• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bobot Umbi, Protein Umbi, dan Lektin UmbiT. flagelliforme

Bagian pertama tahapan penelitian adalah menganalisis bobot, protein, dan lektin umbi dari setiap aksesi T. flagelliforme selama masa tanam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan umbi dan protein yang terkandung. Aksesi-aksesi dariT. flagelliforme ditumbuhkan di rumah kaca selama periode tanam 1, 3, 5, dan 6 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan tidak semua bobot umbi dari setiap aksesi mengalami peningkatan bobot pada masa tanam, terdapat fluktuasi bobot umbi pada beberapa aksesi seperti aksesi Singaraja, Merapi Farm, Indmira, dan Solok. Aksesi Bogor, Ogan Ilir, dan Matesih menunjukan kecenderungan peningkatan bobot umbi pada masa tanam, dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Bobot umbi terendah pada umur 1 bulan setelah tanam dimiliki oleh umbi dari aksesi Ogan ilir, bobotnya seperempat dari bobot umbi tertinggi aksesi Merapi Farm. Bobot umbi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dimiliki oleh umbi dari aksesi Singaraja, bobot umbinya lebih tinggi 1.5 kali dari bobot umbi terendah aksesi Solok. Walaupun bobot umbi aksesi Singaraja mengalami fluktuasi pada masa tanam, namun bobot umbi tertingginya terjadi pada umur 6 bulan setelah tanam. Aksesi lainnya, yaitu Merapi Farm, Indmira, dan Solok mengalami kecenderungan penurunan bobot umbi pada umur 6 bulan setelah tanam dari bulan sebelumnya. Kecenderungan Bobot umbi aksesi Merapi Farm tertinggi pada umur 3 bulan setelah tanam, sedangkan aksesi Indmira dan Solok umur 5 bulan setelah tanam (Gambar 7).

Gambar 7 Bobot umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 B o b o t u m b i (g ) 1 month 3 months 5 months 6 months

21

Protein umbi yang telah dipanen dari seluruh aksesi, dihitung kadar total protein umbinya. Hasil menunjukkan hanya aksesi Ogan Ilir kadar total protein umbinya cenderung meningkat secara linier dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam, sedangkan 5 aksesi yang lain mengalami fluktuasi kadar total protein umbi selama masa tanam. Aksesi Bogor pada umur 1 bulan setelah tanam tidak terdeteksi adanya protein pada umbi. Kadar protein umbi tertinggi pada umur 1 bulan setelah tanam dimiliki oleh aksesi Merapi Farm, kadar tersebut 5 kali lebih tinggi daripada kadar protein umbi terendah aksesi Ogan Ilir. Kadar protein umbi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dimiliki oleh aksesi Merapi Farm, kadar tersebut 2 kali lebih tinggi daripada kadar protein umbi terendah aksesi Solok. Aksesi Bogor, Singaraja, Ogan Ilir, dan Matesih cenderung memiliki kadar protein tertinggi pada umur 6 bulan setelah masa tanam dari setiap masing-masing aksesi tersebut. Tiga aksesi lainnya seperti aksesi Merapi Farm, Indmira, dan Solok cenderung mengalami penurunan kadar total protein umbi pada umur 6 bulan setelah tanam. Kecenderungan kadar total protein umbi tertinggi aksesi Merapi Farm terjadi pada umur 3 bulan setelah tanam, aksesi Indmira terjadi pada umur 5 bulan setelah tanam, dan aksesi Solok terjadi pada umur 5 bulan setelah tanam (Gambar 8).

Hasil pengamatan deteksi lektin umbi terdapat 3 aksesi menunjukkan bahwa lektin umbi telah diproduksi dari umur 1 bulan setelah tanam, yaitu aksesi Singaraja, Merapi Farm, dan Indmira. Hal ini ditunjukkan dengan adanya aktivitas hemaglutinasi dari ekstrak protein umbi aksesi tersebut. Lektin pada aksesi lainnya terdeteksi pada umur 3 bulan setelah tanam. Tidak terdapat aksesi yang menunjukkan kecenderungan peningkatan kadar lektin secara linier dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Aksesi Bogor dan Merapi Farm menunjukkan kecenderungan aktivitas hemaglutinasi tertinggi pada umur 6 bulan setelah tanam dari setiap masing-masing aksesi tersebut. Aksesi Indmira, Matesih, dan Solok menunjukkan kecenderungan kadar lektin tertinggi pada umur 5 bulan setelah

Gambar 8 Kadar total protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme dari umur 1 bulan hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi

0 2 4 6 8 10 12 14 16 P ro te in t o ta l (m g ) 1 month 3 months 5 months 6 months

tanam dari masing-masing aksesi tersebut. Aksesi Ogan Ilir cenderung menunjukkan kadar lektin tertinggi pada umur tanam 3 bulan, sedangkan aksesi Singaraja menunjukkan aktivitas hemaglutinasi yang cenderung stabil pada umur 1 hingga 5 bulan tanam (Gambar 9).

Gambar 9 Aktivitas hemaglutinasi lektin umbi setiap aksesiT. flagelliforme dari umur 1 hingga 6 bulan setelah tanam. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi

Elektroforegram Protein Umbi Setiap Aksesi Selama Masa Tanam

Setelah didapatkan nilai kadar total protein umbi dari setiap aksesi selama masa tanam, dilakukan visualisasi profil protein umbi selama masa tanam dengan menggunakan metode SDS-PAGE. Profil protein umbi umur 1 bulan setelah tanam setiap aksesi T. flagelliforme menunjukkan protein berbobot molekul dibawah 30 kDa. Dua aksesi, yaitu Merapi Farm dan Indmira menunjukkan pita protein yang lebih tebal daripada aksesi lainnya, sehingga diasumsikan pada umur 1 bulan setelah tanam, umbi kedua aksesi tersebut memiliki kandungan protein cukup tinggi. Umur 3 bulan setelah tanam, setiap aksesi menunjukkan pita protein yang lebih tebal berbobot molekul dibawah 30 kDa dari bulan sebelumnya dan aksesi Merapi Farm menunjukkan pita protein diatas 30 kDa. Hal ini menunjukkan ada pertambahan kandungan dan variasi protein umbi selama masa tanam. Umur 5 bulan dan 6 bulan setelah tanam, setiap aksesi menunjukkan pertambahan kandungan dan variasi profil protein umbi dengan terdapatnya pita protein dari 200 kDa hingga dibawah 15 kDa. Secara keseluruhan menunjukkan protein umbi setiap aksesi T. flagelliforme banyak mengandung protein berbobot molekul dibawah 30 kDa (Gambar 10).

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 A k ti v it a s h e m a g lu ti n a si ( u n it ) 1 month 3 months 5 months 6 months

23

Gambar 10 Elektroforegram protein umbi T. flagelliforme (Lodd.) Blume selama masa tanam. (A) 1 bulan, (B) 3 bulan, (C) 5 bulan, (D) 6 bulan. M: Markers (kDa), 1: Bogor, 2: Singaraja, 3: Merapi Farm, 4: Indmira, 5: Ogan Ilir, 6: Matesih, 7: Solok

Fraksinasi Protein UmbiT. flagelliformeAksesi Solok Umur 6 Bulan Setelah Tanam

Bagian kedua dari penelitian ini adalah melakukan fraksinasi protein umbiT. flagelliforme. Hasil yang didapatkan dari proses fraksinasi adalah lektin terpurifikasi. Umbi yang digunakan untuk tahapan ini adalah umbi yang berumur 6 bulan setelah tanam, hal ini berdasarkan hasil kajian dari tahap pertama penelitian bahwa terdapat kecenderungan pada umur 6 bulan setelah tanam kadar protein total dan lektin umbi beberapa aksesi dihasilkan secara maksimal. Selain itu, diasumsikan umur 6 bulan setelah tanam kondisi umbi telah cukup dewasa sehingga diharapkan lektin yang terkandung pada umbi cukup banyak. Ekstrak protein umbi dari proses ekstraksi menggunakan 0.15 M NaCl dan dengan jumlah umbi sebanyak 25 g. Ekstrak yang didapatkan dari setiap aksesi T. flagelliforme

diukur kembali kadar total protein umbi, toksisitas, dan aktivitas hemaglutinasi. Hal ini bertujuan untuk menseleksi aksesi yang memiliki kadar lektin yang cukup untuk dilakukan purifikasi lektin sehingga tidak terdapat hambatan dalam proses purifikasi karena kandungan lektin yang rendah. Hasil uji menunjukkan bahwa aksesi Solok memiliki kadar total protein tertinggi dan aksesi Matesih terendah. Efek toksik tertinggi dimiliki oleh aksesi Bogor dengan nilai LC50 terendah dibanding aksesi lainnya, sedangkan aksesi Ogan Ilir memiliki efek toksik terendah. Aktivitas hemaglutinasi tertinggi dimiliki oleh aksesi Solok dan yang terendah dimiliki oleh aksesi Singaraja (Tabel 2). Aktivitas hemaglutinasi ini menunjukkan keberadaan lektin umbi sehingga apabila aktivitasnya tinggi, diasumsikan lektin umbi yang terkandung cukup banyak pada ekstrak. Oleh sebab

Tabel 2 Kadar total protein umbi, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas dari ekstraksi protein menggunakan NaCl 25 g umbi T. flagelliforme umur masa tanam 6 bulan

Aksesi Kadar protein total

(mg) Aktivitas hemaglutinasi (HU) Nilai toksisitas (LC50= ppm) Bogor 46.63 ± 0.16 0.30 ± 0.26 10.65 ± 0.71 Singaraja 40.38 ± 0.46 0.22 ± 0.19 12.87 ± 0.58 Merapi Farm 41.45 ± 0.15 0.33 ± 0.33 14.73 ± 0.46 Indmira 41.15 ± 0.00 0.43 ± 0.06 14.68 ± 0.17 Ogan Ilir 44.08 ± 0.26 0.52 ± 0.13 16.15 ± 0.25 Matesih 36.10 ± 0.00 0.44 ± 0.38 15.07 ± 0.66 Solok 48.80 ± 0.00 1.00 ± 0.00 12.07 ± 0.98

itu, ekstrak protein umbi aksesi Solok terseleksi untuk dilakukan purifikasi dengan metode kromatografi.

Kolom yang digunakan pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunakan kolom kromatografi penukar ion, yaitu kolom DEAE -Sepharose sebagai penukar anion dan CM-monolitic sebagai penukar kation. Keberadaan lektin pada fraksi-fraksi yang terbentuk dideteksi dengan uji hemaglutinasi. Fraksi A2 dari hasil fraksinasi kolom DEAE-Sepharose merupakan fraksi aktif dan setelah dilakukan analisis dengan elektroforesis didapatkan bahwa fraksi ini terdiri atas 2 jenis protein dengan perkiraan berbobot molekul 11.84 dan 19.10 kDa (Gambar 11A dan 11B).

Fraksi B2 adalah fraksi aktif dari hasil fraksinasi kolom CM-monolitic dan setelah dilakukan analisis dengan elektroforesis fraksi ini terdiri dari 1 jenis protein dengan perkiraan berbobot molekul 12.67 kDa (Gambar 12A dan 12B). Kadar total protein pada fraksi A2 dan B2 adalah 3.71 dan 0.17 mg. Kadar total protein didapatkan pada fraksi A2 adalah 7.7 % bila dibandingkan kadar total protein umbi pada ekstrak protein umbi aksesi Solok (48.80 mg). Kadar dari total

Gambar 11 (A) Kromatogram fraksinasi protein dengan kolom DEAE-Sepharose, *) Fraksi aktif protein, protein, konsentrasi garam, dan

konduktivitas garam. (B) Hasil elektroforegram fraksi protein A2 dengan SDS-PAGE

25

protein yang didapatkan pada fraksi B2 adalah 4.66 % bila dibandingkan dengan kadar total protein umbi pada fraksi A2. Bila dibandingkan dengan kadar total protein umbi aksesi Solok, yaitu sebesar 48.8 mg, kadar lektin umbi yang terkandung pada T. flagelliforme aksesi solok pada fraksi B2 adalah sekitar 0.35 % dari kadar protein total protein umbi (Tabel 3). Oleh karena itu, lektin yang didapatkan dari aksesi Solok memiliki perkiraan bobot molekul 12.67 kDa dengan kadar sebesar 0.35% dari kadar protein total umbi.

Setiap tahapan fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunakan kromatografi penukar ion, kolom DEAE-Sepharose sebagai penukar anion dan CM-monolitic sebagai penukar kation menurunkan kadar total protein umbi bila dibandingkan dengan kadar total protein ekstrak. Aktivitas spesifik hemaglutinasi dari setiap fraksi meningkat dikarenakan semakin terseleksinya protein pada fraksi tersebut dikarenakan protein yang diinginkan adalah lektin yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi. Kenaikan spesifisitas ini diikuti dengan peningkatan kelipatan purifikasi dari setiap tahapan fraksinasi. Oleh karena itu diharapkan spesifisitas dan kelipatan purifikasi dari suatu tahapan fraksinasi adalah tinggi.

Gambar 12 (A) Kromatogram fraksinasi protein dengan kolom CM-monolitic. *) Fraksi aktif protein, protein, konsentrasi garam, dan

konduktivitas garam. (B) Hasil elektroforegram fraksi protein B2 dengan SDS-PAGE

Tabel 3 Kadar total protein pada proses fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok menggunanakan kolom DEAE-Sepharosedan CM-monolitic

Kolom Total Protein (mg) Persentase Protein (%) Persentase Lektin (%) DEAE-Sepharose 3.71 7.70a CM monolitic 0.17 4.66b 0.35c

a Persentase menunjukkan kadar total protein yang dihasilkan fraksi A2 dari kolom

DEAE-Sepharosedibandingkan dengan kadar total protein ekstrak aksesi Solok (48.80 mg)

bPersentase menunjukkan kadar total protein yang dihasilkan fraksi B2 dari kolom CM-monolitic

dibandingkan dengan kadar total protein yang didapatkan dari fraksi A2

cPersentase menunjukkan lektin umbi aksesi Solok yang didapatkan pada fraksi A2 dibandingkan

Spesifisitas dan kelipatan purifikasi dari tahapan fraksinasi ekstrak protein umbi aksesi Solok hingga mendapatkan lektin terpurifikasi terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Tabel Tahapan Purifikasi Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok Umur 6 Bulan Tanam Proses Total Protein (mg) Aktivitas Hemaglutinasi (HU) Aktivitas Hemaglutinasi Spesifik (HU/mg)a Recovery (%)b Kelipatan Purifikasic Ekstrak kasar 48.80 1.00 0.02 100.00 1.00 DEAE-Sepharose 3.71 0.66 0.17 66.00 8.67 CM monolithic 0.17 0.44 0.39 44.30 19.05

aPerbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan kadar total protein

bPesentase perbandingan aktivitas hemaglutinasi dengan aktivitas hemaglutinasi ekstrak kasar

cPerbandingan aktivitas hemaglutinasi spesifik dengan aktivitas hemaglutinasi sepsifik ekstrak

kasar

Karakterisasi Lektin

Lektin terpurifikasi dikarakterisasi berdasarkan kestabilan aktivitas hemaglutinasinya pada selang suhu dan pH tertentu. Hasil uji karakterisasi lektin berdasarkan suhu menunjukkan bahwa lektin stabil pada suhu 20-40 °C, dan sedikit menurun pada suhu 50 °C, dan menurun hingga suhu 70 °C. Aktivitas lektin pada suhu 60-70 °C lebih rendah 0.6 kali dari aktivitasnya pada suhu 20-40 °C. Aktivitas lektin tidak terdeteksi pada suhu 80 °C.

Hasil uji karakterisasi lektin berdasarkan nilai pH menunjukkan fluktuasi aktivitas lektin pada pH 5.0-7.2 dan menurun pada pH 8.0-9.0. Terdapat peningkatan aktivitas lektin sebesar 1.2 kali dari pH 5.0 ke 6.0 dan menurun sebesar 1.2 kali ke pH 7.2. Aktivitas lektin menurun kembali dari nilai pH 7.2 hingga 9.0 dengan nilai penurunan sebesar 2 kali dari nilai pH 7.2. Aktivitas lektin tertinggi terjadi pada saat pH 6.0. (Gambar 13).

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 1,1 5 6 7,2 8 9 Ak tiv it a s H e m a g lu tin a si (H U) pH 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 20 30 40 50 60 70 80 Ak tiv it a s H e m a g lu tin a si (H U) Suhu °C (A) (B)

Gambar 13 (A) Aktvitas hemaglutinasi lektin umbi aksesi Solok setelah diinkubasi pada suhu 20-80 °C, (B) aktivitas hemaglutinasi lektin umbi aksesi Solok setelah diinkubasi pada pH 5.0-9.0. Data pada grafik batang disajikan dengan ± standar deviasi.

27

Identifikasi Gen Lektin

Identifikasi gen penyandi lektin merupakan bagian dari tahap kedua penelitian yang terkait dengan karakteristik lektin umbi T. flagelliforme. Proses identifikasi dilakukan dengan mengisolasi DNA total dari daun T. flagelliforme

menggunakan metode CTAB (hexadecyltrimethylammonium bromide). Metode ini sangat baik untuk mengisolasi DNA dari daun dengan jumlah yang sedikit. Molekul DNA yang telah diisolasi kemudian dilihat kualitas dan kuantitasnya dengan membandingkan dengan DNA λ pada elektroforesis (Gambar 14A). Jumlah DNA lamda yang digunakan adalah 100 ng. Jumlah DNA tersebut merupakan jumlah yang tepat untuk campuran pada proses PCR sehingga hasil isolasi DNA dilakukan pengenceran sebanyak tujuh kali sebelum diamplifikasi dengan PCR. Hasil amplifikasi menunjukkan ukuran produk yang sama dari setiap aksesi. Produk yang dihasilkan memiliki ukuran 600 pb (pasang basa) dari setiap aksesi (Gambar 14B). Setelah itu, fragmen DNA lektin tersebut disisipkan ke dalam vektor pGEM®-T Easy dan diintroduksikan ke dalam bakteri

Escherichia coli DH5α. Vektor tersebut diisolasi dari bakteri untuk dianalisis sekuens basa vektor tersebut.

Sekuen basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliforme yang telah didapatkan dari proses sekuensing dengan vektor pGEM®-T Easy selanjutnya dilakukan uji BLASTN. Hasil BLASTN pada NCBI menunjukkan sekuens basa pengkode lektin yang didapat dari tiap aksesi menunjukkan kesamaan di atas 80 % dengan sekuens basa lektin dari tumbuhan T. divaricatum yang merupakan tumbuhan bergenus sama dan tumbuhan yang merupakan satu famili Araceae, yaituPinellia ternata danP. Pedatisecta. Aksesi Bogor, Merapi Farm, Indmira,

Gambar 14 (A) Hasil isolasi DNA dan (B) hasil amplifikasi DNA. Aksesi: (1) Bogor, (2) Singaraja, (3) Merapi Farm, (4) Indmira, (5) Ogan Ilir, (6) Matesih, dan (7) Solok. Marka yang digunakan pada hasil isolasi DNA adalah DNA λ dan pada amplifikasi 100 pbladder.

2 3 4 5 6 7 λ 1 A 1 2 3 4 5 6 7 M pb 600 500 B

dan matesih memiliki kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum. Aksesi Bogor menunjukkan kesamaan tertinggi dengan T. divaricatum dengan nilai 87 %, sedangkan aksesi Merapi Farm, Indmira, dan Matesih menunjukkan kesamaan tertinggi dengan T. divaricatumsebesar 88 %. Selain itu, aksesi Singaraja, Ogan Ilir, dan Solok memiliki kesamaan tertinggi dengan P. ternata. Aksesi Singaraja menunjukkan kesamaan 86 % dengan P. ternata, aksesi Ogan Ilir memiliki kesamaan tertinggi sebesar 88 %, dan aksesi Solok menunjukkan kesamaan tertinggi sebesar 84 % (Tabel 5).

Tabel 5 Hasil BLASTN yang menunjukkan kesamaan tertinggi dari setiap aksesi

T. flagelliformedengan basis data di NCBI

Aksesi T. divaricatum P. ternata

% Kesamaan Nilai E Query cover % Kesamaan Nilai E Query cover Bogor 87 0 97 Merapi Farm 88 0 98 Indmira 88 1e-174 94 Matesih 88 3e-180 99 Ogan Ilir 88 0 98 Singaraja 86 2e-166 98 Solok 84 3e-130 99

Selain itu, penjajaran sekuens basa dilakukan untuk melihat kesamaan sekuens terhadap aksesi satu dengan aksesi lain serta gen pengkode lektin dari tumbuhan lain yang termasuk famili Araceae, seperti T. divaricatum, Remusatia vivipara,P. ternata,P. pedatisecta,Arisaema lobatum, danA. amurense(Tabel 8).

Tabel 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliformedengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae

Keterangan: JF293072.1; EU199445.1 (P. ternata), EU924066.1 (R. vivipara), EF194099.1

(T. divaricatum), EF090419.1 (P. cordata), AY451853.1 (P. pedatisecta),

29

Tabel 6 Pensejajaran sekuens basa gen pengkode lektin setiap aksesi T. flagelliformedengan beberapa tumbuhan lain famili Araceae (lanjutan)

Keterangan: JF293072.1; EU199445.1 (P. ternata), EU924066.1 (R. vivipara), EF194099.1

(T. divaricatum), EF090419.1 (P. cordata), AY451853.1 (P. pedatisecta),

Sekuen basa lektin yang telah dianalisis BLASTN diuji lanjut untuk membuat dendrogram setiap aksesi T. fagelliforme dengan lektin dari tumbuhan lain dalam famili Araceae. Hasil dendrogram menunjukkan gen pengkode lektin dari 7 aksesi membentuk 4 kelompok. Terdapat 3 pasang aksesi memiliki kekerabatan yang dekat, yaitu aksesi Bogor dengan Matesih, Ogan Ilir dengan Singaraja, dan Merapi farm dengan Indmira. Aksesi Solok memiliki percabangan tersendiri tetapi menunjukkan kekerabatan yang dekat dengan Merapi farm dan Indmira. Bila dibandingkan dengan lektin tumbuhan lainnya, lektin T. flagelliforme memiliki kekerabatan yang dekat dengan lektin dari T. divaricatum

(EF194099.1 ) dan P. ternata (EU199445.1), sedangkan dengan lektin dari P. ternata(JF 293072.1) memiliki kekerabatan yang lebih jauh (Gambar 15).

Gambar 15 Dendrogram parsial gen pengkode lektin dari 7 aksesiT. flageliforme. JF293072.1 dan EU199445.1 (P. ternata), EF194099.1 (T. divaricatum)

Aktivitas Toksisitas, Antiproliferasi, dan Sitotoksisitas Ekstrak Protein Umbi Umur 6 Bulan Setelah Tanam

Bagian ketiga dari penelitian ini adalah menguji efek toksik ekstrak protein umbiT. flagelliforme terhadap larvaArtemia sp. dan sel kanker serta sel normal. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi kegunaan obat herbal berbasis T. flagelliforme yang telah banyak digunakan oleh masyarakat dan memodelkan aktivitas lektin umbi T. flagelliforme sebagai antiproliferasi sel kanker dalam pengembangan obat herbal berbasis lektin. Ekstrak protein umbi yang digunakan adalah 15 g umbi dari setiap aksesiT. flagelliformeyang berumur 6 bulan setelah tanam dan diekstrak menggunakan akuades. Sebelum dilakukan uji toksisitas, terlebih dahulu dilakukan pengukuran kembali terhadap kadar total protein dan aktivitas hemaglutinasi dari ekstrak tersebut. Kadar protein total umbi dan aktivitas hemaglutinasi yang menunjukan keberadaan lektin umbi tertinggi dimiliki oleh aksesi Bogor. Kadar protein total terendah dimiliki oleh aksesi Singaraja. Aktivitas hemaglutinasi terendah dimiliki oleh aksesi Merapi Farm.

100 100 100 58 83 BOGOR SINGARAJA OGAN ILIR MERAPI FARM INDMIRA SOLOK MATESIH EF 194009.1 EU 199445.1 JF 293072.1

31

Hasil uji toksisitas menunjukkan bahwa aksesi Solok memiliki nilai LC50terendah, yaitu 9.93 ppm, sedangkan aksesi Singaraja, memiliki nilai LC50 tertinggi, yaitu 22.7 ppm (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi dari aksesi Solok memiliki efek toksik tertinggi dibandingkan aksesi lainnya karena dengan konsentrasi ekstrak terendah telah dapat mematikan populasi sebanyak 50 %. Oleh karena aksesi Bogor memiliki aktivitas hemaglutinasi tertinggi yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan lektin umbi tertinggi dan aksesi Solok memiliki efek toksisitas tertinggi maka kedua aksesi tersebut diuji lanjut ekstrak protein umbinya pada uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dan sitotoksik terhadap sel fibroblas.

Tabel 7 Kadar protein total, aktivitas hemaglutinasi, dan nilai toksisitas esktrak akuades 15 g umbiT. flagelliformeberumur 6 bulan masa tanam

Aksesi Protein total (mg) Aktivitas hemaglutinasi (unit) Nilai toksisitas (LC50= ppm) Bogor 28.51 ± 0.38 0.66 ± 0.00 19.72 ± 7.47 Singaraja 17.43 ± 0.15 0.57 ± 0.15 22.77 ± 4.63 Merapi Farm 21.22 ± 0.15 0.52 ± 0.13 19.84 ± 4.69 Indmira 24.87 ± 0.75 0.57 ± 0.15 17.29 ± 1.17 Ogan Ilir 21.85 ± 0.28 0.61 ± 0.09 16.69 ± 1.24 Matesih 21.75 ± 0.10 0.61 ± 0.09 16.36 ± 1.93 Solok 21.21 ± 0.05 0.55 ± 0.09 9.93 ± 1.00

Hasil uji antiproliferasi terhadap sel MCF-7 dengan metode MTT menunjukkan bahwa ekstrak protein umbi aksesi Solok memiliki daya hambat terendah pada konsentrasi ekstrak terendah, yaitu 6.25 ppm dengan daya hambat sebesar - 6.19 % yang berarti menginduksi proliferasi sel MCF-7 sebesar 6.19 %. Daya hambat tertinggi dari aksesi Solok terjadi pada konsentrasi ekstrak tertinggi, yaitu 200 ppm dengan daya hambat 77.43 %. Daya hambat dari konsentrasi terendah (6.25 ppm) aksesi Bogor sebesar 2.84 %, sedangkan daya hambat tertinggi terjadi pada konsentrasi tertinggi (200 ppm) sebesar 69.55 %. Nilai LC50

aksesi Solok adalah 95.36 ppm sedangkan aksesi Bogor sebesar 102.86 ppm, hal ini menunjukkan daya hambat aksesi Solok terhadap sel MCF-7 lebih tinggi dibandingkan dengan aksesi Bogor (Tabel 8). Pengamatan mikroskopik pada sel

Tabel 8 Daya hambat ekstrak protein umbi aksesi Bogor dan Solok terhadap sel MCF-7 dengan berbagai konsentrasi

Ekstrak Protein Umbi Aksesi Bogor (ppm)

Daya Hambat (%)

Ekstrak Protein Umbi Aksesi Solok (ppm) Daya Hambat (%) 6.25 2.84 6.25 -6.19 12.5 50.61 12.5 47.35 25 46.27 25 45.35 100 46.14 100 49.56 200 69.55 200 77.43

MCF-7 yang diberikan ekstrak protein umbi sebesar 200 ppm dari kedua aksesi tersebut menunjukkan bahwa sel tersebut mengalami penghambatan proliferasi dan cenderung mengalami kematian (Gambar 16).

Gambar 16 Inhibisi proliferasi sel MCF-7 dengan ekstrak protein umbi (40 kali perbesaran). (A) Sel MCF-7 kontrol, (B) hasil penambahan 200 ppm ekstrak protein umbi aksesi Bogor ke sel MCF-7, (C) hasil penambahan 200 ppm ekstrak protein umbi aksesi Solok ke sel MCF-7. Tanda panah menunjukkan kondisi sel MCF-7

Setelah dilakukan uji antiproliferasi terhadap sel kanker MCF-7, ekstrak protein umbi dari kedua aksesi tersebut diuji kembali efek toksiknya terhadap sel normal, yaitu sel fibroblas. Pertumbuhan sel fibroblas meningkat dengan pemberian ekstrak dibandingkan sel fibroblas tanpa perlakuan tetapi pada perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang tinggi, pertumbuhan sel fibroblas terhambat. Pertumbuhan sel fibroblas tertinggi dengan perlakuan ekstrak protein umbi aksesi Solok terjadi pada konsentrasi ekstrak 12.5 ppm, yaitu dengan daya proliferasi sebesar 141.66 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Pertumbuhan sel fibroblas menurun dari konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Solok 25 hingga 200 ppm dan pada konsentrasi ekstrak 100 ppm, proliferasi sel fibroblas terhambat sebesar 8.33 %. Hal ini ditunjukkan dari daya proliferasi sel fibroblas sebesar – 91.67 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Perlakuan konsentrasi ekstrak protein umbi 200 ppm menghambat proliferasi sel fibroblas sebesar 41.60 %. Hal ini ditunjukkan dengan daya proliferasi sel fibroblas pada perlakuan konsentrasi tersebut sebesar -58.40 % dibandingkan dengan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Oleh karenanya pemberian ekstrak protein umbi aksesi Solok mampu menginduksi proliferasi sel fibroblas dari konsentrasi 6.25 hingga 25 ppm, sedangkan dari konsentrasi ekstrak 100 hingga 200 ppm, pertumbuhan sel fibroblas terhambat dibandingkan dengan sel fibroblas kontrol (Tabel 5).

Konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor yang memberikan pertumbuhan sel fibroblas maksimal adalah pada 25 ppm, yaitu sebesar 170.83 % daya proliferasi dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa perlakuan. Pertumbuhan sel fibroblas mulai menurun dari pemberian konsentrasi ekstrak protein umbi aksesi Bogor 100 ppm dan pada konsentrasi ekstrak tertinggi, yaitu 200 ppm jumlah sel fibroblas lebih rendah daripada sel fibroblas kontrol, proliferasi sel fibroblas terhambat sebesar 29.10 % dibandingkan sel fibroblas kontrol tanpa

33

perlakuan. Oleh karenanya pemberian ekstrak protein umbi aksesi Bogor mampu menginduksi proliferasi sel fibroblas dari konsentrasi 6.25 hingga 100 ppm, sedangkan pada perlakuan konsentrasi ekstrak 200 ppm, pertumbuhan sel fibroblas terhambat dibandingkan dengan kontrol (Tabel 9).

Oleh karena ekstrak protein umbi aksesi Solok sudah menghambat proliferasi sel fibroblas pada konsentrasi 100 ppm dan hambatan proliferasi terhadap sel fibroblas dari ekstrak protein umbi aksesi Bogor pada perlakuan

Dokumen terkait