• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi)"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

Cicurug Subdistrict, District of Sukabumi). Under supervision ofHARTOYO.

This research aimed to analyze intergenerational transfer of poverty in two generation of family and it interplay with value of children and parental investment behavior on child. Design of this research combined cross sectional and retrospective study; involved 60 families (as the second generation family) that dwelled in Pasawahan village with the last child was under five years old, split into two social economic status: poor (30 families) and not poor (30 families), base on BKKBN’s family welfare phasing. Both husband and wife were interviewed by using structure questionnaire to obtain the information of both generations of families. This research revealed that value of children affected parental investment on child, while both variables were affected by family social economic status. Parental investment on child was the determinant factor of children welfare in the future. This research estimated that chance of family with husband came from poor family was 38 times higher to be poor also. Some samples experienced status mobility from poor to be not poor, because of education factor (for husband) and also marital factor (for wife).

Keywords: intergenerational transfer of poverty, value of children, parental investment behavior on child

ABSTRAK

AGUS SURACHMAN. Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak dan perilaku investasi pada anak. Desain penelitian ini merupakan kombinasi dari cross sectional dan retrospective; melibatkan 60 keluarga (sebagai keluarga generasi kedua) yang tinggal di Desa Pasawahan dan memiliki anak terakhir berusia di bawah lima tahun, dikelompokan menjadi dua status sosial ekonomi: miskin (30 keluarga) dan tidak miskin (30 keluarga) berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Suami dan istri diwawancarai dengan menggunakan kuisioner terstruktur untuk menggali informasi mengenai kedua generasi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai anak mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak, sementara kedua variabel tersebut sama-sama dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Perilaku investasi pada anak merupakan faktor determinan yang menentukan kesejahteraan anak di masa depan. Hasil penelitian memperkirakan peluang keluarga dengan suami berasal dari keluarga miskin 38 kali lebih besar untuk miskin juga. Beberapa contoh dalam penelitian ini mengalami mobilitas status dari miskin menjadi tidak miskin, baik karena faktor pendidikan (suami) dan juga faktor perkawinan (istri).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan dianggap sebagai permasalahan sosial dan ekonomi yang

paling sulit untuk diselesaikan pada abad ini (Wagle 2008). Sekitar 320 hingga

433 juta penduduk dunia terjebak dalam perangkap kemiskinan (CPRC 2008).

Mereka mengalami kemiskinan kronis (chronic poverty), yaitu suatu deprivasi untuk jangka waktu yang panjang, bahkan seringkali seumur hidup mereka

(Moore 2005).

Masalah kemiskinan juga masih menjadi persoalan yang mendapat

prioritas utama di Indonesia. Untuk memenuhi target yang tercantum dalam

Millenium Declaration, Indonesia dituntut untuk mengurangi setengah dari angka kemiskinan pada tahun 1990 (sekitar 15%) menjadi sekitar 7,5 persen pada

tahun 2015. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia

adalah sekitar 31,02 juta penduduk (13,33%), masih jauh dari target yang harus

dicapai.

Angka kemiskinan pada tahun 2010 merupakan yang terendah sejak

2004. Walaupun terjadi penurunan sejak 2006, namun angka penduduk miskin

masih tergolong tinggi. Terlebih bila jumlah penduduk miskin dihitung dengan

menggunakan standar kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia

(penghasilan per kapita per hari minimal $2), angkanya akan semakin besar yaitu

42 persen (World Bank 2006). Hal tersebut disebabkan oleh besarnya proporsi

penduduk Indonesia yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Penelitian Widyanti et al. (2009) mengenai dinamika kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan data panel IFLS (Indonesian Family Life

Survey) dari tahun 1993 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa 14 persen rumah tangga yang menjadi sampel mengalami kemiskinan kronis (selalu

miskin). Sementara itu hasil pengolahan data Survey Sosial Ekonomi Nasional

(Susenas) memperlihatkan bahwa selama periode Maret 2006 hingga Maret

2007, jumlah penduduk Indonesia yang selalu miskin adalah sebesar 18,6 juta

orang (Urip 2008). Hal tersebut mengindikasikan proporsi penduduk Indonesia

yang mengalami kemiskinan kronis tergolong tinggi.

Anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga miskin kronis,

memiliki kemungkinan 35 persen lebih tinggi untuk tetap miskin saat dewasa

(3)

miskin kronis (Pakpahan et al. 2009). Kemiskinan kronis menyebabkan individu

dan keluarga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, sehingga investasi

sumberdaya manusia yang dilakukan kurang. Kemiskinan tersebut akhirnya

diturunkan kepada generasi selanjutnya karena rendahnya kualitas sumberdaya

manusia yang dihasilkan dalam keluarga pada generasi berikutnya (CPRC

2008).

Investasi terhadap sumberdaya manusia, terutama dalam hal pendidikan,

akan meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga akan meningkatkan pertumbuhan

ekonomi (Schultz 1981). Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan

(necessary condition) bagi pengurangan angka kemiskinan (Siregar 2006).

Selain itu, investasi terhadap sumberdaya manusia juga dapat menurunkan

ketimpangan distribusi pendapatan, sehingga berpotensi untuk menurunkan

tingkat kemiskinan (Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007). Dengan demikian,

investasi sumberdaya manusia merupakan salah satu determinan tingkat

kesejahteraan.

Hasil penelitian Cho (2005) terkait program pengentasan kemiskinan

Progressa di Meksiko menunjukkan bahwa program tersebut meningkatkan

rata-rata lama sekolah dan akumulasi sumberdaya manusia sehingga meningkatkan

pendapatan seumur hidup sebesar 12 persen. Secara makro, tingkat pendidikan

penduduk yang semakin tinggi terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat

kemiskinan (Siregar & Widyanti 2008; Chaudry et al. 2010). Bukti empiris

tersebut memperlihatkan bahwa akumulasi modal sosial (human capital) yang lebih besar, terutama pendidikan, berdampak pada peningkatan penghasilan

sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan.

Penelitian Leibowitz (1982) dan Hartoyo (1998) memperlihatkan

pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan kualitas individu melalui

investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Keluarga, dalam hal ini orang

tua, termotivasi untuk melakukan investasi terhadap anak mereka melalui

sumberdaya yang dimilikinya dengan harapan anak-anak tersebut akan menjadi

lebih sukses di masa depan (Hample 2010).

Investasi orang tua terhadap anak dalam keluarga merupakan suatu hal

yang bersifat krusial, terutama pada saat usia dini. Hal tersebut berkaitan dengan

peran investasi sumberdaya manusia sebagai salah satu determinan tingkat

kesejahteraan individu di masa depan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia

(4)

kemiskinan. Perangkap kemiskinan tersebut seringkali menyebabkan adanya

transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku investasi orang tua

terhadap anak pada dua generasi keluarga dan hubungannya dengan

kemiskinan keluarga. Dengan demikian dapat dilihat pengaruh investasi

sumberdaya manusia terhadap transfer kemiskinan antargenerasi dalam

keluarga.

Rumusan Masalah

Data BPS pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa 41,67 persen kepala

rumah tangga miskin di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD,

diikuti oleh tamat SD sebesar 38,36 persen (Rusastra & Napitupulu 2008). Lebih

lanjut dijelaskan bahwa angka partisipasi sekolah anak-anak dari keluarga miskin

lebih rendah dari anak-anak yang berasal dari keluarga tidak miskin, baik pada

tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Sebaliknya, angka

putus sekolah anak dari keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan

anak-anak dari keluarga tidak miskin untuk kedua jenjang pendidikan tersebut.

Fenomena tersebut menunjukkan dua hal penting; pertama, kualitas

sumberdaya manusia sangat menentukan status sosial ekonomi, salah satunya

dilihat dari tingkat pendidikan; kedua, kesadaran pendudukan miskin untuk

memperbaiki nasib keturunannya melalui investasi sumberdaya manusia

(misalnya di bidang pendidikan) lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok

tidak miskin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai nilai seorang

anak belum dipahami sepenuhnya oleh lapisan masyarakat berpenghasilan

rendah dan miskin.

Ciri yang menonjol dari keluarga miskin adalah jumlah anak yang banyak

(ukuran keluarga yang besar), karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi)

melainkan sumber faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan

keluarga (Rusastra & Napitupulu 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian

Puspitawati et al. (2008) di Kabupaten Indramayu yang memperlihatkan bahwa 55,7 persen orang tua atau wali menyetujui bahwa anak adalah tenaga kerja

keluarga. Akibatnya orang tua cenderung kurang mementingkan pendidikan anak

dan memilih untuk menjadikannya sebagai pekerja untuk membantu

(5)

Orang tua yang mendapatkan sedikit investasi dari orang tuanya –

terutama dalam hal pendidikan – kurang termotivasi untuk melakukan investasi

pada anaknya. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Puspitawati et al.

lainnya yang memperlihatkan bahwa sekitar 62,9 persen ayah dan 64,1 persen

ibu dengan anak yang mengalami drop out dari sekolah mempunyai tingkat pendidikan sampai dengan tamat SD. Didukung dengan beberapa hasil

penelitian lain (misal Hartoyo et al. 2003; Simanjuntak 2010) yang memperlihatkan rendahnya proporsi pengeluaran keluarga miskin untuk investasi

terhadap anak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan.

Investasi sumberdaya manusia, terutama yang dilakukan oleh keluarga

telah terbukti menjadi determinan tingkat kesejahteraan dan dapat mengurangi

tingkat kemiskinan (Cho 2005; Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007; Sitepu

2007; Siregar & Wahyuniarti 2008; Chaudry et al. 2010). Kurangnya investasi sumberdaya manusia berpotensi menyebabkan individu dan keluarga terjebak

dalam lingkaran kemiskinan. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam

keluarga miskin cenderung akan tumbuh menjadi individu yang juga miskin saat

dewasa. Inilah gambaran transfer kemiskinan yang terjadi antargenerasi dalam

keluarga.

Berkaca pada fakta-fakta tersebut, penelitian ini berupaya untuk mencari

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah terjadi transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga yang

dilihat dari dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga?

2. Adakah hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada dua

generasi keluarga dengan nilai anak serta perilaku investasi orang tua

pada anak, serta adakah hubungan antara persepsi orang tua tentang

nilai anak dengan perilaku investasi orang tua pada anak pada dua

generasi keluarga?

3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga

dan perilaku investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan

interaksi dua generasi keluarga?

Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer

(6)

dan investasi pada anak terhadap transfer kemiskinan tersebut. Secara khusus,

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga untuk

melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga,

2. Menganalisis hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada

dua generasi keluarga dengan nilai anak, serta perilaku investasi orang

tua pada anak,

3. Menganalisis hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak

dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi

keluarga,

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan

keluarga dan investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan

interaksi dua generasi keluarga.

Kegunaan

Dengan dilakukannya penelitian mengenai transfer kemiskinan

antargenerasi pada dua generasi keluarga serta keterkaitannya dengan nilai

anak dan investasi orang tua pada anak, diharapkan dapat memberikan

kontribusi terhadap pengembangan keilmuan di bidang ekonomi keluarga,

terutama berkaitan dengan pembahasan terkait masalah kemiskinan dan

investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat

memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan di

Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan

(7)
(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan

Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai pihak. Badan

Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan

memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar

makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut

Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam

miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk

dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan.

Sementara itu, World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan dimensi

yang lebih luas. Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf

hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk

kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko

kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri

yang kurang) (Syafrian 2009).

Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial yang diadakan di

Kopenhagen pada tahun 1995 menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud

yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya

produktif, yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; keterbatasan dan

kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi

tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan

bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak

aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial (Rahardjo 2006).

Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK),

kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup

kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun

perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin

dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka

(Dharmawan et al. 2010). Dengan demikian, kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks karena menyangkut berbagai dimensi

kehidupan.

Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2)

(9)

emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu, Max Nef memaparkan

enam macam jenis kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsistensi, 2) kemiskinan

perlindungan, 3) kemiskinan pemahaman, 4) kemiskinan partisipasi 5)

kemiskinan identitas, dan 6) kemiskinan kebebasan (Muttaqien 2006).

Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin adalah: 1)

rata-rata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja,

dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan

bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal),

setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada

di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan

kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum,

pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Schiller (2008) memaparkan tiga sudut pandang dalam melihat penyebab

terjadinya kemiskinan. Sudut pandang pertama adalah flawed character yang

menganggap kemiskinan disebabkan oleh individu bersangkutan. Berkaitan

dengan seberapa besar upaya tiap individu untuk melakukan investasi

sumberdaya manusia melalui pendidikan atau latihan. Sudut pandang kedua

melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan kesempatan (restricted

opportunity) bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan diskriminasi ras, gender, dan kelas sosial. Kasus di Indonesia yang lebih

relevan terkait dengan sudut pandang ini adalah pembangunan yang bias kota

dan wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan.

Sudut pandang yang terakhir menganggap kemiskinan disebabkan oleh

kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (big brother view). Kesalahan dari pemerintah bisa disebabkan oleh penerapan kebijakan yang tidak

pro terhadap masyarakat miskin, maupun pelaksanaan program pengentasan

kemiskinan yang justru membuat kelompok miskin menjadi semakin miskin

(terkait sikap dan karakter mereka).

Standar Kemiskinan

Menurut Sayogyo (1977), tingkat kemiskinan merupakan sesuatu yang

dapat diukur sehingga munculah istilah garis kemiskinan. Terdapat beberapa

(10)

kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum

needs) dan konsep satuan pengukuran (unit of measure) (Schiller 2008).

Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar

penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis

kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk

miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan

nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan

makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang

dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100

kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makanan adalah

nilai rupiah yang dikeluaran untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain

makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya

(Urip 2008).

Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan

dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan

jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang

merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller

2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar

kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di

bawah $2 per hari.

Bubolz dan Sontag (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan

terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai

hidup. Mengingat kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dasar

manusia tidak terpenuhi, maka kesejahteraan merupakan konsep yang

berkebalikan dengan kemiskinan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)

merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokan secara bertahap

menjadi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera

tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus.

Sunarti (2008) menyatakan bahwa batasan operasional dari keluarga sejahtera

adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan

sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan perkembangan, dan kepedulian sosial.

Untuk mengkategorisasikan keluarga ke dalam tahapan kesejahteraan,

(11)

menurut tahapan dalam indikator keluarga sejahtera ditunjukkan pada Tabel 1.

Indikator kesejahteraan keluarga merupakan satu-satunya alat untuk mengukur

tingkat kesejahteraan di level keluarga yang digunakan di Indonesia (Sunarti

2008). Dengan mempertimbangan pengertian kemiskinan secara luas maka

keluarga yang berada pada tahap pra keluarga sejahtera (Pra KS) dan keluarga

sejahtera I (KS I) dapat digolongkan sebagai keluarga miskin. Keluarga pada

tahap tersebut bukan hanya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, namun

juga kebutuhan sosial psikologis seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan,

dan makanan yang bergizi.

Hasil penelitian Rambe (2004) terhadap empat alat ukur kesejahteraan

yaitu standar kemiskinan BPS, IKS BKKBN, pengeluaran pangan, dan ukuran

subjektif, menunjukkan bahwa IKS dianggap paling baik. Alasannya adalah

kemudahan dalam pengoprasian hingga ke level administrasi terendah dan

dengan cepat dapat mengklasifikasikan keluarga miskin. Namun, IKS

memunculkan masalah dalam menerjemahkan indikator sosial dan psikologis

seperti menjalankan ibadah sesuai agamanya (Sunarti 2008).

Tabel 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS

Tahap Definisi

Pra KS Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

KS I Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. KS II Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya

dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya.

KS III Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya.

KS Plus Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat.

Sumber: BKKBN (2004)

Kemiskinan Kronis

Hal yang menjadi ciri pembeda dari kemiskinan kronis (chronic poverty) dengan jenis kemiskinan lainnya adalah panjangnya durasi dari kemiskinan

(12)

yang ekstrim yang terus berlangsung untuk waktu yang panjang –

bertahun-tahun, seumur hidup, bahkan berlangsung antargenerasi (CPRC 2008). Individu

atau keluarga yang mengalami kemiskinan kronis biasanya terseret ke dalam

perangkap kemiskinan yang menyebabkan terjadinya siklus kemiskinan sehingga

mereka sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Menurut CPRC (2008) kelompok

yang mengalami kemiskinan kronis biasanya mengalami berbagai deprivasi,

mulai dari kemampuan yang kurang, kepemilikan aset yang rendah, dan

termarjinalkan secara sosial politik.

Ketidakberdayaan penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan

disebabkan oleh terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran kemiskinan

(Dharmawan et al. 2010). Rendahnya pendapatan penduduk miskin menyebabkan daya beli kurang. Akibatnya, pemenuhan terhadap kebutuhan

dasar seperti pangan dan kesehatan tidak optimal yang berdampak pada

rendahnya status kesehatan dan gizi. Hal tersebut akan menyebabkan tingginya

tingkat morbiditas dan mortalitas pada penduduk miskin yang berpengaruh pada

rendahnya partisipasi pendidikan. Sehingga akan berujung pada rendahnya

kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas dan

pendapatan. Fenomena tersebut seringkali disebut sebagai perangkap

kemiskinan (Gambar 1).

Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)

Dinamika Kemiskinan

Poverty dynamics atau dinamika kemiskinan berkaitan dengan perubahan tingkat kesejahteraan (dari miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya) yang

Penduduk miskin 

pendapatan rendah

(13)

dialami individu atau rumah tangga dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh

kombinasi dari faktor struktural dan karakteristik individu dan rumah tangga,

hingga faktor yang bersifat global (Moore 2005). Kajian mengenai dinamika

kemiskinan biasanya mengkategorikan status kemiskinan rumah tangga ke

dalam tiga kelompok, yaitu: miskin kronis (chronic poor), miskin sementara (transient poor), dan bukan kelompok miskin (tidak pernah miskin) (Hulme et al.

2001 dalam Widyanti et al. 2009). Sementara itu, Moore (2005) membagi status dinamika kemiskinan keluarga menjadi empat yaitu selalu miskin atau miskin

kronis (always poor atau chronic poor), keluar dari kemiskinan (moved out of

poverty), terjerumus ke dalam kemiskinan (moved into peverty), dan tidak pernah miskin (non-poor).

Pendekatan dinamika kemiskinan yang dipaparkan sebelumnya berkaitan

dengan kondisi kemiskinan suatu keluarga dalam jangka waktu tertentu

(intrageneration). Status dinamika kemiskinan tersebut dapat diadapsi untuk

menganalisis fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.

Status kemiskinan diantara dua generasi keluarga diperbandingkan sehingga

bisa diamati dinamika diantara keduanya. Pembagian status dinamika

kemiskinan berdasakan Moore (2005) dianggap lebih tepat untuk

menggambarkan fenomena transfer kemiskinan antar generasi. Kemiskinan

ditransfer antargenerasi bila status dinamika kemiskinan diantara dua generasi

keluarga selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan.

Transfer Kemiskinan antar Generasi

Kemiskinan tidak ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya

sebagai satu paket, melainkan sebagai satu komplek faktor negatif dan positif

yang mempengaruhi kemungkinan seorang individu untuk mengalami

kemiskinan. Pendekatan mata pencaharian atau aset sangat berguna untuk

memahami transfer kemiskinan antar generasi (intergenerational transfer of

poverty/ Intergenerational transmitted poverty atau IGT of poverty), dengan cara fokus pada terjadinya transfer atau tidak terjadinya transfer aset-aset yang

berkaitan dengan kemiskinan dalam berbagai macam bentuk atau disebut capital (human capital, social-cultural capital, social-political capital, material capital, dan

(14)

Menurut Moore (2001), kemiskinan yang terjadi antargenerasi dapat dilihat

sebagai karakteristik dan juga penyebab dari kemiskinan kronis. Konsep penting

dalam memahami transfer kemiskinan antargenerasi adalah:

1. Unit analisis. Fokus pada private transmission dari individu dan keluarga dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau transfer kemiskinan

dalam, antara, atau melalui ranah publik atau komunitas, negara dan

pasar.

2. Arah transfer. Transfer hanya dilakukan dari generasi yang lebih tua

kepada generasi yang lebih muda atau terjadi juga sebaliknya. Terkait

dengan hal tersebut, apakah terjadi juga tansfer „jump generation‟, misalnya dari kakek ke cucu atau sebaliknya.

3. Hal-hal yang ditransfer. Kemiskinan antar generasi dapat dipahami

dengan baik bila fokus pada transfer, pencabutan (extraction) transfer, dan ketiadaan transfer pada berbagai bentuk modal atau capital

(manusia, sosial budaya, sosial politik, keuangan atau materi, dan

lingkungan alam), yang dapat menimbulkan kemiskinan baik kemiskinan

multidimensional ataupun kemiskinan dalam konteks sempit.

4. Terjadinya transfer, pencabutan, atau kurangnya transfer dalam sejumlah

atau seluruh capital dalam memastikan terjadinya IGT poverty.

Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi (Moore 2005)

Hal-hal yang ditransfer antargenerasi, sehingga kurangnya atau

ketiadaan transfer tersebut menyebabkan kemiskinan antargenerasi terdiri dari

modal finansial atau material, modal manusia (human capital), modal natural atau lingkungan, dan modal sosial budaya (Moore 2001). Sebagian besar penelitian

selama ini lebih fokus pada modal manusia (human capital), terutama meliputi investasi orang tua terhadap pendidikan anak dan kesehatan serta gizi dan

Orang tua miskin Dewasa

miskin Anak miskin

Anak Orang tua tidak

miskin Dewasa tidak

misin Anak

Tidak miskin

(15)

sumberdaya finansial atau materi yang ditransfer antargenerasi melalui warisan

dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda (Hulme et al. 2001).

Human capital atau modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan atribut-atribut lainnya yang ada pada diri individu

yang dapat memfasilitasi terciptanya kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi

(OECD 2004). Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan human capital dari

individu atau keluarga sebagai total simpanan (stock) kapasitas manusia pada satu waktu tertentu yang mempengaruhi sumberdaya di masa depan dan

penggunaannya. Syarif (1997) mendefinisikan kualitas sumberdaya manusia

(SDM) sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada

dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang

menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun

makhluk sosial.

Sementara itu, aset material menurut Deacon dan Firebough (1988)

adalah suatu kumpulan barang yang memiliki nilai. Rumah dan hal-hal lainnya

yang dimiliki oleh rumah tangga merupakan bagian utama dari aset material

keluarga, termasuk juga uang tunai atau deposito yang dimaksudkan untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi. Aset material berfungsi untuk memenuhi

kebutuhan keluarga, baik konsumsi maupun investasi.

Uang dan aset materi lainnya juga ditransfer antar generasi melalui

pemberian hadiah atau warisan (gift dan bequest). Pewarisan modal finansial

dan material tersebut dipengaruhi oleh budaya sosial dan norma yang berlaku di

suatu masyarakat tertentu. Mas kawin dan kekayaan yang didapatkan setelah

menikah merupakan bentuk yang penting dari transfer modal secara inter vivos dari modal material (Moore 2001).

Nilai Anak

Dari segi sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan

objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau

berharga. Dari segi ekonomi, nilai berwujud nilai tukar (harga) dan nilai guna

(utilitas). Secara umum, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berguna, dan

penting bagi seseorang (Guharja et al. 1992). Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan atau dianggap

berharga, menjadi kriteria utama dalam mencapai tujuan, sehingga menentukan

(16)

Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Trommsdorff (2005) menyatakan

bahwa nilai anak mengacu pada fungsi anak yang bisa diberikan kepada orang

tua atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh anak bagi orang tua. Konsep nilai

anak menggunakan pendekatan gabungan antara faktor objektif (ekonomi) dan

normatif juga pengaruh psikologis yang mempengaruhi perilaku fertilitas.

Menurut Sam (2001) nilai anak dikonseptualisasikan sebagai konstruksi

psikologis yang mengacu pada keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak

dan juga biaya serta kerugiannya. Secara spesifik, nilai anak dimaknai sebagai

refleksi motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak, dan di dalam

motivasi tersebut termasuk juga tujuan personal dan pengalaman sosialisasi

orang tua (Sam 2001).

Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki

tanggung jawab dalam hal perawatan dan perkembangan dari anggota keluarga

tersebut. Sebagai penghasil sumberdaya manusia, keluarga juga diharapkan

untuk berfungsi dengan baik agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia

yang berkualitas. Investasi orang tua terhadap anak merupakan salah satu upaya

yang dilakukan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas,

salah satunya melalui alokasi uang dan waktu untuk pendidikan dan kesehatan.

Dengan demikian, motivasi orang tua untuk membesarkan anak dengan baik,

dipengaruhi oleh persepsi orang tua tentang nilai anak.

Menurut Suckow dan Klaus (2002) nilai anak terdiri dari tiga dimensi,

yaitu: nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-utilitarian anak, dan nilai

sosial-normatif anak. Sam (2001) menjabarkan ketiga dimensi nilai anak

tersebut. Disebutkan bahwa nilai psikologis mengacu pada kebahagiaan,

kesenangan, dan kenyamanan atau sebaliknya ketidaknyamanan dan stres yang

orang tua persepsikan dengan kehadiran seorang anak. Sementara itu nilai

sosial mengacu pada keuntungan sosial atau justru ketidakberuntungan yang

dipersepsikan orang tua dengan hadirnya seorang anak (misal penerimaan sosial

dan status sosial saat pasangan mendapatkan anak; keberlanjutan keturunan).

Sementara itu, nilai ekonomi anak merupakan alasan orang tua untuk memiliki

anak secara ekonomi.

Transfer nilai anak antargenerasi

Kwast-Welfel et. al (2008) menyatakan bahwa transfer nilai antargenerasi

(17)

lanjut Grolnick et. al (1997) dalam Hayne et al. (2006) menyatakan bahwa nilai

dan norma sosial diidentifikasi dan diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan

enkulturasi. Nilai anak ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya

dalam keluarga melalui proses sosialisasi orang tua terhadap anak, dalam hal ini

pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.

Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)

Menurut Trommsdroff (2002), hubungan orang tua-anak merupakan

bagian dari “developmental niche”, dimana orang tua melakukan sosialisasi terhadap anak sekaligus juga melakukan transfer nilai dan perilaku yang

(18)

generasi keluarga (misal antara ayah dan ibu dengan orang tuanya

masing-masing) merupakan suatu syarat untuk perkembangan individu pada generasi

selanjutnya (anak). Pada waktu yang bersamaan, ayah dan ibu merupakan hasil

dari perkembangan individu dan dipengaruhi oleh hubungan orang-tua anak

pada generasi sebelumnya (hubungan kakek-nenek dengan ayah atau ibu).

Berdasarkan pada pengalaman yang dialami dari hubungan orang

tua-anak (misal ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing), tua-anak (ayah dan

ibu) akan mengembangkan ekspektasi, nilai, dan perilaku preferensi yang

sifatnya cenderung stabil sepanjang waktu. Nilai dan perilaku preferensi tersebut

diasumsikan mempengaruhi persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak saat

dewasa, termasuk terkait dengan keputusan fertilitas, persepsi subjektif tentang

anak mereka, dan bentuk hubungan ayah dan ibu dengan anaknya (Trommsdroff

2002). Gambar 3 memvisualisasikan proses transfer nilai anak antar generasi

dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua teradap anak.

Investasi Orang Tua pada Anak

Schultz (1981) menyatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam

meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi, dan tanah

untuk pertanian, melainkan peningkatan kualitas manusia (human capital) dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas manusia dilakukan

melalui investasi sumberdaya manusia.

Keluarga memegang peranan penting dalam memproduksi modal

manusia seorang anak, investasi dalam modal manusia merupakan salah satu

cara bagi keluarga untuk meningkatkan produktivitas marginal seorang anak

sehingga akan meningkatkan kapasitas pendapatan anak tersebut (Taubman

1996). Deacon dan Firebough (1981) menyatakan bahwa suatu bagian yang

signifikan dari pengembangan modal manusia didapat dari proses belajar secara

sadar ataupun tidak sadar yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua yang

menggunakan waktunya untuk mengajarkan anaknya melakukan tugas tertentu

akan berkontribusi terhadap pembentukan modal manusia seorang anak. Seperti

halnya pendidikan formal, pelatihan yang dilakukan di rumah dapat berkontribusi

besar terhadap kapasitas individu. Dengan demikian keluarga merupakan

institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumberdaya manusia.

Hartoyo (1998) mendefinisikan investasi orang tua terhadap anak sebagai

(19)

meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang

produktif saat dewasa. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi terhadap

anggota keluarga yang berarti investasi terhadap sumberdaya manusia (human

capital) memiliki banyak bentuk, namun cara yang paling umum untuk berinvestasi terhadap sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan formal

selain juga melalui kesehatan dan pengasuhan anak.

Perilaku investasi pada anak dapat diukur dengan menghitung seberapa

besar alokasi sumberdaya keluarga, khususnya sumberdaya uang dan waktu

yang dicurahkan untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Lebih lanjut dijelaskan

bahwa curahan sumberdaya keluarga pada anak dapat meningkatkan kualitas

modal manusia pada diri anak sehingga kelak akan mempunyai produktivitas

yang lebih baik. Oleh karena itu, alokasi waktu dan uang untuk anak dapat

dipandang sebagai bentuk investasi, karena orang tua berharap anak memiliki

produktivitas yang tinggi dan memberi manfaat lebih besar pada keluarga kelak

(Hartoyo & Hastuti 2003).

Sementara itu Bonke dan Andersen (2009) mengukur investasi orang tua

pada anak dengan mengukur waktu investasi orang tua pada anak secara

kuantitas dan kualitas. Waktu investasi orang tua pada anak secara kualitas

dibedakan menjadi developmental dan non-developmental care. Developmental care didefinisikan sebagai keterlibatan orang tua dalam perkembangan intelektual, fisik, dan sosial anak, sementara kegiatan perawatan lainnya

digolongkan ke dalam non-develomental. Developmental care meliputi: (a) aktivitas perawatan seperti memandikan dan memberi makan, (b) aktivitas

bermain dan companionship seperti bermain aktif dan pasif serta aktivitas waktu luang lainnya bersama anak, (c) aktivitas terkait prestasi seperti menemani

belajar, mengerjakan tugas, membaca bersama, dan aktivitas edukatif lainnya,

serta (d) aktivitas sosial seperti mengunjungi tetangga, pembicaraan keluarga,

aktivitas religius, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial lainnya (Stafferd &

Yeung 2005 dalam Bonke & Andersen 2008).

Pengeluaran Orang tua untuk Investasi pada Anak

Investasi terhadap anak meliputi waktu yang dimiliki orang tua (parental

time) dan pengeluaran yang dilakukan orang tua (parental expenditures) baik berupa barang ataupun jasa yang digunakan oleh anak. Pengeluaran dalam

(20)

kesehatan, makanan yang sehat, pendidikan, pakaian anak, mainan anak, dan

lain sebagainya (Bryant & Zick 2006).

Hasil penelitian Haveman dan Wolfe (1995) memperkirakan bahwa orang

tua di Amerika Serikat mengeluarkan setiap tahunnya $7.579 per satu anak

berusia antara 0 hingga 18 tahun (berdasarkan dolar tahun 1992) untuk

kebutuhan makanan, perumahan, transportasi, dan barang serta jasa lainnya.

Temuan Shukul (2007) di India menunjukkan bahwa orang tua menghabiskan

rata-rata Rs12,939 per anak tiap tahun untuk biaya pendidikan sebagai bentuk

investasi pada anak. Temuan Simanjuntak (2010) pada keluaraga penerima PKH

di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga 2009 menunjukkan bahwa

sekitar 55,3% dana bantuan digunakan untuk keperluan pendidikan, 15,5% untuk

kebutuhan makanan, dan hanya 0.5% yang digunakan untuk keperluan

kesehatan. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2009) di Kabupaten Indramayu mengkalkulasikan bahwa rata-rata pengeluaran orang tua untuk pendidikan

adalah sebesar Rp260.962,33 per bulan atau sekitar Rp3.131.547,90 per tahun.

Investasi Waktu Orang tua pada Anak

Menurut Guhardja et al. (1989) hubungan alokasi waktu rumah tangga

dengan lingkungan dipengaruhi oleh empat sistem, yaitu sistem ekonomi, sistem

politik, sistem teknologi, dan sistem sosial budaya. Terdapat tiga kategori

penggunaan waktu rumah tangga, yaitu: (a) waktu untuk aktivitas pasar, baik

untuk upah maupun usaha sendiri, (b) waktu untuk pekerjaan rumah tangga, dan

(c) waktu santai.

Investasi waktu orang tua pada anak bukan hanya meliputi kegiatan

merawat anak yang utama seperti memberi makan, memandikan, memakaikan

baju, mengajarkan membaca, dan bermain bersama anak. Hal tersebut juga

meliputi kegiatan merawat anak sekunder seperti menjaga anak sambil

mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam kegiatan tersebut, biasanya orang

tua mengajarkan anak kemampuan tertentu (Bryant & Zick 2006).

Data tren penggunaan waktu oleh ibu di Amerika Serikat dari tahun 2003

hingga 2008 menunjukkan bahwa dalam satu minggu, sekitar 13,8 jam

dihabiskan untuk kegiatan merawat anak. Angka tersebut meningkat dari data

pada tahun 1965 sebesar 10,2 jam dalam satu minggu. Sementara ayah

menghabiskan waktu yang lebih sedikit dalam merawat anak, yaitu sekitar 7 jam

(21)

Investasi pada Anak Usia Dini

Kualitas seorang individu pada usia dini sangat penting, bukan hanya

untuk alasan apa yang terjadi pada usia tersebut namun juga untuk alasan masa

depan. Kapabilitas yang dimiliki oleh individu dewasa sangat dipengaruhi oleh

pengalaman yang dirasakan pada saat usia dini. Investasi dalam pendidikan dan

bentuk lainnya yang didapatkan pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan

kapabilitas seseorang di masa depan melalui dua cara. Pertama, hal tersebut

secara langsung dapat membuat individu hidup lebih kaya dan memiliki lebih

sedikit permasalah. Persiapan yang baik pada saat usia dini dapat meningkatkan

kecakapan hidup seseorang. Kedua, individu yang dipersiapkan dengan baik

saat usia dini akan lebih produktif secara ekonomi dan menghasilkan pendapatan

yang lebih baik (Sen 1999).

Meyers (1992) dalam Sunarti (2008) menekankan beberpa alasan

pentingnya investasi dalam perkembangan anak sejak usia dini. Hal tersebut

merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang sampai

potensi optimal. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini juga

berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta memberikan sumbangan ekonomi

bila ditinjau dari produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan.

Sejumlah penelitian membandingkan tingkat pengembalian dari investasi

sumberdaya manusia pada tahapan umur yang berbeda dari perkembangan

anak. Mayoritas menyimpulkan bahwa investasi pada anak usia dini menjamin

keuntungan perkembangan secara kumulatif dimana sebaliknya – bila tidak

dilakukan atau terjadi kekurangan – bisa menyebabkan kehilangan yang bersifat

irretrievable (tidak bisa dilakukan kompensasi pada tahapan usia-usia selanjutnya) seperti dalam hal status gizi. Defisiensi pada usia dini akan

menyebabkan kerusakan atau cacat (defect) secara fisik dan kognitif yang tidak dapat diperbaiki atau dikompensasi di tahapan usia selanjutnya (irreversible)

yang berdampak pada produktivitas anak saat dewasa. Hal tersebut yang

menyebabkan tingginya tingkat pengembalian investasi pada anak usia dini

(Anderson & Hague 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sedini mungkin pada anak

dalam hal kesehatan dan asupan gizi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

tingkat pengembalian jangka panjang (Alderman & King 2006). Laporan Bank

Dunia pada tahun 2006 menyoroti masalah tingkat pengembalian yang tinggi dari

(22)

kesempatan akan menurunkan akses bagi anak terhadap barang dan jasa yang

dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut akan

berdampak pada produktivitasnya dimasa yang akan datang dan turut

mempengaruhi kemajuan negara yang ditandai dengan rendahnya pertumbuhan

ekonomi (World Bank 2005).

Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan

Antargenerasi: Bukti Empiris

Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa anak

merupakan jaminan hari tua bagi orang tua (Hartoyo & Hastuti 2003; Kartino

2005; Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010; Mulyani 2010). Orang tua juga setuju bahwa mereka harus menyediakan pendidikan setinggi-tingginya bagi

anak mereka agar kelak bisa menjadi individu yang berkualitas (Hartoyo &

Hastuti 2003). Namun, hal tersebut berkebalikan dengan sebagian orang tua

yang menyatakan bahwa anak merupakan tenaga kerja bagi keluarga yang

diharapkan memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi keluarga

(Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010).

Perbedaan orang tua dalam mempersepsikan nilai anak dipengaruhi oleh

perbedaan status sosial ekonomi. Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2003)

menyimpulkan bahwa persepsi orang tua tentang nilai anak berbeda antara

keluarga buruh dengan keluarga juragan meskipun secara statistik tidak berbeda

nyata. Keluarga juragan memberikan penilaian lebih tinggi dalam hal nilai sosial

dan psikologis, sementara keluarga buruh menilai anak sebagai faktor produksi

yang diharapkan memberi kontribusi ekonomi pada keluarga (nilai ekonomi)

(Hartoyo 2003).

Hartoyo dan Hastuti (2003) menambahkan bahwa perbedaan dalam

mempersepsikan nilai anak diduga menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi perbedaan dalam hal pengeluaran keluarga untuk anak. Dengan

demikian, persepsi orang tua tentang nilai anak menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Persepsi orang tua

mengenai nilai anak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, tipe keluarga,

status pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua (Kartino 2005; Mulyani

2010).

Selain nilai anak, investasi orang tua pada anak dalam bentuk uang dan

(23)

secara negatif oleh ukuran keluarga (Hartoyo 1998). Penelitian Puspitawati et al.

(2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua akan

meningkatkan persepsi mereka terhadap pendidikan dasar sembilan tahun,

meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dasar anaknya, dan

memperhatikan serta memprioritaskan pola asuh dan fasilitas belajar anak. Hal

tersebut sejalan dengan hasil penelitian Leibowitz (1982) yang menunjukkan

bahwa tingkat pendidikan ibu berkorelasi positif dengan kualitas anak yang

diukur dengan IQ.

Kualitas anak akan semakin tinggi dengan meningkatnya investasi yang

dilakukan orang tua terhadap anak (Leibowitz 1982; Hartoyo 1998). Lebih lanjut

disimpulkan bahwa investasi orang tua dalam bentuk waktu berdampak positif

terhadap kualitas anak yang diukur dari status gizi anak (Hartoyo 1998). Artinya,

semakin banyak waktu yang dicurahkan orang tua untuk anak, terutama yang

mendukung tumbuh kembangnya, akan semakin meningkatkan status gizi anak.

Selain itu, investasi waktu orang tua pada anak juga diindikasikan memiliki

pengaruh yang negatif terhadap investasi orang tua dalam bentuk uang kepada

(24)

KERANGKA PEMIKIRAN

Keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pengembangan

sumberdaya manusia. Untuk menjalankan perannya tersebut, keluarga harus

berfungsi dengan baik. Keberfungsian keluarga dipengaruhi oleh tingkat

kesejahteraan (miskin atau tidak miskin). Pengembangan sumber daya manusia

dalam keluarga dilakukan dengan mengalokasikan sumberdaya, terutama uang

dan waktu yang dimiliki orang tua, untuk diinvestasikan pada diri anak dalam

rangka meningkatkan produktivitasnya di masa depan. Dengan demikian,

perbedaan tingkat kesejahteraan akan mempengaruhi besar sumberdaya yang

dialokasikan untuk investasi pada diri anak.

Gambar 4 menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia dalam diri

ayah dan ibu, yang dapat dilihat dari karakteristik keduanya, dipengaruhi oleh

upaya orang tuanya masing-masing untuk melakukan investasi sumberdaya

manusia pada diri mereka. Investasi yang paling berpengaruh terutama adalah

perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu saat keduanya berusia dini dan

lama pendidikan formal yang ditempuh. Kualitas sumberdaya manusia pada diri

ayah dan ibu pada akhirnya menentukan tingkat kesejahteraan keluarga yang

dibentuk (keluarga contoh), selain juga pengaruh faktor eksternal lainnya seperti

pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dalam keluarga.

Orang tua ayah dan ibu sebenarnya memiliki dua pilihan dalam

melakukan investasi dalam rangka memaksimalkan sumberdaya yang

dimilikinya, yaitu investasi sumberdaya manusia pada diri anak atau investasi

dalam bentuk aset material. Keputusan orang tua untuk berinvestasi pada diri

anak dipengaruhi oleh adanya persepsi orang tua mengenai nilai anak, yaitu

pemahaman orang tua mengenai manfaat dan risiko dari kehadiran anak seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 4.

Nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu nilai psikologis, nilai sosial, dan

nilai ekonomi. Orang tua biasanya memiliki persepsi bahwa anak adalah sumber

kebahagiaan dan jaminan bagi hari tua. Hal tersebut yang memotivasi orang tua

untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya pada diri anak. Selain

tingkat kesejahteraan dan persepsi mengenai nilai anak, karakteristik keluarga

lainnya seperti jumlah anak yang dimiliki keluarga juga turut mempengaruhi

(25)

Bagi ayah dan ibu ada dua hal yang didapatkan dari interaksi antara

keduanya dengan orang tua masing-masing, terutama melalui kegiatan investasi

yang dilakukan orang tua saat ayah dan ibu berusia dini. Pertama, menjamin

pertumbuhan keduanya untuk menjadi individu yang produktif di masa depan

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kedua, sebagai sarana bagi ayah dan

ibu untuk mengembangkan nilai yang akan mempengaruhi perilakunya di masa

depan. Termasuk di dalamnya pengembangan nilai anak yang akan

mempengaruhi interaksi ayah dan ibu dengan anaknya seperti perilaku investasi

ayah dan ibu terhadap anak.

Nilai, termasuk di dalamnya nilai anak, ditransfer dari satu generasi ke

generasi berikutnya dalam keluarga. Nilai anak mempengaruhi investasi orang

tua terhadap anak. Sementara investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak

mempengaruhi kualitas sumber daya anak yang akan menentukan status

kesejahteraan anak di masa depan. Investasi yang dilakukan orang tua terhadap

anak juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dalam keluarga atau status

kesejahteraan keluarga. Artinya bagi keluarga miskin, alokasi sumberdaya yang

dilakukan akan lebih terbatas dibandingkan keluarga dengan status

kesejahteraan tidak miskin. Sehingga anak yang lahir dari keluarga miskin

kemungkinan akan memiliki status kesejahteraan yang sama dengan orang

tuanya di masa depan. Demikian gambaran fenomena transfer kemiskinan

(26)
(27)
(28)

METODE PENELITIAN

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan antara

cross sectional study, yaitu pengamatan yang dilakukan sekaligus pada satu waktu yang bersamaan, dengan retrospective study, menggali informasi masa

lalu contoh. Sementara metode yang digunakan adalah survei dengan

menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama.

Kabupaten Sukabumi dipilih sebagai lokasi penelitian secara purposive, dengan pertimbangan kemiskinan masih menjadi permasalah utama di wilayah

ini. Penentuan lokasi penelitian selanjutnya dipilih dengan pertimbangan

kecamatan dengan persentase keluarga miskin dan tidak miskin yang cukup

berimbang. Alasannya, penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara

keluarga miskin dan tidak miskin. Dipilih Kecamatan Cicurug dengan

pertimbangan rasio penduduk miskin dan tidak miskin di wilayah ini sekitar 0,6.

Selanjutnya dipilih kelurahan atau desa di Kecamatan Cicurug yang juga

memiliki jumlah penduduk miskin dan tidak miskin yang hampir berimbang, dan

Desa Pasawahan dipilih sebagai lokasi penelitian. Waktu penelitian (meliputi

persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan penulisan

laporan) adalah sembilan bulan, dimulai dari Maret 2011 hingga November 2011.

Contoh dan Metode Penarikan Contoh

Populasi penelitian ini adalah 894 keluarga yang bertempat tinggal di

Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi yang mempunyai

anak terakhir berusia balita. Contoh dalam penelitian ini adalah 60 keluarga

terpilih yang dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan status sosial

ekonomi, yaitu 30 keluarga miskin dan 30 keluarga tidak miskin. Penggolongan

dilakukan berdasarkan data tahapan keluarga sejahtera BKKBN (Pra KS dan KS

I digolongkan miskin, tahapan selanjutnya digolongkan tidak miskin).

Penarikan contoh dilakukan dengan metode stratified random sampling dengan kriteria stratifikasi status kesejahteraan keluarga, setelah sebelumnya

dipilih dua RW secara purposive dengan syarat jumlah keluarga yang memiliki

balita tertinggi (terpilih RW 3 = 139 keluarga dengan balita dan RW 4=117

keluarga yang memiliki balita). Pemilihan contoh kemudian dilakukan dengan

(29)

masing-masing 15 keluarga untuk setiap kriteria (15 keluarga miskin dengan

anak balita dan 15 keluarga tidak miskin dengan anak balita untuk

masing-masing RW), sehingga didapatkan total seluruh contoh penelitian adalah 60

keluarga.

Gambar 5 Skema cara penarikan contoh

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteritik sosiodemografi

dan ekonomi keluarga contoh, persepsi orang tua dari kedua generasi keluarga

menganai nilai anak (nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi), dan

investasi orang tua terhadap anak (alokasi waktu dan uang) pada dua generasi

keluarga. Pada generasi pertama, investasi orang tua (kakek dan nenek)

terhadap anak (ayah dan ibu) dilihat dari perilaku investasi terhadap ayah dan ibu

saat keduanya berusia dini, lama pendidikan formal ayah dan ibu, dan warisan

memiliki balita = 139) purposive

(30)

kedua dilihat dari perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak saat ini yang

berusia di bawah lima tahun.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini

telah diuji reliabilitasya dengan nilai α-crobbach sebesar 0,653 (persepsi orang tua mengenai nilai ayah dan ibu), 0,712 (persepsi ayah dan ibu tentang nilai

anak) 0,849 (perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu), dan 0,889

(perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak). Data primer diperoleh dengan

melakukan wawancara terhadap ayah dan ibu. Sementara itu, data sekunder

yang meliputi gambaran umum wilayah dan data kependudukan didapatkan dari

dokumen yang dimiliki pemerintah setempat.

Tingkat kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan

mengajukan sejumlah pertanyaan kepada ayah dan ibu mengenai kondisi sosial

ekonomi keluarganya pada saat mereka masih kanak-kanak. Indikator yang

digunakan untuk mengukur kesejahteraan tersebut dipilih berdasarkan tingkat

keterhandalannya terhadap variabel waktu karena tidak terpengaruh atau hanya

sedikit terpengaruh oleh inflasi. Dengan demikian, bias waktu dalam hal

penentuan kesejahteraan keluarga asal yang ditanyakan pada ayah dan ibu bisa

diminimalisir.

Indikator yang digunakan mengacu pada metode Family Life History yang dilakukan oleh Bottema, Siregar, dan Madiadipura (2008). Indikator-indikator

tersebut adalah pekerjaan dan pendapatan kakek serta nenek yang dilihat dari

tingkat stabilitasnya, kepemilikan serta kondisi rumah, kepemilikan tanah,

kepemilikan ternak, dan pendidikan (kemampuan baca tulis). Sementara itu,

tingkat kesejahteraan keluarga contoh dilihat dari data pentahapan Keluarga

Sejahtera hasil pengukuran dengan Indikator Kesejahteraan Keluarga oleh

BKKBN.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer

yang sesuai. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melakukan tabulasi

data yang diperoleh dan analisis statistik inferensia melalui uji hubungan antar

variabel yang ditentukan serta analisis regresi. Tahapan analisis data yang

dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi individu serta keluarga

(31)

dikelompokan menjadi tiga kelompok (kategori keluarga asal ayah dan

ibu: 2-4 anak, 5-7 anak, dan ≥8 anak; kategori keluarga contoh: >β anak,

2-3 anak, dan 4-5 anak); usia ayah dan ibu dibagi menjadi empat kategori

(<21 tahun, 21-30 tahun, 31-40 tahun, dan >40 tahun). Lama pendidikan

ayah dan ibu dikelompokan menjadi empat kelompok yaitu: ≤6 tahun, 7-9

tahun, 10-12 tahun, dan >12 tahun. Sementara itu, pendapatan keluarga

contoh per bulan dibagi menjadi lima kategori, yaitu >500 ribu, 500-999

ribu, satu juta-1999 ribu rupiah, 2000-2999 ribu rupiah, dan diatas tiga

juta rupiah; sedangkan pendapatan per kapita per orang per bulan dibagi

menjadi lima kategori yaitu >100 ribu, 100-199 ribu, 200-299 ribu,

300-γ99 ribu, dan ≥400 ribu rupiah. Status kesejahteraan keluarga generasi I

dikelompokan menjadi miskin dan tidak miskin (diukur dengan metode

Family Life Hystory/FLH, skor FLH<4=miskin, skor FLH ≥4= tidak miskin). Status dinamika kemiskinan dibedakan menjadi empat, yaitu selalu miskin

(keluarga asal dan keluarga contoh miskin), tidak pernah miskin (keluarga

asal dan keluarga contoh tidak miskin), terjerumus miskin (keluarga asal

tidak miskin, keluarga contoh miskin), dan keluar dari miskin (keluarga

asal miskin, keluarga contoh tidak miskin).

2. Status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu (STATUS1A dan

STATUS1B) dan keluarga contoh (STATUS2) dibedakan menjadi miskin

dan tidak miskin, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk melihat

status dinamika kemiskinan (DINAMIKA) diantara kedua generasi

keluarga tersebut. Status kesejahteraan keluarga orang tua dari ayah

(STATUS1A) dan keluarga dari ibu (STATUS1B), diasumsikan mewakili

status kesejahteraan keluarga saat ibu atau ayah berusia balita hingga

saat ini. Dinamika kemiskinan antar kedua generasi keluarga tersebut

dikategorikan berdasarkan Moore (2008), yaitu:

a. Selalu miskin bila kedua generasi keluarga selalu berada dalam

kondisi miskin

b. Terjerumus ke dalam kemiskinan bila keluarga asal contoh tidak

miskin namun keluarga contoh berstatus miskin

c. Keluar dari kemiskinan bila keluarga asal contoh berstatus miskin

namun keluarga contoh tidak miskin

d. Tidak pernah miskin bila kedua generasi keluarga tidak pernah

(32)

Transfer kemiskinan (TRANSFER) terjadi bila dinamika kemiskinan yang

terjadi antar dua generasi keluarga adalah selalu miskin atau terjerumus

ke dalam kemiskinan.

3. Terdapat dua nilai anak yang diukur dalam penelitian ini, yaitu persepsi

ayah dan ibu mengenai nilai anaknya, dibedakan menjadi VOC2A yaitu

nilai anak dimata ayah dan VOC2B yaitu nilai anak dimata ibu. Nilai anak

diukur berdasarkan tiga aspek, yaitu psikologis, sosial, dan ekonomi.

Hasil pengamatan terhadap nilai anak dikelompokan menjadi tiga

kategori, yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%)

seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Hastuti et al. (2009). Diamati

pula persepsi orang tua (kakek dan nenek) tentang nilai ayah dan ibu

yang diukur dari persepsi ayah atau ibu tentang nilai dirinya (VOC1)

dimata orang tua (nenek dan kakek), yang dibedakan menjadi VOC1A

yaitu nilai ayah dimata orang tuanya dan VOC1B yaitu nilai ibu dimata

orang tuanya.

4. Investasi orang tua terhadap anak yang diamati adalah perilaku investasi

ayah dan ibu terhadap anak. Dibedakan menjadi perilaku investasi ayah

terhadap anak (INVEST2A) dan perilaku investasi ibu terhadap anak

(INVEST2B). Data INVEST2A dan INVEST2B kemudian diolah secara

deskriptif (kategori seperti pada varaibel nilai anak). Selain itu, diamati

pula investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap ayah dan ibu saat

keduanya berusia dini. Investasi tersebut diukur dengan melihat lama

pendidikan ayah (EDUA) atau ibu (EDUB), warisan yang diberikan

kepada ayah (BEQUESTA) dan ibu (BEQUESTB), serta perilaku investasi

orang tua terhadap ayah (INVEST1A) dan ibu (INVEST1B). Data

investasi orang tua terhadap ayah dan ibu kemudian diolah secara

deskriptif. Skor perilaku investasi orang tua terhadap ayah dan ibu

dikelompokan dengan kategori yang sama seperti nilai anak.

5. Analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang digunakan untuk

melihat keterkaitan antar variabel penelitian, yaitu karakteristik keluarga,

nilai anak, dan investasi orang tua pada anak. Uji beda juga dilakukan

untuk melihat perbedaan diantara kelompok contoh.

6. Hubungan antara VOC1A dengan VOC2A, VOC1B dengan VOC2B, dan

VOC2A dengan VOC2B dianalisis dengan menggunakan uji korelasi

(33)

variabel nilai anak juga dilihat hubungannya dengan status kesejahteraan

dengan uji korelasi.

7. Hubungan antara variabel INVEST1A dengan INVEST2A, INVETS1B,

dengan INVEST2B, INVEST2A dengan INVEST2B dianalisis dengan

menggunakan uji korelasi. Selain itu, variabel perilaku investasi juga

dihubungkan dengan status kesejahteraan dengan menggunakan uji

korelasi.

8. Hubungan antarvariabel nilai anak dengan perilaku investasi serta status

kesejahteraan diuji dengan menggunakan uji korelasi untuk melihat

keterkaitan diantara variabel-variabel tersebut.

9. Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh

diuji dengan menggunakan regresi logistik, adapun persamaannya

sebagai berikut:

a + 1STATUS1 + 1EDUA + 2INVEST1A + 3INVEST1B +

2BEQUESTA + 2BEQUESTB + 4AGE2A + ε

Keterangan:

a=konstanta, p=peluang untuk sejahtera (0=miskin, 1=tidak miskin)

=koefisien regresi, =koefisien dummy

11. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga contoh

(INCOME) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda.

Persamaan regresinya adalah:

INCOME = a + b1STATUS1A + b2STATUS2 + b3INVEST1A + b4EDUA

+ b5EDUA + b6EDUB + b7BEQUESTA + b8BEQUESTB

Keterangan:

a=konstanta, b=koefisien regresi

12. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak

(INVEST2A) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda.

Persamaan regresinya adalah:

INVEST2A = a + b1STATUS1A + b2STATUS2 + b3INVEST1A + b4EDUB

+ b5INCOME + b6INVEST2B + b7VOC1A + b8VOC2A +

b9CHILD2 + b10AGEA

(34)

13. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku investasi ibu terhadap anak

(INVEST2A) diuji dengan menggunakan regresi linear berganda.

Persamaan regresinya adalah:

INVEST2B = a + b1STATUS1B + b2STATUS2 + b3INVEST1B + b4EDUB

+ b5INCOME + b7VOC1B + b8VOC2B + b9CHILD2 +

b10AGEB

Keterangan:

a=konstanta, b=koefisien regresi

Definisi Operasional

Keluarga contoh (FAMILY2) adalah keluarga yang menjadi fokus analisis utama

penelitian ini, yaitu keluarga generasi kedua dari unit analisis yang

memiliki anak terakhir berusia balita dan dibedakan berdasarkan status

kesejahteraan (miskin dan tidak miskin)

Keluarga asal atau origin family (FAMILY1) adalah keluarga tempat ayah dan ibu dari keluarga contoh berasal, sehingga terdapat dua keluarga asal

yaitu keluarga asal ayah dan keluarga asal ibu

Transfer kemiskinan (TRANSFER) adalah suatu fenomena terkait penurunan

status kemiskinan antargenerasi keluarga yang disebabkan oleh tidak

adanya atau kurangnya transfer modal (capital) antargenerasi keluarga tersebut yang diukur dengan pendekatan status dinamikan kemiskinan

(DINAMIKA)

Status dinamika kemsikinan (DINAMIKA) adalah komparasi status

kesejahteraan dua generasi keuarga yang dibedakan menjadi empat,

yaitu selalu miskin (kedua generasi keluarga miskin), tidak pernah

miskin (kedua generasi keluarga tidak miskin), terjerumus miskin

(keluarga saat ini miskin, keluarga generasi sebelumnya tidak miskin),

dan keluar dari kemiskinan (keluarga saat ini tidak miskin, keluarga

generasi sebelumnya miskin). Transfer kemiskinan terjadi ketika status

dinamika kemiskinan yang dialami adalah selalu miskin dan terjerumus

miskin

Jumlah anak keluarga ayah (CHILD1A) adalah jumlah anak yang dimiliki oleh

orang tua ayah atau jumlah saudara kandung yang dimiliki ayah

Jumlah anak keluarga ibu (CHILD1B) adalah jumlah anak yang dimiliki oleh

Gambar

Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)
Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan
Gambar 4 Kerangka berpikir penelitian
Gambar 5 Skema cara penarikan contoh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Pengembangan SDM PT Surya Artha Nusantara Finance sudah menempatkan manajemen manusia pada level isu strategi yang tinggi dan menerapkan cara analisis,

usability yang dapat diterima namun masih dalam rentang nilai rata-rata dan belum pada titik nilai dimana pengguna akan merekomendasikannya kepada pengguna

Manusia memiliki dua belahan otak yakni otak kiri dan otak kanan dan yang baru-baru ini masih hangat di perbincangkan adalah otak tengah otak tengah berfungsi sebagai

Fungsi uang sebagai penyimpan kekayaan I penyimpan nilai ini, secara sedarhana dapat digambarkan jikalau suatu saat seseorang mempunyai uang, yang telah

Usulan penelitian ini mencoba merancang dan membuat suatu model aplikasi menggunakan Algoritma Bayes yang bisa membantu mahasiswa untuk memilih suatu konsentrasi

Karena yang dilihat pertama kali oleh anak-anak dalam membaca buku ini adalah ilustrasinya, karena memang anak-anak lebih tertarik dengan visual yang kaya akan warna

problémák jelzése, adminisztráció ellátása, stb.). A teljesítmény több dolog kombinációját jelenti. Tudnunk kell, hogy amit mértünk, nagymértékben meghatározza,

Jika alat ini digunakan untuk jasa pengeboran dengan kedalaman minimal 35 meter, maka biaya dalam 2 (dua) kali jasa pengeboran tersebut sudah dapat mengembalikan