• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Serta Pemerintah Daerah dalam Peng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Serta Pemerintah Daerah dalam Peng"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Serta Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan Pasca

Desentralisasi Fiskal di Indonesia

Oleh: Kodrat Wibowo1

Disampaikan dalam seminar umum dalam rangka Dies Natalis Unpad, 3 Agustus, 2004

I. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menyebabkan peningkatan pada pendapatan perkapita masyarakat yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Definisi ini sudah menjadi pengertian umum dalam arti kata sudah disetujui oleh kalangan yang tidak hanya terbatas pada lingkungan akademisi ataupun birokrasi.2 Dengan berdasarkan pada GBHN, dengan ketetapan MPR No. II Tahun 1988,

pembangunan ekonomi nasional memiliki tujuan akhir pada usaha menciptakan suatu tatanan masyarakat adil dan makmur yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan

masyarakat, dengan kata lain bahwa kunci keberhasilan dari sebuah tujuan pembangunan ekonomi adalah pembangunan yang juga berfokus pada masalah pemerataan (equity) selain tingkat pertumbuhan atau peningkatan ekonomi yang cepat.

Memang tidaklah mudah untuk meyelaraskan kegiatan pembangunan dengan dua fokus utama (tingkat pertumbuhan yang tinggi dan distribusi pembangunan yang merata) yang secara skala oportunitis sebenarnya saling trade off satu sama lainnya karena adanya kendala anggaran.3 Masalah kesenjangan hasil pembangunan adalah salah satu penyebab

dari adanya kemiskinan. Kesenjangan ekonomi ini juga telah lebih jauh menjadi

kesenjangan sosial. Sagir (1996) berargumen bahwa kesenjangan sosial ini dimulai oleh adanya pertumbuhan pendapatan yang jauh lebih cepat pada golongan pendapatan menengah dan tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan pada golongan pendapatan rendah (miskin). Kesenjangan ini di Indonesia kian melebar seiring perjalanan waktu yang menurut penulis diperparah juga oleh kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia di era pasca krisis moneter yang kian lama semakin berfokus pada pemulihan perekonomian nasional yang notabene lebih tendensius pada keinginan untuk

1 Staf Pengajar dan peneliti Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadaran Jurusan IESP, sekarang menjabat

sekretaris LP3E-FE Unpad.

2 Definisi ini dijelaskan lebih mendetail dalam Hirshman (1996)

(2)

kembali pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang cepat seperti halnya terjadi pada masa pra krisis moneter.

Selama beberapa dasawarsa berbagai kemajuan telah dilakukan dalam mendesain dan menerapkan berbagai kebijakan serta membangun suatu struktur insentif dan

kelembagaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kemajuan ini disebabkan karena sudah makin jelasnya definisi tentang kemiskinan. Dibandingkan dengan konsep

kemiskinan yang tradisional (absolute poverty), pengertian tentang definisi kemiskinan telah sangat lebih baik (relative poverty)4.

Indonesia telah mengalami banyak perubahan mendasar dalam sistem antar

pemerintahannya sejak diberlakukannya otonomi daerah dan sistem fiskal yang lebih terdesentralisasi. Pada bulan Mei 1999, dua buah undang-undang yang sangat penting tentang otonomi daerah dan desentralisasi telah disetujui oleh DPR, yaitu UU No. 22/ 1999 tentang kewenangan pemerintan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah dengan dua dasar hukum ini sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan barang dan jasa publik yang sebelumnya lebih banyak disediakan oleh pemerintah pusat lewat badan kementerian.5

Rao (1995) mengutarakan bahwa strategi pengentasan kemiskinan memiliki 4 unsur yang harus ada: (i) Sangatlah penting untuk mampu mengidentifikasi karakteristik dari

kelompok masyarakat miskin (identifying); (ii) Sangatlah penting untuk mengerti alasan-alasan dan penyebab dari kemiskinan tersebut (understanding); (iii) desain yang jelas dari serangkaian kebijakan dalam usaha perbaikan dari standar hidup masyarakat yg digolongkan sebagai miskin (designing); dan terakhir adalah (iv) impelementasi dari kebijakan-kebijakan yang telah didesain haruslah efektif dan efisien secara biaya dimana pembuat kebijakan haruslah mengeluarkan kebijakan komplemen guna mengawasi

4 Dalam konsep relative poverty, masyarakat yang memiliki pendapatan yang rendah namun mampu

memenuhi kebutuhan hidup minimumnya tidaklah digolongkan pada masyarakat miskin

(3)

jalannya kebijakan pengentasan kemiskinan yang sudah diimplementasikan (implementing and monitoring).

Dikaitkan dengan program pengentasan kemiskinan, desentralisasi fiskal dapat berperan dalam berbagai jalan. Salah satu jalan yang paling dapat dirasakan adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam mengurangi biaya informasi dan transaksi dalam

mengidentifikasi kelompok sasaran program penyediaan jasa dan barang publik. Oates (1999) menyimpulkan bahwa dalam perekonomian dengan perbedaan yang nyata pada variasi preferensi antar daerah, dan tidak adanya standar dalam lingkup skala ekonomi, penyedian barang dan jasa publik yang didesentralisasikan akan meningkatkan efisiensi penyediaan jasa dan barang publik dan pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran sosial. Jalan lainnya adalah lewat adanya kompetisi antar daerah dan mekanisme politik dan legislative yang lebih mewakili suara rakyat yang berdomisili di daerah (lokal resident) dalam menghasilkan warna preferensi untuk penyediaan barang dan jasa publik yang efektif dan efisien secara biaya.6 Bird (1993) mengemukakan bahwa pemerintahan

yang merakyat dalam artian mempehatikan suara rakyat pada prinsipnya akan mampu menyediakan barang dan jasa publik dengan lebih efisien dan efektif dibandingkan bila penyediaan barang dan jasa publik yang terpusat, dengan kondisi bahwa ada perimbangan kewenangan dan perimbangan sistem fiskal pusat-daerah yang jelas dan terarah.

Walaupun diakui bahwa tugas pendistribusian pendapatan yang merata merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat namun telah banyak studi-studi yang mempelajari akan pentingnya peran pemerintah daerah dalam implementasi strategi pengentasan kemiskinan (Pauly, 1971, Ladd dan Doolitle, 1982, Brown dan Oates (1987). Dengan telah berjalannya desentralisasi fiskal di Indonesia, bila tugas dari pengentasan kemiskinan tetap merupakan tugas dari pemerintah pusat dan dimungkinkan adanya peran penting pemerintah daerah dalam mendesain dan mengimplementasikan beberapa elemen penting dalam strategi program pengentasan kemiskinan, maka kapasitas

pemerintah daerah untuk membiayai beberapa program dari anggarannya sendiri akan makin terbuka lebar.

6 penjelasan detail tentang kaitan antara efisiensi penyediaan barang dan jasa publik dengan kompetisi antar

(4)

Selanjutnya makalah ini akan menelaah beberapa hasil studi empiris dalam melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Bagian III akan menganalisa desain kebijakan yang cocok dalam usaha pengentasan kemiskinan dalam kerangka

perimbangan kewenangan dan keuangan pemerintah pusat-daerah pasca desentralisasi fiskal di Indonesia. Bagian terakhir adalah kesimpulan dari pengentasan kemiskinan pasca desentralisasi fiskal di Indonesia.

II. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan II.1 Studi tentang Kemiskinan di Indonesia

Prapto Yuwono, 1997

Yuwono (1997) dalam studinya menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia selain dipengaruhi oleh lambatnya laju pertumbuhan pada PDRB, juga sangat

dipengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk, tingkat pendidikan pekerja, dan tingkat

enterpreneurship. Dengan pendekatan cross sectional analysis di 27 propinsi Indonesia pada tahun 1995 dan indeks Gini sebagai variable mewakili tingkat kemiskinan, Yuwono (1997) juga menyimpulkan bahwa terdapat tiga masalah struktural yang harus dibenahi dalam usaha penanggulangan kemiskinan, yaitu: struktur kependudukan, struktur pendidikan, dan struktur ketenagakerjaan.

Nurimansyah Hasibuan (1993)

Sama halnya dengan Prapto Yuwono, Hasibuan (1993) melakukan studinya dengan dasar bahwa studi dan penelitian tentang kemiskinan yang ada lebih banyak berkutat pada analisis indicator distribusi pendapatan yang terlihat namun tidak berfokus pada analisa pada faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan distribusi pendapatan itu sendiri. Dengan menggunakan dua variable yang mewakili distribusi pendpatan yaitu

(5)

Hasibuan (1993) memiliki kesimpulan yang sama dengan Yuwono (1997) bahwa terdapat tiga masalah struktural yang harus dibenahi dalam usaha penanggulangan kemiskinan, yaitu: struktur kependudukan, struktur pendidikan, dan struktur ketenagakerjaan. Namun diindikasikan pula bahwa tingkat kesehatan mempunyai kecenderungan pengaruh yang negatif terhadap tingkat kesenjangan distribusi pendapatan.7

Dwight Y. King dan Peter D. Weldon (1976)8

Dengan menggunakan indeks gini, data Susenas, Survey Biaya Hidup, dan criteria World Bank tentang kemiskinan, King dan Weldon (1976) melakukan studi tentang kesenjangan distribusi pendapatan di daerah perkotaan pulau Jawa, Indonesia dari tahun 1963 sampai dengan 1970. Mereka menyimpulkan bahwa secara menyeluruh lokasi kegiatan ekonomi yang terlalu dipusatkan (centralized) telah memperbesar ketidakmerataan distribusi pendapatan. Walaupun bila dibandingkan dengan criteria World Bank pada masa itu, tingkat kesenjangan ini masih berada pada batas toleran, dimana 40% dari penduduk perkotaan dengan pendapatan yang paling rendah masih memperoleh bagian dari pendapatan total daerahnya diatas 17%. Jakarta merupakan kota satu-satunya yang menunjukkan kecenderungan adanya ketimpangan yang mulai rawan (moderate

inequality) karena 40% dari penduduknya yang memiliki pendapatan yang paling rendah masih memperoleh bagian dari pendapatan total daerahnya paling rendah (15.7%). Kelemahan dari studi ini memang sangat jelas dimana ruang lingkupnya hanya dibatasi pada wilayah perkotaan di pulau Jawa tanpa melihat wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan dan pedesaan di luar Jawa.

II.2 Studi tentang Kemiskinan di Tingkat Internasional

Jose W. Rossi (1981)

7 Hasil estimasi yang tidak signifikan dari variable tingkat kesehatan ini namun mempunyai tanda koefisien

yang konsisten dimana daerah-daerah dengan ratio penduduk dan jumlah dokter yang tinggi mengakibatkan distribusi pendapatan yang semakin senjang.

8 Dalam literatur Gemmel, Norman, Ilmu Ekonomi Pembangunan (beberapa Survey), (terjemahan oleh

(6)

Dengan menggunakan pool data analysis di 10 daerah Negara Brazil dari tahun 1970 sampai dengan 1974, Rossi (1981) mencoba menjelaskan fenomena kemiskinan di Brazil dimana variable kemiskinan diwakili oleh 4 jenis variable diantaranya indeks

ketidakmerataan Theil. Disimpulkan bahwa faktor fiskal yaitu pendapatan masyarakat, pajak penghasilan daerah, pajak pusat untuk badan usaha, serta pilihan untuk hidup sendiri merupakan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi besarnya kesenjangan pendapatan. Hipotesa Kuznet tentang trade off antara ketidakmerataan dan pertumbuhan ekonomi dalam studinya dapat dibuktikan oleh Rossi terjadi di Brazil.

Robert Repetto (1978)

Fokus utama dari studi yang dilakukan Repetto (1978) adalah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan (dalam hal ini diwakili oleh indeks Gini) di 68 negara pada tahun 60-an dengan metode OLS dan TSLS untuk mengetahui juga

hubungan endogeneity antara tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor utama yang ditampilkan adalah aspek kependudukan yaitu tingkat fertility, mortality, dan female literacy. Sebagai control variable studi ini mengikutsertakan pula variable sirkulasi media massa dan pendapatan per kapita. Disimpulkan bahwa terjadi hubungan timbal balik antara tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang menjadi variable penjelasnya. Secara umum semua variable penjelas yang digunakan secara signifikan memang mempengaruhi tingkat kemiskinan.

II.3 Pelajaran dari Studi-studi Terdahulu tentang Kemiskinan

Dengan mengacu pada hasil-hasil studi empiris di tingkat internasional maupun nasional, jelas terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah

masalah-masalah struktur kedaerahan, faktor demografis seperti kependudukan,

(7)

setelah tahun 1991)9 setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal dan OTDA secara

signifikan jelas-jelas menyebabkan tingkat kesenjangan yang semakin lebar, dan pada akhirnya akan menyebabkan tingkat kemiskinan yang semakin tinggi bila tidak dikelola dengan baik.

III. Kebijakan Publik dan Pengentasan Kemiskinan III.1. Strategi Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

Menurut Ahluwalia (1990) dan Bhagwati (1988), kebijakan dalam usaha pengentasan kemiskinan terbagi atas dua strategi. Strategi pertama adalah kebijakan dengan fokus percepatan pertumbuhan dan pengaliran langsung dari manfaat pembangunan pada kelompok masyarakat miskin. Menurut keduanya, negara-negara yang mengutamakan pertumbuhan ekonominya lewat sektor publik, industri berat yang menekankan import-substitution harus menerima resiko bahwa pertumbuhan ekonominya akan cenderung lebih lambat bila harus pula berfokus pada usaha pemerataan distribusi pendapatan. Dilain pihak, negara-negara yang mendasarkan pertumbuhan ekonomi lewat ekonomi pasar (market oriented) terbukti memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan resiko bahwa dalam jangka pendek akan mengalami kesulitan dalam usaha pemerataannya. Karenanya pemerintah pusat dan daerah Indonesia harus mampu meramu sebuah strategi kebijakan pembangunan yang tidak hanya public oriented namun juga

market oriented. Penulis berpendapat bahwa pemerintah pusat dalam hal ini dapat membagi kewenangannya dengan pemerintah daerah dalam menentukan orientasi kebijakan pembangunannya. Sebagai penentu utama dalam mengatasi masalah

kesenjangan pendapatan pemerintah pusat dapat menjadi pihak yang lebih menjalankan kebijakan-kebijakan pembangunan publik oriented seperti program agroindustri, land reform dan lain-lain, sedangkan pemerintah daerah lebih diberi wewenang untuk lebih berorientasi pada kebijakan pembangunan daerah yang market oriented pada alokasi sumber daya seperti industrialisasi, kemudahan investasi dan lain-lain . Pembagian ini dapat dilakukan secara bergantian lewat penentuan rencana strategis jangka pendek, menengah, dan panjang.

(8)

Strategi kedua adalah kebijakan yang langsung berusaha mengentaskan kemiskinan lewat penyediaan konsumsi yang menjadi hak-hak bagi kelompok masyarakat miskin dengan fokus redistribusi pendapatan terhadap masyarakat miskin. Dreze (1990) menunjukkan bahwa akses pada jasa-jasa publik seperti kesehatan, pendidikan dengan sasaran

kebijakan yang langsung mengentaskan kemiskinan secara significan dapat memperbaiki kualitas masyarakat miskin lewat penurunan tingkat buta huruf, kematian bayi, dan tingkat perkawinan usia muda. Kebijakan-kebijakan ini sudah mulai dilakukan di Indonesia lewat adanya penetapan upah minum regional (UMR), himbauan untuk wirausaha dan bantuan usaha kredit kecil-menengah bagi pengusaha dari kelompok masyarakat pedesaan yang menurut konsep tradisional merupakan kantong-kantong kemiskinan. Penulis berpendapat bahwa pendekatan strategi seperti ini tanpa adanya kejelasan dari perangkat hukum tidak akan menghasilkan dampak pengentasan kemiskinan yang optimal. Lebih lanjut diperlukan suatu sistem sosial security yang terpisah dari kebijakan-kebijakan yang langsung mengentaskan kemiskinan. Ditambah lagi dengan fakta bahwa strategi ini didasarkan adanya pemikiran bahwa kantong kemiskinan ada di daerah pedesaan. Fakta yang ada sekarang jelas memperlihatkan bahwa dengan konsep relative poverty, justru tingkat kemiskinan di daerah perkotaan sangatlah memprihatinkan. Bukti-bukti kasat mata seperti tumbuhnya slump-area dan tingkat kriminalitas tinggi di daerah perkotaan mengindikasikan bahwa tingkat

kemiskinan di daerah perkotaan adalah masalah actual yang perlu diperhatikan.

III.2 Peranan Sumber Daya Manusia (SDM)

(9)

masyarakat. Lebih lanjut dikategorikan bahwa cara pertama adalah growth-led security

sedangkan 2 cara terakhir adalah support-led security. Oleh karenanya dengan

mempertimbangkan hasil studi Anand dan Ravalion (1993), aspek pengeluaran dalam anggaran belanja pemerintah pusat dan daerah dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan bagi masyarakat miskin baik secara langsung lewat program subsidi dan bantuan

microfinance maupun tidak langsung lewat pengembangan SDM. Sekali lagi

diperlihatkan bahwa pasca desentralisasi fiskal, pemerintah pusat dan daerah di Indonesia dapat lebih berkonsentrasi lewat perimbangan kewenangan dan keuangan-nya dalam membiayai sektor-sektor publik yang penekanannya ada pada pengembangan SDM. Baik secara langsung ataupun tidak, kebijakan pengeluaran sektor publik memiliki peran penting dalam usaha pengentasan kemiskinan.

III.3 Peran Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Strategi Pengentasan Kemiskinan III.3.1 Sistem Multi-Level Fiskal Pasca Desentralisasi Fiskal

Kebijakan Pengeluaran sektor publik memainkan peranan penting dalam usaha intervensi anti kemiskinan. Intervensi ini dibuat lewat cara (i) mempengaruhi alokasi sumber daya – lewat penyedian infrasruktur sosial dan fisik yang dapat mendorong pertumbuhan atau transfer langsung dari hasil pembangunan terhadap masyarakat miskin; (ii) program pembiayaan jangka pendek dalam penciptaan iklim kewirausahaan kesempatan berusaha dan bekerja; (iii) menentukan objek sasaran subsidi pada kelompok masyarakat miskin.

Di Indonesia pasca desentralisasi fiskal, keputusan dalam pembuatan kebijakan

pengeluaran di sektor publik harus dilakukan dalam kerangka multi-level kebijakan. Bila argumen yang digunakan adalah hanyalah bahwa kemiskinan diakibatkan oleh adanya kegagalan sistem pasar (negative externalities), maka usaha pengentasan kemiskinan merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat. Hal ini diperkuat pula oleh adanya kemungkinan spill-over dari hasil usaha pengentasan kemiskinan di satu wilayah yurisdiksi ke daerah-daerah yang menjadi subordinate-nya.10 Lagipula inisiatif dari

pemerintah daerah dalam usaha pengentasan kemiskinan hanya akan membebankan

(10)

penduduk lokal lewat pemungutan pajak yang tinggi guna membiayai program kemiskinan tersebut.

Namun bila argumen diperluas dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah adalah pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat, dengan kata lain mengetahui kekurangan dan kelebihan potensi daerahnya sendiri, peranan pemerintah daerah dalam penyediaan barang publik dan jasa akan lebih efektif dan efisien dibandingkan sistem yang terpusat. Partisipasi pemerintah daerah dalam membiayai sebagian dari skema penyediaan barang dan jasa publik guna mengentaskan kemiskinan akan meningkatkan akuntabilitas

pemerintahan dimata penduduk lokal disatu sisi dan tingkat pemerintahan di daerah lainnya.

Dengan mengacu pada sistem pemerintahan federal di Amerika Serikat, terjadi devolusi

dari fungsi pengeluaran pada pemerintah daerah. Tanpa bermaksud untuk menerapkan sistem ini di Indonesia, sangatlah pantas untuk pemerintah pusat serta kalangan akademisi dan birokrasi di Indonesia untuk lebih jauh menyempurnakan dasar hukum OTDA dan desentralisasi fiskal dalam menjelaskan dan menetapkan perimbangan kewenangan dan keuangan dalam masalah usaha pengentasan kemiskinan lewat

penyediaan barang dan jasa publik yang bisa langsung diarahkan pada transfer langsung kepada kelompok masyarakat miskin.

Memang tidaklah mudah merekomendasikan sebuah model desentralisasi yang efektif dalam peranannya mengentaskan kemiskinan. Hal ini disebabkan banyak faktor seperti ukuran besarnya sebuah negara, tingkat pembangunan ekonomi, sosial, keberagaman etnis, dan kemampuan kelembagaan di daerah. Sistem desentralisasi di Indonesia dengan berbagai pertimbangan historis dan aspek kebangsaan hanya menunjukkan bahwa

(11)

III.3.2 Transfer antar Tingkat Pemerintahan

Walaupun jelas bahwa pemerintahan daerah akan lebih efektif dan efisien dalam

penyediaan barang dan jasa publik yang berkaitan dengan usaha pengentasan kemiskinan, namun tidak dipungkiri bahwa pemerintah pusat tetaplah menjadi pusat pengumpulan penerimaan yang paling besar mengingat wewenangnya dalam pemungutan pajak penghasilan, penerimaansisa hasil usaha BUMN, dan melakukan pinjaman luar negeri. Hal ini menunjukkan tetap adanya fiscal imbalance secara vertical di tingkat

pemerintahan baik pra maupun pasca desentralisasi fiskal. Oleh karenanya dibutuhkan suatu sistem perimbangan kewenangan yang dapat menyeimbangkan keuntungan

efisiensi dari comparative advantages tingkat daerah dengan kerugian efisiensi dari fiskal imbalances. Lebih jauh dibutuhkan juga satu sistem transfer keuangan yang dapat

menutup imbalance antara penerimaan dan pengeluaran di tingkat pemerintah daerah tanpa menyebabkan adanya lack dalam usaha memompa pendapatan asli daerah dan kekhawatiran akan kondisi fiskal daerah (fiskal profligacy) yang bisa membahayakan akuntabilitas pemerintah daerah.

(12)

transfer dihitung dengan dasar perbedaan antara berapa pengeluaran yang harus disediakan satu provinsi untuk satu tungkat penyediaan barang dan jasa publik dalam usaha pengentasan kemiskinan dengan penerimaan yang bisa diterima pada suatu tingkat

tax effort tertentu.

Selain formula sistem transfer yang secara umum dapat dilakukan, diperlukan juga adanya suatu sistem transfer yang didasarkan pada satu tujuan tertentu (specified purpose). Tiap daerah mempunyai kebutuhan yang berbeda dan tentunya kemampuan berbeda dalam banyak hal fiskal terutama dalam menjalankan program pengentasan kemiskinan. Daerah yang kaya akan sumber daya akan lebih mampu mengumpulkan penerimaan dengan lebih banyak dan dapat melaksanakan program pengentasan kemiskinan dengan lebih efektif dibanding daerah yang relatif lebih miskin (fiscal imbalance secara horizontal). Suatu sistem matching-grant yang “mumpuni” haruslah disusun dimana matching rate tersebut berbeda-beda di tiap daerah. Hal ini disebabkan permintaan dan kebutuhan daerah akan jasa dan barang publik seperti pendidikan dasar, kesehatan, ataupun program lain yang secara langsung ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan tergantung pada elastisitas dari harga/biaya serta elastisitas pendapatan di daerah tersebut.

IV. Kesimpulan

Dari analisa yang telah disampaikan terlihat bahwa usaha pengentasan kemiskinan bukan saja merupakan fungsi dari redistribusi pendapatan. Lebih jauh lagi usaha pengentasan kemiskinan ini meliputi juga usaha perbaikan dalam kapasitas dan kebijakan safety net

yang diaplikasikan dalam usaha penyediaan barang dan jasa publik pada masyarakat umum secara luas dan masyarakat miskin secara spesifik.

(13)

akan lebih besar dan mungkin menjadi beban bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Dengan sistem pemerintahan multi-level seperti sekarang ini prinsip kerjasama ala sistem federalis merupakan salah satu jalan terbaik guna memberikan peran yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk ikut serta berperan dalam usaha pengentasan kemiskinan yang lebih efektif dan efisien. Kewenangan yang lebih besar pada pemerintah pusat dalam masalah pemerintahan dan keuangan dalam kondisi saat ini menyebabkan pemerintah pusat harus bertanggung jawab pada usaha mencari sumber pembiayaan untuk program pengentasan kemiskinan. Dilain pihak, pemerintah daerah hanya bisa ikut serta dalam pembuatan desain kebijakan dan implementasinya sebagai tingkat

pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyatnya, dan mengetahui secara lebih baik tentang segala potensi dan masalah di daerahnya sendiri. Oleh karenanya dibutuhkan suatu formula sistem transfer yang dapat menanggulangi ketidakmampuan fiskal pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya mengentasan kemiskinan baik dalam aspek umum maupun spesifik. Dengan sistem transfer ini, daerah yang relative miskin akan dapat menyediakan infrastruktur fisik dan sosial pada suatu tingkat tertentu dibandingkan daerah yang lebih kaya dengan tingkat tax rates yang relative tidak berbeda. Kondisi wealth neutrality yang diharapkan akan tercapai oleh semua golongan masyarakat dari berbagai program pengentasan kemiskinan membutuhkan suatu sistem

cost-sharing yang memiliki unsur fairness antara pemerintah pusat dan daerah.

Daftar Pustaka

Ahluwalia, Montek S. (1990), “Policies for Poverty alleviation”, Asian Development Review, Vol. 8 pp. 111-132.

Ahmad, E (1996), Financing Decentralizing Expenditures, Edward Elgar Publishers, Cheltenham, U. K.

Anand, S and M. Ravallion (1993), “Human Development in Poor Countries: On the Role of Private Incomes and Public Services”, Journal of Economic Perspectives. Vol. 7, No.1, pp. 133-50.

(14)

P. 539-555.

Bird, R. M (1993), “Threading the Fiscal Labyrinth: Some issues in Fiscal decentralization”, National Tax Journal, Vol. 46. (June), pp. 207-227

Boadway, Robin and David Wildasin (1984), Public Sektor Economics, Little Brown Co., Boston.

Breton, Albert (1995), Competitive Governments, Cambridge University Press, Cambridge.

Dreze, J (1990), “Poverty in India and IRDP Delusion”, Economic and Political Weekly, Vol. 25, (September), pp. A95-104.

Gemmel, Norman, Ilmu Ekonomi Pembangunan (beberapa Survey), (terjemahan oleh Nirwono), Cetakan Pertama, PT. Pustaka LP3ES, 1992

Hirschman, A.O., “The Strategy of Economic Development”, New Haven, Yale University Press, 1996

Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and Regional Geovernment after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004, p. 25-40

Kodrat Wibowo, “Human Capital Improvement: The Key for the Success of Economic Development”, Sosial Science Research Network Electronic Library, 1999

http://ssrn.com/abstract=156829

Ladd, H and F. C. Doolittle (1982), “Which Level of Government Should Assist the Poor?” National Tax Journal, Vol. 35, pp.323-336

Nurimansjah Hasibuan, Pemerataan dan Pembangunan Ekonomi: Teori dan Kebijaksanaan, Universitas Sriwijaya Press, 1993

Oates, Wallace, E (1999), “An Essay on Fiscal Federalism”, NBER working paper.

Prapto Yuwono, Distribusi Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Studi dengan Pendekatan Interregional, Dian Ekonomi, 1997

Rao, M. Govinda and A. Das-Gupta (1995), “Intergovernmental Transfers and Poverty Alleviation”, Environment and Panning C: Government and Policy, Vol. 13, No. 1, pp. 1-23.

Repetto, Robert, “The Integration of Fertility and the Size Distribution of Income”,

Journal of Development Studies, Vol. 14 No. 4, 1978

(15)

Suharsono Sagir, Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial, Agustus, 1996

Referensi

Dokumen terkait

Disetiap siklus selalu melaksanakan tahapan- tahapan berikut ini: (1) perencanaan, di dalam perencanaan ini peneliti dan guru melakukan kegiatan diantaranya

syariah pada kinerja marketing, diharapkan akan memunculkan karakter bisnis berkinerja tinggi yang akan mampu memberikan kepuasan tidak saja kepada konsumennya

Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang karbon rosot dan penyerapannya di padang lamun Pulau Pari, masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengukur

untuk pembiasaan ibadah bagi siswa. Akan tetapi untuk memunculkan kebiasaan dan kesadaransiswa dibutuhkan peran serta orang tua. Hal ini dipengaruhi oleh

Akan tetapi, sang Kapten menolak dengan tegas dan mengatakan kepada saya bahwa dalam keadaan apapun saya tidak dapat turun dari kapal di tempat itu. Sang Kapten berkata, “Kita

Setelah menganalisa bentuk dan karakteristik jaringan sebelumnya maka penulis mulai merancang topologi jaringan dengan mengintegrasikan alert ke Telegram Messenger, yang diharapkan

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian tentang pengaruh model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions (STAD) dapat meningkatkan hasil belajar