• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindrom Depresif Pada Penderita HIV/AIDS Di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sindrom Depresif Pada Penderita HIV/AIDS Di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam

Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

JUWITA SARAGIH

DEPARTEMEN PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha

Pengasih Lagi Maha Penyayang, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat Rida dan Karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas yang ada sebelumnya dan memenuhi salah satu syarat untuk melengkapi keahlian dalam bidang Ilmu

Kedokteran Jiwa. Sebagai manusia terutama sebagai pelajar dalam pendidikan, saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari

sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :

“Sindrom Depresif Pada Penderita HIV/AIDS

di RSUP Haji Adam Malik Medan”

Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. dr. Syamsir BS, Sp. KJ (K), sebagai Ketua Departemen Psikiatri

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan dan sebagai pembimbing penulis dalam menyelesaikan penelitian ini, yang penuh

kesabaran dan perhatian telah membimbing dan memberi pengarahan, pengetahuan, dorongan, dukungan dan masukan-masukan yang berharga di dalam menyelesaikan tesis ini dan selama penulis mengikuti pendidikan

spesialisasi.

3. Prof. dr. Bahagia Loebis, Sp. KJ (K), sebagai Ketua Program Studi PPDS I

Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan guru penulis yang telah banyak membimbing, memberikan pengarahan, pengetahuan,

(3)

selama penulis menyelesaikan tesis ini dan mengikuti pendidikan

spesialisasi, baik dalam pertemuan formal maupun informal.

4. dr. Tambar Kembaren Sp.PD, sebagai pembimbing penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini, yang penuh kesabaran dan perhatian telah membimbing dan memberi pengarahan, pengetahuan, dorongan, dukungan

dan masukan-masukan yang berharga di dalam menyelesaikan tesis ini. 5. dr. Harun T. Parinduri, Sp. KJ (K), sebagai guru yang penuh kesabaran dan

perhatian telah membimbing dan memberi pengarahan, pengetahuan, dorongan, dukungan dan masukan-masukan yang berharga di dalam

menyelesaikan tesis ini dan selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

6. dr. Raharjo Suparto, Sp. KJ, sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan

spesialisasi.

7. dr. Marhanuddin Umar, Sp. KJ (K), sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama penulis mengikuti

pendidikan spesialisasi.

8. Prof. dr. M. Joesoef Simbolon, Sp. KJ (K), sebagai guru yang telah banyak

memberikan bimbingan dan pengetahuan selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi, terutama di bidang Psikiatri Anak.

9. dr. Elmeida Effendy, Sp. KJ, sebagai Sekretaris Program Studi PPDS I Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan guru penulis

yang telah banyak membimbing, memberikan pengarahan, pengetahuan, dorongan, dan dukungan, selama penulis mengikuti pendidikan spesialisasi.

10. dr. Mustafa M Amin, Sp.KJ, sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi.

11. dr. Vita Camelia, Sp.KJ, sebagai guru yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan selama saya mengikuti pendidikan spesialisasi. 12. dr. Donald F. Sitompul, Sp. KJ; dr. Rosminta Girsang, Sp. KJ; dr. Artina R.

Ginting, Sp. KJ; dr. Sulastri Effendi, Sp. KJ; dr. Mariati, Sp. KJ; dr. Evawati Siahaan, Sp. KJ; dr. Paskawani Siregar, Sp. KJ; dr. Citra J. Tarigan, Sp. KJ;

(4)

Sp. KJ, dr. Adhayani Lubis, Sp.KJ sebagai senior penulis yang telah

memberikan pengetahuan selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

13. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RSJD Pemerintah Propinsi

Sumatera Utara, Kepala Badan Pelayanan Kesehatan RS dr. Pirngadi Medan, Direktur RS Tembakau Deli Medan, yang telah memberikan izin,

kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk belajar dan bekerja selama mengikuti pendidikan spesialisasi.

14. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp. S (K), sebagai Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dr. Rusli Dhanu, Sp. S (K),

sebagai Ketua Program Studi PPDS I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp. S (K), dan dr.

Puji PO. Sinurat, Sp. S, yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani stase di Departemen

Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

15. Prof. dr. Habibah Hanum Nasution, Sp. PD (K), sebagai Kepala Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membimbing penulis selama menjalani stase di Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

16. dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes, sebagai konsultan statistik dalam penelitian

ini, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penelitian ini.

17. Teman-teman sejawat peserta PPDS I Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara : dr. Evalina P, dr. Yusak PS, dr. Friedrich Lupini,

dr. Rudyhard EH, dr. Laila Sylvia S, dr. M. Surya Husada, dr. Silvy AH, dr. Victor EP, dr. Siti Nurul H, dr. Lailan Sapinah, dr. Herny TT, dan dr. Mila AH,

dr. Ira Dania, dr. Ricky W Tarigan, dr. Baginda H, dr. M. Yusuf yang telah banyak memberikan masukan berharga kepada penulis melalui diskusi-diskusi dan kritik-kritik baik dalam pertemuan formal maupun informal, serta

selalu memberikan dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini.

(5)

Utara, yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan

spesialisasi.

19. Kedua orangtua penulis yang sangat penulis hormati dan sayangi : Mukhtar

Saragih, SH dan Asni Purba, demikian juga kepada adik-adik penulis, yang telah memberi dorongan, semangat dan doa.

20. Kepada Mertua: H. Pahala Siahaan dan Hj. Fatimah Tambunan, yang penulis hormati dan sayangi, demikian juga kakak dan adik ipar serta keponakan

yang telah memberikan dorongan semangat dan doa kalian.

21. Buat suamiku tercinta Bakti Siahaan, SH, M.Hum, tiada kata terindah yang

dapat saya ucapkan selain rasa syukur kepada ALLAH SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberikan saya suami dan

anak-anak yang baik dan penuh pengertian. Terima kasih atas segala doa, dukungan, dorongan, semangat, kesabaran dan pengorbanan waktu yang

diberikan kepada saya.

Akhirnya penulis hanya mampu berdoa dan bermohon semoga Allah SWT

memberikan rahmat-Nya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang

telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2008 Penulis

(6)

ABSTRAK

Tujuan Penelitian : Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sindrom depresif pada penderita-penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner BDI dan tujuan khususnya adalah mengetahui apakah sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berbeda berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, stadium klinis HIV dan jumlah CD4, dan agar penderita-penderita HIV/AIDS yang memiliki sindrom depresif dapat dirujuk ke Departemen Psikiatri untuk mendapatkan penilaian dan perawatan lebih lanjut.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan studi cross sectional untuk menilai apakah terdapat sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dan apakah sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS tersebut berbeda berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, stadium klinis HIV dan jumlah CD4. Sampel adalah 100 penderita HIV/AIDS yang diambil secara consecutive sampling yang berobat di Poliklinik Pusyansus dan Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2008 sampai dengan Oktober 2008. Data-data dikumpulkan dengan cara seluruh sampel penelitian mengisi kuesioner Beck Depression Inventory (BDI), dan analisa statistik menggunakan uji hipotesis kai kuadrat, uji T independen dan annova.

Hasil Penelitian : Pada 100 penderita HIV/AIDS dijumpai mean skor BDI yang tertinggi adalah depresi sedang yaitu 22,7 (SD 4,0), depresi ringan adalah 12,9 (SD 1,6), tidak depresi adalah 6,4 (SD 2,2), depresi berat adalah 33,1 (SD 2,8), dan mean skor CD4 adalah 136,5 (SD 159,8). Terdapat hubungan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan kelompok pekerjaan, CD4 dan stadium klinis HIV. Tidak terdapat hubungan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan tempat tinggal.

Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan kelompok pekerjaan, CD4 dan stadium klinis HIV.

(7)
(8)
(9)

8.8. Sebaran Pekerjaan Dengan Sindrom Depresif...36

8.9. Sebaran Stadium Klinis HIV Dengan Sindrom Depresi...37

8.10. Sebaran Jumlah CD4 Dengan Sindrom Depresf...38

BAB 9. KESIMPULAN DAN SARAN...39

9.1. Kesimpulan...39

9.2. Saran...39

DAFTAR PUSTAKA...40

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Orang Yang Terinfeksi HIV Berdasarkan

Kategori CDC...9 Tabel 2. Klasifikasi CD4 Penderita HIV Berdasarkan Kategori CDC...10

Tabel 3. Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Status Perkawinan, Tempat Tinggal, Pekerjaan, Stadium Klinis HIV

dan Jumlah CD4...26 Tabel 4. Sindrom Depresif pada Penderita HIV/AIDS...…………...27

Tabel 5. Mean, Standard Deviation BDI dan CD4

Penderita HIV/AIDS…...28

Tabel 6. Sebaran Umur Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...28

Tabel 7. Sebaran Jenis Kelamin Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...29 Tabel 8. Sebaran Tingkat Pendidikan Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...29 Tabel 9. Sebaran Status Perkawinan Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...30 Tabel 10. Sebaran Tempat Tinggal Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...30 Tabel 11. Sebaran Pekerjaan Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...31 Tabel 12. Sebaran Stadium Klinis HIV dengan Sindrom Depresif...31

Tabel 13. Sebaran Jumlah CD4 Penderita HIV/AIDS dengan

Sindrom Depresif...32

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hubungan Antara Depresi Dengan HIV...15

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome ARS : Acute Retroviral Syndrome

ARV : Anti Retro Viral

BDI : Beck Depression Inventory

CES-D : Center for Epidemiologic Studies Depression Scale CDC : Centers of Disease Control and – prevention CD4 : Cluster Differentiation 4

CNS : Central Nervous System

DSM : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder df : degree of freedom

ECA : Epidemiologic Catchment Area Study ELISA : Enzym Linked Immuno Sorbent Assay

FK-USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara HRS-D : Hamilton Rating Scale for Depression

HIV : Human Immunodeficiency Virus

HIV-1 : Human Immunodeficiency Virus Type 1 HTLV-III : Human T Limphotropic Virus Type III IFA : Immunofluorescent Assay

LAV : Lymphadenopathy Virus

MACS : The Multicenter AIDS Cohort Study NIMH : National Institute of Mental Health PPC : Pneumonia Pneumocystis Carinii PCR : Polymerase Chain Reaction PTSD : Post Traumatic Stress Disorder

P2MPLP : Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan Pemukiman PUSYANSUS : Pusat Pelayanan Khusus

(12)

RIPA : Radio Immuno Precipitation Assay SD : Standard Deviation

SSP : Susunan Saraf Pusat

SK : Sarkoma kaposi

WHO : World Health Organization

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1... 44

Lampiran 2... 48

Lampiran 3... 49

Lampiran 4... 50

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit-penyakit infeksi merupakan satu masalah yang paling besar di

dunia, sementara mortalitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) itu sendiri menduduki peringkat kedua.1 Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari

HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi,

pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain HIV/AIDS menyebabkan krisis multi dimensi.2

Kasus pertama AIDS telah dilaporkan pada tahun 1981. Analisis

spesimen diambil dari orang yang telah meninggal sebelum tahun 1981, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa infeksi HIV telah ada diawal tahun

1959 3 dan selanjutnya penemuan kasus terus berkembang sampai saat ini.4,5 Sejak AIDS dikenal pada awal tahun 1980an, sebanyak 65 juta individu terinfeksi

dengan virus dan lebih dari 25 juta orang meninggal. Perkiraan sekarang menyatakan bahwa 64% dari 38.6 juta orang HIV positif di seluruh dunia berada

di Afrika Sub-Sahara.6

Infeksi HIV di Indonesia sudah merupakan masalah kesehatan yang

memerlukan perhatian. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia dalam 4 tahun terakhir telah berubah dari low level epidemic menjadi concentrated level epidemic.7 Menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP) Departemen Kesehatan Republik Indonesia jumlah pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan dari 1 Juli 1987 sampai

dengan Maret 2008 angka kumulatif per 100.000 penduduk nasional sebesar 5,23 dengan jumlah keseluruhan 17.998 orang, dimana 11.868 penderita AIDS

dan 6130 penderita HIV.8

Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang

kompleks. Menjadi terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai konsekuensi psikologis dari infeksi atau karena efek dari virus HIV

(14)

Perjalanan penyakit AIDS yang progresif dan berakhir dengan kematian, serta

penyebaran yang cepat, adanya stigma dan diskriminasi terhadap penderita dapat menimbulkan keadaan stres dan gangguan psikiatrik pada penderita

tersebut.10,11 Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ganggguan psikiatrik pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS adalah antara 30% - 60%.11 Berbagai gangguan psikiatrik yang sering menyertai penyakit HIV/AIDS antara lain depresi, ansietas, post traumatic stress disorder (PTSD), dan lain-lain.9,11 Diagnosa yang paling banyak adalah depresi berat, ansietas, dan gangguan penyesuaian, walaupun tidak ada bukti insidensi yang tinggi dari psikosis pada infeksi HIV.12

Depresi berkenaan dengan keadaan psikiatrik yang paling umum pada

orang dengan infeksi HIV.13 Prevalensi gangguan depresi berat pada penderita dengan HIV positif adalah 2 – 3 kali lebih tinggi daripada populasi umum.14,15 Pada pasien yang dirawat, angka ini lebih tinggi lagi (sekitar 40%).16 Bing et al menyatakan secara keseluruhan, angka depresi diantara orang-orang dengan infeksi HIV adalah mencapai 50%.13 Acuff et al menemukan diantara pasien-pasien yang terinfeksi HIV yang diarahkan untuk evaluasi psikiatrik, rata-rata mengalami depresi berat berkisar dari 8% - 67%, dan Stolar et al menemukan

hingga 85% individu dengan HIV positif melaporkan beberapa gejala-gejala depresi.14 Penelitian lainnya yang diadakan pada klinik spesialis HIV pusat perawatan kesehatan tersier (tertiary health care centre) di India Selatan melaporkan 10% - 40% individu dengan HIV positif menderita depresi.9,14 Diantara pasien-pasien yang depresi, 20% menunjukkan harapan untuk mati, dan 12% dilaporkan kadang-kadang muncul ide-ide suicide sedangkan 8%

melakukan percobaan hingga commit suicide.9

Pada laporan 3 penelitian dan membandingkan dengan Epidemiologic

Catchment Area Study (ECA) Rieger et al menemukan bahwa prevalensi risiko depresi berat adalah dua hingga empat kali lipat lebih tinggi pada satu yang terdeteksi pada ECA diantara laki-laki berusia 25-44 tahun.17 Sedangkan Brown et al mengevaluasi 43 wanita yang terinfeksi HIV dan mendapat pelayanan di Angkatan Udara Amerika Serikat, hanya 2 pasien (5%) yang depresi.18 Prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dengan HIV positif 4 kali lebih tinggi daripada wanita dengan HIV negatif dan 3 kali lebih tinggi dari pria dengan

(15)

Suatu studi yang di follow up selama 2 tahun menyatakan bahwa 10% – 25%

wanita dengan HIV positif dilaporkan depresi selama perjalanan penyakitnya.9 Lipsitz et al mengeksplorasi prevalensi gangguan-gangguan mental pada sampel

orang-orang pengguna obat-obatan (drug users) secara intra vena yang tinggal di kota New York, 70% adalah orang Amerika Afrika dan 89% adalah tidak

mempunyai pekerjaan. Prevalensi gangguan depresif adalah secara signifikan lebih tinggi pada pria dengan HIV positif daripada kontrol dengan HIV negatif,

dan diagnosis adalah dihubungkan dengan gejala berdasarkan stadium klinis penyakit HIV.20 SedangkanLyketsos et al melaporkan hasil yang di follow up dari 911 laki-laki HIV positif dari The Multicenter AIDS Cohort Study (MACS), timbulnya semua bentuk-bentuk depresi yang signifikan, termasuk prevalensi

sindrom depresif yang mana dalam waktu 6 bulan sebelum AIDS berkembang. Adanya depresi sebelumnya, tidak mempunyai pekerjaan, dan laporan gejala-gejala yang berhubungan dengan AIDS adalah hanya sebagai prediktor dari

peningkatan tersebut.20 Blalock et al melaporkan pada penilaian cross sectional dari 200 pasien Warga Afrika-Amerika laki-laki dan wanita dengan HIV/AIDS

yang mengikuti suatu pelayanan klinik medik yang pada beberapa waktu mempunyai jumlah CD4 kurang dari 200 cell/mm3, 60% adalah tidak mempunyai pekerjaan dan 15% mempunyai pekerjaan.21 Penelitian di Uganda yang mendapati bahwa dari 1017 penderita yang terinfeksi HIV yang dinilai

gejala-gejala depresinya dengan menggunakan Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D), 47% dilaporkan mengalami gejala depresi (CES-D ≥23) memiliki jumlah CD4 < 50 cells/ l.22

Pada penelitian meta analisis yang dipublikasikan, Ciesla dan Roberts menemukan bahwa orang dengan HIV positif, kemungkinan hampir dua kali lebih

banyak didiagnosa dengan depresi berat dan orang dengan HIV simtomatik dan asimtomatik umumnya adalah sama mengalami depresi.17 Studi Kelly et al menemukan bahwa stadium klinis infeksi HIV simtomatik pada penderita dengan

HIV positif angka gangguan depresif berat lebih tinggi daripada penderita dengan HIV positif yang asimtomatik.15 Dew et al mengikuti selama 1 tahun dari 113 kelompok pria dengan HIV positif dan 57 kontrol dengan HIV negatif, yang ikut pada setting perawatan primer. Mereka menemukan bahwa prevalensi

(16)

dukungan sosial yang rendah, adalah hanya prediktor yang signifikan diantara

subjek HIV positif dalam terjadinya episode depresif selama periode follow up.17 Satz et al melaporkan 502 sampel laki-laki bangsa Afrika-Amerika di Los Angeles, secara signifikanmenemukan prevalensi yang tinggi depresi berat baik pada subjek HIV positif yang simtomatik dan asimtomatik dibandingkan dengan

kontrol HIV negatif adalah orang berpendidikan, dan dari kelas ekonomi menengah.20 Perry et al menemukan bahwa beratnya gejala-gejala fisik yang berhubungan dengan HIV berkorelasi dengan skor Beck Depression Inventory (BDI) dan Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).14 Pada penelitian yang lebih banyak terhadap 129 orang-orang dengan HIV/AIDS, diperkirakan sepertiganya mempunyai skor Beck Depression Inventory (BDI) 14 atau lebih

tinggi (≥ depresi ringan hingga sedang).15

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian ini karena penelitian ini adalah penelitian yang pertama mengenai sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di pusat pelayanan khusus dan Bangsal Rawat Inap

Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP-HAM) Medan dan dengan harapan memperoleh data apakah terdapat sindrom depresif

pada penderita HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus (PUSYANSUS) dan Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP-Haji Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Berapakah proporsi sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS RSUP

Haji Adam Malik Medan?

2. Apakah terdapat hubungan antara karakteristik demografik (usia, jenis

kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan), dengan sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP

Haji Adam Malik Medan?

3. Apakah terdapat hubungan antara stadium klinis HIV dengan sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan?

(17)

1.3. Hipotesis

1. Terdapat hubungan antara karakteristik demografik (usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan), dengan

sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Terdapat hubungan antara stadium klinis HIV dengan sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP Haji Adam Malik Medan.

(18)

BAB 2

TUJUAN PENELITIAN

2.1. Tujuan Penelitian

2.1.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner Beck Depression Inventory (BDI).

2.1.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui proporsi sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS

berdasarkan karakteristik demografik (usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan).

2. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik demografik (usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, tempat tinggal,

pekerjaan) dengan sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP-HAM Medan.

3. Untuk mengetahui hubungan antara stadium klinis HIV dengan sindrom

depresif pada penderita HIV/AIDS.

4. Untuk mengetahui gambaran CD4 dan hubungannya dengan sindrom

depresif pada pederita HIV/AIDS.

2.2. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran informasi

tentang sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS di RSUP-HAM Medan, sehingga penderita-penderita HIV/AIDS bisa mendapatkan

perawatan yang lebih adekuat tidak hanya untuk HIV/AIDSnya saja tapi juga untuk sindrom depresifnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan hubungan kerjasama antara Departemen Penyakit Dalam FK-USU / RSUP-HAM Medan dan Departemen Psikiatri FK-USU.

3. Hasil penelitian ini juga dapat dilanjutkan untuk bahan penelitian lanjutan yang sejenis atau penelitian lain yang memakai penelitian ini sebagai

(19)

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. HIV / AIDS

HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS. AIDS merupakan suatu

keadaan yang serius, penyakit yang mengancam hidup.24 AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh

akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk famili retroviridae.2 Kondisi akhir pada orang yang terkena HIV membuat seseorang rentan terhadap infeksi

oportunistik dan tumor. Walaupun sudah ada penanganan untuk AIDS dan HIV, penyakit ini belum bisa disembuhkan. 3

AIDS menarik komunitas kesehatan pertama kali pada tahun 1981 setelah terjadi secara tidak lazim, kasus-kasus pneumonia pneumocystis carinii (PPC) dan sarkoma kaposi (SK) pada laki-laki muda homoseks di California.

Bukti epidemiologik mengisyaratkan bahwa terdapat keterlibatan suatu agen infeksiosa, dan pada tahun 1983 virus imunodefisiensi manusia tipe 1 (HIV-1)

diidentifikasi sebagai penyebab penyakit. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV.25

HIV, yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III (HTLV-III) atau virus limfadenopati (LAV) adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari

famili lentivirus.25 Kelompok virus ini adalah dikenal dengan latensi, viremia persisten, menginfeksi sistem saraf dan melemahkan respons imun.26 HIV merupakan virus single-stranded ribonucleic acid (RNA) yang secara selektif menginfeksi sel-sel imun, terutama limfosit T dan makrofag.27 Terdapat dua tipe HIV : HIV-1 dan HIV-2. Kebanyakan kasus HIV diseluruh dunia adalah disebabkan oleh HIV-1.28

Virus HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4+,

padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh berfungsi dengan baik. Jika virus HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat kurang dari 200 sel

T CD4+ per mikroliter darah, maka kekebalan seluler akan hilang. Infeksi ini awalnya asimtomatik dan akan berlanjut menjadi infeksi laten sampai terjadi

gejala infeksi dan kemudian akan berlanjut menjadi AIDS, yang diidentifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ di dalam darah dan adanya infeksi

(20)

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.

Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam

keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS disebabkan oleh infeksi oportunistik.29

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS

sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit

tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.2

Definisi untuk menyatakan stadium-stadium penyakit HIV dan saat timbulnya AIDS telah mengalami revisi berulang kali. Revisi terakhir dilakukan pada tahun 1993 oleh Centers of Disease Control and – prevention (CDC)

berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit. 4,16

Terdapat dua dimensi dari klasifikasi HIV, yaitu riwayat keadaan klinis dan derajat immunosupresinya yang dilambangkan dalam hitung CD4+ limfosit T.

Keadaan klinis yang berhubungan dengan HIV ini dibagi menjadi 3 kategori (lihat tabel1). Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat

imunosupresinya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan CD4+ limfosit T < 200/mm didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan

klinisnya. 4,16

Sebagian ahli memandang definisi AIDS sangat kompleks dan rumit

sehingga seorang klinisi sebaiknya tidak mempertanyakan apakah AIDS telah muncul atau tidak, tetapi memandang penyakit HIV sebagai suatu spektrum mulai dari infeksi primer (baik dengan sindrom akut maupun tidak) sampai ke

(21)

Tabel 1 .Sistem klasifikasi orang yang terinfeksi HIV berdasarkan kategori

(22)

Tabel 2. Klasifikasi CD4 penderita HIV berdasarkan kategori Centers for

Disease Control and Prevention (CDC

)

5

CD4 Kategori Klinis A Kategori klinis B Kategori klinis Total (/mL) % (asimtomatik) (simtomatik) (AIDS)

≥ 500 ≥ 29 A1 B1 C1 200-499 14-28 A2 B2 C2

<200 <14 A3 B3 C3

Dikutip dari : Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Disease : AIDS and Related

Disorders. In : Braunwald E, Fauci AS, et al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol.II. 15th ed. New York : McGraw-Hill ; 2001. p. 1852.

HIV dan penularannya

HIV ditemukan didalam darah, semen, sekresi serviks dan vagina, dan

dalam jumlah yang lebih kecil, didalam saliva, air mata, air susu ibu, dan cairan serebrospinalis dari orang yang terinfeksi.31 HIV dapat ditularkan dalam 3 cara, yaitu: melalui hubungan seksual (baik homoseksual atau heteroseksual) ; melalui darah ; dan dari ibu ke anaknya (selama kehamilan atau kelahiran, atau melalui

air susu ibu).17

Penularan HIV paling sering terjadi melalui hubungan seksual atau

perpindahan darah yang terkontaminasi. Seks anal, vaginal dan oral yang tidak terproteksi adalah aktivitas seksual yang paling mungkin menularkan virus.31 Rute seksual (risiko transmisi adalah 0.3% dari pria-ke pria, 1.2% pria ke wanita, 0.1% dari wanita ke pria), transfusi, needle sticks (0.3%), vertical (15-40%).32

Adanya penyakit-penyakit yang ditularkan secara seksual, seperti herpes atau sifilis, atau lesi lainnya yang membahayakan integritas kulit atau mukosa, meningkatkan lebih lanjut risiko penularan.31 Transmisi juga terjadi melalui terpaparnya jarum yang terkontaminasi, dimana insidensi yang tinggi terinfeksi HIV pada pengguna obat-obat (drug users).28 Prevalensi HIV pada intravenous drug users (IDU) rata-rata nasional adalah 41,6%.7

Anak-anak dapat terinfeksi in utero atau melalui air susu ibu jika ibunya terinfeksi HIV.31 Petugas kesehatan secara teoritis berada pada risiko karena kemungkinan kontak dengan cairan tubuh dari pasien yang terinfeksi HIV. Dalam

prakteknya, bagaimanapun, insidensi transmisi tersebut sangat kecil dan hampir semua laporan kasus telah menemukan tusukan jarum yang tidak disengaja

(23)

dapat tertular melalui kontak biasa, seperti tinggal bersama-sama dirumah atau

kelas dengan orang yang terinfeksi HIV, walaupun kontak langsung maupun tidak langsung dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi, seperti darah dan

semen, harus dihindari.31

Diagnosis

Diagnosis ditujukan pada kedua hal, yaitu terinfeksi HIV dan AIDS.

Diagnosis dini ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium dengan petunjuk dari gejala-gejala klinis atau dari adanya perilaku risiko tinggi individu tertentu.16

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 metode : 16

1. Langsung : isolasi virus dari sampel, umumnya dengan pemeriksaan

mikroskop elektron atau deteksi antigen virus, misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR).

2. Tidak langsung : dengan melihat respons zat anti spesifik, misalnya dengan

Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), Westerm Blot, Immunofluorescent Assay (IFA) atau Radio Immuno Precipitation Assay (RIPA).

Untuk diagnosis HIV yang lazim digunakan pertama-tama adalah

pemeriksaan ELISA karena memiliki sensitivitas yang tinggi (98-100%). Akan tetapi, spesifisitas kurang sehingga hasil tes ELISA yang positif harus

dikonfirmasi dengan Westerm Blot yang spesifitasnya tinggi (99,6%-100%). Sedangkan pemeriksaan PCR biasanya dilakukan pada bayi yang masih

memiliki zat anti maternal sehingga menghambat pemeriksaan secara serologis dan pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.16

Gejala klinis

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala

tertentu.2 Hingga 70% pasien dengan infeksi HIV primer berkembang menjadi acute mononucleosis-like syndrome setelah infeksi awal. Dikenal juga sebagai acute retroviral syndrome (ARS), tanda dan gejala ini terjadi sebagai hasil dari infeksi awal dan penyebaran dari HIV, dan meliputi sindroma klinis atipikal.33 Manifestasi yang paling umum meliputi demam, rasa lemah, nyeri otot, ruam kulit, limfadenopati, nyeri kepala, dan nyeri tenggorokan. Gejala “ flu“ seperti

(24)

ARS dari influenza atau kondisi-kondisi respiratori viral lainnya.33 Lamanya keadaan ini adalah biasanya kurang dari 14 hari tetapi dapat menjadi lebih lama, dalam beberapa minggu atau bahkan bulan. 33

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8 - 10 tahun. Tetapi ada

sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya 2 tahun. Setelah masa tanpa gejala, akan diikuti infeksi oportunistik dan

selanjutnya memasuki stadium AIDS.2

Sistem tahapan WHO untuk infeksi dan penyakit HIV

Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan

berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan virus HIV-1.3 Sistem ini kemudian diperbaharui pada tahun 2006.34

Stadium infeksi HIV pada orang dewasa oleh WHO 34 Klinis stadium I :

• Asimtomatik

• Limfadenopati menyeluruh dan persisten Skala penampilan 1 : asimtomatik, aktivitas normal

Klinis stadium II

• Penurunan berat badan < 10%

• Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis)

Herpes zoster

• Angular cheilitis

• Ulserasi oral yang berulang

Papular pruritic eruption

• Dermatitis seboroik

• Infeksi jamur pada kuku

Dan/atau skala penampilan 2 : simtomatik, aktifitas normal

Klinis stadium III

• Penurunan berat badan > 10%

• Diare kronik yang tidak bisa dijelaskan > 1 bulan

• Demam berkepanjangan yang tidak bisa dijelaskan (intermitten atau konstan) > 1 bulan

• Kandidiasis oral persisten

Oral hairy leukoplakia

(25)

• Infeksi bakteri yang berat (yakni pneumonia, pyomyositis, empiema, infeksi tulang atau sendi)

Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis

• Anemia yang tidak bisa dijelaskan (<8 g/dl), neutropenia (<0,5x109 per liter) dan atau trombositopenia kronik (<50x109 per liter)

Dan/atau skala penampilan 3: terbaring < 50% hari dalam bulan terakhir

Klinis stadium IV :

HIV wasting syndrome

Pneumocystis carinii pneumonia

• Pneumonia bakterial berat yang berulang

• Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal yang lamanya > 1 bulan atau beberapa tempat viseral)

• Candidiasis oesophageal (kandidiasis trakea, bronkus, atau paru-paru)

• Tuberkulosis ekstrapulmonar

• sarkoma kaposi

• Infeksi cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ-organ lainnya)

• Toxoplasmosis susunan saraf pusat

• Ensefalopati HIV

Cryptococcosis ekstra paru termasuk meningitis

Disseminated non-tuberculous mycobacterial infection

Recurrent septicaemia (termasuk Salmonella non-tifoid)

• Limfoma (serebral atau non-Hodgkin sel B)

• Karsinoma serviks invasif

Atypical disseminated leishmaniasis

Symptomatic HIV-associated nephropathy or symptomatic HIV associated cardiomyopathy

Dan/atau skala penampilan 4 : terbaring > 50% hari dalam bulan terakhir

Pengobatan

Pendekatan utama terhadap infeksi HIV adalah pencegahannya. Pencegahan primer adalah melindungi orang dari mendapatkan penyakit ;

pencegahan sekunder meliputi modifikasi perjalanan penyakit. Semua orang dengan tiap risiko untuk infeksi HIV harus diinformasikan tentang praktek seks

yang aman dan perlu menghindari menggunakan bersama-sama jarum hipodermik yang terkontaminasi. Strategi pencegahan dipersulit oleh nilai-nilai

(26)

pencegahan yang cukup aman (walaupun tidak sepenuhnya) dan efektif untuk

melawan infeksi HIV. 31

Secara umum, penatalaksanaan orang dengan HIV/AIDS terdiri atas

beberapa jenis yaitu : (a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), (b) pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit

infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, (c) pengobatan suportif yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik dan pengobatan pendukung lain

seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut,

angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. 2

3.2. DEPRESI

Dalam psikiatri, depresi menunjukkan ke suatu sindroma klinis yang terdiri

dari sifat mood yang menurun (perasaan sedih yang menyakitkan), kesulitan dalam berpikir, dan retardasi psikomotor.35

Depresi dapat terjadi pada berbagai umur. Studi yang disponsori NIMH memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 6% berumur 9-17 tahun dan hampir

10% warga Amerika dewasa diusia 18 tahun atau lebih, mengalami depresi setiap tahun.6 Umur onset untuk gangguan depresif berat sekitar 40 tahun, dengan 50% dari seluruh penderita memiliki onset antara usia 20 hingga 50 tahun. Gangguan depresif berat juga bisa muncul pada masa anak atau usia

tua.31 Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Indonesia menjumpai bahwa 94% penduduk Indonesia mengidap depresi mulai dari tingkat berat

hingga ringan.36

Meskipun usaha yang intensif untuk menegakkan dasar etiologi atau patofisiologis dari gangguan depresif mayor, penyebab pastinya belum diketahui.

Terdapat konsensus bahwa faktor etiologinya adalah multipel – genetik, biokimiawi, psikodinamik dan lingkungan sosial – mungkin saling berinteraksi

dengan cara yang kompleks dan pemahaman terbaru mengenai gangguan ini menghendaki adanya pemahaman yang pintar terhadap hubungan faktor-faktor

(27)

Hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan hubungan yang sangat

kompleks, di satu sisi depresi dapat timbul karena penyakit HIV/AIDS itu sendiri, di sisi lain depresi yang timbul akan lebih memperberat perjalanan penyakit

HIV/AIDS itu sendiri. Depresi akan memperberat perjalanan penyakit HIV /AIDS melalui perubahan perilaku seperti perasaan bersalah, kurangnya minat

berkomunikasi, berkurangnya kepatuhan memakan obat serta keinginan untuk bunuh diri dan juga gangguan sistim imun. Berbagai gejala pada depresi seperti

gangguan neurovegetatif (gangguan tidur, nafsu makan berkurang, disfungsi seksual), gangguan kognitif (pelupa, susah berkonsentrasi) juga akan

memperberat perjalanan penyakitnya.38,39

Depresi yang timbul pada penderita HIV/AIDS dapat disebabkan oleh

beberapa hal seperti : 9,17,40

1. Invasi virus HIV ke Susunan Saraf Pusat (SSP), dimana menghasilkan perubahan neuropatologis pada basal ganglia, thalamus, nukleus batang otak

yang menyebabkan disfungsi dan akhirnya akan menyebabkan gangguan pada mood dan motivasi.

2. Efek samping penggunaaan obat-obat anti retroviral seperti : efavirenz interferon, zidovudin.

3. Komplikasi HIV seperti infeksi oportunistik dan tumor intra kranial.

4. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita penyakit

tersebut, biasanya penderita mengalami reaksi penolakan dari pekerjaan, keluarga maupun masyarakat.

Gambar 1. Hubungan antara depresi dengan HIV 41

Dikutip dari : Angelino FA. Depression and Adjustment Disorder in Patients With HIV Disease.

(28)

Walaupun kejadian depresi pada penderita HIV/AIDS ini sebenarnya

cukup tinggi tetapi sering kurang terdiagnosis karena beberapa gejala depresi sering dijumpai sebagai bagian dari gejala penyakit HIV/AIDS itu sendiri.27,42 Beberapa hal yang menjadikan diagnosis depresi pada penderita HIV/AIDS menjadi lebih sulit untuk ditegakkan antara lain: 23

1. Kemungkinan efek gejala klinis yang timbul akibat infeki virus HIV itu sendiri

seperti : fatique, berkurangnya nafsu makan dan tidur, dan penurunan berat badan.

2. Kemungkinan efek gangguan kognitif yang timbul akibat infeksi virus HIV pada

otak dengan gejala seperti retardasi psikomotor, pelupa, dan kesulitan untuk berkonsentrasi mungkin gejala-gejala awal dari kerusakan ini.

3. Reaksi emosional dan perilaku yang bersifat sementara, yang sering timbul

dalam perjalanan penyakit seperti: hilangnya minat berkomunikasi dengan sesama, perasaan bersalah tentang perilaku berisiko sebelumnya, keinginan bunuh diri.

Kriteria depresif mayor menunjukkan bahwa simtom-simtom ini

seharusnya diperhitungkan sebagai bagian dari depresi jika simtom-simtom secara jelas bukan akibat masalah fisik yang komorbid.41 Beragam solusi telah diajukan oleh Cohen-Cole dan kawan-kawan, yang menyarankan 4 pendekatan yang mungkin : 17

1. Pendekatan etiologikal, yang mengikuti kriteria Diagnostic and statistical

manual of mental disorder (DSM) yang memerlukan penilaian terdahulu untuk memasukkan simtom / tanda tertentu bukan hasil dari gangguan fisik yang

melatarbelakanginya. 41

2. Pendekatan inklusif, dimana seluruh simtom-simtom dihitung tanpa memperhatikan penyebab yang mungkin.17,41

3. Pendekatan eksklusif, yang tidak mengizinkan setiap simtom-simton fisik untuk dimasukkan pada diagnosis.17

4. Pendekatan substitusi, yang mana empat kriteria psikologikal / kognitif yang

(29)

Tinjauan selanjutnya memisahkan pendekatan ini kedalam 2 pendekatan

yaitu eksklusif dan inklusif. Pendekatan ekslusif mungkin secara diagnostik yang paling murni dan jadi pilihan yang terbaik untuk tujuan penelitian.41 Namun, pendekatan inklusif, meskipun diagnosis depresi memungkinkan, menunjukkan yang terbaik untuk manajemen klinikal karena pasien-pasien sering tidak

melaporkan simtom-simtom psikologik depresi akibat stigma kultural 41 dan perlindungan terbaik terhadap pasien dari risiko depresi yang tidak

terdiagnosis.43 Pendekatan ini merekomendasikan bahwa klinisi memperhitungkan setiap simtom-simtom depresif yang relevan meskipun bila

terdapat alasan untuk meyakini simtom mungkin bukan bagian dari sindrom depresif tapi mungkin sekunder terhadap proses penyakit atau pengobatannya.43

Skrining rutin untuk penyakit psikiatrik pada pasien-pasien klinis HIV/AIDS secara efektif dapat digunakan. Beberapa alat-alat skrining untuk depresi pada setting medis telah diteliti. Beck Depression Inventory (BDI) dikembangkan untuk mengukur manifestasi perilaku depresi pada remaja dan dewasa. Alat ukurnya di desain untuk menstandarisasi penilaian keparahan depresi agar pemonitoran

perubahan sepanjang waktu atau untuk menjelaskan gangguannya secara sederhana.44 Pokok-pokok dalam BDI orisinalnya diperoleh dari observasi penderita-penderita depresi yang dibuat sepanjang perjalanan psikoterapi psikoanalitik. Sikap dan simtom-simtom yang muncul secara spesifik terhadap

kelompok penderita ini dijelaskan oleh rentetan pernyataan, dan suatu nilai angka diberikan untuk setiap pernyataan.44

Dalam bentuk orisinilnya, 21 manifestasi perilaku diungkapkan disini, setiap area diwakili oleh empat hingga lima pernyataan yang menjelaskan

keparahan simtom mulai dari ringan hingga berat. Subjek diminta untuk mengidentifikasi pernyataan yang paling tepat yang menjelaskan perasaannya “sekarang”. Pokok-pokoknya kemudian dinilai dan disimpulkan untuk

memperoleh suatu nilai total untuk keparahan simtom depresif.44

BDI terdiri dari kumpulan 21 pokok, masing-masingnya dengan rentetan

empat pernyataan. Pernyataannya menjelaskan keparahan simtom sepanjang rangkaian kesatuan nomor urut dari tidak ada atau ringan (nilai 0) ke berat (nilai

3). Walaupun instrumen orisinilnya dimaksudkan untuk dibacakan dengan kuat oleh seorang pewawancara yang mencatat pilihan subjeknya, skalanya

(30)

questionnaire). Nilai keparahan depresi dibuat dengan menyimpulkan nilai-nilai dari pokok-pokoknya yang disokong dari setiap pokoknya.44 Panduan-panduan belakangan ini menyarankan interpretasi dari nilai-nilai keparahan : 0-9, tidak

depresi; 10-16, ringan; 17-29, sedang; dan 30-63, berat. Nilai subskala bisa dikalkulasikan untuk faktor kognitif-afektif dan faktor hasil somatik.44

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita depresi dengan HIV/ AIDS secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu penatalaksaan terhadap penyakit HIV/AIDS

dan penatalaksanaan terhadap depresinya. Penatalaksaan terhadap penyakit HIV/AIDS sendiri telah cukup berkembang dengan ditemukannya obat-obat anti

retrovirus. Penatalaksanaan yang baik terhadap depresinya akan memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki kepatuhan terhadap pengobatan, dan

(31)

BAB 4

KERANGKA KONSEP

PENDERITA HIV/AIDS

Karakteristik Demografik

- Umur - Jenis kelamin

- Pendidikan

- Status perkawinan

- Tempat Tinggal - Pekerjaan

-Jumlah CD4

Stadium klinis HIV: - I

- II - III - IV

(32)

BAB 5

METODE PENELITIAN

5.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross

sectional 46,47 untuk menilai apakah terdapat sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS dan apakah sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS

tersebut berbeda berdasarkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, stadium klinis HIV dan CD4.

5.2. Tempat dan Waktu Penelitian :

a. Tempat penelitian : Poliklinik PUSYANSUS dan Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan.

b. Waktu penelitian : Bulan Juli 2008 - Oktober 2008.

5.3. Populasi penelitian

a. Populasi target :

Penderita HIV/AIDS berusia ≥20 tahun.

b. Populasi terjangkau :

Penderita HIV/AIDS berusia ≥20 tahun di Poliklinik PUSYANSUS dan

bangsal rawat inap Penyakit Dalam RSUP Haji Adam Malik Medan.

5.4. Sampel dan Cara pemilihan sampel

5.4.1. Sampel penelitian :

Penderita yang didiagnosis dengan HIV/AIDS ditegakkan berdasarkan anamnese, gejala klinis, laboratorium dan kriteria WHO.

5.4.2. Cara pemilihan sampel :

(33)

5.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Penderita HIV/AIDS yang didiagnosis berdasarkan anamnesis, gejala klinis, laboratorium dan kriteria WHO

5.5.1. Kriteria Inklusi :

a. Berusia ≥ 20 tahun

b. Pertama sekali bertemu dengan peneliti

c. Kooperatif dan mau mengisi kuesioner serta lembar penjelasan ikut

penelitian

d. Pendekatan inklusif

5.5.2. Kriteria eksklusi :

a. Mengalami gangguan psikiatrik berat lainnya sebelum ikut penelitian b. Cedera subkortikal (subcortical injury)

c. Infeksi susunan saraf pusat (CNS inflammation)

d. Komplikasi HIV seperti tumor intrakranial

e. Menggunakan obat antiretroviral: zidovudin, interferon, efaviren

5.6. Besar Sampel

Besar sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi menggunakan ketepatan absolut dengan rumus yang digunakan adalah :

Zα2PQ

n =

d2

Zα= Nilai batas bawah dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai

α yang

Ditentukan ; untuk nilai α = 0,05 → Zα = 1,96

P = Proporsi depresi pada penderita HIV/AIDS 50% q = 1-p : 1-0,5 = 0,5

(34)

(1,96)2 x (0,5) x (0,5) n =

(0,1)2

n = 97 → n =100

5.7. Cara Kerja

Pemilihan penderita HIV/AIDS dilakukan dengan cara consecutive sampling

dan memenuhi kriteria inklusi mengisi persetujuan secara tertulis untuk ikut ke dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan yang terperinci dan

jelas dan selanjutnya subjek penelitian mengisi kuesioner BDI. Hasil dari setiap kuesioner BDI yang diisi oleh penderita kemudian dilihat apakah memilki nilai tidak ada depresi, depresi ringan, sedang, atau berat.

Selanjutnya melalui uji statistik dilihat apakah terdapat perbedaan antara sindrom depresif yang dialami penderita dengan usia, jenis kelamin, status

perkawinan, pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, CD4 dan stadium klinis HIV .

5.8. Identifikasi Variabel

5.8.1. Variabel bebas

Karakteristik demografi (umur, Jenis kelamin, pendidikan, status

perkawinan, tempat tinggal, pekerjaan), CD4, stadium klinis HIV/AIDS.

5.8.2. Variabel tergantung Sindrom depresif

5.9. Rencana Manajemen dan Analisis Data

Hasil yang didapat disusun dalam tabel distribusi, dilihat proporsi penderita

HIV/AIDS yang memiliki sindrom depresif. Untuk mencari hubungan antara sindrom depresif dengan karakteristik demografik dan stadium klinis HIV,

CD4 digunakan uji hipotesis chi-square. Selain itu untuk menentukan perbedaan rata-rata skor BDI menurut demografik, stadium dan CD4

(35)

5.10. Definisi Operasional

a. Penderita HIV/AIDS adalah penderita HIV/AIDS yang didiagnosis berdasarkan anamnese, gejala klinis, laboratorium dan kriteria WHO,

dalam penelitian ini dari stadium HIV I-1V.

b. Depresi adalah suatu sindrom klinis yang terdiri dari sifat mood yang

menurun (perasaan sedih yang menyakitkan), kesulitan dalam berpikir, dan retardasi psikomotor.

c. Sindrom depresif adalah kumpulan gejala depresif yang dinilai berdasarkan kuesioner BDI.

d. Beck Depression Inventory adalah suatu kuesioner untuk mengevaluasi ada tidaknya sindrom depresif pada seseorang, yang terdiri dari

kumpulan 21 pokok, masing-masingnya dengan rentetan 4 pernyataan yang menjelaskan keparahan simtom dari tidak ada atau ringan (nilai 0)

ke berat (nilai 3), interpretasi nilai keparahan adalah: 0-9, tidak depresi ; 10-16, ringan ; 17-29, sedang ; 30-63, berat.

e. Umur : lamanya hidup sejak lahir yang dinyatakan dalam satuan tahun.

Dikelompokkan dalam 5 kategori, yaitu : 20-29 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun.

f. Pendidikan : jenjang pengajaran yang telah diikuti atau sedang dijalani responden melalui pendidikan formal. Pendidikan dibagi atas SD

(Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMU (Sekolah Menengah Umum), Diploma / Sarjana atau yang lebih tinggi.

g. Status perkawinan : ditentukan apakah subjek masih dalam ikatan perkawinan (menikah), atau tidak dalam ikatan perkawinan (cerai/tidak

kawin).

h. Pekerjaan adalah suatu kegiatan yang mendapatkan upah.

i. CD4 adalah jumlah sel darah putih (limfosit) atau disebut juga sel T4 (CD4+) didalam darah yang merupakan indikator untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Di kelompokkan dalam 3

kategori, yaitu : < 200/mm3, 200-350/mm3, > 300/mm3.

j. Stadium klinis HIV : tingkat tahapan untuk pasien yang terinfeksi virus

HIV-1 menurut kriteria WHO.

k. Pendekatan inklusif adalah seluruh simtom-simtom depresi dihitung tanpa

(36)

l. Mengalami gangguan psikiatrik berat lainnya misalnya skizofrenia, dan

gangguan bipolar.

m. Cedera subkortikal (subcortical injury) adalah cedera otak yang

disebabkan oleh invasi virus HIV yang menghasilkan perubahan neuropatologis pada otak yang menyebabkan disfungsi dan gangguan

(37)

BAB 6

KERANGKA OPERASIONAL

Pemeriksaan Laboratorium

Penderita HIV/AIDS Kriteria

Inklusi

Kriteria Eksklusi

Kuesioner Beck Depression Inventory

Sindrom Depresif

(Tidak depresi, Ringan, Sedang dan Berat)

(38)

BAB 7

HASIL PENELITIAN

Responden berjumlah 100 orang penderita HIV/AIDS yang datang ke Poliklinik PUSYANSUS dan rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Pengambilan

responden dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2008. Penyajian hasil-hasil penelitian dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi.

7.1. KARAKTERISTIK SAMPEL PENELITIAN

Tabel 3. Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Status Perkawinan, Tempat

Tinggal, Pekerjaan, Stadium Klinis HIV dan Jumlah CD4

Karakteristik Responden Jumlah % Umur 20-29 tahun 44 44

30-39 tahun 44 44

40-49 tahun 11 11

50-59 tahun 1 1

Mean umur = 31,3 tahun (SD=5,9)

Jenis Kelamin Pria 72 72

Wanita 28 28

Pendidikan SD 5 5

SMP 14 14

SLTA 73 73

Akademi/ PT 8 8

Status Perkawinan Kawin 51 51

Tidak kawin 49 49

Tempat Tinggal Medan 54 54

Luar Medan 46 46

Pekerjaan Bekerja 38 38

(39)

Sambungan tabel 1....

Stadium Klinis I 3 3

HIV II 15 15

III 38 38

IV 44 44

Jumlah CD4/mm3 < 200 76 76

200-350 12 12

> 350 12 12

Dari tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa sampel didominasi oleh kelompok umur 20-29 tahun (44%) dan 30-39 tahun (44%), Jenis Kelamin Pria (72%),

pendidikan tamat SLTA (73%), status kawin (51%), tempat tinggal Medan (54%), tidak bekerja (62%), stadium IV (44%) untuk stadium klinis HIV dan Jumlah CD4 <200 (76%).

7.2. SINDROM DEPRESIF PADA PENDERITA HIV/AIDS

Tabel 4. Sindrom Depresif pada Penderita HIV/AIDS

Sindrom Depresif Jumlah %

Tidak depresi 26 26

Ringan 28 28

Sedang 34 34

Berat 12 12

Total 100 100

Dari tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif sedang paling

(40)

7.3. MEAN, STANDARD DEVIATION (SD) BDI DAN CD4 PENDERITA

HIV/AIDS

Tabel 5. Mean dan Standard deviation (SD) BDI dan CD4 Penderita HIV/AIDS

Variabel n Mean SD

BDI

Tidak depresi 26 6,4 2,2

Ringan 28 12,9 1,6

Sedang 34 22,7 4,0

Berat 12 33,1 2,8

CD4 100 136,5 159,8

Dari tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa mean BDI pada penderita HIV/AIDS yang mengalami depresi sedang adalah 22,7 (SD 4,0), depresi ringan

adalah 12,9 (SD 1,6), tidak depresi adalah 6,4 (SD 2,2), depresi berat adalah 33,1 (SD 2,8), dan mean CD4 pada penderita HIV/AIDS adalah 136,5 (SD 159,8).

7.4. SEBARAN UMUR PENDERITA HIV/AIDS DENGAN SINDROM DEPRESIF

Tabel 6. Sebaran Umur Penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

Umur Sindrom Depresif

(tahun) Tidak depresi Ringan Sedang Berat

n % mean SD p n % mean SD p n % mean SD p n % mean SD p

20-29 10 38,5 6,4 2,3 0,23 15 53,6 13,2 1,6 0,53 15 44.1 23 3,8 0,66 4 33,3 34,2 4,2 0,37

30-39 10 38,5 5,7 2,4 11 39,3 12.6 1,7 15 44,1 22,2 4,3 8 66,7 32,6 1,9

40-49 6 23,1 7,6 1,2 2 7,1 12,5 2,1 3 8,8 25 4,5

50-59 1 2,9 20

Total 26 100 28 100 34 100 12 100 2

=10,032 p=0,348

Dari tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat paling banyak adalah umur 30-39 tahun (66,7%), mean BDI 32,6 (SD 1,9). Tidak

(41)

7.5. SEBARAN JENIS KELAMIN PENDERITA HIV/AIDS DENGAN SINDROM

DEPRESIF

Tabel 7. Sebaran jenis kelamin penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

Dari tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat yang paling banyak adalah pria (75%), mean BDI 33 (SD 3,2). Tidak terdapat perbedaan

bermakna sindrom depresif pada penderita HIV berdasarkan kelompok jenis kelamin.

7.6. SEBARAN TINGKAT PENDIDIKAN PENDERITA HIV/AIDS DENGAN

SINDROM DEPRESIF

Tabel 8. Sebaran Tingkat Pendidikan penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

Sindrom Depresif

Dari tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa yang mengalami depresi yang

(42)

7.7. SEBARAN STATUS PERKAWINAN PENDERITA HIV/AIDS DENGAN

SINDROM DEPRESIF

Tabel 9. Sebaran Status Perkawinan penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

Sindrom Depresif

Dari tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat yang

paling banyak adalah tidak kawin (58,3%),

mean

BDI 33,4 (SD 3,5). Tidak

terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS

berdasarkan status perkawinan.

7.8. SEBARAN TEMPAT TINGGAL PENDERITA HIV/AIDS DENGAN SINDROM DEPRESIF

Tabel 10. Sebaran Tempat Tinggal penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

Sindrom Depresif

Dari tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat yang paling banyak bertempat tinggal di Medan (66,7%), mean BDI 33,3 (SD 3,1). Tidak terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS

(43)

7.9. SEBARAN PEKERJAAN PENDERITA HIV/AIDS DENGAN SINDROM

DEPRESIF

Tabel 11. Sebaran Pekerjaan penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

Sindrom Depresif

Dari tabel 11 diatas dapat diamati bahwa sindrom depresif berat yang paling banyak adalah tidak bekerja (75%), mean BDI 33,5 (SD 3,2). Terdapat

perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan pekerjaan.

7.10. SEBARAN STADIUM KLINIS HIV DENGAN SINDROM DEPRESIF

Tabel 12. Sebaran Stadium Klinis penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresi

Sindrom Depresif

Dari tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat yang

paling banyak adalah stadium IV (66,7%), mean BDI 33,6 (SD 3,1).Terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan

(44)

7.11. SEBARAN JUMLAH CD4 PENDERITA HIV/AIDS DENGAN SINDROM

DEPRESIF

Tabel 13. Sebaran jumlah CD4 penderita HIV/AIDS dengan Sindrom Depresif

CD4 Sindrom Depresif

(mm3)

Tidak depresi Ringan Sedang Berat

n % mean SD p n % mean SD p n % mean SD p n % mean SD p

<200 9 34,6 7,4 2,0 0,04 23 82,1 13 1,6 0,44 33 97,1 22,5 3,9 0,11 11 91,7 33 2,9 0,52

200-350 6 23,1 7,1 1,9 5 17,9 12,4 2 1 2,9 29

>350 11 42,3 5,1 2,0 1 8,3 35

Total 26 100 28 100 34 100 12 100

2

= 43,07 p=0,001

Dari tabel 13 diatas dapat diamati bahwa sindrom depresif sedang yang paling banyak adalah jumlah CD4 < 200/mm3 (97,1%), mean BDI 22,5 (SD 3,9). Terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV /AIDS berdasarkan jumlah CD4.

(45)

BAB 8

PEMBAHASAN

Penelitian “Sindrom Depresif pada Penderita HIV/AIDS” ini merupakan suatu penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Tujuan umum dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui sindrom depresif pada penderita-penderita HIV/AIDS dengan menggunakan kuesioner BDI dan tujuan khususnya

adalah mengetahui apakah sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berbeda berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan,

tempat tinggal, pekerjaan, stadium klinis HIV, jumlah CD4 dan agar penderita-penderita HIV/AIDS yang memiliki sindrom depresif dapat dirujuk ke Departemen

Psikiatri untuk mendapatkan penilaian dan perawatan lebih lanjut.

Hipotesis pada penelitian ini yang menyatakan bahwa sindrom depresif

pada penderita HIV/AIDS berbeda berdasarkan kelompok pekerjaan, stadium klinis HIV dan jumlah CD4 terbukti.

8.1. MEAN DAN STANDARD DEVIATION (SD) BDI PADA PENDERITA

HIV/AIDS

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa mean BDI pada 100 penderita HIV/AIDS adalah depresi sedang 22,7 (SD 4,0), depresi ringan 12,9 (SD 1,6), depresi berat

33,1 (SD 2,8), tidak depresi 12,9 (SD 1,6). Sedangkan Evans et al yang melakukan penelitian terhadap 63 penderita dengan HIV positif, dan 30 dengan

HIV negatif mendapati rerata masing-masing skor Hamilton Rating Scale for Depression adalah 8,62 (SD 7,26) yaitu depresi ringan dan 5,67 (SD 7,33) yaitu tidak depresi.49 Sementara Perry et al yang melakukan penelitian terhadap 129 penderita HIV/AIDS mendapati bahwa sepertiganya mempunyai skor BDI 14 atau lebih tinggi (≥ depresi ringan hingga sedang).15 Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa berdasarkan skor BDI maka sindrom depresif sedang paling banyak terjadi pada penderita HIV/AIDS, hal yang sama dengan penelitian Perry

(46)

8.2.SINDROM DEPRESIF PADA PENDERITA HIV/AIDS

Dari tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif sedang paling

banyak terjadi pada penderita HIV/AIDS (34%), diikuti oleh sindrom depresif ringan (28%), tidak depresi (26%) dan sindrom depresif berat (12%). Secara

keseluruhan juga dapat diamati bahwa dari 100 penderita HIV/AIDS yang mengalami sindrom depresif berjumlah 74 orang (74%), sementara Stolar et al

menemukan hingga 85% individu dengan HIV positif melaporkan mengalami gejala-gejala depresi.14 Penelitian lainnya yang diadakan pada klinik spesialis HIV pusat perawatan kesehatan tersier (tertiary health care centre) di India Selatan melaporkan 40% individu HIV seropositif menderita sindrom depresif.9,14 Bing et al, menyatakan secara keseluruhan, angka depresi diantara orang-orang dengan infeksi HIV adalah mencapai 50%,13 dan Acuff et al menemukan diantara pasien-pasien yang terinfeksi HIV yang diarahkan untuk evaluasi psikiatrik, rata-rata mengalami depresi berat berkisar dari 8% - 67%,14 sedangkan pada penelitian ini angka depresi berat 12% hal ini tidak berbeda jauh.

Dari penelitian ini depresi yang ada pada penderita HIV/AIDS menurut literatur dikatakan bahwa hubungan antara depresi dengan HIV/AIDS merupakan

hubungan yang sangat kompleks, di satu sisi depresi dapat timbul karena penyakit HIV/AIDS itu sendiri, disisi lain depresi yang timbul akan lebih

memperberat perjalanan penyakit HIV/AIDS itu sendiri.38,39

8.3. SEBARAN UMUR PENDERITA DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif yang paling

banyak adalah sindrom depresi berat, pada kelompok umur 30-39 tahun (66,7%), mean BDI 32,6 (SD 1,9). Tidak terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan kelompok umur.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Christ et al yang menyatakan bahwa kebanyakan subjek yang terinfeksi HIV/AIDS mengalami sindrom depresif terjadi

pada kelompok umur 25-49 tahun.17 Sedangkan hasil penelitian ini sindrom depresif yang paling banyak pada kelompok umur 30-39 tahun, hal ini sesuai

dengan literatur yang menyatakan bahwa umur onset untuk gangguan depresif berat sekitar 40 tahun, dengan 50% dari seluruh penderita memiliki onset antara

(47)

8.4. SEBARAN JENIS KELAMIN DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif yang paling banyak adalah sindrom depresi berat dengan jenis kelamin pria (75%), mean BDI

33 (SD 3,2) dan sindrom depresif ringan (75%), mean BDI 13,1 (SD 1,6). Sedangkan wanita depresi sedang (29,4%), mean BDI 22,9 (SD 4,2). Tidak

terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan kelompok jenis kelamin.

Penelitian Brown et al mengevaluasi 43 wanita yang terinfeksi HIV dan mendapat pelayanan di Angkatan Udara Amerika Serikat, hanya 2 pasien (5%)

yang depresi. Pada studi yang ditunjukkan 3 tahun kemudian, peneliti lainnya mendiagnosa depresi pada sampel wanita HIV positif hanya 1,9%.18 Dew et al mengikuti selama 1 tahun dari 113 kelompok pria dengan HIV positif dan 57 kontrol dengan HIV negatif, yang ikut pada setting perawatan primer. Mereka menemukan bahwa prevalensi depresi berat selama periode follow up adalah

secara signifikan lebih tinggi pada kelompok pria dengan HIV positif.23

Secara keseluruhan dari penelitian ini didapat jumlah penderita laki-laki

lebih banyak yang menderita depresi. Hal yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Lipsitz et al didapatkan angka kejadian depresi pada laki-laki

dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan pada wanita yaitu masing-masing sebesar 33% dan 26%.20

8.5. SEBARAN TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa yang mengalami depresi yang paling banyak adalah tingkat pendidikan SLTA yaitu depresi sedang (76,5%),

mean BDI 22,5 (SD 4,1). Tidak terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan tingkat pendidikan.

Dari literatur mengatakan sindrom depresif lebih sering terjadi pada tingkat pendidikan rendah dibandingkan tingkat pendidikan lebih tinggi.31 Ini berbeda pendapat dengan penelitian diatas dimana tingkat pendidikan SLTA yaitu depresi sedang (76,5%), mean BDI 22,5 (SD 4,1) lebih tinggi daripada

(48)

8.6. SEBARAN STATUS PERKAWINAN DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat yang paling

banyak adalah tidak kawin (58%),

mean

BDI 33,4 (SD 3,5).

Tidak terdapat

perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan

status perkawinan.

Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa penderita HIV/AIDS yang

paling banyak mengalami sindrom depresi berat adalah tidak kawin. Dari literatur dikatakan bahwa gangguan depresif berat sering dialami individu yang tidak

memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang bercerai dibandingkan dengan yang menikah. Status perceraian menempatkan seseorang pada risiko

lebih tinggi untuk menderita depresi. Depresi lebih sering pada orang yang tinggal sendiri bila dibandingkan dengan yang tinggal bersama kerabat

lainnya.31,48

8.7. SEBARAN TEMPAT TINGGAL DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat paling

banyak adalah bertempat tinggal di Medan (66,7%), mean BDI 33,3 (SD 3,1). Tidak terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS

berdasarkan tempat tinggal.

Pada penelitian ini penderita HIV/AIDS yang mengalami sindrom depresif

berat paling banyak bertempat tinggal di Medan. Dari literatur dikatakan bahwa faktor lingkungan seperti pemaparan terhadap peristiwa hidup yang penuh

tekanan tampaknya memainkan peranan untuk menyebabkan timbulnya sindrom depresif. Ketidakmampuan peranan sosial untuk menyesuaikan diri dengan

stresor sosial mengarah pada berkembangnya depresi pada seseorang. Stresor psikososial lebih tinggi pada daerah perkotaan dari pada pedesaan. 31

8.8. SEBARAN PEKERJAAN DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 11 diatas dapat diamati bahwa sindrom depresif berat paling

banyak adalah tidak bekerja (75%), mean BDI 33,5 (SD 3,2). Terdapat perbedaan bermakna di sindrom depresif pada penderita HIV/AIDS berdasarkan

pekerjaan.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Blalock et al yang

(49)

Warga Afrika-Amerika laki-laki dan wanita dengan HIV/AIDS yang mengikuti

suatu pelayanan klinik medik yang pada beberapa waktu mempunyai jumlah CD4 kurang dari 200 cell/mm3, 60% adalah tidak mempunyai pekerjaan dan 15% mempunyai pekerjaan.20 Sedangkan Lyketsos et al melaporkan hasil yang di follow up dari 911 laki-laki HIV positif dari The Multicenter AIDS Cohort Study (MACS), timbulnya semua gejala-gejala depresi yang signifikan, termasuk prevalensi sindrom depresif dalam waktu 6 bulan sebelum AIDS berkembang.

Adanya depresi sebelumnya, tidak mempunyai pekerjaan, dan laporan gejala-gejala yang berhubungan dengan AIDS adalah hanya sebagai prediktor dari

peningkatan tersebut.20 Dari literatur dikatakan bahwa tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur juga merupakan faktor risiko terjadinya depresi.

Suatu survei yang dilakukan terhadap wanita dan laki-laki dibawah 65 tahun yang tidak bekerja sekitar enam bulan melaporkan bahwa depresi tiga kali lebih sering pada pengangguran daripada yang bekerja.48

8.9. SEBARAN STADIUM KLINIS HIV/AIDS DENGAN SINDROM DEPRESIF

Dari tabel 12 diatas dapat dilihat bahwa sindrom depresif berat yang paling banyak adalah stadium IV (66,7%), menurut kriteria WHO yaitu stadium

klinis yang simtomatik dengan mean BDI 33,6 (SD 3,1). Terdapat perbedaan bermakna sindrom depresif pada penderita HIV /AIDS berdasarkan stadium klinis

HIV.

Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Kelly et al yang menemukan

bahwa stadium klinis infeksi HIV simtomatik pada penderita dengan HIV positif angka gangguan depresif berat lebih tinggi daripada penderita dengan HIV

positif yang asimtomatik.15 Penelitian meta analisis yang dipublikasikan, Ciesla dan Roberts juga menemukan bahwa orang dengan HIV positif, kemungkinan hampir dua kali lebih banyak didiagnosa dengan depresi berat dan orang dengan

HIV simtomatik dan asimtomatik umumnya adalah sama mengalami depresi.17 Sementara Lipsitz et al mengeksplorasi prevalensi gangguan-gangguan mental pada sampel orang-orang pengguna obat-obatan (drug users) secara intra vena yang tinggal di kota New York, prevalensi gangguan depresif adalah secara

signifikan lebih tinggi pada pria dengan HIV positif daripada kontrol dengan HIV negatif, dan diagnosis adalah dihubungkan dengan gejala berdasarkan stadium

Gambar

Gambar 1. Hubungan Antara Depresi Dengan HIV..........................................15
Tabel 1 . Sistem klasifikasi orang yang terinfeksi HIV berdasarkan  kategori Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 30
Tabel 2. Klasifikasi CD4 penderita  HIV  berdasarkan  kategori Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 5
Gambar 1. Hubungan antara depresi dengan HIV   41
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kaltim Tahun Anggaran 2012, menyatakan bahwa pada tanggal 28 Agustus 2012 pukul 11.59 Wita tahapan pemasukan/upload dokumen penawaran ditutup sesuai waktu pada

Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini karni kirirnkan Pengumuman Pendaftaran Calon Pejabat Pimpinan Tinggi Pratarna Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri

1) Perencanaan, yaitu persiapan yang bertolak dari ide awal, hasil pra survey, dan hasil diagnosis yang terkait dengan pemecahan masalah atau fokus tindakan

[r]

berdasarkan rasa ingin tahu secara kritis tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah,. sekolah, dan

Achmad Kemal Harzif, SpOG

Pada tahap ini dirumuskan upaya penyelesaian atau penanganan terhadap masalah utama yang teridentifikasi. Rumusan lebih difokuskan kepada memilih

Pengamanan data dewasa ini dirasakan sangat begitu penting, apalagi terhadap data-data yang bersifat pribadi dan rahasia, banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengamankan