• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Untuk mengetaui bagaimana penggunaan hak pilih untuk tidak memilih dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), maka perlu untuk mengetahui bagaimana pengaturan hak pilih tersebut dalam UUD 1945, UU yang berkaitan dengan HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU yang mengatur mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) yaitu UU No. 10 Tahun 2008.

a. Pengaturan Hak Pilih dalam UUD 1945

UUD 1945 mengatur mengenai hak pilih tidak secara tersirat, namun masuk dalam poin beberapa pasalnya. Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan mengenai kesetaraan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Hak pilih merupakan hak politik setiap warga negara sebab dengan hak tersebut, setiap warga negara memiliki kedudukan di dalam pemerintahan sebab warga negara lah yang menentukan siapa yang dapat duduk di dalam pemerintahan itu.

Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM

dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumen- instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam bab yang terdiri dari 37 pasal tersebut, pengaturan mengenai penggunaan hak pilih dapat ditemukan dalam Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2).

Setiap orang tetap memiliki batasan berupa kewajiban yang ditetapkan dengan undang-undang dalam menjalankan hak dan kebebasannya, termasuk dalam penggunaan hak pilihnya. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

b. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai hak asasi manusia dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Universal Declaration of Human Right, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain. Dalam UU tersebut, rincian pengaturan mengenai hak asasi manusia terbagi atas:

2. Hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/ atau tidak dihilangkan nyawa (Pasal 9)

3. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturuan (Pasal 10) 4. Hak mengembangkan diri (Pasal 11-Pasal 16)

5. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-Pasal 19) 6. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-Pasal 27) 7. Hak atas rasa aman (Pasal 28-Pasal 35)

8. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36- Pasal 42)

9. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43, Pasal 44) 10. Hak Wanita (Pasal 45-Pasal 51)

11. Hak Anak (Pasal 52-Pasal 66)

12. Hak atas kebebasan beragama (Pasal 22)

HAM menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam Undang-undang yang terdiri dari 11 bab dan 106 pasal tersebut, pengaturan mengenai hak pilih terletak dalam Bagian Kedelapan mengenai Hak Turut Serta dalam Pemerintahan Pasal 43 ayat (1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil seseuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Dalam ayat (2) disebutkan bahwa, “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau denga perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.”

UU No. 39 Tahun 1999 telah mengatur penggunaan hak pilih sebagai bagian dari hak politik seseorang dalam Pasal 23. Pasal 23 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.” Sedangkan Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/ atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Dengan demikian, UU No. 39 Tahun 1999 telah secara tegas mengatur mengenai hak pilih berikut penggunaan hak pilih tersebut. Setiap orang memiliki hak atas kebebasan pribadinya termasuk untuk menggunakan hak yang dimilikinya tersebut. Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur mengenai hak untuk memilih, bukan kewajiban untuk memilih, dan bahwa hak tersebut telah dijamin serta dilindungi oleh undang-undang. Sehingga, karena setiap individu memiliki kebebasan pribadi dalam memilih serta mempunyai keyakinan politiknya maupun bebas dalam berpendapat sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999, maka tidak ada larangan bagi seseorang ketika akhirnya dia memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau no vote decision yang lebih dikenal dengan istilah golput.

c. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik)

International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Dengan demikian, Negara yakni pemerintah terikat untuk menjalankan kewajiban- kewajibannya di bawah kovenan tersebut. Pada sisi yang lain, setiap orang

yang tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan dan perlindungan hak-hak asasinya. Penghormatan dan perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya. ICCPR memuat 24 hak dasar, yaitu :

1. Pasal 1 Hak untuk menentukan nasib sendiri.

2. Pasal 3 Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. 3. Pasal 6 Hak untuk hidup.

4. Pasal 7 Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

5. Pasal 8 Hak untuk bebas dari perbudakan, perhambaan dan pekerjaan paksa.

6. Pasal 9 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi. 7. Pasal 10 Hak atas sistem penahanan yang manusiawi.

8. Pasal 11 Hak atas kebebasan dari pemenjaraan atas dasar ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual.

9. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan pilihan tempat tinggal. 10. Pasal 13 Kebebasan orang asing dari pengusiran semena-mena.

11. Pasal 14 Hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya. 12. Pasal 15 Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut. 13. Pasal 16 Hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum. 14. Pasal 17 Hak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi (privacy). 15. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. 16. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. 17. Pasal 20 Larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian.

18. Pasal 21 Hak atas perkumpulan damai. 19. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat.

20. Pasal 23 Hak atas pernikahan dan membentuk keluarga. 21. Pasal 24 Hak-hak anak.

22. Pasal 25 Hak-hak politik.

23. Pasal 26 Hak atas kedudukan yang sama di depan hukum. 24. Pasal 27 Hak-hak minoritas etnis, agama atau bahasa.

Hak-hak politik sebagai salah satu hak yang diakui dan dilindungi oleh ICCPR diwujudkan dalam bentuk hak warga negara untuk turut serta memilih atau dipilih dalam pengisian jabatan-jabatan publik, baik di pemerintah atau eksekutif maupun badan perwakilan rakyat (badan legislatif).

Lebih lanjut ICCPR menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18), hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19). Hak politik sebagaimana tercantum dalam pasal 25 memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya.

Maka, sejalan dengan UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ICCPR yang telah disahkan dalam UU No. 12 Tahun 2005 memberikan hak pilih sebagai hak asasi manusia, demikian pula dengan penggunaan hak pilih tersebut.

d. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum disahkan pada tanggal 31 Maret 2008 sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631) sebagaimana tercantum dalam Pasal 319 UU No. 10 Tahun 2008.

Hak memilih dalam UU No. 10 Tahun 2008 tercantum dalam Pasal 19 dan Pasal 20. Pasal 19 menyatakan bahwa yang memiliki hak untuk memilih adalah:

1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin

2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.

Sedangkan Pasal 20 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa, “Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih”.

Undang-undang ini tidak menjelaskan bahwa hak pilih dan penggunaannya merupakan bagian dari HAM, tetapi undang-undang ini adalah pelaksanaan jaminan Pemerintah Republik Indonesia atas hak politik setiap orang. Melalui undang-undang ini, maka UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah dijabarkan dalam

pelaksanaan demokrasi prosedural berupa Pemilihan Umum yang telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang golput dalam Perspektif HAM MUI didirikan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama dan cendekiawan Islam di Indonesia. Ide terbentuknya suatu organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lain dimaksudkan agar organisasi ini mampu melakukan ijtihad untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum Islam dari sumber hukum asalnya. Terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang timbul di alam Indonesia (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41).

Sejak didirikan pada 26 Juli 1975, MUI telah menjadi lembaga yang mengeluarkan banyak fatwa dalam berbagai bidang termasuk sosial kemasyarakatan. Berikut data beberapa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI.

No. Tanggal Tentang

Fatwa

Ketentuan Hukum

1 21 Mei 2005 Aborsi 1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). 2. Aborsi dibolehkan karena

adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat

3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

2 25 Oktober 1997 Nikah Mut’ah Haram 3 27 Januari 2009 (Forum Ijtima Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia 2009)

Merokok Makruh, diharamkan bagi anak-anak, remaja, perempuan hamil dan merokok di tempat umum. Penggunaan hak pilih untuk tidak memilih (Golput)

Golput haram hukumnya bila masih ada pemimpin yang layak pilih. Bila tidak ada pemimpin yang layak dipilih, maka tetap harus memilih calon yang baik dari yang terburuk.

Senam Yoga

Yoga yang murni mengandung ritual dan spiritual agama lain, hukumnya bagi orang Islam adalah haram. Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya haram, sebagai langkah preventif. Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk kesehatan hukumnya mubah (boleh).

Pernikahan Dini

Pernikahan dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika diduga

Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang berdampak pada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan,

pemerintah diminta untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Vasektomi Haram

Bank mata dan organ tubuh lain

Masalah donor, transplantasi, dan bank mata merupakan fikih yang bersifat kemasyarakatan. Oleh karena itu untuk

menghindarkan hal-hal yang bersifat negatif yang tidak kita inginkan aplikasinya,

pemerintah diminta mengeluarkan pengaturan lewat undang-undang

kesehatan, untuk menegakkan kemaslahatan dan

menghindarkan diri dari penyimpangan.

Konsumsi makanan halal

Produsen yang telah

memperoleh sertifikat Halal wajib menjaga status kehalalan produknya melalui penerapan Sistem Jaminan Halal

ditetapkan oleh LP-POM MUI. Pemerintah wajib mengawasi kehalalan produk. Pemerintah dan DPR-RI diminta untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tentang Jaminan Halal. Zakat Perusahaan Wajib 4 Maret 1984 Adopsi (pengangkatan anak)

1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). 2. Mengangkat (adopsi)

dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari'ah Islam.

3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan

Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,

mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang

terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh agama Islam.

4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga

merendahkan martabat bangsa.

Sumber: www.republika.com, www.mui.co.id Indonesia adalah negara hukum yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan untuk berserikat. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengeluarkan pikirannya, baik dengan lisan maupun tulisan. Dinyatakan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Pasal 22 International Covenant for Civil and Political Right (ICCPR) yang telah disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005 memberikan hak setiap orang atas kebebasan berserikat. Diratifikasinya pasal tersebut tersebut semakin menegaskan penghormatan negara Republik Indonesia atas kebebasan berserikat. MUI adalah salah satu wujud dari kebebasan berserikat tersebut.

Dokumen terkait