• Tidak ada hasil yang ditemukan

(WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "(WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI MOLEKULER White Spot Syndrom Virus (WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) DI

BALAI KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU MEDAN I SUMATERA UTARA

SKRIPSI

DELLA ARNINDA 160805028

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

DETEKSI MOLEKULER White Spot Syndrom Virus (WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) DI

BALAI KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU MEDAN I SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

DELLA ARNINDA 160805028

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)

4

4

PERNYATAAN ORISINALITAS

DETEKSI MOLEKULER White Spot Syndrom Virus (WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) DI

BALAI KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU MEDAN I SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2021

Della Arninda 160805028

(4)

i

(5)

ii

DETEKSI MOLEKULER White Spot Syndrom Virus (WSSV) PADA KOMODITAS UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei) DI

BALAI KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU MEDAN I SUMATERA UTARA

ABSTRAK

White Spot Syndrom Virus (WSSV) adalah penyakit yang terdaftar oleh The Office International des Epizooties (OIE). WSSV merupakan masalah utama di dalam produksi perikanan laut di dunia. Udang vannamei yang terinfeksi WSSV dapat mengakibatkan mortalitas yang tinggi pada budidaya udang vannamei.

Diagnosis WSSV hanya berdasarkan pengamatan gejala klinis tidak dapat memberikan hasil yang akurat dalam menentukan jenis virus. Penelitian ini bertujuan mendeteksi virus WSSV pada udang vannamei dengan teknik molekuler. Sebanyak 13 sampel udang yang memiliki gejala terinfeksi WSSV diseleksi dan dilakukan analisis morfologi di BKIPM Medan I. Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi gejala morfologi infeksi WSSV, kualitas air, isolasi DNA total, uji kuantitatif DNA total, dan amplifikasi DNA WSSV dengan PCR. Hasil penelitian menunjukkan variasi gejala klinis pada udang yang terserang WSSV yaitu disklorosis, melanisasi, bintik pada sepalothorak, bintik pada karapak, bintik pada abdomen dan bintik pada telson. Deteksi PCR pada 8 sampel udang vannamei menunjukkan adanya fragmen DNA berukuran 333 bp dan 941 bp. Hasil penelitian menunjukkan dari 13 sampel yang diuji, 8 sampel dinyatakan terinfeksi WSSV.

Kata Kunci: BKIPM Medan I, deteksi molekuler, udang vannamei, PCR, WSSV

(6)

iii

MOLECULAR DETECTION OF Whitw spot syndrom virus (WSSV) ON GROUPER COMMODITIES (Litopenaeus vannamei) AT BALAI

KARANTINA IKAN PENGENDALIAN MUTU MEDAN I SUMATERA UTARA

ABSTRACT

White Spot syndrom virus (WSSV) is a disease registed by The Office International Epizooties (OIE). WSSV causes a major problem in marine fishery production. Vannamei shrimp infected with WSSV can cause high mortality in vannamei shirmp culture. The diagnosis of WSSV based solely on the observation of clinical symptomps is hard to provide an accurate result in determining the type of virus. The aims of the study was to detect the WSSV virus in vannamei shrimp using moleculer techniques. A total of 13 shrimp samples that had the symptomp of WSSV infection were selected and analyzed morphologically at BKIPM Medan I. The parameters observed in this study included morphological symptoms of WSSV infection, water quality, total DNA isolation, quantitatif total DNA test, and WSSV DNA amplification by PCR. The study showed a variety of clinical symptoms in shrimp effected by WSSV, such as dyschlorisis, melanization, cepalothorac spot, carapac spot, abdominal spot and telson spot. PCR detection on 8 samples of vannamei shrimp showed the presence of DNA fragments at 333 bp and 941 bp.

Based on 13 samples essayed, it showed 8 samples were infected by WSSV moleculary.

Keyword: BKIPM Medan I, moleculer detection, vannamei shrimp, PCR, WSSV

(7)

iv

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Al lah Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Deteksi Molekuler White Spot Syndrom Virus (WSSV) Pada Komoditas Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei.) Di Balai

Karantina Ikan Pengendalian Mutu Medan I Sumatera Utara”. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Deteksi Molekuler White Spot SyndVirus Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik karena

adanya bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis pertama kali mengucapkan terima kasih kepada ayah tercinta Armansyah dan ibu tercinta Sri Dewi Hayani yang telah membesarkan mendidik dan selalu memberikan doa, kasih sayang, pengorbanan, semangat dan motivasi yang besar kepada penulis. Terima kasih kepada adik tersayang Delly Ardina dan Warnida Ariati serta seluruh keluarga besar yang selalu menghibur dan memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Dra. Deny Supriharti, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan motivasi dari memulai penulisan hingga penyempuraan skripsi ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Dr. Saleha Hannum, M.Si selaku dosen penguji I sekaligus ketua program studi Biologi FMIPA USU dan bapak Dr. Miswar Budi Mulya M.Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan asuhan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar dan staff Departemen Biologi yang telah banyak memberikan ilmu dan bantuan selama perkuliahan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Burlian, S. Pi, M.Si selaku kepala BKIPM Medan I dan ibu Asnita, S.Pi, M.Si selaku kepala Laboratorium Uji BKIPM Medan I yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di BKIPM Medan I serta Bapak Ali, Ibu Ayu, Ibu Lana, Ibu Retna, Bapak Rizal dan ibu/bapak staff pegawai atas segala bantuan berupa bimbingan, fasilitas, kerjasama dan waktu yang diberikan.

(8)

v Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman LED 2016 yang telah membuat masa perkuliahan terasa menyenangkan dan berkesan. Terima kasih untuk teman-teman di Laboratorium Genetika terkhusus Edy, Febri, Agustia, Indah, Ainun, Yunjun, kak Riska dan kak Nisa yang sudah memberikan warna dan cerita indah dalam menjalani asistensi bersama. Terima kasih untuk Kakak Abang Asuh GENOM 2014, terutama kak Devi Syahfitri dan adik asuh Dinda, terimakasih kepada sahabat BESS (Ulfa, Jannah, Nussaibah, Icha, Tia, Dhira, Yunila, Aida, Ainun, Annisa dan kak Sari), yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam suka dan duka. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah dan memberi balasan yang baik kepada pihak yang membantu dalam segala hal yang telah disebutkan diatas.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Demikian yang dapat penulis sampaikan, atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2021

Della Arninda

(9)

vi DAFTAR ISI

Halaman

PENGESAHAN SKRIPSI i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

PENGHARGAAN iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN x

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1 Udang Vannamei 4

2.2 White Spot Syndrom Virus (WSSV) 5

2.3 Penyebaran dan Gejala Klinis WSSV 6

2.4 Deteksi Molekuler WSSV 7

BAB 3 METODE PENELITIAN 9

3.1 Waktu dan Tempat 9

3.2 Metode Penelitian 9

3.2.1 Persiapan Sampel 9

3.3 Isolasi DNA WSSV White Spot Syndrom Virus (WSSV) 9 3.4 Uji Kualitatif dan Kuantitatif DNA Total 10 3.4.1 Uji Kualitatif dengan Elektroforesis 10 3.4.2 Uji Kuantitatif dengan Nanofotometer 10 3.5 Amplifikasi DNA WSSV

3.6 Analisis Kualitas Air 3.7 Analisis Data

11 12 13

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14

4.1 Gejala Klinis Udang Yang Terserang WSSV 14

4.2 Hasil Uji Kualitatif Isolasi DNA 16

4.3 Hasil Uji Kuantitaf DNA 18

4.4 Hasil PCR Amplifikasi DNA 20

4.5 Parameter Kualitas Air 22

(10)

vii

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 24

5.1 Kesimpulan 24

5.2 Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 28

(11)

viii DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

3.1 Sekuen Pasangan Primer Deteksi WSSV Pada Udang 11 3.2 Komposisi Reaktan PCR Amplifikasi DNA Genom Virus 11 3.3

4.1 4.2

Profil Amplifikasi PCR

Pengukuran Konsentrasi dan Kemurnian DNA Genom Udang

Nilai Pengukuran Standar Kualitas Air

12 18 22

(12)

ix DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 4.1 4.2

Gejala Klinis Udang Yang Terserang WSSV

Gejala Klinis Udang Lainnya Yang Terserang WSSV

14 15

4.3 Hasil Uji Kualitatif Isolasi DNA 16

4.4 Hasil PCR Amplifikasi DNA 20

(13)

x DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman Lampiran

1. Daftar Sampel Udang Vannamei Yang Diamati di BKIPM Medan I

27

2. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 28

(14)

xi DAFTAR SINGKATAN

PCR = Polymerase Chain Reaction WSSV = White Spot Syndrom Virus

OIE = Office International des Epizooties DNA = Deoxyribonucleic Acid

RNA = Ribonucleic Acid

EDTA = Ethylenediaminetetra Acetic Acid ATL = A Tissue Lysis Buffer

NACL = Natrium Cloride TAE = Tris Acetat EDTA

TE = Tris EDTA

EtBr = Ethidium Bromide BP = Base Pair

KB = Kilo Base Pair

(15)

xii BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu jenis budidaya perikanan yang dikembangkan di Indonesia adalah udang vannamei. Udang vannamei merupakan udang introduksi yang berasal dari Pantai Pasifik Barat Amerika Latin (FAO, 2014). Permasalahan yang muncul dari budidaya udang ini adalah munculnya penyakit bintik putih atau yang dikenal dengan White Spot Syndrome Virus (WSSV). Kejangkitan virus penyakit ini menyebabkan produktivitas udang menjadi menurun, gejala yang nampak adalah berupa usus tampak kosong, tubuh pucat, dan munculnya bercak-bercak putih. Tingkat patogenitas dari virus ini relatif tinggi dengan mortalitas mencapai 100% yang merupakan penghambat utama kegagalan budidaya udang di Asia (Mahardika et al., 2004).

WSSV menyebabkan kerugian secara ekonomis yang sangat besar. Kerugian muncul saat wabah di Asia pada tahun 1992 hingga tahun 2001 adalah sebesar 4 hingga 6 juta dollar AS (Lightner, 2003). Penyakit virus ini telah mengakibatkan penurunan produksi sampai 33.000 ton (senilai US $ 330 juta, saat itu Rp 10.000,- 15.000,-/US $), sebagai akibatnya terjadi penutupan 70% usaha tambak dijawa dan luar jawa yang mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak dapat bereproduksi lagi.

Hal ini berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 triliun rupiah per tahun (Dirtjen Perikanan Budidaya, 2004). Penyakit merupakan salah satu faktor penghalang untuk dapat mendukung produksi komoditas perikanan, terutama selama tahap pemeliharaan larva dan benih dari organisme budidaya (Yukio et al., 2007).

Gejala-gejala yang ditimbulkan dari penyakit WSSV ini sulit untuk terdeteksi dengan melihatnya secara langsung, maka dari itu digunakanlah metode molekuler untuk mendeteksi infeksi WSSV pada udang vannamei melalui PCR (Koesharyani et al., 2001). Deteksi virus secara PCR memberikan hasil yang akurat, cepat dan sangat peka. Teknik PCR hanya memerlukan jumlah sampel yang sedikit berupa bahan segar, sudah dikeringkan ataupun beku (Sulandari, 2004).

(16)

2

Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) Medan I merupakan unsur pendukung pada Kementrian Kelautan dan Perikanan didaerah yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Mentri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Karantina Ikan Kementrian Kelautan dan Perikanan didaerah. Pembentukan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan merupakan simplifikasi dari pelaksanaan implementasi peraturan perundangan, berperan menjaga kelestarian sumberdaya hayati sebagaimana UU No. 16 Tahun 1992 dan PP N0.15 Tahun 2002 yaitu mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan dari satu area lain didalam wilayah Republik Indonesia, serta mencegah keluarnya hama dan penyakit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. BKIPM berorientasi pada pelayanan dari dua institusi yaitu Karantina Ikan dan Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Sampel yang dilalulintaskan dari berbagai daerah dikarantina terlebih dahulu sebagai upaya pencegahan keluar masuk dan tersebarnya hama penyakit baik dari luar negri, dan juga dari satu area ke area lainnya (Dirtjen Perikanan Budidaya,2004).

1.2 Rmusan Masalah

Udang vannamei merupakan salah satu komoditas hasil laut unggulan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Budidaya udang vannamei di Indonesia tidak terlepas dari serangan penyakit terutama akibat terjangkitnya virus yang dapat menyebabkan kematian massal. Salah satu kasus kematian massal udang vannamei diakibatkan terjangkit virus (WSSV) White Spot Syndrom Virus.

Penyebaran dan penularan WSSV sangat cepat dalam suatu wilayah tertentu. Untuk mengurangi penyebaran virus WSSV dan dampak kerugian yang ditimbulkan oleh serangan virus ini dalam budidaya udang vannamei, perlu dilakukan diagnosis secara cepat saat benih udang di karantina sebelum mulai dibudidayakan ataupun dipasarkan. Untuk itu perlu adanya suatu penelitian untuk mendeteksi virus penyebab penyakit pada udang vannamei. Teknik deteksi molekuler dengan PCR merupakan teknik yang tepat karena memberikan hasil yang akurat, dan spesifik dengan menggunakan jumlah sampel yang sedikit dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat.

(17)

3

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi ada tidaknya penyakit virus WSSV (white spot syndrom virus) pada udang vannamei dengan menggunakan teknik PCR dan membandingkan karakteristik morfologi udang yang terserang virus WSSV dengan udang sehat, yang dilalulintaskan di BKIPM Medan I.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dalam pelaksaan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Dapat mengetahui visualisasi pita DNA dan kuantifikasi DNA White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada udang vannamei yang terinfeksi WSSV.

b. Dapat mengetahui beberapa ciri-ciri udang vannamei yang terinfeksi WSSV dan mengetahui perbandingan udang vannamei sehat dan udang vannamei yang terserang WSSV.

c. Sebagai sumber informasi tentang bahaya virus WSSV yang dapat menyerang udang vannamei sehingga dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi industri budidaya udang vannamei di Indonesia.

(18)

0 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Vannamei

Udang vanamei merupakan udang yang berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Di Indonesia udang vanamei mulai banyak di budidayakan dan dijadikan sebagai pengganti udang windu (Penaeus monodon). Udang vaname mempunyai keunggulan diantaranya dapat mencapai ukuran besar, dapat tumbuh secepat udang windu (3 g/minggu), dapat dibudidayakan pada kisaran salinitas yang lebar (0,5- 45 ppt /part per thousand), kebutuhan protein yang lebih rendah (20- 35%) dibanding udang windu dan dapat ditebar dengan kepadatan tinggi hingga lebih dari 150 ekor/m2 (Yanti et al., 2017).

Udang vannamei memiliki nama latin Litopenaeus vannamei. Udang ini termasuk golongan crustacea (Udang-udangan) dan dikelompokkan sebagai udang laut atau udang penaide bersama dengan jenis udang lainnya, seperti udang windu (penaeus monodon), udang putih atau udang jrebung (penaeus margeunsis), udang werus atau udang dogol (metapenaeus spp.) udang jari (penaeus indicus) dan udang kembang (penaeus semisulcatus),Secara morfologi udang vanamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar (eksoskeleton) secara periodik (moulting). Bagian tubuh digunakan untuk makan, bergerak, membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing), menopang insang, dan organ sensor seperti antena dan antenula.

Udang vanamei memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari bahan chitin berwarna putih kekuning-kuningan dengan kaki berwarna putih. Untuk ukuran tubuhnya sendiri bila dibandingkan dengan udang windu ataupun udang jrebug, udang vaname memiliki ukuran yang lebih kecil. Kepala udang vaname terdiri dari antenula, antena, mandibula (tulang rahang bawah), kepala udang vaname juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied untuk makan dan lima pasang kaki untuk berjalan (periopoda). dan dua pasang maxillae (tulang rahang atas). Abdomen

(19)

5

(bagian perut) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang (pleopoda) kaki renang dan sepasang uropoda (ekor kipas) yang sama (Amrilah et al., 2015).

2.2 White spot syndrome Virus (WSSV)

White spot syndrome Virus (WSSV) adalah salah satu penyakit yang telah merambah secara global dan menjadi masalah serius pada sebagian besar spesies udang yang dibudidayakan secara komersil. Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami kematian sehingga akan merugikan pembudidaya udang secara ekonomis dan akan berdampak negatif terhadap masyarakat yang mengkonsumsi udang yaitu mual dan pusing (Supriatna, 2004).

WSSV sebuah penyakit pada udang yang yang disebabkan oleh virus SEMBV (Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculo Virus) yang merupakan virus berbahan genetik DNA (Dioxyribonucleic Acid), berbentuk (Baciliform) seperti batang yang menyelubung dan berpori (Wang et al., 1995). Secara signifikan virus ini menyebabkan tingginya mortalitas udang serta kerusakan parah pada budidaya udang. Dalam budidaya udang, infeksi WSSV dapat menyebabkan kematian kumulatif hingga 100% dalam waktu 3-4 hari (Lightner, 1996). Timbulnya gejala penyakit pada organisme merupakan interaksi antara tiga faktor, yaitu inang, agen penyakit dan lingkungan. Bila lingkungan tidak dijaga dengan baik, maka cenderung berpengaruh positif pada pertumbuhan pathogen, ditambah dengan lemahnya pertahanan antibody dari tubuh inang yang dapat menimbulkan penyakit pada organisme peliharaan baik dari larva mapun benih (Supriatna, 2004).

Penyebaran WSSV dapat ditularkan melalui kontak fisik dan pakan alami seperti artemia, udang rebon dan kepiting (Kou et al., 2008).

Pengaruh langsung salinitas yaitu efek osmotiknya terhadap osmoregulasi yang tidak memberi keuntungan sama sekali pada udang dan pengaruhnya langsung pada salinitas yang mempengaruhi organisme akuatik (Rahma et al., 2014). Beberapa penyakit viral yang menjadi penyebab utama kegagalan budidaya udang vannamei adalah white spot disease yang disebabkan oleh White Spot Syndrome Virus (WSSV), red tail disease yang disebabkan oleh Taura Syndrome Virus (TSV) dan runt deformity syndrome (RDS) yang disebabkan oleh Infectious Hypodermal Hematopoietic Necrosis Virus (IHHNV) (Sukenda, 2009).

(20)

6

2.3 Penyebaran Dan Gejala Klinis WSSV

Distribusi WSSV terdapat pada insang, kaki renang (pleiopod), kaki jalan (pereiopoda), jantung dan organ lainnya (Kou dkk., 1998). Infeksi artifisial dengan analisis patogenik kuantitatif menunjukkan bahwa jaringan target dari proses replikasi WSSV terdapat pada insang, lambung dan epitel kutikula tubuh, jaringan hematopoietik, organ limfoid dan kelenjar antennal, kaki renang, kaki jalan, insang, lambung, otot abdomen, gonad, intestinum, karapas, jantung sehingga menimbulkan infeksi yang sistematik atau menyeluruh. (Escobedo-Bonilla et al., 2008).

Faktor pemicu timbulnya penyakit WSSV ini yaitu blooming fitoplankton kemudian mengalami kematian secara mendadak, kadar oksigen rendah, terjadi fluktuasi pH harian yang besar, rendahnya temperatur air, turun hujan secara mendadak dan pengelolaan yang kurang (Yanti et al., 2017).

Crustacea memiliki sistem kekebalan non spesifik karena tidak memiliki kemampuan untuk mengikat antigen. Pada saat terjadi serangan bakteri, virus maupun jamur, kutikula udang yang keras merupakan pertahan fisik pertama yang akan menghambat masuknya patogen. Apabila patogen tersebut dapat melewati pertahanan ekstrenal ini maka pertahanan internal pada tubuh udang akan menjadi pertahanan kedua melalui respon selular (Rahma et al., 2017).

WSSV menginfeksi sel-sel penghasil mesodermal dan ektodermal seperti epitel subkutikula, organ limfoid, hemosit, jaringan hematopoietik, epidermis kutikula perut dan jaringan penghubung (Lightner, 1996). Indikasi terinfeksinya jaringan ditunjukkan oleh adanya titik nekrosis yang tersebar. Sel-sel yang terdegenerasi diitandai dengan adanya inti-inti yang mengalami hiperthrophy (membesar) dengan kromatin yang terpinggirkan dan inklusi intranuklear eosinofil sampai basophil hal ini didukung dengan rendahnya kadar oksigen, fluktuasi pada Ph serta curah hujan yang tinggi (Wongeteerasupaya et al., 1995).

Udang yang terinfeksi menunjukkan perilaku lesu, kehilangan nafsu makan, terjadi perubahan warna kemerahan dan bintik-bintik putih di eksoskeleton (Chou et al., 1995). WSSV tidak hanya menginfeksi semua spesies udang, tetapi juga berbagai crustacea berkaki sepuluh lainnya seperti kepiting, lobster dan lain sebagainya (Sudha., 1998). Menurunnya aktivitas berenang, berenang tidak terarah, dan sering kali berenang pada salah satu sisinya saja. Selain itu udang cenderung bergerombol

(21)

7

di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5-3.0 mm dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak, segemen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir menyebar ke seluruh kutikula tubuhnya. Pada WSSV, adanya bintik atau spot putih pada bagian karapas sudah menjadi tanda umum tetapi pada induk udang warnanya menjadi merah, Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu singkat dapat mengalami kematian (Mahardika et al., 2004).

Akan terlihat perubahan warna pada bagian tubuh dan ekor menjadi kemerahan serta timbulnya bintik putih antara 1-3 buah pada karapas dan ekor gerimpis . Pada kasus WSSV adanya bintik putih pada bagian karapas sudah menjadi tanda umum, dan Mahardika dkk. (2004), menjelaskan pada induk udang warnanya menjadi merah. tingkat infeksi berat), dengan ciri-ciri infeksi berat yang terjadi, yaitu bintik putih sudah menyebar ke bagian tubuh udang serta adanya perubahan warna menjadi kemerahan pada ekor dan tubuh udang, selain itu ekor gerimpis, antena patah dan mata rusak. infeksi berat (akut), udang mengalami perubahan warna tubuh kemerahan yang lebih tegas warna merah dapat dilihat pada ekor serta, bila sudah parah bercak putih menyebar sampai ke seluruh bagian tubuh. Gejala klinis yang timbul pada udang yang terinfeksi WSSV ditunjukkan oleh penurunan konsumsi pakan, lemah, kutikula lepas, dan terjadi pelunturan warna (diskolorisasi) pada hepatopankreas dari warna merah muda hingga menjadi coklat kemerahan, anoreksia, lethargi, warna kemerahan pada abdomen dan bintik putih pada udang vannamei tersebut (Hameed et al., 1997).

2.4 Deteksi Molekuler WSSV Metode PCR

Deteksi dini untuk mengetahui adanya infeksi WSSV pada komoditas udang vannamei sangat di perlukan untuk mengurangi dampak kerugian yang disebabkan karena serangan WSSV. Ditambah lagi adanya potensi penularan virus ini, sehingga pemeriksaan dan pengawasan kesehatan udang perlu dilakukan untuk mencegah meluasnya penyebaran. Salah satu teknik identifikasi molekular yang dapat digunakan sebagai saran diagnosis penyakit adalah teknik amplifikasi DNA (Innis et al., 1990). Teknik ini mampu melipat gandakan untai DNA sampel sehingga dapat dianalisis dengan lebih jelas. Sejak awal ditemukannya amplifikasi DNA yang

(22)

8

digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) yang diinilai memiliki cukup banyak keunggulan dalam mendiagnosis penyakit (Feranisa, 2016). Dibanding teknik deteksi lainnya, teknik ini sangat sensitif dan akurat sehingga lebih banyak pemakaian pada alat ini (Takahashi et al. 1993).

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry B Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan salinan hanya dalam beberapa jam (Handoyo and Ari, 2000). Keberhasilan amplifikasi dalam reaksi PCR ditentukan ada tidaknya primer oligonukleotida yang menempel dan menyatu dengan DNA template. Primer akan menempel pada DNA genom yang memiliki susunan basa nukleotida yang komplemen dengan susunan basa pada primer (Sunandar and Imron, 2010).

Untuk pemeriksaan WSSV menggunakan primer 146 F1R1 pada tahap First Step PCR dan menggunakan primer 146 NF2 NR2 pada tahap Nested. Pengunaan primer ini Sudah dilakukan dibanyak penelitian yang sama diindonesia mengikuti metode pada SNI 7305:2009 (Nurbariah at al.,2015). Keberhasilan amplifikasi dipengaruhi pula oleh master mix yaitu volume dan konsentrasi komponen dalam reaksi PCR, antara lain enzim DNA polymerase, template DNA, primer, dNTP, buffer, serta kondisi reaksi PCR (Sambrook and Russell, 2001). Untuk formulasi master mix yang digunakan dalam mendeteksi virus WSSV satu kali reaksi terdiri dari Go Taq Green (volume 12µl), DNA Template Plasmid (+) sebagai kontrol positif WSSV (volume 4µl), dan NFW (Nuclease free water) (volume 7 µl) serta kondisi PCR diatur pada Initial Activation Pre Heat (94ºC 4 menit), Denaturasi (94ºC 1 menit), Anneling (55ºC 1 menit), Ekstensi (72ºC 1 menit), Final Ekstensi (72ºC 5 menit), Preservation 4ºC dan jumlah siklus sebanyak 40 siklus (Novita et al.,2012).

Deteksi hasil dalam PCR mampu mengevaluasi dan melakukan kuantifikasi secara langsung diperangkat lunak (software) pada komputer. Keunggulan penggunaan teknik ini, diantaranya: (1)waktu hasil pemeriksaan lebih singkat karnanya sehingga lebih tepat dan efesien, (2) lebih spesifik, (3) sensitif, (4) mudah diset up, (5) dapat membedakan varian organisme, (6) organisme yang digunakan tidak harus hidup (Yusuf, 2010).

(23)

9 BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan oktober 2020 sampai dengan Januari 2021 di Laboratorium Uji Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) Medan I, dan dilanjutkan dengan uji kuantitatf DNA total di Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Persiapan Sampel

Sampel udang vannamei yang dilalulintaskan di BKIPM Medan I diseleksi dan dilakukan pengamatan secara langsung analisis morfologi untuk melihat gejala klinis dan lesi patologi anatomi pada udang vannamei yang disebabkan oleh WSSV lalu dicatat hasil pengamatan. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk ditimbang, kemudian sampel udang diambil menggunakan pinset dan gunting steril, selanjutnya dilakukan pemeriksaan menggunakan teknik PCR.

3.3 Isolasi DNA WSSV (White spot syndrome Virus)

Isolasi DNA dari WSSV dilakukan sesuai dengan metode OIE (OIE, 2012).

Ditimbang sampel udang 5-10 g, dimasukkan ke tube 1,5 ml. Ditambahkan 500 μl lysis Buffer ATL (A Tissue Lysis Buffer) dan dihaluskan dengan grinder. Lalu diamkan pada suhu ruang selama 5 menit. Inkubasi pada suhu 95oC selama 10 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit.

Dipindahkan 200 μl supernatant yang didapat ke dalam tube baru, ditambahkan 400 μl alkohol 95% dan divortex. kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, dibuang supernatan yang didapat secara hati-hati, dikeringanginkan pelet dengan membalik tube selama 10 menit. Kemudian dilarutkan pelet dengan menambah 200 μl ddH2O atau TE (Tris EDTA(Ethylenediaminetetra Acetic Acid)) Buffer, DNA siap digunakan.

(24)

10

3.4 Uji Kualitatif dan Kuantitatif DNA Total

Uji Kualitatif DNA total dilakukan dengan menggunakan elektroforesis pada gel agarosa dengan konsentrasi 2%, sedangkan pengujian kuantitatif DNA dilakukan dengan menggunakan nanofotometer (IMPLEN P-360 Nanofotometer P-Class) dengan panjang gelombang 260 nm. Kemudian DNA dihitung kemurniannya dengan perbandingan absorbansi 260/280.

3.4.1 Uji Kualitatif dengan Elektroforesis

Kualitas DNA ditentukan berdasarkan ada tidaknya pita DNA yang didapatkan pada gel agarosa 2% dengan menggunakan alat elektroforesis. Gel agarose dibuat dengan cara mendidihkan 2 g agarosa dalam 80 mL TAE (Tris Asam Asetat EDTA(Ethylenediaminetetra Acetic Acid)) 1x. Larutan agarosa dibiarkan sampai suhunya menurun sekitar 37°C, lalu dituang ke dalam cetakan baki elektroforesis dan ditunggu sampai memadat. Larutan TAE (Tris Acetate EDTA(Ethylenediaminetetra Acetic Acid)) 1X dituang kedalam baki elektroforesis sampai gel agarose yang sudah memadat terendam atau sampai pada batas garis hitam yang sudah ditentukan pada baki elektroforesis. Suspensi DNA dipipet sebanyak 5 μl dan dimasukkan ke dalam sumur gel agarosa. Elektroforesis di running pada tegangan 100-150 V selama 30 menit. Diamati Pita DNA yang terbentuk pada gel agarosa menggunakan UV transluminator Doc.

3.4.2 Uji Kuantatif dengan Nanofotometer

Kuantitas DNA diukur berdasarkan nilai absorbansi DNA pada panjang gelombang 260 nm menggunakan nanofotometer. Kalibrasi nanofotometer dilakukan terlebih dahulu untuk setiap pengukuran DNA. Akuabides diteteskan sebanyak 1 μl di atas kuvet nanofotometer. Lid diletakkan di atas kuvet dan ditekan tombol blank untuk kalibrasi. Suspensi DNA diambil sebanyak 1 μl, lalu diletakkan diatas kuvet nanofotometer dan ditekan tombol sampel. Kemurnian DNA dihitung berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dibagi dengan 280 nm, sedangkan konsentrasi DNA dihitung berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nanometer.

(25)

11

9 3.5 Amplifikasi DNA WSSV

Amplifikasi DNA virus dilakukan dengan metode PCR menggunakan dua set pasangan primer 146F1R1, dan 146 NF2NR2, yang telah di desain untuk mengamplifikasi dan mendeteksi WSSV. Sekuen pasangan primer yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Komposisi PCR dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1 Sekuen pasangan primer untuk deteksi WSSV pada udang vannamei

Primera Sequence Produk PCR (bp)

F1 R1

NF2

5’-ACTACTAACTTCAGCCTACTCAG-3’’

5’-TAATGCGGGTGTAATGTTCTTACGA-3’

5’-GTAACTGCCCCTTCCATCTCCA-3’’

1447

941

NR2 5’-TACGGCAGCTGCTGCACCTTGT-3’

Tabel 3.2 Komposisi reaktan PCR satu kali reaksi amplifikasi DNA genom Virus 3.2.1 First Step PCR

No. Komponen Volume

1 10 μΜ F1 1µl

2 10 μM R1 1 µl

3 Go Taq Green (Thermo Scintific) 12 µl

4 Template (DNA) 4 µl

5 NFW (Nucleuse free water) 7 µl

Total Per Reaksi 25 µl

3.2.1 Nested PCR

No. Komponen Volume

1 10 μΜ NF2 1 µl

2 10 μM NR2 1 µl

3 Go Taq Green (Thermo Scintific) 12 µl

4 Template (DNA) 2 µl

5 NFW (Nucleuse free water) 9 µl

Total Per Reaksi 25 µl

(26)

12

12 Kondisi proses PCR diatur pada waktu dan suhu tertentu sesuai dengan virus target dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Profil Amplifikasi PCR 3.3.1 First Step PCR

Kondisi PCR

Pre Heat 94°C, 4 menit

55°C, 1 menit 72°C, 2 menit

40 siklus

Denaturasi 94°C, 1 menit

Annealing 55°C, 1 menit

Ekstensi 72°C, 2 menit

Final ekstensi 72°C, 5 menit

Preservation 4°C

Amplicon 1447 bp

3.3.2 Nested PCR

Kondisi PCR

Pre Heat 94°C, 4 menit

55°C, 1 menit 72°C, 2 menit

40 siklus

Denaturasi 94°C, 1 menit

Annealing 55°C, 1 menit

Ekstensi 72°C, 2 menit

Final ekstensi 72°C, 5 menit

Preservation 4°C

Amplicon 941 bp

3.6 Analisis Kualitas Air

Data kualitas air didapatkan dari data sekunder yang diperoleh dari laboratorium Uji Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) Medan I.

(27)

13

3.7 Analisis Data

Data dijelaskan secara deskriptif untuk menggambarkan hasil penelitian yang diperoleh. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk gambar dan tabel untuk mendeskripsikan hasil penelitian.

(28)

14

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan udang vannamei yang diduga bergejala infeksi virus dari udang yang dilalu lintaskan di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu Medan I Sumatera Utara. Sampel udang yang diduga bergejala infeksi virus diisolasi dan dideteksi penyebabnya dengan menggunakan teknik PCR.

4.1 Gejala Klinis Udang yang terserang WSSV

Hasil pengamatan diduga terinfeksi gejala (viral symptomps) virus pada morfologi udang vannamei, (Gambar 4.1). Gejala tersebut yaitu disklorosis pelunturan warna pada kulit udang; melanisasi perubahan warna menjadi hitam pekat pada insang; bintik pada sefalothorak; bintik pada karapak bintik pada abdomen; bintik pada telson.

Gambar 4.1 Variasi gejala pada udang vannamei yang diduga terserang virus WSSV A. Udang Sehat B. Disklorosis; C. Melanisasi;

A

B

C

1

cm

1

cm

1

cm

(29)

15

Gambar 4.2 Variasi gejala pada udang vannamei lainnya yang terserang virus WSSV: D. Bintik pada sefalothorak; E. Bintik pada karapak F. Bintik pada abdomen; G. Bintik pada telson (Laboratorium BKIPM).

Pada Gambar 4.1 menunjukkan (A) Sampel udang sehat dengan ciri-ciri fisik berupa warna kulit yang cerah dan bersih, anggota tubuh utuh mulai dari kepala hingga ekor tidak ada bagian tubuh yang berkurang ataupun rusak. ( B ) sampel udang positif WSSV (White Spot Syndrom Virus) gejala yang ditunjukkan yaitu perubahan warna tubuh (disklorosis) dari warna hijau menjadi pucat kemerahan.

Berdasarkan pemaparan Sudha et al., (2008) bahwa udang yang terserang WSSV mengalami pelunturan warna (disklorosis) dari warna hijau cerah menjadi berwarna pucat kemerahan. Gejala lainnya (C) anggota tubuh pada udang mengalami melanisasi (perubahan warna menjadi hitam pekat pada insang). Pada Gambar 4.2 menunjukkan (A) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada sepalothorak. (B) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada karapak.

(C) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada abdomen. (D) hipertropi inti pada sel jaringan yaitu bintik putih pada telson. Berdasarkan pemaparan Mahardika et al., (2004) terdapat bercak putih dengan diameter 0,5-0,3 mm, dan bercak putih ini pertama kali muncul pada cephalothorak, segmen ke-5 dan ke-6, lalu dari abdominal menyebar keseluruh kutikula tubuhnya. udang yang terserang penyakit ini akan mengalami kematian, kematian akan terjadi sekitar 15-28 hari.

1

cm

1

cm

B

C A

D 1 cm

1 cm

1 cm

1 cm

(30)

16

Menurut Muliani et al., (2007), WSSV dapat menyebar dengan cepat keberbagai organ seperti jantung, epidermis, otot maupun sistem pencernaan meski dalam jumlah kecil. Menurut Duran et al., (2002), gejala klinis lainnya yaitu perubahan warna tubuh menjadi coklat dan coklat kemerahan yang merupakan gejala respon udang terhadap infeksi benda asing kedalam tubuhnya. Udang yang telah terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan warna yang disebabkan oleh terjadinya pembesaran kromatofor kutikula. Kromatofor pada udang merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh udang. Selain perubahan warna tubuh sel udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami kerusakan (nekrosis) pada antena, antenulla, Rostum, periopod, pleiopod, dan ekor .

Menurut Edison (2009) infeksi WSSV pada udang terdapat 3 jenis. Tipe I infeksi akut atau sub akut tingkat keparahan jaringan adalah sedang sampai tinggi, kematian terjadi dalam waktu 7-10 hari, dan udang memilii bintik putih pada karapaks. Tipe II (parachute) udang tampak memerah tingkat keparahan jaringan sangat tinggi dan terjadi kematian masal dalam waktu 2-3 hari.

4.2 Hasil Uji Kualitatif Isolasi DNA

Hasil isolasi DNA total 13 koleksi udang dielektroforesis pada gel agarose 2% (Gambar 4.3). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas DNA yang diperoleh sehingga dapat digunakan dalam analisis selanjutnya yaitu amplifikasi DNA total dengan PCR.

Gambar 4.3 Visualisasi DNA dari 13 sampel udang vannamei yang dilalulintaskan di Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu (BKIPM) Medan I Sumatera Utara.(M= Marker 1kb, S1-S13=Pita DNA udang vannamei).

Pada Gambar 4.3 menunjukkan hasil pita DNA dengan menggunakan metode Ekstraksi DNA Lysis Buffer (OIE, 2012). Seluruh pita DNA total memperlihatkan pita yang utuh memiliki ukuran diatas 1000 bp. Berdasarkan pemaparan Syafruddin

& Santoso (2011), keutuhan pita yang ditandai dengan tidak adanya smear pada pita M S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13

(31)

17

DNA yang diperoleh menjadi penting pada proses PCR, DNA yang masih utuh akan memberikan hasil yang relatif lebih akurat. Hasil visualisasi DNA menunjukkan ketebalan pita yang berbeda-beda pada masing-masing koleksi udang. Ketebalan dapat mempengaruhi amplifikasi DNA pada saat PCR. Ketebalan suatu pita DNA berbanding lurus dengan konsentrasi DNA, dimana semakin tebal suatu DNA yang diperoleh maka semakin tinggi pula konsentrasi DNA.

Pada masing-masing sumur gel dapat dilihat pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa pita yang tebal diperoleh pada S1 dan S3-S13 sedangan pita yang tidak terlalu tebal ditunjukkan hanya pada S2. Hal tersebut dipengaruhi oleh perlakuan fisik pada saat penggerusan maupun pemipetan tahap ekstrasksi.

Irmawati (2003), menyatakan bahwa pita DNA yang tebal dan yang tidak menyebar menunjukkan konsentrasi yang tinggi dan DNA total yang diekstrak dalam keadaan yang utuh. Sedangkan pada pita DNA yang terlihat menyebar menunjukkan ikatan antar molekul DNA yang terputus pada saat proses ekstraksi berlangsung, sehingga genom terpotong menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Terputusnya ikatan antar molekul tersebut dapat disebabkan oleh adanya gerakan fisik yang berlebihan dalam proses pemipetan, pada saat bolak-balik, temperatur yang terlalu tinggi atau karena aktivitas bahan-bahan kimia yang tertentu.

Berdasarkan pemaparan Fatchiyah et al., (2011) perbedaan hasil isolasi ditunjukkan oleh perlakuan penggerusan, dimana proses penggerusan dengan menghasilkan bubur yang halus dan banyak cairan sel DNA yang didapat akan optimal, sedangkan penggerusan dengan menghasilkan bubur yang kasar dan tidak banyak cairan sel yang keluar merupakan pelisisan sel yang kurang baik dengan sedikitnya isi sel yang dikeluarkan konsekuensinya DNA yang diperoleh juga tidak banyak. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Mulyani et al., (2013) proses penghomogenan dengan vorteks mixer dan spindown membantu dalam proses pelisisan sel. Menurut Anam (2010), Proses perusakan fisik sel dapat mempermudah buffer dalam memecah sel dan dapat menentukan kualitas DNA yang dihasilkan.

Secara keseluruhan hasil isolasi DNA udang memiliki kualitas yang baik, hal tersebut ditandai dengan adanya pita yang terlihat jelas sehingga dapat digunakan untuk tahap selanjutnya.

(32)

18

4.3 Hasil Uji Kuantitatif DNA Udang

DNA total yang telah diperoleh diuji secara kuantitatif untuk melihat kuantitas DNA yang diperoleh sehingga dapat digunakan dalam analisis selanjutnya yaitu amplifikasi DNA total dengan PCR. Uji kuantitatif ini menggunakan nanophotometer (IMPLEN P-360 Nanofotometer P-Class) menunjukkan hasil pengukuran DNA yang meliputi konsentrasi dan kemurnian DNA total udang (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA Genom udang

Sampel udang vannamei

Kode Panjang Gelombang

(nm) Konsentrasi

C(µg/µl)

Rasio Absorban A260/A280

A260 A280

Sampel1 NL/0022 0,414 0,218 41,5 µg/µl 1,899

Sampel2 NL/0023 0,403 0,234 12,3 µg/µl 1,722

Sampel3 NL/0024 0,793 0,421 30,5 µg/µl 1,883

Sampel4 NL/0025 0,625 0,338 24,2 µg/µl 1,849

Sampel5 NL/0026 0,784 0,396 26,2 µg/µl 1,979

Sampel6 NL/0027 0,651 0,323 50,1 µg/µl 2,015

Sampel7 S/00892 0,589 0,305 41,8 µg/µl 1,931

Sampel8 S/00893 0,741 0,401 22,5 µg/µl 1,847

Sampel9 K/01917 0,637 0,321 41,5 µg/µl 1,984

Sampel10 K/01918 0,853 0,465 23,2 µg/µl 1,834

Sampel11 K/01919 0,645 0,333 27,5 µg/µl 1,936

Sampel12 K/01920 0,754 0,396 45,6 µg/µl 1,904

Sampel13 K/01921 0,645 0,342 38,2 µg/µl 1,886

Pada Tabel 4.1 menunjukkan hasil uji kuantitatif DNA total udang dengan nilai kemurnian terendah diperoleh sebesar 1,722 pada sampel2. Nilai kemurnian tertinggi sebesar 2,015 pada sampel6. Berdasarkan pemaparan Fatctiyah et al., (2011) standar nilai kemurnian DNA yang tidak terkontaminasi oleh residu protein adalah 1.8 - 2.0. Penyebab ketidak murnian DNA salah satunya aspek dari teknis pelaksaan setiap tahap yang dilakukan seperti saat pemisahan supernatan dengan endapannya pada tahap penghilangan sisa protein dan bahan lain yang kemngkinan sedikit

(33)

19

terambil sehingga DNA yang berbobot berat tidak terambil dan jumlah DNA yang terambil sedikit. Pengeringan alkohol yang tidak sempurna juga dapat menyebabkan kontaminasi yang memberikan efek pada kuantitas DNA. Menurut Sambrook dan Russel (2001), nilai kemurnian bebas dari kontaminan berupa protein maupun fenol.

Pada uji kuantitatif, apabila kemurnian DNA yang diperoleh dibawah 1.8 kemungkinan besar sampel DNA masih mengandung kontaminan, sedangkan kemurnian DNA sebesar 2.0 memiliki tingkat kemurnian sebesar 100%. Tingkat konsentrasi DNA pada sampel dapat dipengaruhi oleh aktifitas organ sampel dan pengekspresian gen tertentu pada suatu organ (Pratiwi, 2020). Kemurnian DNA target sangat penting untuk analisis amplifikasi pada mesin PCR karena ketidakmurnian suspensi DNA dapat mempengaruhi reaksi amplifikasi dan menghambat kerja enzim DNA polimerase pada saat PCR.

Menurut Isnati (2005) bahwa tingkat kemurnian hasil ekstraksi DNA dipengaruhi oleh keberadaan protein sebagai pengotor dan perbandingan dengan jumlah DNA yang didapatkan. Sedangkan DNA total udang dengan konsentrasi terendah diperoleh sebesar 12,3 µg/µl pada sampel2 dan konsentrasi DNA sampel tertinggi sebesar 50,1 µg/µl sampel6. Berdasarkan pemaparan Simatupang (2015), konsentrasi DNA yang biasanya digunakan dalam proses PCR adalah 0,5-50 ng/µl Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyulitkan primer yang digunakan untuk menempel, Sehingga cetakan DNA menghasilkan amplifikasi yang kurang baik.

Menurut Azizah (2009), tingginya konsentrasi cetakan DNA yang digunakan dalam PCR akan menghasilkan amplifikasi DNA yang kurang baik. Cetakan DNA yang terlalu banyak kemungkinan menyulitkan primer yang digunakan untuk menempel. Menurut Haris et al., (2003), konsentrasi DNA akan berdampak pada kualitas fragmen hasil amplifikasi. Konsentrasi DNA yang rendah akan menghasilkan fragmen yang tipis, sebaliknya konsentrasi DNA yang tinggi akan menyebabkan fragmen terlihat tebal sehingga sulit membedakan antar fragmen. Hasil isolasi DNA selanjutnya digunakan sebagai template pada saat amplifikasi dengan PCR. Adapun hasil DNA dengan kualitas dan kuantitas yang baik akan menghasilkan amplifikasi yang baik pada proses PCR. Hasil isolasi DNA selanjutnya digunakan sebagai templet pada saat amplifikasi dengan PCR, adapun DNA dengan konsentrasi yang terlalu tinggi dilakukan pengenceran terlebih dahulu.

(34)

20

4.4 Hasil PCR Amplifikasi DNA

Adanya kemiripan gejala yang terdapat pada udang yang terinfesi virus menyebaban kesulitan untuk membedakan penyebab penyakit pada udang, apakah terinfeksi virus WSSV atau Virus yang lain sehingga perlu dilakukan deteksi molekuler untuk memastikan penyebab infeksi virus pada udang tersebut. Hasil analisis PCR dilihat pada Gambar 4.4 dibawah ini

Gambar 4.4 Hasil Amplifikasi DNA udang yang terinfeksi virus WSSV. M) Marker 100 bp, (KN) kontrol negatif, (KP) kontrol positif, (Sp. 1-6, Sp.9 dan Sp 11) sampel udang yang terinfeksi WSSV.

Hasil analisis PCR dengan menggunakan dua set pasangan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2 menunjukkan bahwa 8 sampel udang vannamei positif terinfeksi WSSV (White Spot Syndrom Virus) muncul amplikon pada pendaran band 333 bp dan 941 bp. Pada proses amplifikasi ini menggunakan tahapan first step PCR dan nested PCR yang merupakan proses amplifikasi DNA polimerase bersarang.

Penggunaan dua set pasangan primer memungkinkan untuk munculnya amplikon yang berbeda, disebabkan oleh adanya interaksi antar primer. Hal ini didukung oleh pernyataan Rhyclik, (2005), penggunaan dua set primer forward-reverse (F1R1 dan F2R2) akan terjadi interaksi primer dengan cetakan oleh struktur cros dimer yang terbentuk, hal ini disebabkan oleh faktor selisih suhu Tm antar primer kecil dan persentase GC primer forward yang lebih tinggi. Disamping itu adanya stabilitas internal primer yang merupakan perbedaan kestabilan pelekatan primer-cetakan ujung 5’ dan ujung 3’ pada DNA target. Primer dengan kestabilan ujung 5’ yang lebih besar dari pada ujung 3’ umumnya memiliki interaksi spesifik primer-cetakan.

1500 bp

M S7 S8 S9 S10 S11 S12 S13 KN KP M S1 S2 S3 S4 S5 S6 KN KP

941 bp 333 bp

1500 bp bp

(35)

21

Kestabilan yang rendah pada ujung 3’ adanya pelekatan nontarget pada ujung 3’

menjadi tidak stabil untuk diperpanjang oleh DNA polimerase.

Didukung pula oleh hasil penelitian Hidayani et al.,(2015), kemunculan pita DNA merupakan indikator keberadaan WSSV, berdasarkan buku panduan IQ2000TM kemunculan pita pada pendaran band 333 bp menandakan infeksi ringan (tingkat I light), dan pada pendaran band 941 bp menandakan infeksi berat (Tingkat III severe). Menurut kemunculan pita DNA pada pendaran band 333 bp infeksi virus WSSV merupakan infeksi rendah berkisar 200 copies sedangkan kemunculan pita DNA pada pendaran band 941 bp merupakan infeksi berat berkisar 2000 copies.

Penggunaan pasangan primer pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan Supriatna et al (2014) yaitu 146 F1R1, dan 146 NF2NR2. Iqbal et al (2014) berhasil mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh virus WSSV dengan teknik PCR menggunakan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2 dengan terbentuknya pita pada 333 bp. Hossain et al (2014) melakukan pengujian pada virus WSSV menggunakan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2 dengan terbentuknya pita pada 941 bp. Amrilah et al (2015) berhasil melakukan pengujian pada virus WSSV menggunakan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2. Fajri et al (2015) berhasil melakukan pengujian pada virus WSSV menggunakan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2. Pranawaty et al (2012) berhasil melakukan pengujian pada virus WSSV menggunakan primer 146 F1R1, dan 146 NF2NR2. Penggunaan primer 146 F1R1

digunakan untuk tahap first PCR dan 146 NF2NR2 digunakan untuk tahap nested PCR. Menurut pernyataan Rukisah et al. (2002) bahwa amplifikasi tahap pertama First PCR digunakan untuk menentukan adanya fragmentasi DNA target agar dapat diamplifikasi sedangkan proses amplifikasi tahap kedua Nested PCR. Menurut Yusuf (2010) proses Nested PCR memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada produk selama amplifikasi dari penyatuan primer yang tidak diperlukan. Primer Nested akan menyatu dengan produk PCR yang pertama dan menghasilkan produk yang lebih pendek dari pada produk yang pertama.

Menurut Handoyono dan Rudiretna, (2000) keberhasilan proses PCR sangat bergantung dari primer dan suhu yang digunakan. Primer adalah nukleotida pendek berukuran 12-20 basa yang diperlukan sebagai titik pelekatan enzim polimerase DNA pada proses pembentukan atau pemanjangan DNA melalui teknik reaksi rantau

(36)

22

polimerase (polymerase chain reaction,PCR). Kemudian Suhu, suhu berkaitan dengan proses denaturasi DNA templat, annealing ekstensi primer. Suhu denaturasi DNA templet berkisar antara 93-95 oC. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA dan berdampak pada efesiensi PCR dan dapat merusak DNA templet, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templet tidak sempurna. Pada umumnya suhu yang digunakan adalah 94 oC. Suhu annealing yang digunakan umumnya berkisar antara 37-60 oC dan suhu ekstensi 72 oC. Selain itu keberhasilan PCR juga dipengaruhi tercapainya optimasi reaksi, kesesuaian antara basa nukleotida target dengan basa nukleotida penyusun primer dan virus yang diamplifikasi merupakan virus target.

Menurut Jamsari (2007) bahwa faktor yang mempengaruhi proses amplifikasi adalah ketepatan konsentrasi dan volume dari masing-masing komponen. Kondisi yang perlu diperhatikan ketika melakukan amplifikasi adalah penentuan suhu yang tepat pada masing-masing tahapan reaksi. Suhu pada saat annealing merupakan suhu yang paling penting, karena pada saat annealing primer mulai menempel pada sekuens DNA target. Suhu yang dibutuhkan pada saat predenaturasi, denaturasi, elongasi, dan penyimpanan berkisar pada angka-angka yang relatif sama untuk beberapa reaksi dari primer yang berbeda.

4.5 Parameter Kualitas Air

Data parameter kualitas air yang diperoleh dari lokasi budidadaya udang vannamei meliputi suhu, salinitas dan pH air yang digunakan untuk membandingkan kualitas air udang vannamei yang terserang WSSV dengan kualitas air udang vannamei yang bebas dari serangan WSSV yang dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.2 Nilai Pengukuran Standar Kualitas Air (SNI 7310-2009)

Parameter kualitas air

Kisaran kualitas air dari lokasi penelitian

Kisaran optimal

Lokasi yang bebas dari serangan WSSV

Lokasi yang terserang WSSV

SNI 01-7246-2006

Suhu 28 ºC - 31 ºC 30 ºC - 33 ºC 28,5 ºC – 31,5 ºC

Salinitas 16 - 22 ppt 20,5 - 28 ppt 15 - 25 ppt

pH 7.8 – 8.3 6.5 - 7.0 7.5 - 8.5

(37)

23

Berdasarkan data parameter kualitas air pada Tabel 4.2 dari lokasi budidaya udang vannamei yang bebas dari serangan WSSV diperoleh kisaran suhu 28-31ºC, salinitas 16-22 ppt dan pH berkisar 7.8-8.3 Hasil kualitas air yang diperoleh pada lokasi tersebut masih berada pada kisaran optimal untuk kelangsungan hidup udang vannamei Kualitas air yang baik pada lokasi penelitian dapat mendukung sistem imunitas baik sehingga udang dapat terlindung dari serangan WSSV. Hal ini sesuai dengan penelitian yang diperoleh oleh Kilawati dan Maimunah (2015) bahwa kualitas air dengan suhu 28-31ºC, salinitas 16-22 ppt dan pH air dengan kisaran 7.8-8.3 masih berada dalam kondisi optimal dan aman untuk kehidupan udang vannamei. Kualitas air yang kurang baik dapat memicu munculnya virus patogenik terutama WSSV. Nilai parameter kualitas air yang melebihi standard dan kombinasi antar parameter dapat menimbulkan gangguan pada tubuh udang. Data parameter kualitas air dari lokasi budidaya udang vannamei yang terserang WSSV diperoleh kisaran suhu 30-33ºC, salinitas 20,5-28 ppt dan pH berkisar 6.5-7.0. Hasil kualitas air yang diperoleh pada lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kondisi optimal dilingkungan hidup udang vannamei. Pada lokasi penelitian, terjadi fluktuasi suhu dan salinitas yang cukup tinggi hingga kisaran 30-33 ºC dan 20,5-28 ppt, sehingga dapat mengganggu fisiologis kerja tubuh udang dan tingkat imunitas udang menurun.

Kondisi terjadinya fluktuasi suhu tinggi memudahkan udang terserang virus sebagaimana penelitian Tendencia et al., (2010), bahwa infeksi WSSV pada udang dipicu oleh fluktuasi suhu yang menimbulkan hilangnya kemampuan self- adaptive udang menjadi stres kondisi fisiologis undang vannamei tidak mampu mempertahankan tingkat kelulusan hidupnya. Begitu pula pada Kondisi fluktuasi salinitas tinggi memudahkan udang terserang virus sebagaimana pemaparan Haliman dan Adijaya (2005), bahwa salinitas memegang peran penting dalam mempengaruhi pertumbuhan udang. Pada salinitas tinggi, pertumbuhan menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu.

Menurut Van de Braak et al., (2002) Apabila salinitas meningkat, maka pertumbuhan udang akan menjadi lambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan dengan untuk pertumbuhan. Selain itu dapat menghambat terjadinya proses ganti kulit (moulting).

(38)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

a. Gejala morfologi yang diamati pada sampel udang vannamei di BKIPM Medan I, terdapat 8 sampel udang vannamei yang positif terinfeksi virus. Udang vannamei yang terinfeksi virus menunjukkan terjadinya (diisklorosis) pelunturan warna kulit pada udang dari warna hijau menjadi pucat kemerahan, terjadinya melanosis (perubahan warna menjadi hitam pekat pada insang, adanya bintik putih pada sepalothorak, bintik putih pada karapak, bintik putih pada abdomen, dan bintik putih pada telson.

b. Hasil elektroforesis pada 13 sampel udang vannamei membuktikan bahwa 8 sampel positif terinfeksi WSSV yang ditandai dengan munculnya band DNA berukuran 333 bp dan 941 bp yang sejajar dengan band DNA pada kontrol positif.

c. Hasil kualitas air yang diperoleh pada lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kondisi optimal dilingkungan hidup udang vannamei.

Pada lokasi penelitian, terjadi fluktuasi suhu dan salinitas yang cukup tinggi hingga kisaran 30-33 ºC dan 20,5-28 ppt, sehingga dapat mengganggu fisiologis kerja tubuh udang dan tingkat imunitas udang menurun.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian berlanjut dengan menggunakan beberapa primer spesifik lainnya, agar data yang dihasilkan menjadi lebih lengkap, dan dapat sangat membantu dalam industri budidaya udang vannamei di Indonesia.

(39)

25

DAFTAR PUSTAKA

Amrillah M.A, Widyarti.S, Kilawati Yuni, 2015. Dampak Stres Salinitas Terhadap Prevalansi White Spot Syndrom Virus (WSSV) dab Survival rate udang vannamei (Litopenaeus vannamei) Pada Kondisi Terkontrol. Journal of life science 2(2):110-123

Angus.R, Gertrude B.E, Nepomuk Z. 1991 Purine and Pyrimidine Metabolisme Structural Biochemystri Phatogenesis. Plenum press:Newyork.page:79.

Azizah, A. 2009. Perbandingan Pola Pita Amplifikasi DNA Daun, Bunga dan Buah Kelapa Sawit Normal dan Abnormal. [SKRIPSI]. Program Studi Biokimia.

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Institut Pertanian Bogor.

Carel J, Klein V, Daures C.M 2013 The Crustaceae Treatise on Zoology, Anatomy, Taxonomy, Biology Brill Leiden:Boston, Page:123.

Chou.Y.H, 1995. Phatogenecity of Baculovirus Infection Causing White Spot Syndrom in Cultured Penaeid Shrimp in Taiwan. Dis Aquat Org, 23(3):

165- 173.

Dirtjen Perikanan Budidaya. 2004. Kebijakan dan Program Prioritas tahun 2005.

Makalah Disampaikan dalam Rakornas departemen kelautan dan perikanan tahun 2004. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Duran,S.V, lightnerD.V,Klimpel K. R, 2002. Quantitatif Real Time PCR For The Measuremen Of White Spot Syndrom Virus in Shrimp J. Fis. Dis 25, 381- 400

Edison D.P. 2009. Pengaruh Suhu, pH, dan salinitas yang Berbeda Terhadap Aktifitas Biologi Immuniglobin Y Anti WSSV (Ig Y Anti WSSV).

[SKRIPSI]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Escobedo-Bonilla.C.M. 2006 Standard Dized White Spot Syndrom Virus (WSSV) Inoculation Procedures for Intramuscular or oral Routes Dis Aquat Org, 28(2): 155-164.

Fajri A, Ali M, Sulaiman J, 2015 Deteksi WSSV (White Spot Syndrom Virus) menggunakan metode Real Time-PCR. Jurnal Sains Teknologi dan Lingkungan 1(1):30-38

Fatchiyah, Estri, L.A., Sri, W., Sri R 2011. Biologi Molekuler Prinsip Dasar Analisis. Penerbitan Erlangga. Jakarta.

Feranisa A, 2016. Komparasi antara Polymerase Chain Reaction (PCR) dan LOOP EDIATED Isothermal Amplification (LAMP) dalam Diagnosis Molekuler.

Odonto Dental Journal, 1(1): 47-56.

Haliman, R. W. Dan Adijaya D.2005. Udang Vannamei Penebar Swadaya. Jakarta.

75 halaman.

Handoyo D, Ari R, 2000. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Unitas. 9 (1): 17-29.

Haris T. N, 1994. Development and Germination Studies of The Sugar Palm (Arenga pinata Merr) Seed. [DISERTASI]. Malaysia: Universitas Putra Malaysia.

Hidayani A. A, Maliana M. C, Tampanggalo R. B, 2015. Deteksi Distribusi White Spot Syndrom Virus Pada Berbagai Organ Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 4 (5):34-55.

(40)

26

Innish G, 1990. PCR Protocols a Guide to Methods and Aplication Academia Press.

Kilawati Y, dan Maimunah Y. 2015. Kualitas Lingkungan Tambak.

Iqbal M, Tasya A, Sintia K, 2012 Distribusi White Spot Syndrom Virus Pada Berbagai Organ Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 4 (5):34-55.

Isnati A. A. 2005. Aplifikasi Gen ND3 dari Mitokondria Empat Jenis Brung Family Plocidae dengan Teknik Polimerase Chain Reaction (PCR). [SKRIPSI]

Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Koesharyani I, Roza D, Mahardika K, Johnny F, Zafran, Yuasa K, 2001. Iridovirus.

In. Sugama K, Ikenoue, Kawahara S (Eds.) Manual for Fish Disease Diagnosis-II. Marine Fish and Crustacean Disease in Indonesia.

Gondol Marine Research for Mariculture. Central Research Institute for Sea Exploration and Fisheries. Dep of Marine Affair and Fisheries. Japan International Cooperation Agency, pp. 5-7.

Lightner.V.H 1995 DNA Diagnostic and Detection Methods for Penaeid Shirmp Viral Diases. Tucson USA:2.11.

Litopenaeus dalam Kaitannya Dengan Prevalensi Penyakit White Spot Syndrom Virus. Reaserch Jurnal Of Life Science 2 (1):50-63.

Novita H, Mufida T, dan Koesharyani i, 2009. Perbandingan penggunaan berbagai prevaransi jaringan dengan alkohol dan alkohol gilserol untuk deteksi WSSV dengan PCR. Jurnal RIS. Akuakultur. 4 (3): 377-383.

Nurbariah dan Khairurrazi, 2015. Virulensi White Spot Syndrom Virus (WSSV) Pada Udang Pisang (Penaeus sp.). Prosiding Seminar Nasional Biotik.

2(5):44-63

Mahardika K, Haryanti A, Muzaki, Miyazaki T, 2008. Histopatology and Ultrastructural Features of Enlarged Cells of Humpback Grouper Cromileptes altivelis Challenged with Megalocytivirus (Family Iridoviridae) After Vaccination. Dis Aquat Org, 79: 163-168.

Mahardika K, Miyazaki T, 2009. Electron Microscopic Features of Cultured Grunt Fin Cells Infected With Megalocytivirus. Aquaculture, 57(1): 9-18.

Muliani B, Tampanggalo R & Atmomarsono M, 2007 pemantuan White Spot Syndrom Virus (WSSV) pada Udang windu Penaeus monodon.

Agricultur Indonesia. Maros Sulsel:Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP). 8 (2): 81-88.

Mulyani, Y., Purwanto, A & Nurruhwati, I. 2013. Perbandingan Beberapa Metode Isolasi DNA untuk Deteksi Koi Herpes Virus (KHV) pada Ikan Mas (Cyprinus Caprio L.) Fakultas Perikanan dan Ilmu Universitas Padjajaran Jatinangor.

OIE] Office International des Epizooties, 2012. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals Chapter 2.3.11.

Pranawaty N, Buwono p, Liviawaty E, 2012. Aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional dan Real Time PCR Untuk Deteksi White Spot Syndrom Virus. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(2):61-74.

Rahma N. H, Prayitno B. S, Haditomo C. H, 2014. Infeksi White Spot Syndrom Virus Pada Berbagai Organ Udang Windu (Penaeus Monodon Yang Dipelihara Pada Salinitas Media Yang Berbeda. Journal of Aquaculture Management and Technology. 2 (3):25-34.

Rychlik, W.R, 2005 selection of primers for polymerase chain reaction. Molecular biotechnology, 3 (1):129-134

Referensi

Dokumen terkait

Judul “PENGARUH ENVIRONMENTAL DISCLOSURE TERHADAP EARNING RESPONSE COEFFICIENT ( ERC) (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Industri Dasar Kimia dan Perusahaan

Berdasarkan analisis SWOT, STT Simpson memiliki beberapa kekuatan dan peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai strategi bersaing. Dalam matriks analisis SWOT

Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dengan uji bakteriologis menunjukkan bahwa udang putih yang dipasarkan di pasar tradisional dan modern dari Surabaya

Ekplorasi dimulai dengan mencari tahu atau mempelajari kemampuan apa saja yang tersedia pada feature PC-Dmiss yang bisa dipergunakan untuk efisiensi waktu proses pembuatan

Hasil penelitian diperoleh bahwa efikasi diri dan motivasi belajar siswa memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap hasil belajar siswa, baik secara parsial maupun

Penanaman mangrove dilaksanakan di pulau tirang, dengan Penanaman mangrove menggunakan bibit mangrove jenis Rhizophora Mucronata, penyampaian teknik penanaman mangrove

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa profesi driver online grabcar dapat meningkatkan pendapatan ekonomi rumah tangga baik itu dilakukan sebagai pekerjaan

Penelitian ini dilakukan untuk melihat proses penurunan degradasi Total Petrolium Hidrokarbon (TPH) dalam limbah oli dengan menggunakan penambahan pupuk cair