• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI

TINJAUAN PUSTAKA

1. Cacing Ascaridia galli

Cacing A. galli tersebar secara meluas pada negara-negara di suluruh dunia. Penyebaran ascaridiosis dapat terjadi pada keadaan temperatur tropis dan sub-tropis. Ascaridiosis pada ayam pertama dilaporkan terjadi di Jerman, selanjutnya terjadi di Brazil, India, Zanzibar, Pilipina, Belgia, China, Kanada, dan Inggeris. Selain pada ayam, A. galli juga ditemukan pada jenis unggas lainnya seperti angsa, kalkun, dan pada burung liar (Permin dan Hansen 1998).

Poulsen et al. (2000) menemukan salah satu dari 18 jenis cacing gastro-intestinal yang menginfeksi ayam muda di kawasan sampah di Gana, Afrika Barat, adalah A. galli dengan prevalensi 24%. Permin et al. (1998) melaporkan bahwa diantara 26 jenis cacing, salah satunya adalah A. galli dengan prevalensi 32,3% pada musim kering dan 28,3% pada musim hujan telah diidentifikasi pada ayam yang berkeliaran di kawasan sampah di daerah Morogoro, Tanzania.

Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan (Soulsby 1982). Cacing ini memiliki kutikula ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda cacing dewasa (Bankov dan Barrett 1993). Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh (Calneck 1997). Permin dan Hansen (1998) mengatakan bahwa cacing jantan dewasa berukuran panjang 51 – 76 mm dan cacing betina dewasa 72 – 116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1 – 2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval, kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73–92 x 45–57μm.

Menurut Permin dan Hansen (1998) siklus hidup A. galli bersifat langsung yaitu; pematangan seksual berlangsung di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium infektif (L2) berlangsung di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan bersama feses inang definitif dan akan

mencapai stadium infektif (L2) dalam waktu 10 – 20 hari tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan (Gambar 1).

Daur hidup disempurnakan ketika telur infektif A. galli (L2) teringesti oleh inang definitif melalui makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung larva L2 secara mekanik terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24

jam pasca ingesti. Selama penetasan gelungan larva muncul dari ujung anterior telur melewati celah terbuka keluar kedalam lumen intestinal untuk menjadi L3. Menurut Permin dan Hansen (1998) larva L3 A. galli melanjutkan fase histotropik dengan cara menanamkan dirinya pada lapisan mukosa duodenum (fase jaringan) menjadi L4. Durasi fase histotropik berlangsung selama 3 – 54 hari pasca infeksi. Setelah mengalami empat kali molting, L5 (cacing muda) akan tumbuh dan mencapai dewasa di dalam lumen duodenum (Gambar 1). Periode prepaten cacing A. galli berlangsung dalam waktu 5 – 8 minggu (Soulsby 1982), dan 11 – 15 minggu (Athaillah 1999).

Menurut Idi et al. (2004) ayam Lohman Brown yang diinfeksi A. galli

kadang-kadang dapat menimbulkan diare. Tiuria (1991) menyatakan bahwa infeksi A. galli dapat mengurangi berat badan dan menurunkan produksi telur ayam Isa Brown. Kilpinen et al. (2006) melaporkan pula bahwa bila dibandingkan dengan penurunan berat badan ayam akibat infeksi tungau Dermanyssus gallinae, infeksi A. galli menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena ascaridiosis dapat mengganggu efisiensi absorpsi nutrisi yang berlangasung di dalam usus halus ayam petelur. Infeksi A. galli di dalam usus halus unggas disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Ascaridiosis pada usus halus unggas.

Permin et al. (1998) juga mengatakan bahwa sifat penyakit parasitik cacing A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang

perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas. Cacing parasitik bersifat sebagai organisme patogenik dan beradaptasi sebagai parasit obligat yang kehidupannya sangat tergantung kepada ketersediaan nutrisi pada inang definitif (Sander dan Schwartz 1994). Adaptasi ini menurut Kulkarni et al. (1993) dibutuhkan untuk pengelakan diri dari tanggap kebal inang definitif. Infeksi A. galli pada ayam yang normal umumnya singkat dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan permanen (Permin et al. 1998). Tubuh ayam memiliki suatu sistem kekebalan yang dapat melindungi tubuhnya dari unsur-unsur patogen (Tizard 1995).

Penelitian tentang terapi cacing nematoda A. galli telah banyak dilaporkan oleh peneliti terdahulu. Deteksi secara biologi dan biokimiawi (Khwaja et al. 1973) menunjukkan bahwa setiap gram ekstrak tubuh cacing A. galli mengandung 10 unit acetylcholinesterase dan 0,517 – 0,705 µg histamin. Kedua substansi tersebut memiliki aktivitas neurotransmitter yang berfungsi sebagai lokomotif bagi nematoda, sehingga penentuan jenis ascarisidal yang menimbulkan paralisis pada cacing ini disarankan agar menggunakan substansi aktif yang bersifat destruktif terhadap kedua senyawa tersebut. Sander dan Schwartz (1994) membuktikan bahwa pemberian fenbendazole dosis 30,3 ppm dalam air minum untuk ayam broiler menghasilkan nilai efikasi (kemanjuran) masing-masing 69,0 – 89,6% terhadap A. galli. Pemberian garam-garam dasar ke dalam pakan dan atau air minum bagi inang definitif juga dapat mereduksi populasi A. galli yang ada dalam lumen saluran cerna ayam. Gabrashanska et al. (2004b) membuktikan bahwa pemberian 0,43 g Zn-Co-Mn per kg pakan dapat menurunkan 21,5% populasi A. galli pada 60 hari pascainfeksi.

Singh et al. (1983) menyatakan bahwa cacing A. galli mampu menyelenggarakan metabolisme asam amino. Reaksi dekarboksilasi alanine, aspartate, glutamate, serine, leucine, dan valine dapat membangkitkan ATP dan membebaskan CO2. Menurut Bankov dan Barrett (1993) ekstrak tubuh cacing A. galli dewasa mengandung enzim serine palmitoyltransferase, 3-ketosphinganine reduktase, flavoprotein sphinganine reduktase, sphingosine acyltransferase, dan ceramide choline phosphotransferase. Enzim-enzim tersebut beraktivitas sebagai sintesis sphyngomyelin, suatu konstituen yang penting pada membran sel.

Sama halnya dengan nematoda yang lain, seperti Ascaris suum, Toxocara canis, Brugia malayi, Loa loa, Dictyocaulus viviparus, Dirofilaria immitis, dan

Ostertagia ostertagi, pada tubuh A. galli dibuktikan oleh Timanova et al. (1999) mengandung poliprotein. Protein yang dikenal sebagai A. galli fatty acid-binding protein (AgFABP) membentuk dimer tunggal 23 atau 24 kDa dan merupakan derivat dari precursor 60 kDA membentuk unit 12-13 kDa. Penemuan ini mengindikasikan bahwa AgFABP berperan penting terhadap suplai asam lemak yang digunakan sebagai sumber pembangkit energi untuk perkembangan stadium nematoda.

2. Antigen Ekskretori/Sekretori Cacing Nematoda

Umumnya antigen yang imunogenik adalah makromolekul protein, polisakarida, polipeptida, atau polimer sintetik misalnya polivinilpirolidon (PVP). Hanya bagian tertentu saja yang dapat berikatan dengan antigen binding side

molekul antibodi. Bagian molekul antigen yang berikatan dengan antigen binding side disebut epitop (determinant antigen) yang menentukan spesifisitas reaksi antigen-antibodi. Ikatan antigen-antibodi merupakan suatu ikatan nonkovalen antara epitop (active site) dan paratop (antigen binding site pada antibodi). Ikatan antigen antibodi tersebut adalah ikatan yang kuat karena merupakan ikatan hidrogen multipel, ikatan ion, dan interaksi hidrofobik (Perez 2000).

Jumlah epitop pada suatu antigen berbeda dengan antigen yang lain. Untuk dapat memicu pembentukan antibodi, menurut Kresno (1996) antigen suatu bahan sedikitnya harus memiliki dua epitop, dan sedikitnya satu epitop harus mampu menyulut rangsangan limfosit T. Epitop antigen yang berbeda pada suatu molekul protein dapat menyulut respons subpopulasi limfosit T yang berlainan, salah satu epitop mungkin menyulut respons limfosit T helper (Th), tetapi epitop yang lain mungkin menyulut respons limfosit T supresor (Ts). Hau dan Hendriksen (2005) menyatakan bahwa suatu epitop antigen terdiri dari lima sampai 10 asam amino. Tiap-tiap epitop menginduksi klon sel plasma yang menghasilkan antibodi terhadap epitop tertentu.

Vervelde et al. (2003) melaporkan bahwa anak-anak domba yang divaksinasi dengan glikoprotein ekskretori/sekretori yang dilarutkan dalam

alhydrogel sebagai adjuvant dapat terproteksi dari cacing parasitik H. contortus. Anak domba yang diimunisasi dengan ekskretori/sekretori dan ditantang dengan 300 L3/kg bb dapat mereduksi 89% output kumulatif telur dan meningkatkan 54% proteksi antibodi. Seluruh anak domba yang divaksinasi, secara proporsi substansial respons antibodi dapat terdeteksi terhadap epitop glikan.

Harnett et al. (1997) membuktikan bahwa aplikasi 300 µg ekskretori/sekretori Ochocerca gibsoni jantan dewasa yang diimunisasikan 50 µg setiap hari selama enam hari berturut-turut dapat memicu respons humoral hewan percobaan. Imunisasi pertama dan kedua antigen diemulsikan dengan Freund’s complete dan incomplete adjuvant berturut-turut. Sedangkan pada empat kali

booster selanjutnya digunakan PBS. Sel-sel lymph nodus tikus BALB/c yang difusikan dengan sel-sel myeloma lestari dapat memproduksi IgM dan delapan jenis isotype IgG. Semua isotype monoklonal antibodi yang diproduksi bereaksi secara spesifik.

Menurut Yoshihara et al. (1993) cairan tubuh cacing A. suum betina dewasa dapat digunakan sebagai antigen untuk mendiagnosa ascariosis pada babi melalui uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Terbukti bahwa reaksi spesifik terjadi antara cairan tubuh cacing dengan antibodi di dalam serum babi yang diinfeksi. Fraksi protein 105 kDa dari cairan tubuh cacing dewasa bereaksi sangat spesifik dengan IgG di dalam serum babi yang diinfeksi dengan A. suum. Pada uji ELISA diketahui juga bahwa konsentrasi optimum cairan tubuh cacing yang dibutuhkan adalah 0,25 µg dalam setiap sumur ELISA, dimana setiap satu ml cairan tubuh cacing ditemukan 40 mg kandungan protein.

Ekskretori/sekretori berperan sebagai antigen protektif yang dapat memicu tanggap kebal inang definitif. Imunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori dapat melindungi hewan percobaan dari serangan Dictyocaulus vivivarus (McKeand 1995). Ekskretori/sekretori yang merupakan komponen imunogenik telah digunakan untuk memicu pembentukan antibodi monoklonal terhadap

Onchocerca gibsoni (Harnet et al. 1997). Green et al (1996) membuktikan bahwa ekskretori/sekretori cacing nematoda dapat dikenal oleh antibodi pada hewan terinfeksi. Tiuria et al. (2003) menyatakan pula bahwa ekskretori/sekretori A. galli

3. Respons Kekebalan Unggas Terhadap Antigen

Respons kekebalan ayam dipicu oleh pemaparan antigen yang strukturnya dikenali oleh sistem kekebalan sebagai sesuatu benda asing (non-self). Antigen dapat disuguhkan kepada sistem kekebalan sebagai kompleks multiantigen (partikulat) misalnya: bakteri, virus, parasit, dan partikel artifisial atau sebagai antigen tunggal misalnya protein dan polisakarida (Leenaars dan Hendriksen 2005). Hanly et al. (1995) menyatakan bahwa sistem kekebalan dapatan (antigen-spesifik) memiliki efisiensi dan spesifisitas yang tinggi, tetapi memiliki respons yang lebih lambat daripada sistem kekebalan bawaan (innate unspecific).

Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa komponen-komponen yang mendasar di dalam mekanisme respons kekebalan antigen-spesifik (adaptive defense) adalah limfosit B dan limfosit T sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense) diperankan oleh sel-sel neutrofil, monosit (di dalam jaringan disebut makrofag), eosinofil, dan basofil. Semua komponen dasar yang berperan pada mekanisme kekebalan tersebut berasal dari stem sel (Gambar 3). Limfosit (sel B) bertanggungjawab terhadap produksi antibodi. Limfosit (sel T) bertanggungjawab terhadap respons sitotoksik, dan sel T helper (Th) bertanggungjawab terhadap sel B dan sel T sitotoksik. Pemeliharaan (maintenance) sistem kekebalan membutuhkan komunikasi interseluler yang memperantarai hubungan sel ke sel (misalnya melalui produksi sitokin) dan sel-sel pelengkap (misalnya sel-sel fibroblast dan sel-sel endotel).

Hau dan Hendriksen (2005) membagi respons kekebalan antigen-spesifik ke dalam tiga fase yaitu: fase induktif, fase efektor, dan fase memori. Pada fase induktif, antigen dikenali sebagai benda asing (foreign) melalui monosit, sel-sel dendritik, dan sel B sebagai sel-sel penyuguh antigen (antigen-presenting cells, APC). Sel-sel dendritik mengenal seluruh antigen, sedangkan sel B menggunakan

receptor-dependent spesifik dari ikatan antigen. APC mengikat, menelan, dan memproses antigen menjadi peptide bersama-sama dengan molekul major histocompability complex (MHC1), kemudian mengeluarkannya kepermukaan APC untuk disuguhkan kepada reseptor antigen pada sel T sehingga adanya kontak yang menyebabkan sel T teraktivasi.

Pada fase efektor, respons kekebalan tergantung pada jenis antigen. Aktivasi sel T menyebabkan respons berperantara sel (terutama sel sitotoksik, misalnya antigen virus) atau sel Th untuk sel B (misalnya antigen protein). Apabila teraktivasi, sel Th menjadi lebih sensitif terhadap aksi sitokin growth factor misalnya interleukin (IL-1 dan IL-2). Sitokin menyebabkan proliferasi dan akhirnya diferensiasi sel B menjadi sel-sel plasma penghasil antibodi. Masing-masing sel plasma disandi secara genetik untuk menghasilkan antibodi tertentu yang spesifik hanya terhadap epitop tunggal antigen (Roitt dan Delves 2001).

Fase terakhir respons kekebalan antigen-spesifik adalah fase induksi memori yang terjadi setelah kontak awal dengan antigen. Fase memori terjadi berdasarkan diferensiasi sel B menghasilkan respons kekebalan sekunder dengan karakter lebih cepat dan berlangsung lebih lama daripada respons kekebalan primer. Pada respons kekebalan sekunder, antibodi memiliki aviditas yang lebih kuat dibanding dengan respons kekebalan primer (Hau dan Hendriksen 2005).

Molekul imunoglobulin diproduksi oleh sel limfosit B, dimana sel limfosit B mengalami pematangan dalam bursa Fabricius ayam. Sel limfosit B terdiri dari dua bentuk molekul yang berbeda, molekul pertama sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen) dan molekul lainnya sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler. Antibodi yang disekresikan dapat berfungsi sebagai media yang mengikat antigen melalui binding site yang spesifik, sekaligus merupakan jembatan yang menghubungkan antigen dengan sel-sel imun atau mengaktifkan komplemen (Roitt dan Delves 2001).

Pemaparan antigen ke dalam tubuh induk akan menghasilkan antibodi di dalam telur dengan spesifisitas antibodi yang tinggi terhadap antigen yang telah disuntikkan (Rollier et al. 2000). Antibodi induk yang ditransfer secara pasif oleh induk kepada anaknya sebagai imunoglobulin yolk (IgY) berfungsi sebagai pertahanan terhadap benda asing manakala sistem imun anak belum sempurna. IgY lebih berperan sebagai sistemik antibodi daripada sekretori antibodi, namun IgY dapat ditemukan dalam saluran pencernaan duodenum, trachea, dan seminal plasma. Mekanisme transfer IgY dari serum ke dalam kuning telur berlangsung seperti proses transfer antibodi lintas plasenta pada mamalia. IgY yang telah diproduksi oleh limfosit B akan mengalir dalam pembuluh darah ke seluruh bagian tubuh termasuk ke dalam ovarium. IgY didepositkan melalui jaringan arteri kecil ovarium-oosit ke dalam kuning telur sebagai bahan perlindungan bagi embrio yang akan berkembang (Carlander 2002).

Antigen yang dipaparkan kepada ayam dapat menggertak pelepasan interleukin (IL-4 dan IL-5) oleh sel T helper-2 (Th-2). IL-4 dapat membangkitkan sel B menjadi sel plasma pembentuk antibodi (Roitt dan Delves 2001). Terdapat tiga kelas antibodi pada unggas, yaitu imunoglobulin A (IgA), IgM, dan IgG. IgG pada unggas lebih dikenal IgY karena ada perbedaan struktur molekul dengan IgG mamalia. Pada IgG, antara C 1 dan C 2 dihubungkan oleh engsel (hinge region) seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 5. Perbedaan IgG pada mamalia dan IgY pada unggas

Secara struktural, molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan tersusun atas empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3, dan Cv4 (Gambar 3). IgY memiliki berat molekul ~180 kDa yang masing-masing rantai beratnya ~65-68 kDa, koefisien sedimentasi 7,8 S, dan titik isoelektrik 5,7-7,6 (Chio 2002 dan Davalos-Patoja et al. 2000). Secara imunologis IgY sangat berbeda dengan IgG mamalia karena reaksi silang tidak terjadi pada IgY, sedangkan antibodi mamalia menunjukkan tingkat reaksi silang yang tinggi, dimana IgG kelinci anti-manusia akan bereaksi silang terhadap IgG mamalia lain, kecuali dengan IgG kelinci (Leenaars dan Hendriksen 2005).

IgA dan IgM dihasilkan dalam jumlah yang sangat sedikit pada unggas. Sedangkan IgY didistribusikan di dalam serum dalam jumlah yang banyak dan juga didepositkan ke dalam kuning telurnya sebagai imunoglobulin yolk (IgY) (Akita dan Nakai 1992; Camenisch et al. 1999; Rollier et al. 2000; Carlander 2002; dan Hau dan Hendriksen 2005). IgY terbanyak didapatkan dalam kuning telur sedangkan dalam putih telur kandungannya rendah. Kandungan antibodi dalam telur umumnya lebih tinggi dari serum ayam karena proses transpor aktif dari induk ayam ke telur. Kuning telur terdiri dari granul lipoprotein dan phosvitin (Leenaars dan Hendriksen 2005). IgY mengemban fungsi yang setara dengan IgG mamalia. IgY berevolusi dan diduga menjadi cikal bakal IgG dan IgE mamalia (Chio 2002). Gambar 5 menunjukkan evolusi IgY pada unggas dan IgG pada mamalia.

DISAIN PENELITIAN

KAJIAN PERKEMBANGAN L1, L2, DAN L3Ascaridia galli

PADA AYAM PETELUR

PURIFIKASI IMUNOGLOBULIN YOLK

PADA KUNING TELUR DARI AYAM YANG DIIMUNISASI DENGAN

ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3Ascaridia galli

ISOLASI DAN KARAK-TERISASI ANTIGEN

EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3Ascaridia galli

PENGUKURAN ANTIBODI AYAM

PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3Ascaridia galli MELALUI UJI

ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY

DETEKSI KEBERADAAN ANTIGEN

Ascaridia galli DENGAN

IMUNOGLOBULIN YOLK MELALUI METODE IMUNOHISTOKIMIA POTENSI ANTIGEN EKSKRETORI/ SEKRETORI STADIUM L3, IMUNO-GLOBULIN YOLK, DAN KOMBINA-SINYA TERHADAP PENURUNAN POPULASI Ascaridia galli

ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3Ascaridia galli

SEBAGAI PEMICU PEMBENTUKAN IMUNOGLOBOLIN YOLK

(IgY) PADA AYAM PETELUR

Imunisasi aktif dan pasif, dan Populasi cacing A. galli

Reaksi antigen-antibodi metode imunohistokimia

Imunisasi ayam petelur, dan ELISA Imunisasi ayam petelur, AGPT, ELISA, FPLC, dan Kuantitas protein IgY Preparasi antigen ekskretori/sekretori L3A. galli, uji Bradford, SDS-PAGE

Koleksi cacing A. galli betina dewasa: L1, L2, dan L3in vivo

Didapatkan antigen dan IgY yang dapat mengurangi populasi A. galli

di dalam saluran cerna ayam petelur

KAJIAN PERKEMBANGAN L1, L2, DAN L3Ascaridia galli PADA AYAM PETELUR

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan perkembangan populasi L3

Ascaridia galli pada usus halus ayam petelur. Cacing A. galli betina dewasa diperoleh langsung dari lumen ayam kampung pada tempat pemotongan ayam komersial di Bogor. Telur cacing yang diperoleh dari uterus cacing betina A. galli

dewasa diinkubasikan di dalam aquadestilata steril pada temperatur kamar selama 20 – 31 hari untuk mendapatkan telur infektif (L2) A. galli. Lima kelompok (A – E) dari 100 ekor ayam jenis Isa Brown diinfeksi dengan dosis 6000 L2 A. galli. Kelompok A dan B, ayam diberi enam kali berturut-turut dosis 1000 L2 dalam interval waktu masing-masing 30 dan 60 menit setiap pemberian. Kelompok C, ayam diberi tiga kali berturut-turut dosis 2000 L2 dalam interval waktu dua jam setiap pemberian. Kelompok D, ayam diberi dua kali berturut-turut dosis 3000 L2 dalam interval waktu tiga jam setiap pemberian. Kelompok E, ayam diberi satu kali dosis 6000 L2. L3 A. galli ditemukan di dalam lumen usus halus ayam setelah 10 hari pemberian L2. Hasil yang diperoleh adalah total 1.045.478 L1 dan 935.300 L2 yang dikoleksi dari 186 A. galli betina dewasa. Prosentase L1 berkembang menjadi L2 adalah 89,46% dan L2 berkembang menjadi L3 adalah 12.7%. Hanya pada kelompok E populasi L3 berkembang secara signifikan di dalam usus halus ayam. Hasil tersebut merefleksikan bahwa terjadi penurunan ketahanan terhadap ascaridiosis pada ayam yang diinfeksi dosis tinggi A. galli.

Kata kunci: Ascaridia galli, telur infektif, larva

ABSTRACT

The aim of the present study was to determine the survival of L3 populations in intestine of chickens exposed to experimental Ascaridia galli infection. Nature female adult worm were obtained from lumen of village chickens in a comercial abattoir in Bogor. The eggs obtained from uteri female adult worms were incubated in sterile aquadestilata et room temperature for 20 - 31 days developed embrionated eggs (L2). Five groups (A - E) of 100 head chickens were infected with 6000 L2 A. galli. The chickens of group A were infected six times with dose of each 1000 L2 with an interval of half hour. The chickens of group B were infected six times with dose of each 1000 L2 with an interval of one hour. The chickens of group C were infected three times with dose of each 2000 L2 with an interval of two hours. The chickens of group D were infected six times with dose of each 3000 L2 with an interval of three hours. The chickens of group E were infected one time with single dose 6000 L2. A. galli L3 were recovered from intestines of 100 heads chickens 10 days after oesophagus inoculation with 6000 L2. The result showed that total 1.045.478L1 and 935.300 L2 colected from 186 A. galli female adult worms. The percentage of L1 developed L2 is 89,46% and L2 developed L3 is 12.7%. Significant survival of L3 higher populations in intestine of chickens observed only in the group E. The results suggest that chickens infected high dose of A. galli capable decreased their defence against ascaridiosis.

PENDAHULUAN

Cacing yang hidup dan berkembang di dalam saluran gastrointestinal sering ditemukan pada unggas. Fahrimal dan Raflesia (2002) berhasil mengidentifikasi tiga jenis nematoda yang ditemukan pada ayam kampung di Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu Ascaridia galli, Heterakis gallinae, dan

Capillaria spp., dan yang paling sering ditemukan adalah A. galli. Investigasi Eshetu et al. (2001) pada empat distrik di wilayah pinggiran Amhara (Ethiopia) menunjukkan bahwa prevalensi cacing nematoda yang menginfeksi ayam adalah

A. galli (35,58%), Heterakis gallinae (17,28%), Subulura brupti (17,60), Cheilospirura hamulosa (0,75%), dan Dyspharynx spiralis (2,62%).

Telur A. galli (L1) yang dilepaskan bersama tinja inang definitif dapat berkembang dalam waktu 10 hari atau lebih pada temperatur rendah. Perkembangan tersebut menyebabkan massa telur berubah dan dipenuhi oleh gelungan larva infektif (L2). Viabilitas L2 dapat bertahan selama tiga bulan atau lebih pada kondisi lingkungan yang terlindungi, tetapi dengan cepat terbunuh oleh kekeringan, dan cuaca panas (Soulsby 1982). Unggas dapat terinfeksi secara langsung oleh A. galli apabila L2 tertelan bersama pakan dan atau minuman yang terkontaminasi. Cacing tanah yang dimakan oleh unggas dapat menyebabkan transmisi infeksi secara mekanik, yaitu apabila cacing tanah tersebut telah menelan L2 A. galli. L2 menetas di dalam intestinum inang definitif, dan setelah 10 hari larva (L3) menjalani fase histotrofik dengan cara penetrasi ke dalam jaringan mukosa, larva kembali ke lumen tujuh hari kemudian. Cacing A. galli

tumbuh menjadi dewasa dalam waktu 5 – 8 minggu. Kadang-kadang cacing A. galli dapat berpenetrasi ke organ tubuh yang lain seperti hati dan ginjal pada ular

phyton (Taiwo et al. 2002), dan paru paru pada unggas (Soulsby 1982).

Selama berkembang pada inang definitif, A. galli dapat menyebabkan kerusakan villi dan mukosa intestinal yang mengganggu absorbsi nutrisi seperti elektrolit-elektrolit dan vitamin-vitamin (Anwar dan Zia-ur-Rahman 2002), mineral (Gabrashanska et al. 2004a), mengakibatkan perlambatan pertumbuhan (Gabrashanska et al. 2004b), dan penurunan produksi telur (Tiuria 1991). Ascaridiosis yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat

menyebabkan gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik, dan nepritis yang dapat berakhir dengan kematian (Taiwo et al. 2002).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keberhasilan perkembangan