• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koleksi Telur Infektif (L2) A. galli

Perkembangan L1 menjadi L2 yang diperoleh dari A. galli betina dewasa disajikan pada Gambar 7. Sebanyak 186 ekor A. galli betina dewasa berhasil dikoleksi pada penelitian ini. Secara keseluruhan, cacing A. galli betina dewasa menghasilkan 1.045.478 L1 yang berhasil berkembang menjadi 935.300 L2.

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 3 4 5 6 11 15 18

Jumlah cacing A. galli betina dewasa (ekor)

Ju m lah t e lu r ca ci n g A. ga ll i ( b u tir ) Jumlah L1 Jumlah L2

Gambar 7. Jumlah L1 dan L2 yang berkembang dihasilkan oleh cacing A. galli betina dewasa

Jumlah L1 yang ditemukan pada lima ekor cacing lebih sedikit dari jumlah L1 yang ditemukan pada empat ekor cacing, tetapi secara umum seperti yang disajikan pada Gambar 7, semakin banyak cacing A. galli betina dewasa yang

ditoreh uterusnya, semakin banyak pula jumlah L1 yang ditemukan. Persentase perkembangan L1 menjadi L2 dari kelompok 3 , 4, 5, 6, 11, 15, dan 18 ekor cacing berturut-turut adalah 87%, 92%, 94%, 89%, 97%, 89%, dan 85%. Secara keseluruhan, persentase L1 yang berkembang menjadi L2 adalah 89,46%.

Koleksi Stadium L3 A. galli

Pemberian enam kali dosis 1000 L2 pada kelompok A dan B yang dibedakan dalam interval waktu 30 dan 60 menit setiap kali pemberian menghasilkan rataan jumlah L3 yang berkembang tidak signifikan berbeda. Seperti yang disajikan pada Tabel 1, hasil yang ditemukan pada kelompok B, C, D, dan E menunjukkan bahwa rataan jumlah L3 cenderung semakin meningkat bersamaan meningkatnya pemberian dosis L2. Peningkatan rataan jumlah L3 pada kelompok E yang hanya signifikan berbeda dengan kelompok lainnya.

Secara keseluruhan, persentase L2 yang berkembang menjadi L3 adalah 12,7%. Kemampuan L3 A. galli berkembang di dalam saluran cerna ayam Isa Brown dipengaruhi oleh besarnya dosis infeksi yang diberikan pada satu waktu. Semakin besar dosis L2 yang diberikan pada satu waktu semakin tinggi pula persentase L3 yang berkembang. Persentase perkembangan L3 yang paling rendah (8,39%) ditemukan pada kelompok A, yaitu pada ayam yang diberikan enam kali berturut-turut dosis 1000 L2 dalam interval waktu 30 menit setiap pemberian. Prosentase perkembangan L3 yang paling tinggi ditemukan pada kelompok E, yaitu pada ayam yang diberikan satu kali dosis 6000 L2 sekaligus (Tabel 1). Tabel 1. Rataan jumlah L3 dan persentase L3 terhadap dosis infeksi pada tiap- tiap 4 ekor ayam donor dengan 5 kali ulangan 10 hari pascainfeksi _ Kelom- Dosis Frekuensi Interval wak- Rataan Prosentase (%) pok L2 pemberian tu (menit) jumlah L3 jumlah L3

A 1000 6 30 2158,8 ± 264,4 a 8,39

B 1000 6 60 2014,6 ± 256,6a 8,99

C 2000 3 120 2501,4 ± 314,4 ab 10,42

D 3000 2 180 3409,6 ± 366,6 ab 14,20

E 6000 1 - 5154,6 ± 457,6 c 21,48_

Rataan L3 yang berkembang 12,70

PEMBAHASAN

Cacing A. galli betina dewasa melepaskan telur di dalam lumen intestinum inang definitif dan dikeluarkan ke lingkungan bersama tinja. Untuk mencapai stadium L2, L1 harus berada pada lingkungan yang sesuai untuk perkembangannya. Selama berada di lingkungan, L1 dihadapkan oleh kondisi lingkungan dimana tinja berada. Apabila kondisi lingkungan lembab dengan temperatur rendah, maka L1 dapat berkembang menjadi L2. Apabila kondisi lingkungan kering dengan temperatur tinggi, maka L1 gagal mencapai stadium L2.

Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, cacing A. galli harus menghasilkan L1 dalam jumlah yang banyak, sehingga semakin banyak pula L1 dapat mencapai stadium L2. Pada penelitian ini, terlihat bahwa cacing A. galli

mampu melepaskan ribuan L1 dari uterusnya. Secara in vitro, L1 yang berkembang menjadi L2 adalah 89,46%. Hanya 10,54% L1 yang gagal mencapai stadium L2 (Gambar 7). Banyaknya jumlah L1 yang dilepaskan oleh cacing A. galli betina dewasa, dan tingginya persentase L1 yang berkembang menjadi L2 adalah sebagai cara cacing tersebut untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Apabila L2 berada di lingkungan maka peluang tertelan oleh inang definitif semakin besar.

Kemampuan A. galli melepaskan telur ke dalam tinja inang definitif bervariasi jumlahnya. Hasil riset Schou et al. (2003) merefleksikan bahwa jumlah telur A. galli yang dilepaskan ke dalam tinja dipengaruhi ukuran panjang tubuh dan jumlah cacing betina yang bertahan hidup di dalam saluran cerna serta jenis inang definitifnya. Ukuran tubuh A. galli betina yang lebih panjang dan jumlah cacing bertahan hidup yang lebih banyak berimplikasi kepada nilai telur tiap gram tinja (TTGT) yang tinggi. Telur A. galli yang dilepaskan ke dalam tinja ayam jenis

Skalborg lebih banyak dibandingkan pada tinja ayam jenis Isa Brown, New Hampshire dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan Skalborg selama minggu ke-5 sampai minggu ke-9 pascainfeksi. Penelitian Permin et al. (1997) pada ayam Lohman Brown menunjukkan bahwa satu ekor cacing A. galli betina dewasa dapat menghasilkan 99,9 ± 89,9 – 128,3 ± 70,6 telur yang dikeluarkan dalam tiap gram tinja. Fekunditas cacing A. galli yang lebih meningkat dilaporkan Dahl et al. (2002) melaporkan bahwa fekunditas A. galli adalah 178,0 ± 24,80.

Jumlah larva A. galli yang ditemukan di dalam saluran cerna ayam setelah diberikan telur infektif dipengaruhi oleh jenis ayam yang digunakan sebagai model. Gabrashanska et al. (2004b) membuktikan bahwa pemberian dosis 1450 L2

A. galli pada ayam jantan jenis Hisex breed dapat menghasilkan rataan jumlah 340, 1 ± 76,5 larva dan prosentase L3 terhadap dosis yang diberikan setelah 10 hari pascainfeksi adalah 23,5%. Permin dan Ranvig (2001) melaporkan bahwa ayam Lohman Brown lebih tahan terhadap infeksi A. galli dibandingkan ayam

Danish Landrace, dimana worm burden dan jumlah telur cacing yang ditemukan pada ayam Danish Landrace lebih banyak.

Permin et al. (1997) melaporkan bahwa pada ayam Lohman Brown yang diinfeksi masing-masing dengan 100, 500, atau 2.500 telur infektif A. galli, setelah delapan minggu menghasilkan rata-rata establishment cacing 14,2%, 2,9%, dan 0,5%. Infeksi dosis tinggi menurunkan jumlah cacing betina, TTGT, panjang, dan berat cacing tetapi fekunditasnya tidak berbeda.

Penelitian Schou et al. (2003) membuktikan bahwa pada ayam New Hampshire yang diinfeksi pada umur 60 minggu dengan dosis tunggal 500 telur infektif A. galli ditemukan lebih banyak larva yang establish pada minggu ke3, -6, dan -9 pasca infeksi dibandingkan dengan tiga jenis ayam petelur komersial lainnya: Skalborg, Isa Brown, dan ayam hasil persilangan New Hampshire dan

Skalborg. Larva A. galli tidak ditemukan lagi di dalam saluran cerna ayam

Skalborg sejak minggu ke-6 pasca infeksi sedangkan pada saluran cerna ayam persilangan New Hampshire dan Skalborg, larva tidak ditemukan lagi sejak minggu ke-9 pasca infeksi.

Rataan jumlah (populasi) L3 yang paling banyak ditemukan pada riset ini adalah pada kelompok E. Analisis statistik dengan uji ANOVA menunjukkan kelompok E secara signifikan berbeda dengan kelompok perlakuan lainnya. Dapat dipahami bahwa kelompok E diberikan dosis 6000 L2 sekaligus, tanpa pengulangan. Sedangkan pada kelompok lainnya, dosis 6000 L2 diberikan bertahap secara berulang. Hasil penelitian ini mendukung temuan Hoste et al. (1993) bahwa prosentase populasi cacing Nematodirus spathiger pada kelinci yang dinfeksi dosis 17000 larva infektif adalah 28,6%, sedangkan kelinci yang diinfeksi dosis 5000 hanya menghasilkan prosentase populasi cacing 19,5%.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan perkembangan L1 menjadi L2 adalah 89,46%. Keberhasilan larva A. galli melangsungkan kehidupannya secara in vivo sangat dipengaruhi oleh metode dan dosis infeksi, dimana metode infeksi sekaligus dengan dosis L3 yang tinggi menghasilkan lebih banyak jumlah L3 A. galli yang establish di dalam saluran cerna ayam petelur. Secara keseluruhan jumlah L3 yang dikoleksi adalah 12,70%.

SARAN

Dari hasil penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli. Untuk mencapai dewasa, stadium L3 akan menjalani fase histotrofik dan berinteraksi dengan pertahanan inang definitif di dalam jaringan dengan melepaskan ekskretori/sekretorinya. Ekskretori/sekretori L3A. galli dapat diperoleh dengan cara kultur in vitro.

ISOLASI DAN KARAKTERISASI ANTIGEN