• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji transfer kemiskinan yang terjadi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak serta perilaku investasi pada anak. Unit analisis dalam penelitian ini adalah dua generasi keluarga dan penggalian informasi dilakukan kepada ayah dan ibu yang merupakan responden dalam penelitian ini. Dalam pembahasan, contoh seringkali berdasakan status kesejahteraan keluarganya, miskin dan tidak miskin.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Cicurug merupakan wilayah paling utara dari Kabupaten Sukabumi dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bogor. Dengan luas wilayah 4544 Ha, Kecamatan Cicurug dihuni oleh 116.210 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sekitar 31.324 atau rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari empat orang. Berdasarkan data pentahapan kesejahteraan keluarga tahun 2010, terdapat 10.320 keluarga yang tergolong ke dalam keluarga miskin (pra KS dan KS-1), sisanya sekitar 18.027 tergolong tidak miskin (KS-2, KS-3 dan KS-3 plus). Distribusi status kesejahteraan keluarga berdasarkan desa di Kecamatan Cicurug ditunjukkan oleh Tabel 3.

Desa Pasawahan merupakan salah satu wilayah yang secara administratif tergabung dalam wilayah Kecamatan Cicurug. Wilayah Desa Pasawahan memiliki luas 625 Ha (13,75% dari wilayah Kecamatan Cicurug) dan menjadi tempat tinggal bagi 9.235 jiwa penduduk yang terdiri dari 4.499 laki-laki dan 4.736 perempuan. Terdapat 2.241 keluarga yang hidup di wilayah ini, 1.065 diantaranya tergolong ke dalam keluarga miskin (pra-KS dan KS-1) berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN tahun 2010.

Hampir setengah kepala keluarga di Desa Pasawahan menamatkan pendidikan Sekolah Dasar. Kepala keluarga yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah pertama dan atas masing-masing berjumlah sekitar seperempat dari total keseluruhan. Berdasarkan jenis pekerjaannya, sebagian besar kepala keluarga (35,21%) di wilayah Desa Pasawahan bekerja sebagai buruh. Hanya 5,64 persen kepala keluarga yang bekerja sebagai petani.

Sejumlah industri makanan dan minuman serta garmen telah didirikan di wilayah Desa Pasawahan, seiring dengan keberadaan industri serupa di

beberapa wilayah lain di Kecamatan Cicurug. Hal tersebut membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di Desa Pasawahan dan sekitarnya. Selain itu, fasilitas pendidikan yang didirikan di wilayah Desa Pasawahan dan Kecamatan Cicurug semakin meningkat seiring dengan semakin bertambahnya penduduk yang tinggal di wilayah ini.

Tabel 2 Status kesejahteraan keluarga berdasarkan Desa di Kecamatan Cicurug

No Desa Status Kesejahteraan Rasio miskin-

tidak miskin Miskin Tidak miskin

1 Cicurug 1.051 1.599 0,66 2 Nyangkowek 601 1.131 0,53 3 Benda 1.068 2.584 0,41 4 Pasawahan 1.065 1.356 0,79 5 Purwasari 849 1.311 0,65 6 Tenjoayu 607 1.243 0,49 7 Kutajaya 738 2.871 0,26 8 Nanggerang 654 768 0,85 9 Cisaat 1.046 1.156 0,90 10 Caringin 906 469 1,93 11 Tenjolaya 837 913 0,92 12 Bangbayang 527 850 0,62 13 Mekarsari 403 1.776 0,22 Total 10.320 18.027 0,57

Sumber: diolah dari data Kecamatan Cicurug dalam Angka

Karakteristik Keluarga

Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak terakhir berusia balita. Fokus pembahasan terkait variabel yang diteliti dilakukan terhadap keluarga contoh yang merupakan keluarga generasi kedua dari unit analisis penelitia ini. Pembahasan tersebut diperkaya dengan informasi yang didapatkan dari keluarga generasi sebelumnya atau keluarga asal dari ayah dan ibu terkait dengan variabel yang diteliti. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai fenomena transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga secara lebih jelas.

Usia ayah dan ibu. Rata-rata usia ayah yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 35,7 tahun (sd=6,6 tahun), sedangkan rata-rata usia ibu adalah 32 tahun (sd=5,7 tahun). Informasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa

lebih dari setengah ayah (53,3%) berusia antara 31 hingga 40 tahun, sehingga sebagian besar ayah dari keluarga contoh berada pada tahapan usia dewasa muda (18-40 tahun). Begitu pula dengan ibu, 48,3 persennya berada pada rentang kategori usia tersebut. Sementara itu, sekitar 23,3 persen ayah dan 5 persen ibu berada pada rentang usia lebih dari 40 tahun, yang berarti telah memasuki tahapan dewasa madya. Usia ibu dan ayah secara statistik berbeda nyata (t=-3,322; p<0,01).

Tabel 3 Sebaran usia ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)

Kelompok Usia (tahun)

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Ayah <21 1 3,3 0 0 1 1,7 21-30 10 33,3 3 10 13 21,7 31-40 15 50 17 56,7 32 53,3 >40 4 13,3 10 33,3 14 23,3 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 33,7 37,7 35,7 Sd 6,6 6,1 6,6 Ibu <21 1 3,3 0 0 1 1,7 21-30 16 53,3 11 36,7 27 45 31-40 12 40 17 56,7 29 48,3 >40 1 3,3 2 6,6 3 5 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 30,8 33,2 32 Sd 5,7 5,4 5,7

Usia ayah dari keluarga miskin memiliki rata-rata 33,7 tahun (sd=6,6 tahun), lebih muda dari rata-rata usia ayah dari keluarga tidak miskin (37,7 tahun; sd=6,1 tahun). Hasil uji beda menunjukkan usia ayah dari kedua kelompok kesejahteraan keluarga berbeda nyata (t=-2,458; p<0,05). Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia ibu dari kelompok miskin dengan tidak miskin (t=-1.694; p>0.05). Ibu dari keluarga miskin memiliki rata-rata usia 30,8 tahun (sd=5,7 tahun) dan ibu dari keluarga tidak miskin berusia rata-rata 33,2 tahun (sd=5,4 tahun).

Pendidikan ayah dan ibu. Secara umum, ayah menempuh pendidikan formal yang lebih lama dibandingkan ibu. Ayah rata-rata menempuh 9,7 tahun pendidikan formal (sd=3,8), sementara ibu lebih rendah yaitu 8,4 tahun (sd=2,7). Sebesar 38,3 persen ayah pernah mengenyam atau menamatkan pendidikan di tingkat menengah atas, sementara pada kelompok ibu hanya 23,3 persen yang

mengalami hal tersebut. Hampir setengah ibu (46,7%) hanya menempuh atau menyelesaikan pendidikan formal setara sekolah dasar (Tabel 4).

Tabel 4 Sebaran lama pendidikan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)

Lama Sekolah (tahun)

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Ayah ≤6 14 46,7 2 6,7 16 26,7 7-9 10 33,3 7 23,3 17 28,3 10-12 6 20 17 56,7 23 38,3 >12 0 0 4 13,3 4 6,7 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 8 11,4 9,7 Sd 2,7 2,5 3,1 Ibu ≤6 18 60 10 33,3 28 46,7 7-9 8 26,7 8 26,7 16 26,7 10-12 4 13,3 10 33,3 14 23,3 >12 0 0 2 6,7 2 3,3 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 7,5 9,3 8,4 Sd 2,3 2,8 2,7

Baik ayah maupun ibu dari keluarga tidak miskin menempuh pendidikan formal yang lebih lama bila dibandingkan dengan ayah dan ibu dari kelompok miskin. Ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin menempuh rata-rata pendidikan formal berturut-turut selama 11,4 tahun (sd=2,5 tahun) dan 9,3 tahun (sd=2,8 tahun). Sementara ayah dan ibu dari keluarga tidak miskin menempuh rata-rata pendidikan formal berturut-turut selama 8 tahun (sd=2,7 tahun) dan 7,5 tahun (sd=2,3 tahun). Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata dalam hal lama pendidikan formal yang ditempuh ayah dari keluarga miskin dengan keluarga tidak miskin (t=-5,746; p<0,01) dan juga ibu dari keluarga miskin dengan ibu dari keluarga tidak miskin (t=-2,752; p<0,01).

Pekerjaan ayah dan ibu. Hampir setengah ayah (46,7%) dalam penelitian ini bekerja sebagai buruh pabrik, sementara sebagian besar ibu (86,7%) tidak bekerja atau berperan sebagai ibu rumah tangga (Tabel 5). Walaupun karakteristik wilayah tempat penelitian adalah pedesaan, namun hanya sekitar seperempat responden ayah yang bekerja di bidang pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Hal tersebut disebabkan keberadaan industri yang telah menjangkau wilayah tempat penelitian dilakukan. Baik ayah dari kelompok keluarga yang berstatus miskin maupun tidak miskin, sebagian besar bekerja sebagai buruh pabrik (53,3% dan 40%). Sementara itu, ibu yang

bekerja dalam penelitian ini jumlahnya masih sedikit (sekitar 13%). Sehingga sebagian besar ibu kegiatannya lebih fokus pada kegiatan domestik keluarga.

Tabel 5 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga (n=60 keluarga)

Pekerjaan Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n %

Ayah

Petani/ buruh tani 11 36.7 5 16.7 16 26,7

Buruh pabrik 16 53.3 12 40 28 46,7 Wiraswasta 0 0 11 36.7 11 18,3 Lainnya 3 10 2 6.7 5 8,3 Total 30 100 30 100 60 100 Ibu IRT 28 93,3 24 80 52 86,7 Buruh pabrik 1 3,3 0 0 1 1,7 Wiraswasta 1 3,3 4 13,3 5 8,3 Lainnya 0 0 2 6,7 2 3,3 Total 30 100 30 100 60 100

Karakteristik lokasi penelitian tengah mengalami kecenderungan perubahan dari wilayah dengan ciri pedesaan ke arah industri seperti dapat dilihat dari jenis pekerjaan ayah yang telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut terlihat jelas bila pekerjaan ayah dibandingkan dengan pekerjaan orang tuanya pada keluarga generasi sebelumnya. Sebagian besar orang tua ayah dan ibu menggantungkan hidup pada pekerjaan di bidang pertanian. Lebih dari tiga perempat orang tua ayah memiliki mata pencaharian di bidang pertanian, sementara itu pada keluarga ibu jumlahnya mencapai 61,7 persen (Tabel 6).

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan bidang pekerjaan orang tua pada keluarga asal (n=60 keluarga)

Bidang Pekerjaan Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Keluarga Ayah Pertanian 26 86,7 20 66,7 46 76,7 Nonpertanian 4 13,3 10 33,3 14 23,3 Total 30 100 30 100 60 100 Keluarga Ibu Pertanian 24 80 13 43,3 37 61,7 Nonpertanian 6 20 17 56,7 23 38,3 Total 30 100 30 100 60 100

Jumlah anak. Sekitar 43,3 persen keluarga contoh memiliki dua hingga tiga anak. Rata-rata jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh adalah 2,4 anak (sd=1,3 anak). Pada keluarga contoh yang tergolong miskin, sebagian besar memiliki satu atau dua hingga tiga anak. Begitu pula pada keluarga contoh yang

tidak miskin, sekitar 43,3 persen diantaranya memiliki dua hingga tiga orang anak. Informasi mengenai jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh disajikan pada Tabel 7. Rata-rata jumlah anak keluarga miskin lebih rendah (M=2,2 anak; sd=1,3 anak) dibandingkan jumlah anak keluarga tidak miskin (M=2,6 anak; sd=1,4 anak). Hasil uji beda menunjukkan rata-rata jumlah anak keluarga miskin dengan tidak miskin tidak berbeda nyata (t=-1,160; p>0,05).

Tabel 7 Sebaran jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)

Jumlah Anak

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % <2 13 43,3 9 30 22 36,7 2-3 13 43,3 13 43,3 26 43,3 4-5 4 13,3 8 26,7 12 20 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 2,2 2,6 2,4 Sd 1,3 1,4 1,3

Rata-rata jumlah anak keluarga contoh mengalami penurunan bila dibandingkan dengan keluarga generasi sebelumnya, baik dari pihak ayah maupun ibu. Keluarga asal ayah memiliki rata-rata jumlah anak sebanyak 5,2 orang (sd=2 orang), sementara pada keluarga asal ibu, rata-ratanya adalah 4,8 orang (sd=1,9 orang). Penurunan jumlah anak pada keluarga contoh saat ini bila dibandingkan dengan keluarga orang tuanya diduga disebabkan oleh pergeseran paradigma diantara dua generasi keluarga dalam hal jumlah anak dalam keluarga. Selain itu, keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan program keluarga berencana dapat menjadi faktor penyebab lainnya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah siklus keluarga yang masih akan dijalani oleh keluarga contoh memberikan kemungkinan bertambahnya jumlah anak.

Usia dan jenis kelamin anak. Perbandingan jenis kelamin anak terakhir dari keluarga contoh sama besar antara laki-laki dan perempuan. Usia anak juga beragam antara satu hingga empat tahun. Persentase terbesar usia anak (30%) berada pada rentang dua hingga kurang dari tiga tahun (Tabel 8). Rata-rata usia anak terakhir dari keluarga contoh yang tergolong miskin adalah 2,7 tahun (sd=0,9 tahun). Sementara rata-rata usia anak terakhir dari keluarga contoh yang tidak miskin lebih tinggi yaitu 2,9 tahun (sd=1,2 tahun). Tidak terdapat perbedaan nyata antara rata-rata usia anak terakhir antara keluarga miskin dengan tidak miskin (t = -0,481; p>0,05).

Tabel 8 Sebaran usia dan jenis kelamin anak terakhir keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)

Kelompok Usia (tahun) dan Jenis Kelamin

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Usia 1-<2 5 16,7 7 23,3 12 20 2-<3 10 33,3 8 26,7 18 30 3-<4 10 33,3 5 13,7 15 25 ≥4 5 13,7 10 33,3 15 25 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 2,7 2,9 2,7 Sd 0,9 1,2 1,1 Jenis Kelamin Laki-laki 15 50 15 50 30 50 Perempuan 15 50 15 50 30 50 Total 30 100 30 100 60 100

Pendapatan keluarga dan pendapatan per kapita. Istilah pendapatan mengacu pada aliran kompensasi ekonomi yang diterima dalam suatu periode tertentu (Schiller 2008). Dalam penelitian ini yang diamati adalah pendapatan per bulan keluarga, yaitu total keseluruhan pemasukan yang diterima keluarga baik melalui ayah, ibu, ataupun anggota keluarga lainnya. Secara keseluruhan, rata- rata pendapatan per bulan keluarga contoh adalah Rp1.650.500,00 (sd=Rp1.149.253,90). Lebih dari sepertiga keluarga contoh berpenghasilan antara Rp1.000.000,00 hingga Rp1.999.999,00 per bulan. Sementara itu, hanya 6,7 persen keluarga contoh yang berpenghasilan dibawah lima ratus ribu rupiah per bulan (Tabel 9).

Rata-rata pendapatan per bulan keluarga miskin (M=Rp 849.333,30; sd= Rp237.209,80) lebih rendah bila dibandingkan pendapatan rata-rata keluarga tidak miskin (M=Rp2.451.666,70; sd=Rp1.141.421,00). Pengujian lebih lanjut menunjukkan rata-rata pendapatan kedua keluarga berbeda nyata (t=-7,528, p<0,01). Sebanyak 46,7 persen keluarga contoh yang tergolong miskin memiliki penghasilan total per bulan antara Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00. Dengan persentase yang sama, keluarga contoh yang tidak miskin berpenghasilan antara Rp2.000.000,00 hingga Rp2.999.999,00 per bulan.

Sementara itu, pendapatan per kapita merupakan hasil pembagian total pendapatan keluarga per bulan dengan jumlah anggota keluarga. Sebanyak 41 persen keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita lebih dari sama dengan Rp400.000,00. Rata-rata pendapatan per kapita keseluruhan keluarga contoh adalah Rp400.244,00 per bulan (sd=Rp297.606,50). Angka tersebut lebih tinggi dari garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2010 yaitu sebesar

Rp201.138,00 per kapita per bulan. Informasi mengenai hal tersebut terangkum pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata-rata pendapatan per bulan keluarga contoh dan pendapatan per kapita keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan (n=60 keluarga)

Pendapatan (ribu rupiah)

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n %

Pendapatan keluarga (dalam ribu rupiah)

>500 4 13,3 0 0 4 6.7 500-999 14 46,7 0 0 14 23,3 1000-1999 12 40 10 33,3 22 36,7 2000-2999 0 0 14 46,7 14 23,3 ≥γ000 0 0 6 20 6 10 Total 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 849.333,3 2.451.666,7 1.650.500 Sd 237.209,8 1.141.421 1.149.253,9

Pendapatan per kapita (dalam ribu rupiah)

>100 1 3,3 0 0 1 1.6 100-199 13 43,3 0 0 13 21.7 200-299 8 26,7 3 10 11 18.3 300-399 6 20 4 13.3 10 16.7 ≥400 2 6,7 23 76.7 25 41.7 Jumlah 30 100 30 100 60 100 Rata-rata 218.305,6 582.182,5 400.244 Sd 91.071,27 321.579,4 297.606,5

Sebanyak 43.3 persen keluarga contoh yang tergolong miskin memiliki pendapatan per kapita antara Rp 100.000,00 hingga Rp 199.999,00. Sementara itu, lebih dari tiga perempat keluarga contoh yang tidak miskin memiliki pendapatan per kapita lebih dari Rp 400.000,00. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga contoh miskin adalah Rp218.305,60 (sd=Rp91.071,27), lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita keluarga contoh tidak miskin (M=Rp582.182,5; sd=Rp321.579,40). Rata-rata pendapatan per kapita kedua kelompok keluarga juga berada di atas garis kemiskinan Jawa Barat. Rata-rata pendapatan per kapita kedua kelompok keluarga contoh secara statistik berbeda nyata (t=-5,963; p<0,01).

Status Kesejahteraan Keluarga

Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan menggunakan metode Family Life History yang diadopsi dari Bottema et al. (2008). Terdapat enam indikator yang digunakan, yaitu stabilitas pendapatan, kepemilikan rumah, kondisi rumah, kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan hewan ternak, dan kemampuan baca tulis.

Stabilitas pendapatan. Informasi mengenai stabilitas pendapatan orang tua ayah dan ibu dilihat dari jenis pekerjaan yang dilakukan oleh kakek dan atau nenek. Karena sebagian besar pekerjaan orang tua contoh bergerak di bidang pertanian, stabilitas akan bergantung pada kepemilkan lahan pertanian. Lebih dari setengah orang tua ayah memiliki pendapatan yang stabil, sementara 60 persen orang tua ibu memiliki pendapatan yang tidak stabil (Tabel 10). Orang tua ayah dan ibu yang tergolong tidak miskin cenderung memiliki pendapatan keluarga yang stabil (persentasenya masing-masing 86,7% dan 70%). Sebaliknya, sebagian besar orang tua dari ayah dan ibu yang tergolong miskin memiliki pendapatan yang tidak stabil (persentasenya berturut-turut sebesar 83,3% dan 90%).

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan stabilitas pendapatan orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)

Stabilitas pendapatan

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Keluarga Ayah Tidak stabil 25 83,3 4 13,3 29 48,3 Stabil 5 16,7 26 86,7 31 51,7 Total 30 100 30 100 60 100 Keluarga Ibu Tidak stabil 27 90 9 30 36 60 Stabil 3 10 21 70 24 40 Total 30 100 30 100 60 100

Kepemilikan dan kondisi rumah. Hampir seluruh orang tua ayah dan ibu menempati rumah dengan status kepemilikan milik pribadi. Hanya terdapat 6,7 persen orang tua ayah dan ibu yang menempati rumah dengan status kepemilikan bukan milik pribadi, seluruhnya merupakan orang tua dari ibu yang dikategorikan miskin (Tabel 11).

Pada Tabel 11 terlihat bahwa sebagian besar orang tua dari ayah dan ibu yang tergolong miskin memiliki kondisi yang lebih buruk bila dibandingkan kondisi rumah lain di lingkungan sekitar (persentasenya berturut-turut adalah 80% dan 90%). Sebaliknya, keluarga orang tua dari ayah dan ibu yang berstatus tidak miskin sebagian besar memiliki kondisi rumah yang lebih baik atau sama saja bila dibandingkan dengan kondisi rumah lain di lingkungan sekitarnya (persentasenya masing-masing 80% dan 63,3%).

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan dan kondisi rumah orang tua serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga) Kepemilikan

Rumah dan Kondisi Rumah

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n %

Kepemilikan Rumah Keluarga Asal Ayah

Bukan milik pribadi 0 0 0 0 0 0

Milik pribadi 30 100 30 100 60 100

Total 30 100 30 100 60 100

Keluarga Asal Ibu

Bukan milik pribadi 4 13,3 0 0 4 6,7

Milik pribadi 26 86,7 30 100 56 93,3

Total 30 100 30 100 60 100

Kondisi Rumah Keluarga Asal Ayah

Lebih buruk 24 80 6 20 30 50

Sama saja/ lebih baik 6 20 24 80 30 50

Total

Keluarga Asal Ibu

Lebih buruk 27 90 11 36,7 38 63,3

Sama saja/ lebih baik 3 10 19 63,3 22 36,7

Total 30 100 30 100 60 100

Kepemilikan lahan pertanian. Wilayah pedesaan dicirikan dengan pertanian sebagai sumber penghasilan sehingga kepemilikan lahan pertanian dapat menentukan status sosial dan tingkat kesejahteraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal kepemilikan lahan pertanian, lebih dari setengah orang tua ayah tidak memiliki lahan pertanian, begitu pula pada keluarga ibu.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan lahan pertanian orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)

Kepemilikan Lahan Pertanian

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Keluarga Ayah Tidak memiliki 25 83,3 8 26,7 33 55 Memiliki 5 16,7 22 73,3 27 45 Total 30 100 30 100 60 100 Keluarga Ibu Tidak memiliki 23 76,7 16 53,3 39 65 Memiliki 7 23,3 14 46,7 21 35 Total 30 100 30 100 60 100

Bla dibandingkan antara keluarga orang tua ayah dan ibu berdasarkan status kesejahteraan keluarga contoh, akan terlihat perbedaan yang cukup nyata dalam hal kepemilikan lahan pertanian. Persentase orang tua ayah dan ibu berstatus tidak miskin dalam hal kepemilikan lahan pertanian lebih tinggi (berturut-turut 73,3% dan 46,7%) bila dibandingkan orang tua ayah dan ibu yang

berstatus miskin (persentasenya masing-masing 16,7% dan 23,3%). Informasi mengenai hal tersebut disajikan pada Tabel 12.

Kepemilikan ternak. Selain kepemilikan lahan pertanian, kepemilikan hewan ternak juga dianggap turut menentukan status sosial suatu keluarga di wilayah pedesaan. Kepemilikan ternak yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah ternak dengan nilai ekonomi yang tinggi seperti kambing, domba, sapi, atau kerbau. Seperti halnya kepemilikan lahan pertanian, lebih dari setengah orang tua ayah dan ibu dalam penelitian ini tidak memiliki hewan ternak (Tabel 13). Persentase kepemilikan ternak tertinggi ada pada orang tua ayah yang berstatus tidak miskin (56,7%). Sementara itu, persentase orang tua ibu miskin dalam hal kepemilikan ternak lebih tinggi bila dibandingkan orang tua dari ibu yang tidak miskin (persentasenya berturut-turut 50% dan 46,7%).

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan hewan ternak orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)

Kepemilikan Ternak

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Keluarga Ayah Tidak memiliki 22 73,3 13 43,3 35 58,3 Memiliki 8 26,7 17 56,7 25 41,7 Total 30 100 30 100 60 100 Keluarga Ibu Tidak memiliki 15 50 16 53,3 31 51,6 Memiliki 15 50 14 46,7 29 48,3 Total 30 100 30 100 60 100

Kemampuan literasi. Kemampuan membaca dan menulis orang tua ayah dan ibu menunjukkan akses keluarga pendahulunya terhadap pendidikan. Berbeda dengan kondisi saat ini, pendidikan – bahkan pendidikan dasar sekalipun – pada masa tersebut (sekitar 40 hingga 60 tahun yang lalu) merupakan sesuatu yang tidak setiap orang bisa dapatkan. Bergantung pada status sosial ekonomi keluarga pada masa tersebut.

Sebagian besar orang tua ayah dan ibu memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis (Tabel 14). Walau begitu, persentase orang tua ayah dan ibu yang tidak bisa membaca dan menulis angkanya masih cukup signifikan (masing-masing 18,3% dan 15%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan pada masa tersebut merupakan suatu hal yang sulit untuk diakses, terutama oleh kelompok miskin. Persentase orang tua yang mampu membaca dan menulis lebih tinggi pada orang tua ayah dan ibu tidak miskin (masing-masing 90% dan

93,3%) bila dibandingkan dengan orang tua ayah dan ibu miskin (berturut-turut 73,3% dan 76,7%).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan literasi orang serta status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)

Kemampuan Baca Tulis

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Keluarga Ayah Tidak Bisa 8 26,7 3 10 11 18,3 Bisa 22 73,3 27 90 49 82,7 Total 30 100 30 100 60 100 Keluarga Ibu Tidak Bisa 7 23,3 2 6,7 9 15 Bisa 23 76,7 28 93,3 51 85 Total 30 100 30 100 60 100

Dinamika Kemiskinan dan Transfer Kemiskinan

Dari hasil pengukuran dengan menggunakan metode Family Life Hsitory, didapatkan status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu. Secara umum, lebih dari setengah keluarga asal ayah dan ibu berstatus tidak miskin dengan persentase masing-masing 55 persen dan 51,7 persen. Semenetara sisanya (45% keluarga asal ayah dan 48,3% keluarga asal ibu) digolongkan sebagai keluarga miskin. Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu selanjutnya akan dibandingkan dengan status kesejahteraan keluarga contoh untuk dilihat kecenderungan terjadinya transfer kemiskinan pada dua generasi tersebut.

Ayah dan ibu yang saat ini berstatus miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus miskin (persentasenya masing-masing 83,3%). Sebaliknya pada ayah dan ibu yang saat ini berstatus tidak miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus tidak miskin (persentasenya masing-masing 93,3% dan 86,7%). Hal tersebut menunjukkan kecenderungan terjadinya transfer kemiskinan dalam keluarga diantara dua generasi keluarga yang diamati dalam penelitian ini (Tabel 15).

Pengamatan terhadap fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dilakukan melalui pendekatan dinamika kemiskinan yang dialami oleh ayah dan ibu. Status dinamika kemiskinan dibagi menjadi empat, yaitu tidak pernah miskin, selalu miskin, terjerumus miskin, dan keluar dari kemiskinan. Tidak pernah miskin artinya pada dua generasi keluarga, status kesejahteraan contoh selalu tergolong tidak miskin. Sementara sebaliknya, selalu miskin artinya pada dua generasi keluarga contoh mengalami status yang sama yaitu miskin. Terjerumus miskin artinya ayah atau ibu mengalami perubahan status dari tidak miskin saat tinggal

bersama orang tua, menjadi miskin pada saat ini. Sebaliknya, keluar dari kemiskinan artinya berubah dari miskin saat tinggal bersama orang tua, menjadi tidak miskin saat membentuk keluarga baru di masa sekarang.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal dan status kesejahteraan keluarga contoh (n=60 keluarga)

Status Kesejahteraan

Miskin Tidak Miskin Total

n % n % n % Keluarga Ayah Miskin 25 83,3 2 6,7 27 45 Tidak Miskin 5 16,7 28 93,3 33 55 Total 30 100 30 100 60 100 Keluarga Ibu Miskin 25 83,3 4 13,3 29 48,3 Tidak Miskin 5 16,7 26 86,7 31 51,7 Total 30 100 30 100 60 100

Sebagian besar ayah mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (46,7%). Sekitar 3,3 persen ayah mengalami kondisi keluar dari kemiskinan dan 8,3 persen lainnya mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Sementara itu, sebagian besar ibu juga mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (43,3%). Sisanya sebesar 8,3 persen ibu mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan dan 6,7 persen lainnya mengalami kondisi keluar dari kemiskinan.

Transfer kemiskinan terjadi ketika status dinamika kemiskinan antara dua generasi keluarga yang dialami adalah selalu miskin dan terjerumus menjadi miskin. Sebaliknya, bila status dinamika kemiskinan yang dialami adalah keluar dari kemiskinan dan tidak pernah miskin maka dapat disimpulkan transfer kemiskinan tidak terjadi. Dalam penelitian ini, jumlah contoh yang mengalami transfer kemiskinan dan tidak mengalami transfer kemiskinan sama besar baik pada keluarga ayah (masing-masing 30 keluarga) maupun pada keluarga ibu (masing-masing 30 keluarga). Hal tersebut disebabkan karena keluarga contoh dalam penelitian ini telah didesain berstatus miskin dan tidak miskin dengan proporsi sama besar.

Dinamika kemiskinan dan perkawinan. Perkawinan bisa menjadi jalan bagi seorang individu untuk meningkatkan status sosialnya ataupun sebaliknya. Untuk mengamati fenomena tersebut, dapat dilakukan dengan membandingkan status kesejahteraan keluarga asal setiap pasangan (ayah dan ibu) dengan status kesejahteraan keluarga yang dibentuk saat ini (Tabel 16).

Keluarga contoh yang dibentuk dari ayah dan ibu yang sama-sama berasal dari keluarga miskin, seluruhnya juga berstatus miskin. Artinya, ayah dan ibu dari kelompok keluarga tersebut selalu berada dalam kondisi miskin (status dinamika kemiskinannya selalu miskin). Sementara itu, keluarga contoh yang dibentuk dari ayah yang berasal dari keluarga tidak miskin sementara ibu berasal

Dokumen terkait