• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen (WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI (Halaman 28-38)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan udang vannamei yang diduga bergejala infeksi virus dari udang yang dilalu lintaskan di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu Medan I Sumatera Utara. Sampel udang yang diduga bergejala infeksi virus diisolasi dan dideteksi penyebabnya dengan menggunakan teknik PCR.

4.1 Gejala Klinis Udang yang terserang WSSV

Hasil pengamatan diduga terinfeksi gejala (viral symptomps) virus pada morfologi udang vannamei, (Gambar 4.1). Gejala tersebut yaitu disklorosis pelunturan warna pada kulit udang; melanisasi perubahan warna menjadi hitam pekat pada insang; bintik pada sefalothorak; bintik pada karapak bintik pada abdomen; bintik pada telson.

Gambar 4.1 Variasi gejala pada udang vannamei yang diduga terserang virus WSSV A. Udang Sehat B. Disklorosis; C. Melanisasi;

A

B

C

1

cm

1

cm

1

cm

15

Gambar 4.2 Variasi gejala pada udang vannamei lainnya yang terserang virus WSSV: D. Bintik pada sefalothorak; E. Bintik pada karapak F. Bintik pada abdomen; G. Bintik pada telson (Laboratorium BKIPM).

Pada Gambar 4.1 menunjukkan (A) Sampel udang sehat dengan ciri-ciri fisik berupa warna kulit yang cerah dan bersih, anggota tubuh utuh mulai dari kepala hingga ekor tidak ada bagian tubuh yang berkurang ataupun rusak. ( B ) sampel udang positif WSSV (White Spot Syndrom Virus) gejala yang ditunjukkan yaitu perubahan warna tubuh (disklorosis) dari warna hijau menjadi pucat kemerahan.

Berdasarkan pemaparan Sudha et al., (2008) bahwa udang yang terserang WSSV mengalami pelunturan warna (disklorosis) dari warna hijau cerah menjadi berwarna pucat kemerahan. Gejala lainnya (C) anggota tubuh pada udang mengalami melanisasi (perubahan warna menjadi hitam pekat pada insang). Pada Gambar 4.2 menunjukkan (A) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada sepalothorak. (B) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada karapak.

(C) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada abdomen. (D) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada telson. Berdasarkan pemaparan Mahardika et al., (2004) terdapat bercak putih dengan diameter 0,5-0,3 mm, dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak, segmen ke-5 dan ke-6, lalu dari abdominal menyebar keseluruh kutikula tubuhnya. udang yang terserang penyakit ini akan mengalami kematian, kematian akan terjadi sekitar 15-28 hari.

1

cm

1

cm

16

Menurut Muliani et al., (2007), WSSV dapat menyebar dengan cepat keberbagai organ seperti jantung, epidermis, otot maupun sistem pencernaan meski dalam jumlah kecil. Menurut Duran et al., (2002), gejala klinis lainnya yaitu perubahan warna tubuh menjadi coklat dan coklat kemerahan yang merupakan gejala respon udang terhadap infeksi benda asing kedalam tubuhnya. Udang yang telah terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan warna yang disebabkan oleh terjadinya pembesaran kromatofor kutikula. Kromatofor pada udang merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh udang. Selain perubahan warna tubuh sel udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami kerusakan (nekrosis) pada antena, antenulla, Rostum, periopod, pleiopod, dan ekor .

Menurut Edison (2009) infeksi WSSV pada udang terdapat 3 jenis. Tipe I infeksi akut atau sub akut tingkat keparahan jaringan adalah sedang sampai tinggi, kematian terjadi dalam waktu 7-10 hari, dan udang memilii bintik putih pada karapaks. Tipe II (parachute) udang tampak memerah tingkat keparahan jaringan sangat tinggi dan terjadi kematian masal dalam waktu 2-3 hari.

4.2 Hasil Uji Kualitatif Isolasi DNA

Hasil isolasi DNA total 13 koleksi udang dielektroforesis pada gel agarose 2% (Gambar 4.3). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas DNA yang diperoleh sehingga dapat digunakan dalam analisis selanjutnya yaitu amplifikasi DNA total dengan PCR.

Gambar 4.3 Visualisasi DNA dari 13 sampel udang vannamei yang dilalulintaskan di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) Medan I Sumatera Utara.(M= Marker 1kb, S1-S13=Pita DNA udang vannamei).

Pada Gambar 4.3 menunjukkan hasil pita DNA dengan menggunakan metode Ekstraksi DNA Lysis Buffer (OIE, 2012). Seluruh pita DNA total memperlihatkan pita yang utuh memiliki ukuran diatas 1000 bp. Berdasarkan pemaparan Syafruddin

& Santoso (2011), keutuhan pita yang ditandai dengan tidak adanya smear pada pita M S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13

17

DNA yang diperoleh menjadi penting pada proses PCR, DNA yang masih utuh akan memberikan hasil yang relatif lebih akurat. Hasil visualisasi DNA menunjukkan ketebalan pita yang berbeda-beda pada masing-masing koleksi udang. Ketebalan dapat mempengaruhi amplifikasi DNA pada saat PCR. Ketebalan suatu pita DNA berbanding lurus dengan konsentrasi DNA, dimana semakin tebal suatu DNA yang diperoleh maka semakin tinggi pula konsentrasi DNA.

Pada masing-masing sumur gel dapat dilihat pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa pita yang tebal diperoleh pada S1 dan S3-S13 sedangan pita yang tidak terlalu tebal ditunjukkan hanya pada S2. Hal tersebut dipengaruhi oleh perlakuan fisik pada saat penggerusan maupun pemipetan tahap ekstrasksi.

Irmawati (2003), menyatakan bahwa pita DNA yang tebal dan yang tidak menyebar menunjukkan konsentrasi yang tinggi dan DNA total yang diekstrak dalam keadaan yang utuh. Sedangkan pada pita DNA yang terlihat menyebar menunjukkan ikatan antar molekul DNA yang terputus pada saat proses ekstraksi berlangsung, sehingga genom terpotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Terputusnya ikatan antar molekul tersebut dapat disebabkan oleh adanya gerakan fisik yang berlebihan dalam proses pemipetan, pada saat bolak-balik, temperatur yang terlalu tinggi atau karena aktivitas bahan-bahan kimia yang tertentu.

Berdasarkan pemaparan Fatchiyah et al., (2011) perbedaan hasil isolasi ditunjukkan oleh perlakuan penggerusan, dimana proses penggerusan dengan menghasilkan bubur yang halus dan banyak cairan sel DNA yang didapat akan optimal, sedangkan penggerusan dengan menghasilkan bubur yang kasar dan tidak banyak cairan sel yang keluar merupakan pelisisan sel yang kurang baik dengan sedikitnya isi sel yang dikeluarkan konsekuensinya DNA yang diperoleh juga tidak banyak. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Mulyani et al., (2013) proses penghomogenan dengan vorteks mixer dan spindown membantu dalam proses pelisisan sel. Menurut Anam (2010), Proses perusakan fisik sel dapat mempermudah buffer dalam memecah sel dan dapat menentukan kualitas DNA yang dihasilkan.

Secara keseluruhan hasil isolasi DNA udang memiliki kualitas yang baik, hal tersebut ditandai dengan adanya pita yang terlihat jelas sehingga dapat digunakan untuk tahap selanjutnya.

18

4.3 Hasil Uji Kuantitatif DNA Udang

DNA total yang telah diperoleh diuji secara kuantitatif untuk melihat kuantitas DNA yang diperoleh sehingga dapat digunakan dalam analisis selanjutnya yaitu amplifikasi DNA total dengan PCR. Uji kuantitatif ini menggunakan nanophotometer (IMPLEN P-360 Nanofotometer P-Class) menunjukkan hasil pengukuran DNA yang meliputi konsentrasi dan kemurnian DNA total udang (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA Genom udang

Sampel udang tertinggi sebesar 2,015 pada sampel6. Berdasarkan pemaparan Fatctiyah et al., (2011) standar nilai kemurnian DNA yang tidak terkontaminasi oleh residu protein adalah 1.8 - 2.0. Penyebab ketidak murnian DNA salah satunya aspek dari teknis pelaksaan setiap tahap yang dilakukan seperti saat pemisahan supernatan dengan endapannya pada tahap penghilangan sisa protein dan bahan lain yang kemngkinan sedikit

19

terambil sehingga DNA yang berbobot berat tidak terambil dan jumlah DNA yang terambil sedikit. Pengeringan alkohol yang tidak sempurna juga dapat menyebabkan kontaminasi yang memberikan efek pada kuantitas DNA. Menurut Sambrook dan Russel (2001), nilai kemurnian bebas dari kontaminan berupa protein maupun fenol.

Pada uji kuantitatif, apabila kemurnian DNA yang diperoleh dibawah 1.8 kemungkinan besar sampel DNA masih mengandung kontaminan, sedangkan kemurnian DNA sebesar 2.0 memiliki tingkat kemurnian sebesar 100%. Tingkat konsentrasi DNA pada sampel dapat dipengaruhi oleh aktifitas organ sampel dan pengekspresian gen tertentu pada suatu organ (Pratiwi, 2020). Kemurnian DNA target sangat penting untuk analisis amplifikasi pada mesin PCR karena ketidakmurnian suspensi DNA dapat mempengaruhi reaksi amplifikasi dan menghambat kerja enzim DNA polimerase pada saat PCR.

Menurut Isnati (2005) bahwa tingkat kemurnian hasil ekstraksi DNA dipengaruhi oleh keberadaan protein sebagai pengotor dan perbandingan dengan jumlah DNA yang didapatkan. Sedangkan DNA total udang dengan konsentrasi terendah diperoleh sebesar 12,3 µg/µl pada sampel2 dan konsentrasi DNA sampel tertinggi sebesar 50,1 µg/µl sampel6. Berdasarkan pemaparan Simatupang (2015), konsentrasi DNA yang biasanya digunakan dalam proses PCR adalah 0,5-50 ng/µl Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyulitkan primer yang digunakan untuk menempel, Sehingga cetakan DNA menghasilkan amplifikasi yang kurang baik.

Menurut Azizah (2009), tingginya konsentrasi cetakan DNA yang digunakan dalam PCR akan menghasilkan amplifikasi DNA yang kurang baik. Cetakan DNA yang terlalu banyak kemungkinan menyulitkan primer yang digunakan untuk menempel. Menurut Haris et al., (2003), konsentrasi DNA akan berdampak pada kualitas fragmen hasil amplifikasi. Konsentrasi DNA yang rendah akan menghasilkan fragmen yang tipis, sebaliknya konsentrasi DNA yang tinggi akan menyebabkan fragmen terlihat tebal sehingga sulit membedakan antar fragmen. Hasil isolasi DNA selanjutnya digunakan sebagai template pada saat amplifikasi dengan PCR. Adapun hasil DNA dengan kualitas dan kuantitas yang baik akan menghasilkan amplifikasi yang baik pada proses PCR. Hasil isolasi DNA selanjutnya digunakan sebagai templet pada saat amplifikasi dengan PCR, adapun DNA dengan konsentrasi yang terlalu tinggi dilakukan pengenceran terlebih dahulu.

20

4.4 Hasil PCR Amplifikasi DNA

Adanya kemiripan gejala yang terdapat pada udang yang terinfesi virus menyebaban kesulitan untuk membedakan penyebab penyakit pada udang, apakah terinfeksi virus WSSV atau Virus yang lain sehingga perlu dilakukan deteksi molekuler untuk memastikan penyebab infeksi virus pada udang tersebut. Hasil analisis PCR dilihat pada Gambar 4.4 dibawah ini

Gambar 4.4 Hasil Amplifikasi DNA udang yang terinfeksi virus WSSV. M) Marker 100 bp, (KN) kontrol negatif, (KP) kontrol positif, (Sp. 1-6, Sp.9 dan Sp 11) sampel udang yang terinfeksi WSSV.

Hasil analisis PCR dengan menggunakan dua set pasangan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2 menunjukkan bahwa 8 sampel udang vannamei positif terinfeksi WSSV (White Spot Syndrom Virus) muncul amplikon pada pendaran band 333 bp dan 941 bp. Pada proses amplifikasi ini menggunakan tahapan first step PCR dan nested PCR yang merupakan proses amplifikasi DNA polimerase bersarang.

Penggunaan dua set pasangan primer memungkinkan untuk munculnya amplikon yang berbeda, disebabkan oleh adanya interaksi antar primer. Hal ini didukung oleh pernyataan Rhyclik, (2005), penggunaan dua set primer forward-reverse (F1R1 dan F2R2) akan terjadi interaksi primer dengan cetakan oleh struktur cros dimer yang terbentuk, hal ini disebabkan oleh faktor selisih suhu Tm antar primer kecil dan persentase GC primer forward yang lebih tinggi. Disamping itu adanya stabilitas internal primer yang merupakan perbedaan kestabilan pelekatan primer-cetakan ujung 5’ dan ujung 3’ pada DNA target. Primer dengan kestabilan ujung 5’ yang lebih besar dari pada ujung 3’ umumnya memiliki interaksi spesifik primer-cetakan.

1500 bp

21

Kestabilan yang rendah pada ujung 3’ adanya pelekatan nontarget pada ujung 3’

menjadi tidak stabil untuk diperpanjang oleh DNA polimerase.

Didukung pula oleh hasil penelitian Hidayani et al.,(2015), kemunculan pita DNA merupakan indikator keberadaan WSSV, berdasarkan buku panduan IQ2000TM kemunculan pita pada pendaran band 333 bp menandakan infeksi ringan (tingkat I light), dan pada pendaran band 941 bp menandakan infeksi berat (Tingkat III severe). Menurut kemunculan pita DNA pada pendaran band 333 bp infeksi virus WSSV merupakan infeksi rendah berkisar 200 copies sedangkan kemunculan pita DNA pada pendaran band 941 bp merupakan infeksi berat berkisar 2000 copies.

Penggunaan pasangan primer pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Supriatna et al (2014) yaitu 146 F1R1, dan 146 NF2NR2. Iqbal et al (2014) berhasil mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh virus WSSV dengan teknik PCR menggunakan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2 dengan terbentuknya pita pada 333 bp. Hossain et al (2014) melakukan pengujian pada virus WSSV First PCR digunakan untuk menentukan adanya fragmentasi DNA target agar dapat diamplifikasi sedangkan proses amplifikasi tahap kedua Nested PCR. Menurut Yusuf (2010) proses Nested PCR memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada produk selama amplifikasi dari penyatuan primer yang tidak diperlukan. Primer Nested akan menyatu dengan produk PCR yang pertama dan menghasilkan produk yang lebih pendek dari pada produk yang pertama.

Menurut Handoyono dan Rudiretna, (2000) keberhasilan proses PCR sangat bergantung dari primer dan suhu yang digunakan. Primer adalah nukleotida pendek berukuran 12-20 basa yang diperlukan sebagai titik pelekatan enzim polimerase DNA pada proses pembentukan atau pemanjangan DNA melalui teknik reaksi rantau

22

polimerase (polymerase chain reaction,PCR). Kemudian Suhu, suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templet berkisar antara 93-95 oC. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA dan berdampak pada efesiensi PCR dan dapat merusak DNA templet, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templet tidak sempurna. Pada umumnya suhu yang digunakan adalah 94 oC. Suhu annealing yang digunakan umumnya berkisar antara 37-60 oC dan suhu ekstensi 72 oC. Selain itu keberhasilan PCR juga dipengaruhi tercapainya optimasi reaksi, kesesuaian antara basa nukleotida target dengan basa nukleotida penyusun primer dan virus yang diamplifikasi merupakan virus target.

Menurut Jamsari (2007) bahwa faktor yang mempengaruhi proses amplifikasi adalah ketepatan konsentrasi dan volume dari masing-masing komponen. Kondisi yang perlu diperhatikan ketika melakukan amplifikasi adalah penentuan suhu yang tepat pada masing-masing tahapan reaksi. Suhu pada saat annealing merupakan suhu yang paling penting, karena pada saat annealing primer mulai menempel pada sekuens DNA target. Suhu yang dibutuhkan pada saat predenaturasi, denaturasi, elongasi, dan penyimpanan berkisar pada angka-angka yang relatif sama untuk beberapa reaksi dari primer yang berbeda.

4.5 Parameter Kualitas Air

Data parameter kualitas air yang diperoleh dari lokasi budidadaya udang vannamei meliputi suhu, salinitas dan pH air yang digunakan untuk membandingkan kualitas air udang vannamei yang terserang WSSV dengan kualitas air udang vannamei yang bebas dari serangan WSSV yang dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.2 Nilai Pengukuran Standar Kualitas Air (SNI 7310-2009)

Parameter kualitas air

23

Berdasarkan data parameter kualitas air pada Tabel 4.2 dari lokasi budidaya udang vannamei yang bebas dari serangan WSSV diperoleh kisaran suhu 28-31ºC, salinitas 16-22 ppt dan pH berkisar 7.8-8.3 Hasil kualitas air yang diperoleh pada lokasi tersebut masih berada pada kisaran optimal untuk kelangsungan hidup udang vannamei Kualitas air yang baik pada lokasi penelitian dapat mendukung sistem imunitas baik sehingga udang dapat terlindung dari serangan WSSV. Hal ini sesuai dengan penelitian yang diperoleh oleh Kilawati dan Maimunah (2015) bahwa kualitas air dengan suhu 28-31ºC, salinitas 16-22 ppt dan pH air dengan kisaran 7.8-8.3 masih berada dalam kondisi optimal dan aman untuk kehidupan udang vannamei. Kualitas air yang kurang baik dapat memicu munculnya virus patogenik terutama WSSV. Nilai parameter kualitas air yang melebihi standard dan kombinasi antar parameter dapat menimbulkan gangguan pada tubuh udang. Data parameter kualitas air dari lokasi budidaya udang vannamei yang terserang WSSV diperoleh kisaran suhu 30-33ºC, salinitas 20,5-28 ppt dan pH berkisar 6.5-7.0. Hasil kualitas air yang diperoleh pada lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kondisi optimal dilingkungan hidup udang vannamei. Pada lokasi penelitian, terjadi fluktuasi suhu dan salinitas yang cukup tinggi hingga kisaran 30-33 ºC dan 20,5-28 ppt, sehingga dapat mengganggu fisiologis kerja tubuh udang dan tingkat imunitas udang menurun.

Kondisi terjadinya fluktuasi suhu tinggi memudahkan udang terserang virus sebagaimana penelitian Tendencia et al., (2010), bahwa infeksi WSSV pada udang dipicu oleh fluktuasi suhu yang menimbulkan hilangnya kemampuan self- adaptive udang menjadi stres kondisi fisiologis undang vannamei tidak mampu mempertahankan tingkat kelulusan hidupnya. Begitu pula pada Kondisi fluktuasi salinitas tinggi memudahkan udang terserang virus sebagaimana pemaparan Haliman dan Adijaya (2005), bahwa salinitas memegang peran penting dalam mempengaruhi pertumbuhan udang. Pada salinitas tinggi, pertumbuhan menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu.

Menurut Van de Braak et al., (2002) Apabila salinitas meningkat, maka pertumbuhan udang akan menjadi lambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan dengan untuk pertumbuhan. Selain itu dapat menghambat terjadinya proses ganti kulit (moulting).

BAB 5

Dalam dokumen (WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI (Halaman 28-38)

Dokumen terkait