalam Young dan Koopsen, 2007) mengatakan bahwa spiritualitas
merupakan daya semangat, prinsip hidup atau hakikat eksistensi manusia.
Menurut Burkhardt dan Nagai-Jacobson (2002 dalam Young, 2007)
spiritualitas dan penyembuhan berkaitan sangat erat kaitannya.
Penyembuhan merupakan proses spiritual yang bertujuan agar seseorang
sehat. Penyembuhan terjadi sepanjang waktu, berlanjut sepanjang perjalanan
hidup manusia dan menjadi cara hidup yang mengalir dari mencerminkan
dan memelihara jiwa. Penyembuhan bersifat spiritual, tak tampak dan
eksperiensial (dialami), yang mengintegrasikan tubuh, jiwa dan spirit.
2.1.6. Pengaruh Budaya pada Spiritual
Martsolf (1997 dalam Young &Koopsen, 2007) mengemukakan
bahwa spiritualitas dapat dipengaruhi oleh budaya maupun pengalaman
pribadi yang berlawanan dengan norma budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai
yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya.
Pada umumnya, seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk
nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan.
Setiap kebudayaan memiliki sistem kepercayaanya sendiri. Sistem
menentukan siapa yang mereka imani, budaya mempengaruhi cara manusia
menghadapi hidup, kematian, kelahiran, mengandung, membesarkan anak,
sakit, dan relasi (Hitchcock, et al 1999 dalam Young & Koopsen, 2007).
2.1.7. Peran Perawat dalam Kesehatan Spiritual
Dahulu spiritual care belum dianggap sebagai suatu dimensi nursing
terapeutik, tetapi dengan munculnya Holistic Nursing maka Spiritual care
menjadi aspek yang harus diperhatikan dan pengkajian kebutuhan spiritual
pasien berkembang dan dikenal sebagai aktivitas-aktivitas legitimasi dalam domain keperawatan (O’Brien, 1999). Perawat selalu hadir ketika seseorang
sakit, kelahiran, dan kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut kebutuhan
spiritual sering menonjol, dalam hal ini perawat berperan untuk memberikan
spiritual care (Cavendish, 2003).
Baldacchino (2006) meyimpulkan bahwa perawat berperan dalam
proses keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa
keperawatan, menyusun rencana dan implementasi keperawatan serta
melakukan evaluasi kebutuhan spiritual pasien. Perawat juga berperan
dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya dan organisasi
2.1.8. Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Himle (1996) dalam Hamid
(2009) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang
adalah sebagai berikut:
Tahap perkembangan, berdasarkan hasil penelitian terhadap
anak-anak dengan empat agama yang berbeda, ditemukan bahwa mereka
mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda
menurut usia, seks, agama dan kepribadian anak. Mereka mempersepsikan
Tuhan dalam bentuk atau hal yang berbeda-beda, contohnya gambaran
tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling
keterikatan dengan kehidupan. Ada yang mempercayai bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut menghadapi kekuasaan
Tuhan, dan ada juga anak-anak yang menggambarkan Tuhan itu adalah
gambaran cahaya atau sinar.
Keluarga, peran orang tua sangat berpengaruh dalam menentukan
perkembangan spiritualitas anak. Perlu diperhatikan, hal yang penting itu
adalah bukan apa yang diajarkan oleh orang tua terhadap anaknya mengenai
Tuhan, tetapi apa yang anak peajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri
sendiri dari perilaku orang tua mereka. Keluarga dan orang tua adalah
lingkungan terdekat dan pengalaman pertama bagi anak untuk
mempersepsikan kehidupan di dunia.
Latar belakang etnik dan budaya, sikap, keyakinan, dan nilai yang
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk
nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk
kegiatan keagamaan.
Pengalaman hidup sebelumnya, pengalaman hidup yang baik dan
buruk dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang. Sebaliknya juga dapat
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual kejadian
atau pengalaman tersebut. Sebagai contoh, dua orang ibu yang percaya
dengan adanya Tuhan dan percaya bahwa Tuhan mencintai umatnya
kehilangan anak yang mereka cintai karena kecelakaan. Salah satu dari
mereka bereaksi dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan tidak mau
sembahyang lagi. Sebaliknya ibu yang satunya lagi akan terus berdoa dan
meminta Tuhan membantunya untuk bisa menerima kehilangan anaknya.
Krisis dan perubahan, krisis dan perubahan dapat menguatkan
kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang
menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, bahkan
kematian khususnya pada pasien dengan penyakit terminal. Perubahan
dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman
spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisik dan emosional. Krisis
dapat berhubungan dengan perubahan patofisiologi, terapi atau pengobatan
dan situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit pada
umumnya akan menimbulakan pertanyaan tentang sistem kepercayaan
seseorang.
Terpisah dari ikatan spiritual, menderita sakit terutama yang
sistem dukungan sosial. Individu yang dirawat merasa terisolasi dalam
ruangan yang asing baginya dan merasa tidak nyaman. Dengan dirawatnya
individu maka akan terjadi perubahan pada kebiasaan hidup sehari-hari
contohnya tidak dapat menghadiri suatu acara, tidak dapat mengikuti
kegiatan keagamaan, ataupun tidak dapat berkumpul dengan keluarga atau
teman dekat yang biasa memberi dukungan setiap saat diinginkan.
Terpisahnya klien dari kegiatan spiritual dan orang-orang di sekitarnya
dapat beresiko terjadinya perubahan spiritual pada klien.
Isu moral terkait dengan terapi, pada sebagian agama, proses
penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan menunjukkan kebesarannya
walaupun ada juga sebagian yang menolak proses pengobatan. Prosedur
medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama misalnya
transplantasi organ, pencegahan kehamilan.
Asuhan keperawatan yang kurang sesuai, ketika memberikan
asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka terhadap
kebutuhan spiritual klien dan mampu memberikan asuhan spiritual kepada
klien. Tetapi ada berbagai alasan yang membuat perawat tidak mampu dan
menghindar dalam memberikan asuhan spiritual kepada klien. Alasan
tersebut antara lain perawat kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya,
menganggap kurang pentingnya kebutuhan spiritual, merasa pemenuhan
spiritual hanya diberikan oleh pemuka agama atau mungkin belum
2.1.9. Kebutuhan Spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahanakan atau
mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai dan
menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan juga
dapat diartikan sebagai kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan
untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan maaf dan
mendapat maaf (Carson, 1989 dalam Hamid, 2009).
Masalah yang sering terjadi pada pemenuhan kebutuhan spiritual
adalah distress spiritual, yang merupakan suatu keadaan ketika individu atau
kelompok mengalami atau beresiko mengalami gangguan dalam
kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, harapan dan
arti kehidupan (Hidayat, 2009).
2.2. Distres Spiritual
2.2.1. Definisi Distress Spiritual
Menurut Bergren-Thomas dan Griggs (1995 dalam Young &
Koopsen, 2007) menjelaskan bahwa distress spiritual adalah suatu keadaan
dimana seseorang mengalami gangguan atau kekacauan nilai dan keyakinan
yang biasanya memberikan kekuatan, harapan dan makna hidup. Menurut
Herdman & Kamitsuru (2014) dijelaskan bahwa distress spiritual
merupakan suatu keadaan penderitaan yang terkait dengan gangguan
kemampuan untuk mengalami makna dalam hidup melalui hubungan
dengan diri sendiri, orang lain, dunia atau alam dan kekuatan yang lebih
Distress spiritual atau krisis spiritual terjadi ketika seseorang tidak
dapat menemukan makna dan tujuan hidup, harapan, cinta, kedamaian atau
kekeuatan dalam hidup mereka. Krisis ini bisa terjadi saat seseorang
mengalami ketiadaan hubungan dengan hidup, sesama, alam dan ketika
situasi hidup bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya
(Anandarajah dan Hight, 2001 dalam Young dan Koopsen, 2007).
Distress spiritual mengacu pada tantangan dari kesejahteraan spiritual
atau sistem kepercayaan yang memberikan kekuatan, harapan dan arti hidup
(Carpenito 2002 dalam Kozier et al, 2004). Pendapat lain menjelaskan
bahwa distress spiritual merupakan masalah yang sering terjadi pada
pemenuhan kebutuhan spiritual (Hidayat, 2009). Kebutuhan spiritual yang
dimaksud yaitu kebutuhan untuk mencari makna dan tujuan hidup,
kebutuhan mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memberi maaf dan
dimaafkan (Hamid, 2009).
2.2.2. Ciri-ciri Khusus Distress Spiritual
Menurut Benedict dan Taylor (2002, dalam Young dan Koopsen,
2007) ciri-ciri khusus dari distress spiritual meliputi hal berikut: pertanyaan
tentang implikasi moral/etis dari aturan terapeutik, perasaan tidak bernilai,
kepahitan, penolakan, rasa salah dan rasa takut, mimpi buruk, gangguan
tidur, anorexia, keluhan somatis, pengungkapan konflik dalam batin atas
kepercayaan yang dihayati, ketidakmampuan dalam berpartisipasi dalam
praktik keagamaan yang biasa diikuti, mencari bantuan spiritual,
perasaan atau perilaku (marah, menangis, menarik diri, cemas, apatis dan
sebagainya), dan untuk yang terakhir menghindari humor.
2.2.3. Batasan Karakteristik Distress Spiritual
Menurut Herdman & Kamitsuru (2014) batasan karakteristik dari
distress spiritual yaitu sebagai berikut.
2.2.3.1. Hubungan dengan Diri Sendiri
Yang berhubungan dengan diri sendiri meliputi: marah,
kurangnya ketenangan atau kedamaian, perasaan tidak dicintai, rasa
bersalah, kurang dapat menerima atau kurang pasrah, koping yang
tidak efektif, tidak cukup tabah, mengungkapkan kurangnya makna
hidup.
2.2.3.2. Hubungan dengan Orang Lain
Berhubungan dengan orang lain meliputi: mengungkapkan rasa
terasing, menolak berinteraksi dengan pemimpin spiritual, menolak
berinteraksi dengan orang yang dianggap penting, pemisahan dari
sistem pendukung.
2.2.3.3. Hubungan dengan Seni, Musik, Literatur, Alam
Berhubungan dengan seni, musik, literatur, alam meliputi
ketidakmampuan mengungkapkan kondisi kreativitas sebelumnya
(misalnya menyanyi, mendengarkan musik ataupun menulis), dan
tidak berminat atau tertarik pada alam maupun membaca literatur
2.2.3.4. Hubungan dengan Kekuatan yang Lebih Besar
Berhubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya
meliputi mengungkapkan kemarahan terhadap kekuatan yang lebih
besar dari dirinya, merasa ditinggalkan, putus asa, ketidakmampuan
untuk introspeksi diri, ketidakmampuan untuk mengalami pengalaman
religiositas, ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan
keagamaan, ketidakmampuan untuk berdoa, merasakan penderitaan,
meminta menemui pemimpin keagamaan, dan mengalami perubahan
yang tiba-tiba dalam praktik spiritual.
Menurut Carpenito (2013) batasan karakteristik distress spiritual
dibagi berdasarkan mayor dan minor. Karakteristik mayor adalah
karakteristik yang harus ada pada distress spiritual yaitu klien mengalami
suatu gangguan dalam sistem keyakinan. Batasan karakteristik minor yaitu
karakteristik yang mungkin ada pada klien dengan distress yaitu (Carpenito,
2013) meliputi:
1. Mempertanyakan makna kehidupan, kematian, dan penderitaan
2. Mempertanyakan kredibilitas terhadap sistem keyakinan
3. Mendemonstrasikan keputusan atau kekecewaan
4. Memilih untuk tidak melakukan ritual keagamaan yang biasa
dilakukan
5. Mempunyai perasaan ambivalen (ragu) mengenai keyakinan
6. Mengungkapkan bahwa ia tidak mempunyai alasan untuk
8. Menunjukkan keterpisahan emosional dari diri sendiri dan
orang lain
9. Menunjukkan kekhawatiran-marah, dendam,
ketakutan-mengenai arti kehidupan, penderitaan, kematian
10.Meminta bantuan spiritual terhadap suatu gangguan dalam
sistem keyakinan.
2.2.4. Faktor yang Berhubungan Distress Spiritual
Menurut Anandarajah dan Hight (2001, dalam Young dan Koopsen,
2007) distress atau krisis spiritual dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan
mental dan sering diperburuk oleh penyakit medis atau takut mati. Faktor
tambahan lain yang berhubungan dengan distress spiritual meliputi (Taylor,
2002 dalam Young dan Koopsen 2007) : kehilangan orang yang dicintai,
rendahnya harga diri, penyakit mental, penyakit alamiah, penyakit fisik,
perasaan kehilangan sesaat, penyalahgunaan benda terlarang, reaksi yang
buruk dengan sesama, tekanan fisik atau psikologis, ketidakmampuan untuk
mengampuni, kekurangan mencintai diri sendiri dan yg terakhir kecemasan
ekstrem.
Menurut Herdman (2012) faktor yang berhubungan dengan distress
spiritual yaitu sebagai berikut: menjelang ajal, ansietas, sakit kronis,
kematian, perubahan hidup, kesepian, nyeyi, keterasingan diri maupun
2.2.5. Proses Keperawatan Distress Spiritual
Proses keperawatan distress spiritual terdiri dari 5 tahap yaitu:
1. Proses keperawatan – pengkajian. Pada proses pengkajian yaitu
dilakukan pengkajian terhadap keyakinan klien seperti sumber
kekuatan dan arti spiritual pada klien, mengkaji bagaimana kepuasan
atau pencapain hidup, hubungan dengan masyarakat, ritual dan
praktek keagamaan, pekerjaan dan harapan klien.
2. Proses keperawatan – diagnosa. Kesejahteraan spiritual sebaiknya
dipikirkan secara luas dan tidak terbatas pada agama. Semua orang
beragama, dalam arti bahwa mereka membutuhkan sesuatu yang
dapat memberikan arti dalam hidup mereka. Untuk sebagian orang
hal ini berarti percaya kepada Tuhan dalam arti tradisional, untuk
yang lainnya hal ini merupakan perasaan keselarasan dengan alam,
sementara yang lainnya lagi hal ini dapat keluarga dan anak-anak.
Ketika pasien percaya bahwa hidup tidak memiliki arti dan tujuan
hidup dalam arti apapun saat itulah terjadi distress spiritual.
3. Proses keperawatan – perencanaan. Pada proses perencanaan perlu
diperhatikan kolaborasi dengan klien dan keluarga akan pilihan
intervensi, konsul dengan pemimpin keagamaan, ritual spiritual dan
observasi.
4. Proses keperawatan – implementasi. Dalam melaksanakan spiritual
care yaitu perawat perlu mendengarkan pasien, perawat perlu hadir
keterbukaan pasien pada perawat. Promosi kesehatan yaitu
menyatakan pentingnya kebutuhan spiritual pada pasien. Membantu
berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan
keperawatan terkait spiritual pasien, menghubungi atau merujuk
pasien kepada pemuka agama, perawat dan pemuka agama dapat
bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien.
5. Proses keperawatan – evaluasi. Untuk melengkapi siklus proses
keperawatan spiritual pasien, perawat harus melakukan evaluasi
yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini sulit
dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih
kompleks. Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang
telah dilakukan tampaknya menjadi cara yang baik untuk
mengevaluasi spiritual care pasien (Govier, 2000).
2.3. HIV/AIDS
2.3.1. Definisi HIV/AIDS
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus dalam
bahasa indonesia yang berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh
manusia. Virus ini termasuk RNA virus genus Lentivirus golongan
retrovirus famili retroviridae. Spesies HIV-1 dan HIV-2 merupakan
penyebab infeksi HIV pada manusia (Soedarto, 2010). Jadi, HIV adalah
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian
menimbulkan AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih
yang berfungsi untuk kekebalan tubuh. Virus HIV ditemukan dalam darah,
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immune Deficiency
Syndrome. Acquired berarti didapat bukan keturunan, immune terkait
dengan sistem kekebalan tubuh, deficiency berarti kekurangan dan
syndrome berarti penyakit dengan kumpulan gejala bukan gejala tertentu.
Maka AIDS dapat sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang didapat bukan karena
keturunan, tetapi disebabkan oleh virus HIV (Maryunani & Aeman, 2009).
Menurut Djuanda (2007) AIDS atau sindrom kehilangan kekebalan
tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan
kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai jenis infeksi
bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik. Selain
itu penderita AIDS sering sekali menderita keganasan, khususnya sarkoma
kaposi dan limfoma yang hanya menyerang otak.
Menurut Hermawan (2006) AIDS adalah sindrom atau kumpulan
gejala yang disebabkan oleh HIV yang mudah menular dan mematikan.
Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh, dengan akibat turunnya /
hilangnya daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terjangkit dan meninggal
karena penyakit infeksi, keganasan dan lain-lain.
2.3.2. Penyebab HIV/AIDS
Beberapa peneliti sependapat bahwa penyebab AIDS adalah sejenis
retrovirus yang disebut Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) atau
T-dkk pada tahun 1983 di Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh
Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini
ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah. Sebuah penelitian pada 200
monyet hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa
menimbulkan penyakit. HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 yang merupakan
peyebab infeksi HIV pada manusia (Djuanda, 2007).
HIV diklasifikasikan sebagai retrovirus, yaitu virus asam ribonukleat
(RNA). Retrovirus memiliki enzim yang disebut transkriptase balik yang
memberikan kemampuan untuk mengubah kode RNA mereka menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA). Kemudian, DNA retrovirus berintegrasi ke dalam
DNA sel inang sehingga membuat sel inang menjadi pabrik HIV. Pada
manusia, yang berperan sebagai sel inang adalah sistem imun dan dikenal
sebagai sel cluster of differentiation 4 (CD4) (French, 2015).
2.3.3. Cara penularan HIV/AIDS
Cairan tubuh yang dapat mengandung HIV yakni air mani, darah,
cairan vagina, air susu ibu, air mata, air liur, air seni, air ketuban dan cairan
serebrospinal. Akan tetapi yang potensial sebagai media penularan hanya air
mani, darah, dan cairan vagina. Hingga saat ini cara penularan yang
diketahui ialah melalui hubungan seksual, darah, dan secara perinata yakni
dari ibu ke bayi yang dikandungnya (Hermawan, 2006).
Menurut French (2015) HIV bukan fenomena yang terjadi secara
alamiah, virus ini harus ditransmisikan dari mana pun agar seseorang dapat
terinfeksi. Transmisi HIV dapat terjadi baik melalui kontak seksual, via