• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan

Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai pihak. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan.

Sementara itu, World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan dimensi yang lebih luas. Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang) (Syafrian 2009).

Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial yang diadakan di Kopenhagen pada tahun 1995 menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif, yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial (Rahardjo 2006).

Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka (Dharmawan et al. 2010). Dengan demikian, kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks karena menyangkut berbagai dimensi kehidupan.

Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadap situasi darurat (state of

emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu, Max Nef memaparkan enam macam jenis kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsistensi, 2) kemiskinan perlindungan, 3) kemiskinan pemahaman, 4) kemiskinan partisipasi 5) kemiskinan identitas, dan 6) kemiskinan kebebasan (Muttaqien 2006).

Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin adalah: 1) rata- rata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Schiller (2008) memaparkan tiga sudut pandang dalam melihat penyebab terjadinya kemiskinan. Sudut pandang pertama adalah flawed character yang menganggap kemiskinan disebabkan oleh individu bersangkutan. Berkaitan dengan seberapa besar upaya tiap individu untuk melakukan investasi sumberdaya manusia melalui pendidikan atau latihan. Sudut pandang kedua melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan kesempatan (restricted opportunity) bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan diskriminasi ras, gender, dan kelas sosial. Kasus di Indonesia yang lebih relevan terkait dengan sudut pandang ini adalah pembangunan yang bias kota dan wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan.

Sudut pandang yang terakhir menganggap kemiskinan disebabkan oleh kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (big brother view). Kesalahan dari pemerintah bisa disebabkan oleh penerapan kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat miskin, maupun pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang justru membuat kelompok miskin menjadi semakin miskin (terkait sikap dan karakter mereka).

Standar Kemiskinan

Menurut Sayogyo (1977), tingkat kemiskinan merupakan sesuatu yang dapat diukur sehingga munculah istilah garis kemiskinan. Terdapat beberapa konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka

kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum needs) dan konsep satuan pengukuran (unit of measure) (Schiller 2008).

Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makanan adalah nilai rupiah yang dikeluaran untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya (Urip 2008).

Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller 2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah $2 per hari.

Bubolz dan Sontag (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai hidup. Mengingat kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi, maka kesejahteraan merupakan konsep yang berkebalikan dengan kemiskinan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokan secara bertahap menjadi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus. Sunarti (2008) menyatakan bahwa batasan operasional dari keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan perkembangan, dan kepedulian sosial.

Untuk mengkategorisasikan keluarga ke dalam tahapan kesejahteraan, digunakan indikator kesejahteraan keluarga (IKS). Definisi keluarga sejahtera

menurut tahapan dalam indikator keluarga sejahtera ditunjukkan pada Tabel 1. Indikator kesejahteraan keluarga merupakan satu-satunya alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan di level keluarga yang digunakan di Indonesia (Sunarti 2008). Dengan mempertimbangan pengertian kemiskinan secara luas maka keluarga yang berada pada tahap pra keluarga sejahtera (Pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I) dapat digolongkan sebagai keluarga miskin. Keluarga pada tahap tersebut bukan hanya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, namun juga kebutuhan sosial psikologis seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan makanan yang bergizi.

Hasil penelitian Rambe (2004) terhadap empat alat ukur kesejahteraan yaitu standar kemiskinan BPS, IKS BKKBN, pengeluaran pangan, dan ukuran subjektif, menunjukkan bahwa IKS dianggap paling baik. Alasannya adalah kemudahan dalam pengoprasian hingga ke level administrasi terendah dan dengan cepat dapat mengklasifikasikan keluarga miskin. Namun, IKS memunculkan masalah dalam menerjemahkan indikator sosial dan psikologis seperti menjalankan ibadah sesuai agamanya (Sunarti 2008).

Tabel 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS

Tahap Definisi

Pra KS Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

KS I Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. KS II Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya

dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya.

KS III Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya.

KS Plus Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat.

Sumber: BKKBN (2004)

Kemiskinan Kronis

Hal yang menjadi ciri pembeda dari kemiskinan kronis (chronic poverty) dengan jenis kemiskinan lainnya adalah panjangnya durasi dari kemiskinan tersebut. Istilah kemiskinan kronis digunakan untuk menggambarkan kemiskinan

yang ekstrim yang terus berlangsung untuk waktu yang panjang – bertahun- tahun, seumur hidup, bahkan berlangsung antargenerasi (CPRC 2008). Individu atau keluarga yang mengalami kemiskinan kronis biasanya terseret ke dalam perangkap kemiskinan yang menyebabkan terjadinya siklus kemiskinan sehingga mereka sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Menurut CPRC (2008) kelompok yang mengalami kemiskinan kronis biasanya mengalami berbagai deprivasi, mulai dari kemampuan yang kurang, kepemilikan aset yang rendah, dan termarjinalkan secara sosial politik.

Ketidakberdayaan penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan disebabkan oleh terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran kemiskinan (Dharmawan et al. 2010). Rendahnya pendapatan penduduk miskin menyebabkan daya beli kurang. Akibatnya, pemenuhan terhadap kebutuhan dasar seperti pangan dan kesehatan tidak optimal yang berdampak pada rendahnya status kesehatan dan gizi. Hal tersebut akan menyebabkan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas pada penduduk miskin yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi pendidikan. Sehingga akan berujung pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas dan pendapatan. Fenomena tersebut seringkali disebut sebagai perangkap kemiskinan (Gambar 1).

Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)

Dinamika Kemiskinan

Poverty dynamics atau dinamika kemiskinan berkaitan dengan perubahan tingkat kesejahteraan (dari miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya) yang

Penduduk miskin 

pendapatan rendah

Daya beli rendah Rendahnya kualitas: Pangan Kesehatan Perumahan/ lingkungan

Pendidikan

Status kesehatan dan gizi rendah

Morbiditas dan mortalitas tinggi  Partisipasi pendidikan rendah  Absensi meningkat  Kecerdasan dan keterampilan rendah  Produktivitas masyarakat dan Negara rendah  Prestasi sekolah rendah

dialami individu atau rumah tangga dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor struktural dan karakteristik individu dan rumah tangga, hingga faktor yang bersifat global (Moore 2005). Kajian mengenai dinamika kemiskinan biasanya mengkategorikan status kemiskinan rumah tangga ke dalam tiga kelompok, yaitu: miskin kronis (chronic poor), miskin sementara (transient poor), dan bukan kelompok miskin (tidak pernah miskin) (Hulme et al. 2001 dalam Widyanti et al. 2009). Sementara itu, Moore (2005) membagi status dinamika kemiskinan keluarga menjadi empat yaitu selalu miskin atau miskin kronis (always poor atau chronic poor), keluar dari kemiskinan (moved out of poverty), terjerumus ke dalam kemiskinan (moved into peverty), dan tidak pernah miskin (non-poor).

Pendekatan dinamika kemiskinan yang dipaparkan sebelumnya berkaitan dengan kondisi kemiskinan suatu keluarga dalam jangka waktu tertentu (intrageneration). Status dinamika kemiskinan tersebut dapat diadapsi untuk menganalisis fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga. Status kemiskinan diantara dua generasi keluarga diperbandingkan sehingga bisa diamati dinamika diantara keduanya. Pembagian status dinamika kemiskinan berdasakan Moore (2005) dianggap lebih tepat untuk menggambarkan fenomena transfer kemiskinan antar generasi. Kemiskinan ditransfer antargenerasi bila status dinamika kemiskinan diantara dua generasi keluarga selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan.

Transfer Kemiskinan antar Generasi

Kemiskinan tidak ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai satu paket, melainkan sebagai satu komplek faktor negatif dan positif yang mempengaruhi kemungkinan seorang individu untuk mengalami kemiskinan. Pendekatan mata pencaharian atau aset sangat berguna untuk memahami transfer kemiskinan antar generasi (intergenerational transfer of poverty/ Intergenerational transmitted poverty atau IGT of poverty), dengan cara fokus pada terjadinya transfer atau tidak terjadinya transfer aset-aset yang berkaitan dengan kemiskinan dalam berbagai macam bentuk atau disebut capital (human capital, social-cultural capital, social-political capital, material capital, dan natural capital) (Moore 2005).

Menurut Moore (2001), kemiskinan yang terjadi antargenerasi dapat dilihat sebagai karakteristik dan juga penyebab dari kemiskinan kronis. Konsep penting dalam memahami transfer kemiskinan antargenerasi adalah:

1. Unit analisis. Fokus pada private transmission dari individu dan keluarga dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau transfer kemiskinan dalam, antara, atau melalui ranah publik atau komunitas, negara dan pasar.

2. Arah transfer. Transfer hanya dilakukan dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda atau terjadi juga sebaliknya. Terkait

dengan hal tersebut, apakah terjadi juga tansfer „jump generation‟, misalnya dari kakek ke cucu atau sebaliknya.

3. Hal-hal yang ditransfer. Kemiskinan antar generasi dapat dipahami dengan baik bila fokus pada transfer, pencabutan (extraction) transfer, dan ketiadaan transfer pada berbagai bentuk modal atau capital (manusia, sosial budaya, sosial politik, keuangan atau materi, dan lingkungan alam), yang dapat menimbulkan kemiskinan baik kemiskinan multidimensional ataupun kemiskinan dalam konteks sempit.

4. Terjadinya transfer, pencabutan, atau kurangnya transfer dalam sejumlah atau seluruh capital dalam memastikan terjadinya IGT poverty.

Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi (Moore 2005)

Hal-hal yang ditransfer antargenerasi, sehingga kurangnya atau ketiadaan transfer tersebut menyebabkan kemiskinan antargenerasi terdiri dari modal finansial atau material, modal manusia (human capital), modal natural atau lingkungan, dan modal sosial budaya (Moore 2001). Sebagian besar penelitian selama ini lebih fokus pada modal manusia (human capital), terutama meliputi investasi orang tua terhadap pendidikan anak dan kesehatan serta gizi dan

Orang tua miskin Dewasa

miskin Anak miskin

Anak Orang tua tidak

miskin Dewasa tidak

misin Anak

Tidak miskin

Life course effect Transfer kapital

sumberdaya finansial atau materi yang ditransfer antargenerasi melalui warisan dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda (Hulme et al. 2001).

Human capital atau modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan atribut-atribut lainnya yang ada pada diri individu yang dapat memfasilitasi terciptanya kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi (OECD 2004). Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan human capital dari individu atau keluarga sebagai total simpanan (stock) kapasitas manusia pada satu waktu tertentu yang mempengaruhi sumberdaya di masa depan dan penggunaannya. Syarif (1997) mendefinisikan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.

Sementara itu, aset material menurut Deacon dan Firebough (1988) adalah suatu kumpulan barang yang memiliki nilai. Rumah dan hal-hal lainnya yang dimiliki oleh rumah tangga merupakan bagian utama dari aset material keluarga, termasuk juga uang tunai atau deposito yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Aset material berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik konsumsi maupun investasi.

Uang dan aset materi lainnya juga ditransfer antar generasi melalui pemberian hadiah atau warisan (gift dan bequest). Pewarisan modal finansial dan material tersebut dipengaruhi oleh budaya sosial dan norma yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Mas kawin dan kekayaan yang didapatkan setelah menikah merupakan bentuk yang penting dari transfer modal secara inter vivos dari modal material (Moore 2001).

Nilai Anak

Dari segi sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga. Dari segi ekonomi, nilai berwujud nilai tukar (harga) dan nilai guna (utilitas). Secara umum, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berguna, dan penting bagi seseorang (Guharja et al. 1992). Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan atau dianggap berharga, menjadi kriteria utama dalam mencapai tujuan, sehingga menentukan keberlanjutan seluruh keputusan dan tindakan.

Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Trommsdorff (2005) menyatakan bahwa nilai anak mengacu pada fungsi anak yang bisa diberikan kepada orang tua atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh anak bagi orang tua. Konsep nilai anak menggunakan pendekatan gabungan antara faktor objektif (ekonomi) dan normatif juga pengaruh psikologis yang mempengaruhi perilaku fertilitas.

Menurut Sam (2001) nilai anak dikonseptualisasikan sebagai konstruksi psikologis yang mengacu pada keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak dan juga biaya serta kerugiannya. Secara spesifik, nilai anak dimaknai sebagai refleksi motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak, dan di dalam motivasi tersebut termasuk juga tujuan personal dan pengalaman sosialisasi orang tua (Sam 2001).

Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki tanggung jawab dalam hal perawatan dan perkembangan dari anggota keluarga tersebut. Sebagai penghasil sumberdaya manusia, keluarga juga diharapkan untuk berfungsi dengan baik agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Investasi orang tua terhadap anak merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, salah satunya melalui alokasi uang dan waktu untuk pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, motivasi orang tua untuk membesarkan anak dengan baik, dipengaruhi oleh persepsi orang tua tentang nilai anak.

Menurut Suckow dan Klaus (2002) nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu: nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-utilitarian anak, dan nilai sosial-normatif anak. Sam (2001) menjabarkan ketiga dimensi nilai anak tersebut. Disebutkan bahwa nilai psikologis mengacu pada kebahagiaan, kesenangan, dan kenyamanan atau sebaliknya ketidaknyamanan dan stres yang orang tua persepsikan dengan kehadiran seorang anak. Sementara itu nilai sosial mengacu pada keuntungan sosial atau justru ketidakberuntungan yang dipersepsikan orang tua dengan hadirnya seorang anak (misal penerimaan sosial dan status sosial saat pasangan mendapatkan anak; keberlanjutan keturunan). Sementara itu, nilai ekonomi anak merupakan alasan orang tua untuk memiliki anak secara ekonomi.

Transfer nilai anak antargenerasi

Kwast-Welfel et. al (2008) menyatakan bahwa transfer nilai antargenerasi menjadi suatu mekanisme utama untuk keberlanjutan suatu komunitas. Lebih

lanjut Grolnick et. al (1997) dalam Hayne et al. (2006) menyatakan bahwa nilai dan norma sosial diidentifikasi dan diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan enkulturasi. Nilai anak ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam keluarga melalui proses sosialisasi orang tua terhadap anak, dalam hal ini pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.

Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)

Menurut Trommsdroff (2002), hubungan orang tua-anak merupakan

bagian dari “developmental niche”, dimana orang tua melakukan sosialisasi terhadap anak sekaligus juga melakukan transfer nilai dan perilaku yang diharapkan pada diri anak. Lebih lanjut Kuczynski et al. dalam Trommsdroff (2002) menjelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang terjadi pada satu

Variabel personal Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme) - Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi Variabel personal Variabel hubungan Generasi I

Generasi II Variabel personal Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme) - Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi Generasi III Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme) - Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi Variabel hubungan Variabel hubungan

generasi keluarga (misal antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masing- masing) merupakan suatu syarat untuk perkembangan individu pada generasi selanjutnya (anak). Pada waktu yang bersamaan, ayah dan ibu merupakan hasil dari perkembangan individu dan dipengaruhi oleh hubungan orang-tua anak pada generasi sebelumnya (hubungan kakek-nenek dengan ayah atau ibu). Berdasarkan pada pengalaman yang dialami dari hubungan orang tua- anak (misal ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing), anak (ayah dan ibu) akan mengembangkan ekspektasi, nilai, dan perilaku preferensi yang sifatnya cenderung stabil sepanjang waktu. Nilai dan perilaku preferensi tersebut diasumsikan mempengaruhi persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak saat dewasa, termasuk terkait dengan keputusan fertilitas, persepsi subjektif tentang anak mereka, dan bentuk hubungan ayah dan ibu dengan anaknya (Trommsdroff 2002). Gambar 3 memvisualisasikan proses transfer nilai anak antar generasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua teradap anak.

Investasi Orang Tua pada Anak

Schultz (1981) menyatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi, dan tanah untuk pertanian, melainkan peningkatan kualitas manusia (human capital) dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas manusia dilakukan melalui investasi sumberdaya manusia.

Keluarga memegang peranan penting dalam memproduksi modal manusia seorang anak, investasi dalam modal manusia merupakan salah satu cara bagi keluarga untuk meningkatkan produktivitas marginal seorang anak sehingga akan meningkatkan kapasitas pendapatan anak tersebut (Taubman 1996). Deacon dan Firebough (1981) menyatakan bahwa suatu bagian yang signifikan dari pengembangan modal manusia didapat dari proses belajar secara sadar ataupun tidak sadar yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua yang menggunakan waktunya untuk mengajarkan anaknya melakukan tugas tertentu akan berkontribusi terhadap pembentukan modal manusia seorang anak. Seperti halnya pendidikan formal, pelatihan yang dilakukan di rumah dapat berkontribusi besar terhadap kapasitas individu. Dengan demikian keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumberdaya manusia.

Hartoyo (1998) mendefinisikan investasi orang tua terhadap anak sebagai segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumberdaya keluarga yang bertujuan untuk

meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang produktif saat dewasa. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi terhadap anggota keluarga yang berarti investasi terhadap sumberdaya manusia (human capital) memiliki banyak bentuk, namun cara yang paling umum untuk berinvestasi terhadap sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan formal selain juga melalui kesehatan dan pengasuhan anak.

Perilaku investasi pada anak dapat diukur dengan menghitung seberapa besar alokasi sumberdaya keluarga, khususnya sumberdaya uang dan waktu yang dicurahkan untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa curahan sumberdaya keluarga pada anak dapat meningkatkan kualitas modal manusia pada diri anak sehingga kelak akan mempunyai produktivitas yang lebih baik. Oleh karena itu, alokasi waktu dan uang untuk anak dapat dipandang sebagai bentuk investasi, karena orang tua berharap anak memiliki produktivitas yang tinggi dan memberi manfaat lebih besar pada keluarga kelak (Hartoyo & Hastuti 2003).

Sementara itu Bonke dan Andersen (2009) mengukur investasi orang tua pada anak dengan mengukur waktu investasi orang tua pada anak secara kuantitas dan kualitas. Waktu investasi orang tua pada anak secara kualitas dibedakan menjadi developmental dan non-developmental care. Developmental care didefinisikan sebagai keterlibatan orang tua dalam perkembangan intelektual, fisik, dan sosial anak, sementara kegiatan perawatan lainnya digolongkan ke dalam non-develomental. Developmental care meliputi: (a) aktivitas perawatan seperti memandikan dan memberi makan, (b) aktivitas

Dokumen terkait