• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1

Informan Pertama

Secara umum, ada dua jenis permasalahan yang muncul, yaitu permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal pada NP menghasilkan tiga tema, yaitu konflik internal atau konflik dengan diri sendiri, tuntutan ibu rumah tangga, dan hambatan atau tekanan fisik. Permasalahan eksternal yang dialami oleh NP memunculkan enam tema besar diantaranya permasalahan sosial, permasalahan dengan figur otorita, hambatan lingkungan medis, tuntutan akademik, permasalahan dalam kehidupan rumah tangga yang terkait dengan anak dan suami, serta

permasalahan ekonomi. Berikut ini adalah gambaran permasalahan NP yang disertai dengan upaya dalam menyelesaikan permasalahannya.

a. Permasalahan Internal dan Upaya untuk Menyelesaikannya 1) Konflik Internal atau Konflik dengan Diri Sendiri

Konflik internal berikutnya yang dialami NP, yaitu krisis kepercayaan diri dan krisis kepercayaan akan Tuhan. NP merasa memiliki cobaan yang sangat berat. NP marah dan menyalahkan Tuhan. NP merasa takut jika teman-temannya tidak menerimanya. NP juga memikirkan pendidikannya sekaligus rumah tangganya kelak.

“Terus apa ya kayak istilahnya krisis kepercayaan diri semacam itu. Krisis kepercayaan diri dan kepercayaan akan Tuhan. Sempat beberapa bulan tu kayak sempat apa sih, kenapa bisa seperti ini, apa aku bisa menjalani ini, kok berat banget, istilahnya cobaan. Cobaannya berat banget, apa bisa sampai membesarkan anak dengan baik, terus kuliah dengan, gitu-gitu. Mikir-mikir kayak gitu sih… Mungkin karena udah punya anak kali ya (penyebab krisis kepercayaan diri). Jadi aku mikirnya ntar ke mana ke mana ada batasan, istilahnya kayak batasan waktunya kan harus urus anak dulu. Untuk beberapa saat jarang kumpul sama teman, mungkin sa tuh takut kalo sa pu teman masih tidak welcome gitu lho setelah aku punya anak, takut diomongin apa gimana, tapi ternyata gak sih, biasa aja… Tuhan kok jahat banget sih, Tuhan kok gak kasih bantuan, makanya sempat apa ya kalo di doa tuh sempat marah-marah sendiri itu lho, marah-marah sama Tuhan, istilahnya orang Jawa tu suka ngedumel, kayak ya gitu lah marah-marah sendiri gitu sama Tuhan. Kayak salahkan Tuhanlah, sempat berpikiran kalo ngapain sih aku harus novena, kalo misalkan permohonanku gak dikabulin, ngapain harus novena, aku pernah mikir kayak gitu. Makanya disitu aku mikir kok bisa ya aku krisis, krisis apa ya krisis iman gitu,

kayak gitu (NP, W2, 28-07-2016, 184-191, 196-198, 202-205, 225-233)”.

NP bertanya dan mencurahkan isi hatinya pada orang lain untuk mengatasi permasalahannya. NP juga diberi motivasi untuk tetap melakukan aktivitasnya.

“Em usaha, saya sering curhat sama orangtua, terus juga sama Romo, kebetulan kan juga dekat sama Romo kan. Terus ditanya-ditanya kayak gini ni gimana ya Romo, terus dinasehatin, kayak gitu sih. Terus ada beberapa orang yang dekat, yang lebih tua dari aku jadi dinasehatin, ini harus kayak gini, kamu harus tetap semangat, kamu harus bisa survive di perkuliahanmu, dan kamu juga harus bisa jadi ibu, kayak gitu… makanya orangtuaku menggalak lagi, memaksakan lagi ayo ikut kegiatan lingkungan lagi, ikut koor-koor lagi, gak usah kamu mikir kamu udah punya anak, gak apa-apa, mereka mau kok, kan anakmu nanti jadi Romo (NP, W2, 28-07-2016, 208-214, 237-240)”.

2) Tuntutan Ibu Rumah Tangga

NP mengungkapkan kesulitannya ketika dirinya usai menyelesaikan tugas hingga larut malam dan harus bangun untuk menyiapkan susu anaknya. Suaminya yang lelah sepulang kerja tidak membantu NP.

“Mungkin awal-awalnya kayak misalnya harus bangun tengah malam, tiba-tiba sedikit-sedikit bangun Tata minta susu. Jadi harus bikin susu. Ee mungkin agak berat karna kan biasanya dulu kan kerja tugas kan kerja tugas sampe malam. Baru mau tidur lima menit sudah bangun lagi dia minta susu, jadi bikin susu kayak gitu soalnya kadang-kadang tuh kalo DM (suami NP) kecapean dia tuh dibangunkan dia tidak mau to… Ya apa ya, cape tapi ya mau gimana lagi (NP, W1, 20-07-2016, 1029-1035, 1047)”.

Pada saat menghadapi situasi seperti kutipan wawancara di atas, NP tetap menjalani tanggung jawabnya dan belajar untuk mandiri.

“ya harus dijalani sih. Namanya juga udah punya keluarga kan. Jadi ee belajar mandiri lebih dini. Ya kayak gitu (NP, W1, 20-07-2016, 1047-1049)”.

3) Hambatan atau Tekanan Fisik

Tekanan fisik yang dialami NP, yaitu ketika NP hamil dan menyadari dirinya seperti sedang menstruasi. NP mengungkapkan bahwa ia merasa takut. Berikut ini kutipan wawancara dari NP.

“Waktu itu kan udah berapa bulan ya habis itu aku kan di kos ini kan, kan lagi kerja tugas kan. Tiba-tiba tuh kan sa ada tidur (saya sedang tidur). Sa kan baru kerjakan tugas kerja paper itu tiba-tiba kok sa kayak menstruasi gitu kan sa takut…(NP, W1, 20-07-2016, 319-321)”.

Pada saat NP merasa takut akibat kejadian seperti kutipan di atas, NP langsung menelpon orangtuanya dan dijemput bersama sang suami untuk pulang ke Klaten.

“Sa takut sa telpon sa pu orangtua (saya takut lalu menelpon orangtua saya) DM kan lagi kerja tugas akhir to. Sa telpon orangtua, orangtuaku panik langsung dijemput, DM juga dijemput trus akhirnya kita bermalam di rumah sana di Klaten. (NP, W1, 20-07-2016, 321-325)”.

NP juga mengalami kram perut terus menerus ketika mengerjakan tugas. Pada saat yang sama NP mengatakan bahwa dirinya melihat tiga laki-laki bertubuh hitam. Tiga laki-laki tersebut berdiri seolah-olah sedang menungguinya sehingga NP merasa takut.

“Latihan koor di rumah, sa tuh di dalam kamar. Sa tuh kayak sa lagi kerja tugas sa tuh kayak rasa kram-kram gitu lho kram perut biasa (saya di dalam kamar, merasa kram perut seperti biasa). Tapi tuh sa lihat misalnya sini tuh ee lemari lemari baju, sini tuh tempat tidur (NP membayangkan posisi kamarnya sambil menunjuk arah). Sa rasa tuh sa pas kram-kram itu orang ada, 3 cowo (ketika merasa kram-kram perut, saya seperti merasa ada 3 orang cowo). Cowo gitu hitam-hitam gitu tapi ga kelihatan mukanya itu berdiri, berdiri kayak nungguin saya gitu kan. Sa sudah mulai takut… tapi pas malam itu sa sakit perut terus kan kram trus kayak pengen buang air besar. Tapi kan ga bisa buang air besar (NP, W1, 20-07-2016, 330-341, 347-348)”.

NP yang mengalami kram perut dan ketakutan dengan peristiwa tersebut akhirnya meminta bantuan pada orangtuanya.

“…ruang tamu cuma di depan situ saja langsung telpon mamaku di luar (saya mulai takut, meski ruang tamu dekat saya menelpon mama saya). ‘halo mama kenapa ada orang tiga di sini di dalam kamar ? kakak sakit perut’ trus mamaku datang (NP, W1, 20-07-2016, 341-342)”.

b. Permasalahan Eksternal dan Upaya untuk Menyelesaikannya 1) Permasalahan Sosial

Masalah pertama NP adalah permasalahan komunikasi dengan perusahaan karena tidak ada peraturan yang jelas mengenai jadwal mengajar antara kedua belah pihak. NP merasa marah dengan hal tersebut. NP juga merasa dikecewakan karena gajinya tidak sebanding dengan pengorbanan waktu dan biaya.

“Aktivitas e mungkin komunikasi sama perusahaan. Ya mungkin karena kami tidak membuat MOU, jadi kan tidak ada batasan selesai kapan to jadi suka-suka mereka saja bikin jadwal. Misalnya, 3 hari lalu mereka bilang hari ini ada

kegiatan, ada les, tapi mereka bisa seenaknya tiba-tiba hari ini juga bilang tidak ada les. Begitu, itu yang tidak enaknya. E.. itu rasanya kayak di-PHP-in pacar ya (NP dan peneliti tertawa bersama) dan sudah berkali-kali sampe emosi sendiri.(NP, W1, 20-07-2016, 55-62, 65-66)… kalau gajinya kecil itu kayak tidak sebanding dengan pengorbanan waktu, kayak pengorbanan bensin kita… Jadi yah sedikit mengecewakan (NP, W2, 28-07-2016, 37-38, 44-45)”.

Ketika NP mengalami situasi bermasalah seperti yang dipaparkan di atas, ia dapat mengambil pengalaman positif dan menganggapnya sebagai bentuk latihan untuk kerja di perusahaan.

“Jadi yah kita jadi latihan kerja. Kita bisa berterima kasih kita bisa dapatkan pengalaman gimana rasanya kalau bekerja di perusahaan… Iya lebih ke pengalaman positif (NP, W2, 28-07-2016, 55-57, 58”

NP sering ijin dan susah ditemui oleh teman-temannya untuk mengerjakan tugas kelompok sehingga mereka kesal padanya. NP mengungkapkan bahwa ia merasa kecewa karena teman-temannya belum bisa memaklumi keadaan NP.

“Mungkin dampaknya itu teman-teman pada kesel sama aku karena susah ketemu kan, terus kayak kerja kelompok, kayak gitu karena aku ijin gitu lah. Kecewa karena mereka belum bisa memaklumi (NP, W2, 28-07-2016, 278-280)”.

Pada saat NP berkonflik dengan teman-temannya, NP mencoba memberi pengertian dan mengerjakan tugasnya dengan baik.

“Sa cuman mencoba kasih pengertian ke mereka dan apa ya berusaha ngerjain bagian tugasku dengan baik karena tidak bisa kerja kelompok, jadi dibagi-bagi kan tugasnya. Sa kerjakan tugas dengan baik terus sa kirim email, begitu (NP, W2, 28-07-2016, 283-286).

Tekanan sosial lain yang dialami NP, yaitu adanya perlakuan tidak menyenangkan oleh lingkungannya saat NP hamil dan melahirkan. NP merasa sedih dan dikucilkan. NP juga merasa disindir ketika orang lain membicarakan kasus yang sama walau tidak mengatasnamakannya.

“…dari cara mereka apa yaa mungkin kayak aku nyapa, mereka senyum. Tapi dulu yang waktu aku hamil dan melahirkan itu lho, mereka kayak buang muka gitu. Kayak gitu, terus kalo aku lewat mereka biasanya nyapa, mereka tanya lagi ngapain, dari mana. Mereka tu dulu pas awal-awal tu gak kayak gitu, mereka tu cuek aja, pura pura gak liat. Sedih sih, merasa dikucilkan itu tadi. Kok sama lingkungan juga kayak gitu, kayak dikucilkan gitu (NP, W2, 28-07-2016, 556-565). Secara langsung sih belum pernah tetapi mereka tuh ee.. pernah mendengar mereka bercerita tentang kasus seperti saya tetapi mereka tidak apa ya tapi mereka tidak secara langsung membicarakan bahwa itu kasus saya tapi bukan kasus NP, aku.. tapi orang lain tapi kan istilahnya kayak apa ya tersindir gitu lho (NP, W3, 19-09-2016, 91-95)”.

Meskipun NP mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sosial, NP berusaha untuk menyapa dan bergaul dengan tetangganya. NP juga berpikir positif dan tetap aktif dalam kegiatan lingkungan.

“Sering nyapa aja, walaupun mereka sok cuek, gak tau, gak ngeliat, tetap aja disapa. Tetap ikut kegiatan kegiatan di lingkungan, kayak gitu walaupun malu tapi kata orangtuaku ya udah ikut aja, membaur gitu, mereka juga udah tau kamu, ngapain malu. Aku nyoba kayak gitu sih (NP, W2, 28-07-2016, 579-583). Ee mungkin sa pikir positif saja e.. tetap senyumin orang-orang saja, tetap ikut bergaul dengan mereka, apa ya..

seolah-olah tidak terjadi sesuatu yang salah (NP, W3, 19-09-2016, 104-106)”.

2) Permasalahan dengan Figur Otorita

NP dituntut oleh orangtuanya untuk cepat mandiri. NP menyatakan bahwa ia dipaksa ibunya untuk bertanggung jawab menyelesaikan segala pekerjaan rumah tangga, layaknya memiliki rumah sendiri.

“Setelah menikah.. e mungkin karena orangtuaku lebih kayak ee apa ya memaksa. Memaksa aku untuk lebih.. lebih cepat dewasa, lebih cepat mandiri lah istilahnya. Lagian kan DM kan udah kerja, aku juga udah semester akhir. Harapan orangtuaku tuh aku bisa punya rumah sendiri maksudnya tinggal sendiri, lepas dari orangtua gitu lho harapannya seperti itu. Jadi ya orangtua memaksa entah ya menyuruh aku untuk sering masak sendiri untuk semua keluarga, beres-beres, pokoknya bertanggung jawab atas semuanya. Layaknya punya rumah sendiri seperti itu karena kan sudah punya keluarga sendiri. Pertamanya kesal karena berasa kayak pembantu. (NP, W1, 20-07-2016, 733-743)”.

Tuntutan dari orangtua tidak membuat NP diam, ia justru bertindak mencari dukungan dari suaminya.

“ee.. (NP terdiam sejenak). Aku cerita sama DM dulu, aa ya seperti dulu sih aku cerita sama DM dan apa ya harus gimana-gimana. (NP, W1, 20-07-2016, 749-751)”.

Teman-teman satu angkatan NP sudah banyak yang lulus dan orangtua NP mengharapkannya untuk cepat lulus agar bisa mandiri.

“Tertekan.. em mungkin sekarang. Soalnya kan karena anak-anak jurusanku kan udah banyak yang lulus jadi ee.. orangtuaku sangat berhadap untuk aku lulus. Ikutan lulus juga untuk bisa lebih cepat mandiri (NP, W1, 20-07-2016, 1050-1053)”.

Ketika dihadapkan dengan situasi yang menekan dirinya, NP memberi pengertian pada orangtuanya dan berusaha untuk cepat lulus dengan menyicil skripsi dan berkonsultasi.

“Kasih pengertian ke orangtua terus tetap usaha untuk cepat lulus kayak nyicil skripsinya, konsultasi, kayak gitu sih, meyakinkan orangtua aja sih (NP, W2, 28-07-2016, 754-756)”.

NP juga memiliki permasalahan dengan ibu mertuanya. Hal ini ditunjukan dari hasil wawancara pada saat NP bercerita bahwa di awal pernikahannya NP dan ibu mertuanya tidak bertegur sapa dan saling cuek. NP merasa sedih sekaligus jengkel.

“Hehe.. judes banget beneran. Heem beneran judes galak banget mukanya. Awal-awalnya tuh apa ya bulan pertama, kedua apa ya istilahnya diem-dieman gitu, cuek-cuekan tapi setelah itu udah biasa (NP, W1, 20-07-2016, 565-567, 575)”. Ketika mengalami permasalahan seperti di atas, NP menceritakan perasaannya kepada sang suami. NP juga memikirkan cara agar bisa menjalin hubungan yang akrab dengan ibu mertuanya.

“...tapi rasa sedih sama jengkelnya itu aku sering cerita sama DM... Ee aku mikirnya gimana caranya aku bisa deket sama mamanya. Ya apa ya berusaha lebih akrab misalnya disuruh apa ikutin aja (NP, W1, 20-07-2016, 575-576, 598-600)”.

3) Hambatan Lingkungan Medis

NP belum bisa melahirkan sehingga ia diminta oleh bidan untuk jalan menuju ruang bersalin agar mempercepat proses bersalin.

Namun, bidan tersebut meninggalkannya dan pengajian di lantai dua. NP merasa takut dan sangat marah pada saat itu.

“Trus diperiksa sama bidannya itu baru pembukaan berapa 4 atau 5. Jadi saya tuh harus jalan mondar mandir gitu kan biar cepat pembukaan gitu kan. Terus pas sa sudah sakit sekali mau pembukaan terakhir itu saya disuruh ke ruang operasi ke ruang bersalin. Itu disuruh jalan kaki hahaha pas di tengah jalan sa kaki sudah tidak bisa gerak trus pake kursi roda ke ruang bersalinnya. Trus sampe dicek lagi belum pembukaan lagi padahal itu saya perut sudah kram sakit sekali kayak nahan kencing nahan pup gitu… Kurang ajar skali. Pengajiannya di lantai 2 hahhaha.. (NP, W1, 20-07-2016, 360-370). Apa ya emosi karena kenapa sempat-sempatnya itu harus pengajian padahal kan ada bidan-bidan yang jaga kan soalnya ada pasien juga ada yang mau melahirkan juga, kenapa tidak dijaga, hanya ada office boy saja… Ya emosi itu, emosi marah kenapa tidak ada yang jaga kan sa pengen tau to kenapa sakit perut begitu, kan pengen tau to, takut to akhirnya sa marah-marah (NP, W2, 28-07-2016, 305-313)”.

Pada saat mengalami hambatan di lingkungan medis, NP dibantu oleh ibunya.

“Mamaku cari bidannya kan, ternyata bidannya itu pengajian (NP, W1, 20-07-2016, 368-369)”.

4) Tuntutan Akademik

NP memiliki tugas kelompok membuat artwork yang membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya. NP hanya bisa pergi ke Jogja jika orangtua dan suaminya tidak sibuk dan bisa menjaga anak.

“Ketika orangtuaku udah free aja, baru aku bisa pergi ke Jogja kayak gitu. Kalo ga ya pas apa ya pas hari Sabtu apa Minggu ketika DM juga free. Kayak misalnya SPD kemaren

tuh bikin artwork kelompok gitu kan jadi kita harus bikin semut.. semut.. bikin semut gede raksasa gitu... Iya kami bikinnya tuh dari kawat sama kacang kedelai. Jadi harus tempel.. tempel tempel... E eem jadi kawat dilapis gitu trus ditempel gitu pokoknya bikin kayak keadaan semut lagi ada batang-batangnya gitu dia saling membantu gitu kan. Itu kan perlu waktu (NP, W1, 20-07-2016, 1086-1091, 1093-1094, 1096-1098)”.

NP yang memiliki tuntutan akademik menyatakan bahwa ia berusaha untuk membagi waktu antara tuntutan akademik dan tanggung jawab berumah tangga agar dapat terselesaikan. NP juga menilai bahwa teman-temannya dapat memahami keadaan dirinya. Berikut ini merupakan kutipan wawancaranya.

“E.. bagi waktu ya, sa harus pintar-pintar bagi waktu... jadi itu pas minggu ke berapa itu aku nagajakin TT sama DM kita ke Jogja bareng. Trus bantuin e apa ngerjain itu, nyelesein. Kayak gitu sih aku bagi waktunya (NP, W1, 20-07-2016, 1084, 1098-1101)... itu kan kebetulan teman-temanku juga pengertian (NP, W1, 20-07-2016, 1085)”.

NP memiliki tuntutan akademik yang mengharuskannya untuk turun lapangan. Pada saat yang sama, anak NP sakit dan tidak ada yang menjaganya. Sementara itu, teman NP marah dan memaksanya untuk datang dari Klaten ke Yogyakarta.

“Tapi ada kalanya, dulu tuh pas apa ya Manajemen Sekolah apa ya. Itu kan mengharuskan untuk turun ke lapangan, turun ke sekolah gitu jadi bikin biografi sekolah, masukan ke Wikipedia, dan waktu itu pas aku udah melahirkan sih. TT masih kecil masih mudah sakit, flu gitu kan dan temenku itu, temen kelompokku itu ada satu orang dia tuh ga suka banget gitu lho. Sa su bingung waktu itu bagemana cara menyelesaikannya kan. Jadi kan aku ijin, sempat ijin ga bisa

datang untuk japok. Dia tuh sempat marah-marah gitu dan memaksa aku untuk datang ke Jogja dari Klaten. Padahal tuh yang.. yang rewang yang jaga anakku tuh tidak ada, ya ada tapi dia tuh mau ngerawat sodaranya yang meninggal. Jadikan TT harus ditinggal ga ada yang jaga kan, aku tuh sampai di situ aku nangis-nangis (NP, W1, 20-07-2016, 657-669)”. Ketika NP menghadapi situasi sulit seperti yang diutarakan, NP bertindak untuk mencari bantuan pada ibunya.

“Nangis sama mamaku, ‘mah.. ki TT gimana, siapa yang jaga’ (NP, W1, 20-07-2016, 670-671)”.

5) Permasalahan dalam Kehidupan Rumah Tangga terkait dengan Suami dan Anak

NP merasa bingung dan repot ketika suami dan anaknya sakit. Anaknya hanya menangis dan tidak mau makan. Sementara suaminya yang sakit hanya tidur dan tidak mau makan.

“...dukanya lagi tuh kalau suami dan anak sakit. Anak kalau sakit tuh tidak mau minum obat tidak mau makan tapi menangis terus. Kalau si DM tuh sakit tuh dia cuma malas cuma mau tidur terus saja dia tidak mau makan tidak mau minum jadi repot sendiri sih jadi bingung tuh loh harus ngambil sikap gimana (NP, W2, 28-07-2016, 103-108)”.

NP mengupayakan untuk membawa anaknya ke rumah sakit dan meminta bantuan pada orangtuanya. NP juga menegur suaminya dan menunjukan wajah cemberut.

“Kalo misalnya anak sakit ya dibawa ke rumah sakit dan kalo misalkan dapat obat yang dikasih minum dan dicoba terus saja tapi minta bantuan sama orangtua soalnya masih satu rumah kan. Minta bantuin minumin jadi dipegangin gitu, kayak gitu. Terus kalo untuk DM sakit itu apa ya.. dipaksa terus sa pasang

muka cemberut, sama sa marah-marah karena dia tidak tidak mau menanggapi, tidak mau respon begitu. Terus pas sa pasang muka cemberut, baru dia mau minum obat, padahal itu buat kesehatannya sendiri (NP, W2, 28-07-2016, 115-122)”. Adapula permasalahan lain ketika NP kecewa dan marah pada suaminya karena sepulang kerja suami NP tidak pulang ke rumah tetapi main bersama teman-temannya dan tidak mengkomunikasikan hal tersebut. Sementara itu, anak NP di rumah mempertanyakan keberadaan ayahnya.

“Perasaannya ya kecewa sih agak kecewa sama si DM karena dia tuh lebih apa ya lebih mendahulukan kegiatannya dia. Soalnya dia tuh kadang-kadang kerjanya tuh pulangnya jam 6 sore tapi pulang sampe rumah tuh jam 10 malam, jam 12 malam, dia tuh main di Paingan sini sama temen-temennya. Itu yang kadang-kadang kalo misalnya dia ga cerita kalo lagi di Paingan sama temen-temennya itu yang kadang bikin emosi sendiri... Tapi kekurangannya dia tuh dia cuma dia tuh ga jujur kalo apa ya kalo dia pulang kantor tuh ga langsung pulang ke rumah. Kalo mo main sama temennya tuh ga bilang dulu. Itu kan apa ya, yang bikin aku dan TT tuh nungguin di rumah soalnya TT kan tau. Udah udah ngerti kan sekarang. ‘papa pulang jam berapa’ dia udah liat jam, udah tau jam. ‘kok belum pulang, papa mana’ tau tau udah malam, udah pagi gitu ‘papa kemaren mana.. mana.. ke mana’. Ya suka kayak gitu, ya aku harus jawab apa coba (NP meninggikan intonasinya). Makanya aku kadang-kadang emosi sendiri tu lho, dia kok ga bisa berubah. (NP, W1, 20-07-2016, 793-800, 815-826). Emosi itu apa ya mungkin dalam hal lebih sering sih dalam hal komunikasi soalnya DM tuh orangnya gak suka, bukan gak suka sih tapi sulit berkomunikasi. Gak hanya dengan aku istrinya, tapi dengan orangtuanya, dengan teman-temannya juga kayak gitu, dengan bosnya juga kayak gitu. Jadi kalo hubungi terus dia lagi malas, beneran gak direspon sama sekali. Itu yang kadang bikin emosi gitu lho, soalnya kalo

Dokumen terkait