• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 ZONA AGROEKOLOGI SEBAGAI BASIS KAJIAN

4.4 Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian yang disajikan pada Gambar 38 dan 39 menunjukkan bahwa lahan sawah di pulau Jawa dengan luas total 3,569,829 ha (Poniman dan Nurwadjedi, 2008) dapat dikelompokkan menjadi sepuluh tipe zona agroekologi lahan sawah (ZAELS), yaitu A (S1/IP300), B (S1/IP200), C (S1/IP100), D (S2/IP300), E (S2/IP200), F (S2/IP300), G (S3/IP300), H (S3/IP200), I (S3/IP100), J (N/IP100). Sepuluh ZAELS tersebut terdiri dari 9 ZAELS yang merupakan zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang sesuai (S1,S2, dan S3) dengan luas 3,101,354 ha (86.9%) dan 1 ZAELS, yaitu zona J (N/IP100) yang merupakan zona agroekologi lahan sawah pada lahan yang tidak sesuai, dengan luas 468.475 ha (13.1%). Faktor pembatas Zona J (N/IP100) adalah topografi (lereng > 65%)

dan agroklimat (tipe E). Zona J (N/IP100) di lahan tidak sesuai ini dikeluarkan dalam analisis berikutnya karena status kawasan hutannya termasuk dalam hutan lindung. Adapun 9 ZAELS di lahan sesuai didominasi oleh zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200), dengan luasan total 2,776,092 ha (78%). Luasan ZAELS yang berada di provinsi Banten, DKI. Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa (ha)

Zona Agroekologi Banten DKI. Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Total A (S1/IP300) 0 0 24,447 9,452 339 1,303 35,541 B (S1/IP200) 78,519 1,315 491,044 586,785 38,358 768,239 1,964,259 C (S1/IP100) 0 0 9,290 15,654 1,965 9,735 36,644 D (S2/IP300) 0 0 9,514 0 0 0 9,514 E (S2/IP200) 62,630 1,973 36,464 22,027 0 14,632 137,725 F (S2/IP100) 0 0 51,860 17,508 6,547 7,629 83,544 G (S3/IP300) 0 0 3,918 708 0 4,638 9,264 H (S3/IP200) 50,510 0 263,221 297,303 153 200,646 811,833 I (S3/IP100) 467 0 3,006 3,765 740 5,052 13,030 Total 192,126 3,288 892,763 953,201 48,100 1,011,876 3,101,354 0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 A (S1/IP300) B (S1/IP200) C (S1/IP100) D (S2/IP300) E (S2/IP200) F (S2/IP100) G (S3/IP300) H (S3/IP200) I (S3/IP100) Zona Agroekologi L u as ( 000 h a)

Gambar 38. Distribusi zona agroekologi lahan sawah di Jawa

Pada peta ZAELS, luasan lahan sawah yang diinterpretrasi citra satelit Landsat ETM komposit band 542 memiliki tingkat akurasi yang sesuai dengan ukuran piksel 30 m atau pada skala optimum 1: 100.000. Hasil uji tingkat akurasi luasan lahan sawah citra satelit Alos PRISM dan AVNIR-2 komposit band 4,3,2, serta SPOT-4 XS1,XS2,XS3 di kabupaten Subang, Sragen, dan Jember seperti yang diperlhatkan pada Tabel 19 menunjukkan bahwa luasan lahan sawah (Sw) mengalami pengurangan dari 3% hingga 33%. Pengurangan luasan lahan sawah tersebut dikonstribusikan kepada luasan daerah permukiman (P), sehingga luasan daerah permukiman mengalami peningkatan. Pengurangan luasan lahan sawah ini kemungkinan disebabkan oleh lahan daerah permukiman yang terkena generalisasi pada saat delineasi lahan sawah dari citra Landsat ETM Tabel 19. Perubahan luas lahan sawah dan permukiman hasil interpretasi

citra Landsat ETM, SPOT-4, ALOS AVNIR-2, dan PRISM

Wilayah Kabupaten

Sumber Data Lahan Sawah (ha)

Permukiman (ha)

Sragen Landsat ETM 65,920.52 11,806.85

ALOS AVNIR-2 44,138.88 21,585.46

Beda luas (%) - 33 + 83

Cianjur Landsat ETM 39,685 -

SPOT-4 33.966 -

Beda luas (%) - 14 -

Jember Landsat ETM 73,801.82 26,211.48

ALOS AVNIR-2 71,703.34 44,397.40

Beda luas (%) - 3 + 69

Subang Landsat ETM 79,704.94 11,631.86

ALOS PRISM 75,705.60 13,289.06

Beda luas (%) - 5 + 14

(Nurwadjedi dan Poniman, 2009). Selain kontribusi dari luasan lahan sawah, peningkatan luasan lahan daerah permukiman juga dimungkinkan adanya fragmentasi (peningkatan detil) daerah permukiman pada saat didelineasi dengan

citra ALOS AVNIR-2 atau PRISM yang memiliki resolusi spasial jauh lebih tinggi daripada citra Landsat ETM. Kesalahan terbesar seperti yang terjadi di kabupaten Sragen diprediksi disebabkan oleh kondisi topografinya yang banyak bergelombang atau berbukit. Contoh proses uji tingkat akurasi perubahan lahan sawah hasil interpretasi citra Landsat ETM komposit band 7, 4, 2 dengan citra Alos PRISM, AVNIR-2 , dan SPOT-4 dimaksud diperlihatkan pada Gambar 40 dan 41. Hasil penelitian ini bermakna bahwa tingkat akurasi peta penutup lahan sawah dari hasil interpretasi Landsat ETM relatif terhadap citra Alos PRISM, AVNIR-2 , dan SPOT-4 adalah sekitar > 75%.

Gambar 40. Contoh hasil delineasi lahan sawah dengan citra Inderaja satelit optik SPOT-4 band X1, X2,X3, Alos PRISM, dan AVNIR-2 band 4, 3, 2 a) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten Sragen, 1: 25.000

Fase vegetatif SW Ber Bera P Fase vegetatif SW

b) ALOS PRISM daerah kabupaten Subang

c) ALOS AVNIR-2 daerah kabupaten . Jember, 1: 25.000 d) SPOT-4 daerah kabupaten Cianjur 1: 25.000

SW

SW SW

SW SW

Berdasarkan genetiknya, lahan sawah hasil interpretasi dari citra Landsat ETM yang ditetapkan sebagai zona agroekologi dapat dikelompokkan menjadi lima bentukan asal sistem lahan. Hasil penelitian pada Gambar 42 menunjukkan bahwa ZAELS sebagian besar terbentuk dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik, dengan luas total 2,748,768 ha (77%). ZAELS lainnya terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional, struktural dan kars, dengan luas total 352,586 ha (10%). ZAELS dari bentukan asal fluvial merupakan dataran aluvial dari endapan aluvium yang banyak mengandung bahan volkan karena posisinya pada umumnya berada di lereng bawah gunung api.

Sistem lahan dari bentukan asal fluvial umumnya merupakan dataran aluvial atau dataran banjir hasil proses agradasi endapan aluvium-volkanik yang terangkut oleh aliran sungai. Sistem lahan bentukan asal volkanik terbentuk dari proses volkanik, yaitu muntahan bahan volkan yang terdiri dari bahan piroklastik (bahan yang disemburkan dan diangkut oleh angin) dan lahar (bahan yang

Delineasi dari Landsat ETM

Delineasi dari Avnir-2

Gambar 41. Peningkatan akurasi delineasi lahan sawah dari Landsat ETM dengan menggunakan citra Alos Avnir-2

diangkut melalui aliran). Sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik membentuk zona A (S1/IP300) 35,541 ha (1%) dan zona B (S1/IP200): 1,964,259 ha (55%). Zona B (S1/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan bentukan fluvial (Bf ) adalah 1,162,499 ha (33%), sedangkan yang terbentuk dari sistem bentukan volkanik (Bv) adalah 801,760 ha (22%). Zona H (S3/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal volkanik (Hv) adalah 265,268 ha (7%), dari denudasional (Hd) 45,022 ha (1%), dan dari struktural (Hs) 322,446 ha (9%) (Tabel 20). Sistem lahan bentukan fluvial yang membentuk zona B (S1/IP200) meliputi BKN (Bakunan): dataran banjir antar bukit, KHY (Kahayan): dataran fluvial atau kumpulan estuari, MKS (Makasar): dataran fluvial atau kumpulan estuari di daerah kering, NGR (Nangger): dataran banjir minor di daerah kering LBS (Lubuksikaping): kipas aluvial non-volkanik berlereng landai, APA (Ampala): dataran fluvial luas dan berteras, dan SRI (Sumari): teras sungai datar dan luas.

Sistem lahan bentukan asal volkanik terdiri dari ABG (Asembagus): dataran volkanik beriklim kering, KNJ (Kuranji): kipas aluvial berlereng landai, SLK (Solok): dataran aluvial volkanik, SSN (Susukan): dataran volkanik datar hingga berombak, TBO (Tombalo): kipas aluvial volkanik berlereng landai di daerah kering, dan TLU (Talamau): kelerengan lahar terdiseksi dan agak curam. Berdasarkan peta tanah skala 1: 250,000 (LPT, 1968), tanah di zona A (S1/IP300)

Gambar 42. Distribusi zona agroekologi lahan sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 A (S 1/IP 300) B (S 1/IP 200) C (S 1/IP 100) D (S 2/IP 300) E (S 2/IP 200) F(S 2/IP 100) G (S 3/IP 300 ) H (S 3/IP 200) I (S3 /IP1 00) Zona Agroekologi L u as ( ju ta h a) Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars

dan zona B (S1/IP200) sebagian besar bahan induknya berbahan volkan intermedier. Pengukuran kandungan silika (SiO2) dari batuan volkan di

gunung-gunung api di Jawa yang dilakukan oleh Mohr (1944) berkisar antara 49.52 – 58.91%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayes (2000) di daerah

Tabel 20. Hubungan antara zona agroekologi lahan sawah dan sistem lahan

ZAE Sistem Lahan (Jenis Tanah Dominan)

Lahan Sawah Fluvial

(Epiaquepts) Volkanik (Epiaquerts) Denudasional (Epiaquults) Struktural (Dystrustepts) Kars Calciustepts) A (S1/IP300) BKN, KHY, MKS ABG, SSN, TLU - - - B (S1/IP200) BKN, KHY, MKS,NGR, CTM,LBS ABG,KNJ,SL K, SSN, TBO, TLU - - - C (S1/IP100) APA,BKN, CTM,KHY, MKS,NGR, SRI ABG, SSN, KNJ - - -

D (S2/IP300) - BTK,TLU CKU - -

E (S2/IP200) - GGK,GJO, JKT BG1,CGN,CJ B, CKU, OMB, SMI,WTE CPR KPR

F (S2/IP100) - GJO, JKT AWY,CGN,C

KU,CGN,EM K, OMB, PYN,WTE CPR - G (S3/IP300) - BTK,SMD - - - H (S3/IP200) - BOM,BRI,BT G,BTK,CBN, CKD,CSG,CT U,GOG,GSM, KDT,LKU,LT G,MLG,MNU, PAN, SMD,TGM,TL U, TYR,UBD BRN,KMP,LA R, LDH,SAR,SF O, SFO,SKL,SN A, TWH, DKN,DML,ST R,SBJ NPA,SKN I (S3/IP100) - BOM,BRI,BT G,BTK,CBN, CTU,GOG,GS M,LKULTG, MLG,PAN,S MD,TGM,TL U LAR,LDH,SA R,SFO,SNA,T WH DKN,DML,SB J,STR NPA,SKN

kabupaten Sleman- Yogyakarta (lereng gunung Merapi) yang termasuk dalam zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal volkanik (sistem lahan SSN dan KNJ) menunjukkan bahwa mineral yang dominan dari fraksi pasir pada tanah sawah umumnya adalah plagioklas intermedier (35%), augit (12%), amfibol (3%), magnetit (8%), hiperstin, dan kuarsa. Mineral utama dalam fragmen batuan adalah plagioklas. Prasetyo (2007) telah membuktikan kandungan mineral liat tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang (Chromic Endoaquerts, bahan induk endapan aluvium bersifat andesitik) dan Vertisol di dataran volkanik Gedangan (Madiun) (Chromic Hapluderts, bahan induk alluvium/koluvium bahan volkan andesitik) yang termasuk zona B (S1/IP200). Pada tanah sawah Vertisol di dataran banjir Karawang yang termasuk zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal fluvial (sistem lahan BKN), mineral liatnya banyak mengandung smektit. Adapun zona B (S1/IP200) dari sistem lahan bentukan asal volkanik (Sistem lahan ABG), kandungan mineral liat smektitnya sangat tinggi. Kapasitas tukar kation tanah sawah baik di sistem lahan bentukan fluvial maupun di volkanik tergolong sangat tinggi (> 40 me/100g). Kandungan unsur hara fosfat (P2O5) total dan kalium (K20) total pada lapisan

olah tanah Vertisol tersebut secara berurutan tergolong sedang (21 – 40 mg/100g) hingga sangat tinggi (> 60 mg/100g). Berdasarkan peta status hara P dan K total (Puslitanak, 1998) dan hasil analisis laboratorium sampel-sampel tanah di zona agroekologi lahan sawah terpilih, kandungan unsur hara P dan K total di zona agroekologi lahan sawah bentukan asal fluvial dan volkanik sebagian besar tergolong tinggi (Gambar 43).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik memiliki tanah yang subur. Temuan dalam penelitian ini memperkuat pendapat para ahli (Adiningsih et al., 2004) yang mengatakan bahwa tanah sawah di pulau Jawa tergolong tanah yang subur karena bahan induknya berbahan volkan.

Zona agroekologi lahan sawah lainnya yang cukup penting dalam menjaga keberlanjutan lahan sawah adalah zona H (S3/IP200) karena cakupannya cukup luas, yaitu 814,136 ha (23%). Zona ini terbentuk dari sistem lahan bentukan asal volkanik Hv (S3/IP200) 265,268 ha (7%) , denudasional Hd (S3/IP200) 226,422

ha (6%), dan struktural Hs (S3/IP200) 322,446 ha (9%). Berbeda dengan bentukan asal volkanik, zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal denudasional memiliki tanah yang kurang subur karena bahan induknya umumnya berasal dari batuan sedimen non-volkanik. Sistem lahan dari bentukan

asal denudasional tersebut merupakan bentuklahan dari hasil degradasi batuan karena proses denudasi. Proses denudasi ini merupakan kumpulan proses yang didominasi oleh proses pelapukan batuan yang disertai proses transport bahan terlapuk melalui erosi dan gerakan tanah (mass wasting) (van Zuidam, 1983). Sistem lahan bentukan asal denudasional yang membentuk zona H (S3/IP200) meliputi BRN (Bogoran): dataran berbatuan napal bergelombang di daerah kering, JBG (Jemblong): bukit membulat (hillock) pada batu-liat dan breksi, KMP (Kumpai): dataran hillock dengan lembah luas pada napal dan batuliat, LAR (Larangan): igir hillock linier pada batuan sedimen campuran, LDH (Lidah): dataran hillok pada batukapur, napal, dan batupasir, SAR (Sungaiaur): dataran hillock pada sedimen tuf, SFO (Sungaifauro): dataran bergelombang dengan

P-tersedia (ppm) – P2O5

Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 15) 2 – 3 : sedang (16 – 25) 3 – 4 : tinggi (26 – 35)

P-total (mg/100g) – P2O5

Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 –20) 2 – 3 : sedang (21 – 40) 3 – 4 : tinggi (41 – 60)

K-tersedia (mg/100g) – K2O

Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 5) 1 – 2 : rendah ( 5 - 10) 2 – 3 : sedang (11 - 15) 3 – 4 : tinggi (16 – 25)

K-total (mg/100g) – K2O

Ketarangan: 0 – 1 : sangat rendah (< 10) 1 – 2 : rendah ( 10 – 20) 2 – 3 : sedang (21 - 40) 3 – 4 : tinggi (41 - 60) Sumber: CSR/FAO Staff (1983)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars

Bentukan Asal T in g k a t K a n d u n g a n H a ra P-tersedia P-total K-tersedia K-total Keterangan:

Gambar 43. Tingkat kandungan unsur hara P dan K tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)

hillock pada napal, SKL (Sikali): dataran hillok pada batuan sedimen campuran di daerah kering, SNA (Sumengko): dataran sedimen campuran berombak di daerah kering, TWH (Teweh): dataran hillok pada batuan sedimen campuran.

Berbeda dengan proses yang membentuk sistem lahan dari bentukan denudasional, sistem lahan dari bentukan asal struktural yang termasuk zona H (S3/IP200) merupakan dataran plato yang pembentukannya lebih dominan disebabkan oleh proses endogen daripada proses eksogen (degradasi dan agradasi). Dalam pembentukannya, tenaga dari proses endogen mengangkat kerak bumi (earth’crust) sehingga terbentuk dataran luas, yang dikenal sebagai plato (Thornbury, 1969). Menurut van Zuidam (1983), bentuklahan dari bentukan asal struktural terkontrol oleh struktur geologi. Ciri khas dari sistem lahan dari bentukan struktural ini merupakan dataran luas dengan pola drainase rektangular, paralel atau dendritik. Sistem lahan dari bentukan asal struktural yang membentuk zona H (S3/IP200) meliputi CPR (Cipancur): plato miring pada batuliat bertufa, DKN (Dukun): plato miring terdiseksi sedang, DML (Donomulyo): plato miring bergelombang berbatuan sedimen, STR (Salatri): plato hillok miring pada sedimen tuf, dan SBJ (Sumbermanjing): plato miring terdiseksi sedang pada batukapur di daerah kering. Mencermati jenis batuan baik dari sistem lahan bentukan asal denudasional maupun dari bentukan asal struktural yang tersusun dari batuan non-volkanik, kondisi kesuburan tanahnya diperkirakan tidak jauh berbeda. Jenis tanah sawah yang dominan dari sistem lahan dari bentukan asal denudasional dan struktural ini adalah Podsolik (Epiaquults) dan Latosol (Epiaqualfs) dengan tekstur halus.

Berdasarkan peta status hara P dan K dari Puslitanak, sistem lahan RePPProT (1989), dan hasil analisis laboratorium, tanah sawah pada kedalaman 0 – 20 cm yang termasuk zona H (S3/IP200) baik dari sistem lahan bentukan asal denudasional maupun struktural memiliki kandungan P-tersedia, P-total, K- tersedia, dan K-total tergolong rendah hingga sedang, serta KTK rendah (5 – 16 me/100g). Pada zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal kars yang terbentuk karena proses pelarutan batukapur, jenis tanah dominannya, berdasarkan peta tanah LPT (1968), adalah Mediteran (Epiaqualfs). Kandungan unsur hara tanahnya seperti unsur hara P-total, K-total, dan K- tersedia pada

kedalaman 0 – 20 cm tergolong sedang; sedangkan K-tersedia tergolong rendah, pH 6.0 – 6.5, dan KTK sedang (17 – 24 me/100g). .

Berdasarkan kesesuaian lahannya seperti yang disajikan pada Tabel 21, zona agroekologi lahan sawah yang memiliki kelas S1 (sangat sesuai) untuk tanaman padi sawah adalah zona A (S1/IP300), B (S1/IP200), dan C (S1/IP100). Kecuali zona C (S1/IP100), kondisi irigasi di zona A (S1/IP300) dan B (S2/IP200) tergolong baik-sedang (debit air 2.5 - > 10 liter/detik/ha). Pada zona C (S1/IP100) , lahan sawahnya merupakan tadah hujan dengan agroklimat tipe D (bulan basah 3- 4 bulan). Kelas kesesuaian lahan potensial di ketiga zona ini dapat dikatakan hampir tidak memiliki faktor pembatas edafik (faktor dari aspek sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman padi sawah) yang permanen. Ketiga zona agroekologi lahan sawah ini memiliki topografi datar hingga berombak dengan jenis tanah dominan: Alluvial (Epiaquepts) dan Grumusol (Epiaquerts). Permasalahan dari faktor edafik yang perlu diperhatikan adalah kandungan bahan organik tanah. Hasil analisis kandungan bahan organik tanah dari sampel tanah sawah pada kedalaman 0 - 20 cm menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan N-total tanah di semua zona agroekologi lahan sawah tergolong sangat rendah (< 1%) hingga rendah (1-2%) (Gambar 44). Dalam hal ini, kandungan C-organik tanah penting diperhatikan karena kandungan N-total tanah tergantung pada kandungan C-organik tanah sebagai sumber energi proses nitrifikasi yang memproduksi unsur hara N (Alexander, 1976; Mengel dan Kirkby, 1982; Prasetyo et al., 2004). Rendahnya kandungan C- organik tanah adalah sebagai dampak dari penggunaan lahan sawah yang sudah sangat lama dan diusahakan secara intensif dengan penerapan pupuk kimia. Rendahnya kandungan C-organik tanah di semua zona agroekologi dari hasil penelitian ini sinergis dengan terjadinya gejala pelandaian produktivitas lahan sawah di beberapa wilayah sentra produksi beras di Jawa. Menurut Pramono (2004), menurunnya kandungan bahan organik tanah menunjukkan menurunnya kualitas sumberdaya tanah sawah. Upaya untuk mengembalikan kesuburan tanah karena kandungan C- organik yang rendah diantaranya dapat ditempuh dengan pengggunaan bahan organik tanah pada usahatani padi sawah. Penambahan bahan organik tanah pada tanah sawah sangat penting karena fungsinya dapat meningkatkan kapasitas tukar

Tabel 21. Karakteristik zona agroekologi lahan sawah di Jawa

ZAE Topografi Jenis Tanah Dominan Kelas Kesesuaian Lahan Irigasi Status Kawasan A

(S1/IP300) Datar - berombak

Alluvial Grumusol

S1 Baik Budidaya

B

(S1/IP200) Datar - berombak

Alluvial

Grumusol S1 Sedang-Baik

Budidaya C

(S1/IP100) Datar - berombak

Alluvial Grumusol S1 Buruk/tadah hujan Budidaya D (S2/IP300) Berombak Bergelombang Lotosol

Podsolik S2s Baik Budidaya

E (S2/IP200)

Berombak Bergelombang

Latosol

Podsolik S2s Sedang-baik Budidaya

F (S2/IP100) Berombak Bergelombang Latosol Podsolik S2ws Buruk/tadah hujan Budidaya G (S3/IP300) Bergelombang Berbukit Latosol S3s Baik Budidaya H (S3/IP200) Bergelombang Berbukit Latosol Podsolik

S3s Tadah hujan Budidaya

I

(S3/IP100) Bergelombang Berbukit

Podsolik S3ws Tadah hujan Budidaya

s = kondisi terrain (medan), w = ketersediaan air; Irigasi baik dengan debit air: > 10 liter/detik/ha, irigasi sedang dengan debit air: 2,5 – 10 liter/detik/ha, irigasi buruk dengan debit air: < 2,5 liter/detik/ha.

kation tanah, meningkatkan daya sangga tanah dan meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara serta meningkatkan efisiensi penyerapan P, dan fungsi biologi sebagai sumber energi utama bagi aktivitas mikroorganisme tanah. Tanpa bahan organik, kesuburan tanah akan menurun meskipun pupuk anorganik diberikan dengan dosis tinggi (Karama et al., 1990). Untuk mengkonservasi dan merehabilitasi tanah sawah yang mengalami gejala sakit, pemberian bahan organik tanah dapat menggunakan dosis 1 – 2 ton/ha. Pemberian bahan organik dengan dosis tersebut dapat meningkatkan produktivitas lahan sawah irigasi teknis sekitar 647 kg/ha – 958 kg/ha GKG (Pramono, 2004). Khusus untuk zona B (S1/IP200) dengan jenis tanah Grumusol, selain penanganan masalah bahan organik tanah, pengelolaan airnya perlu diperhatikan untuk menghindarkan tanah dari kondisi kering karena jenis tanah Grumusol ini memiliki sifat yang khas.

Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan plastis serta kedap air, tetapi ketika kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau membentuk pola prisma yang terpisahkan oleh rekahan (van Wambeke, 1992 dalam Prasetyo, 2007).

Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s (cukup sesuai)

Lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S2s diklasifikasikan dalam zona D (S2/IP300), E (S2/IP200), dan F (S2/IP100). Faktor pembatas di ketiga zona dengan jenis tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults) yang bertekstur halus (lempung liat bedebu, liat berdebut) ini disebabkan oleh kondisi terrain-nya (s), yaitu lereng 8 - 15% (landai) dengan topografi bergelombang dan lokal relief 0 - 50 m. Selain faktor pembatas tersebut, khusus untuk zona F (S2/IP100), faktor pembatasnya juga disebabkan oleh ketersediaan air (S2ws). Faktor pembatas ketersediaan air ini ditunjukkan oleh kondisi agroklimat tipe D1, yang dicirikan oleh lama bulan basah 3 – 4 bulan. Terbatasnya bulan basah ini menjadi penyebab intensitas pertanaman padi sawah hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun (IP100). Adapun kondisi ketersediaan air di zona D (S2/IP300) dan E (S2/IP200) tergolong baik hingga sedang karena agroklimatnya termasuk tipe B dan C yang memiliki bulan basah 6 – 9 bulan serta kondisi irigasinya tergolong baik (debit air > 10 liter/detik/ha) hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air yang cukup atau berlebih di kedua zona terakhir ini membuat para petani dapat melakukan penanaman padi sawah dua kali (IP200) atau tiga kali (IP300) dalam setahun.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

Fluvial Volkanik Denudasional Struktural Kars

Bentukan Asal P er sen ( % ) C-organik N-total

Gambar 44. Distribusi kandungan C-organik dan N-total tanah sawah berdasarkan bentukan asal sistem lahan (n = 624, α = 4%)

Zona G (S3/IP300), zona H (S3/IP200), dan zona I (S3/IP100) dengan jenis tanah dominan Latosol (Epiaqualfs) dan Podsolik (Epiaquults) yang bertekstur halus hingga agak halus (liat berdebu, lempung liat berdebu, liat berpasir) serta topografi berbukit memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas kondisi terrain (S3s) serta ketersediaan air (S3ws). Faktor pembatas kondisi terrain disebabkan oleh lereng (> 15%) dan banyaknya singkapan batuan (5 – 10 %). Sebagai upaya untuk konservasi tanah dan air, lahan sawah di ketiga zona ini sudah berterasering. Kecuali di zona I (S3/IP100), ketersediaan air di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200), berdasarkan hasil survei lapangan, termasuk cukup hingga berlebih, terutama zona G (S3/IP300).

Berdasarkan peta irigasi dari Departemen Pekerjaan Umum (2003), debit air irigasi di zona G (S3/IP300) dan H (S3/IP200) tergolong baik (> 10 liter/det/ha) hingga sedang (2,5 – 10 liter/detik/ha). Ketersediaan air di zona I (S3/IP100) tergolong langka (debit air irigasi < 2,5 det/ha), sehingga petani dalam melakukan penanaman padi sawah banyak yang mengandalkan air hujan dengan periode pendek (3 – 4 bulan). Masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah dengan kesesuaian lahan kelas S3 ini hampir sama dengan zona agroekologi lahan sawah lainnya dengan kesesuaian lahan kelas S1 dan S2, yang dihadapkan kepada kandungan C-organik tanah yang rendah. Yang perlu menjadi perhatian adalah masalah kesuburan tanah di zona agroekologi lahan sawah dari bentukan asal denudasional. Pada zona G (S3/IP300), H (S3/IP200), dan I (S3/IP100), zona agroekologi lahan sawah dari bentukan asal denudasional dengan jenis tanah dominan Podsolik (Epiaquults) memiliki kandungan C-organik tanah sangat rendah (< 1,0%). Kondisi ini, selain dari dampak penerapan revolusi hijau yang telah berlangsung lama dan diusahakan secara intensif, rendahnya kandungan C- organik tanah diprediksi juga disebabkan oleh tingkat pelapukan di sistem lahan bentukan asal denudasional berlangsung lebih lama dan intensif daripada bentukan asal lainnya. Pada tanah Podsolik, lebih intensifnya tingkat pelapukan berdampak pada reaksi tanahnya (pH) lebih masam (4,5 – 5,0), KTK rendah (5 – 16 me/100g), P-tersedia rendah (< 10 ppm), K-tersedia rendah (5 – 10 mg/100g), P-total rendah (10 – 20 mg/100g), K-total rendah (10 – 20 mg/100g). Rendahnya kandungan unsur hara P-tersedia merupakan dampak dari pH tanah yang masam.

Pada kondisi tanah yang masam, unsur hara P difiksasi oleh ion Fe2+ dan Al3+ menjadi ikatan Fe-P dan Al-P yang sukar larut (Tisdale dan Nelson, 1975). Rendahnya kandungan unsur hara K-total karena bahan induk tanah dari bentukan asal denudasional ini berasal dari batuan sedimen non-volkanik yang miskin mineral primer yang mudah lapuk seperti ferromagnesium, plagioklas, dan lain- lain sebagaimana yang ada dalam tanah dengan bahan induk berbahan volkan. Walaupun kesuburan tanahnya kurang baik daripada zona agroekologi lahan sawah dari sistem lahan bentukan asal fluvial dan volkanik, zona H (S3/IP200) yang terbentuk dari sistem lahan bentukan asal denudasional (Hd (S3/IP200)) dinilai masih sangat penting sebagai penghasil padi, mengingat luasannya cukup besar, yaitu 346,375 ha (11%). Masalah kesuburan tanah yang ada dapat diperbaiki dengan melakukan pengelolaan tanah yang tepat, seperti pemupukan berimbang yang mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik sesuai dengan kebutuhan tanaman dan status hara tanah.

Ditinjau dari luasannya yang sangat luas, zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) berpotensi memberikan peran penting dalam menjaga keberlanjutan lahan sawah di Jawa. Zona B (S1/IP200) dengan luasan 1,964,259 ha (55%) merupakan zona agroekologi lahan sawah yang produktif karena tanahnya yang subur didukung dengan infrastruktur irigasi cukup baik ( debit air irigasi 2.5 – 10 liter/detik/ha hingga > 10 liter/det/ha). Walaupun kesesuaian lahannya tergolong marginal, zona H (S3/IP200) masih cukup berperan dalam mendukung produksi padi karena cakupannya cukup luas, yaitu 811,833 ha (23%). Pada kedua zona ini, penanaman padi dengan IP200 mencerminkan budaya lokal masyarakat petani di setiap wilayah. Penerapan IP200 ini bukan berarti ketersediaan air yang disuplai dari curah hujan atau saluran irigasi tidak mencukupi untuk penerapan IP300 (penanaman padi sawah tiga kali dalam setahun). Penanaman padi dengan IP200 secara luas diterapkan di provinsi Jawa Timur (968,886 ha atau 35%), kemudian menyusul provinsi Jawa Tengah (884.088 ha atau 31%), Jawa Barat (756,484 ha atau 27%), Banten (179,540 ha atau 6%), dan D.I Yogyakarta (38.511 ha atau 1%) (Gambar 45). Urutan luasan penerapan IP200 di zona B (S1/IP200) dan H (S3/IP200) ini mencerminkan tingkat kontribusi setiap wilayah dalam

memproduksi padi sawah. Luas zona agroekologi lahan sawah di setiap kabupaten/Kota di Jawa yang berperan sebagai lumbung padi (Tabel 22) memang

didukung dengan saluran irigasi teknis yang memadai (Tabel 23). Lebih rendahnya cakupan penanaman padi sawah dengan IP200 di wilayah Banten dan Jawa Barat apabila dibandingkan dengan petani di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, bukan berarti ketersediaan air lahan sawah mereka tidak mencukupi untuk penanaman padi dengan IP300. Masyarakat petani di provinsi Banten dan Jawa Barat umumnya memiliki kebiasaan untuk menanam padi dengan IP200. Mereka lebih suka menaman padi dengan IP200 dengan alasan ingin beristirahat setelah terus-menerus bekerja selama kurang lebih enam bulan.

Sebaliknya, masyarakat petani di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan Jawa Timur yang menanam padi sawah dengan IP200 adalah untuk menyesuaikan dengan kondisi agroklimatnya yang bertipe C dengan bulan basah selama 5 – 6 bulan. Saat ini, banyak diantara para petani di daerah tersebut seperti Madiun,

Dokumen terkait