• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam

zu’ama dan cendekiawan Islam di Indonesia. Ide terbentuknya suatu organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lain dimaksudkan agar organisasi ini mampu melakukan ijtihad untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum Islam dari sumber hukum asalnya. Terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang timbul di alam Indonesia (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41).

Sejak didirikan pada 26 Juli 1975, MUI telah menjadi lembaga yang mengeluarkan banyak fatwa dalam berbagai bidang termasuk sosial kemasyarakatan. Berikut data beberapa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI.

No. Tanggal Tentang

Fatwa

Ketentuan Hukum

1 21 Mei 2005 Aborsi 1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). 2. Aborsi dibolehkan karena

adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat

3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

2 25 Oktober 1997 Nikah Mut’ah Haram 3 27 Januari 2009 (Forum Ijtima Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia 2009)

Merokok Makruh, diharamkan bagi anak-anak, remaja, perempuan hamil dan merokok di tempat umum. Penggunaan hak pilih untuk tidak memilih (Golput)

Golput haram hukumnya bila masih ada pemimpin yang layak pilih. Bila tidak ada pemimpin yang layak dipilih, maka tetap harus memilih calon yang baik dari yang terburuk.

Senam Yoga

Yoga yang murni mengandung ritual dan spiritual agama lain, hukumnya bagi orang Islam adalah haram. Yoga yang mengandung meditasi dan mantra atau spiritual dan ritual ajaran agama lain hukumnya haram, sebagai langkah preventif. Yoga yang murni olahraga pernafasan untuk kesehatan hukumnya mubah (boleh).

Pernikahan Dini

Pernikahan dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika diduga

Untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang berdampak pada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan,

pemerintah diminta untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Vasektomi Haram

Bank mata dan organ tubuh lain

Masalah donor, transplantasi, dan bank mata merupakan fikih yang bersifat kemasyarakatan. Oleh karena itu untuk

menghindarkan hal-hal yang bersifat negatif yang tidak kita inginkan aplikasinya,

pemerintah diminta mengeluarkan pengaturan lewat undang-undang

kesehatan, untuk menegakkan kemaslahatan dan

menghindarkan diri dari penyimpangan.

Konsumsi makanan halal

Produsen yang telah

memperoleh sertifikat Halal wajib menjaga status kehalalan produknya melalui penerapan Sistem Jaminan Halal

ditetapkan oleh LP-POM MUI. Pemerintah wajib mengawasi kehalalan produk. Pemerintah dan DPR-RI diminta untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tentang Jaminan Halal. Zakat Perusahaan Wajib 4 Maret 1984 Adopsi (pengangkatan anak)

1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). 2. Mengangkat (adopsi)

dengan pengertian anak tersebut putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari'ah Islam.

3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan

Agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,

mengasuh dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri adalah perbuatan yang

terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh agama Islam.

4. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 34, juga

merendahkan martabat bangsa.

Sumber: www.republika.com, www.mui.co.id Indonesia adalah negara hukum yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, termasuk kebebasan untuk berserikat. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengeluarkan pikirannya, baik dengan lisan maupun tulisan. Dinyatakan bahwa, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Pasal 22 International Covenant for Civil and Political Right (ICCPR) yang telah disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005 memberikan hak setiap orang atas kebebasan berserikat. Diratifikasinya pasal tersebut tersebut semakin menegaskan penghormatan negara Republik Indonesia atas kebebasan berserikat. MUI adalah salah satu wujud dari kebebasan berserikat tersebut.

B.PEMBAHASAN

1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih dalam Perpektif Hak Asasi Manusia

Dalam praktik kehidupan demokrasi, konstitusi merupakan perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam sebuah negara, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan upaya-upaya penegakan hukum (Majda el Muhtaj, 2008: 60). Menurut Jimly Asshidiqie sebagaimana dikutip oleh Majda el Muhtaj, kehadiran Konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi sebuah negara. Konstitusi tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak rasional dan kedudukan hak serta kewajiban warga negara. Konstitusi merupakan social contract antara yang diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (penguasa, pemerintah) (Majda el Muhtaj, 2008: 61).

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Setelah mengalami empat kali amandemen, UUD 1945 merupakan sebuah Konstitusi yang memadai sebagai dasar hukum bagi bekerjanya Sistem politik,

hukum dan pemerintahan yang demokratis, di mana perlindungan hak sipil dan politik memperoleh tempat yang semestinya. Negara Hukum Demokratis (NHD) Indonesia sebagaimana tersirat dan tersurat dalam UUD 1945 mensyaratkan hadirnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat mampu melakukan kontrol terhadap perilaku Negara. Masyarakat sipil sering dinilai sebagai kunci untuk mencapai NHD, dimana demokrasi dan kedaulatan hukum berjalan (Abdul Hakim G. Nusantara, 1998:9). Melalui Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UUD 1945 memberikan pengakuan serta jaminan atas hak pilih berikut penggunaaan hak pilih tersebut yang harus sesuai dengan pikiran serta hati nurani masing-masing warga negara.

Pasal 28D ayat (3) menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Pasal 28I ayat (1) menyatakan bahwa, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun.” Oleh karena itu, sesungguhnya hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara yang termasuk dalam hak asasi manusia, namun penggunaan hak pilih tersebut juga merupakan hak asasi manusia. Setiap warga negara memiliki kemerdekaan penuh untuk menggunakan hak pilihnya sebab dalam Pasal 28I ayat (1) dinyatakan bahwa kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. Penggunaan hak pilih tersebut merupakan hak pribadi menurut pikiran dan hati nurani masing-masing warga negara. Setiap warga negara berhak untuk menentukan siapa yang akan dipilih dalam Pemilu, bahkan bebas untuk tidak memilih apabila hal tersebut sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya.

UU No. 39 Tahun 1999 merupakan payung hukum dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Setiap peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dan

harus merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia oleh karenanya akan dikenakan sanksi pidana, perdata, dan/ atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam UU payung tersebut, hak pilih yang menjadi bahan penelitian dari penulis dapat digolongkan menjadi hak asasi manusia. Ia adalah hak politik, dan kebebasan dasar yang melekat pada setiap individu. Penggunaan hak pilih bergantung sepenuhnya pada individu itu sendiri. Tidak ada satu alasan pun yang dapat dijadikan alasan intervensi atas hak tersebut.

Namun demikian, sama seperti UUD 1945, dalam UU No. 39 Tahun 1999 ini juga dikenal adanya kewajiban dasar yang tentunya membatasi hak serta kebebasan dasar setiap individu. Pasal 1 angka 2 UU No. 39 Tahun 1999 menjelaskan bahwa, “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.” Dalam UU tersebut, rincian kewajiban dasar manusia adalah sebagai berikut:

1. Pasal 67

Setiap orang yang berada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

2. Pasal 68

Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Pasal 69 ayat (1)

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 4. Pasal 69 ayat (2)

Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.

5. Pasal 70

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Dalam kaitannya dengan hak pilih sebagai kebebasan dasar manusia, maka diperlukan batasan dari peraturan perundang-undangan lain yang menentukan kewajiban dasar yang melekat pada hak pilih setiap orang.

Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right melalui UU No. 12 Tahun 2005 semakin menegaskan pengakuan dan jaminan Negara Republik Indonesia terhadap hak sipil dan politik warga negara. Baik UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 memberikan jaminan atas hak pilih sebagai bagian dari hak politik warga negara. Selain jaminan atas hak pilih, ketiga peraturan perundang-undangan tersebut juga mengakui kemerdekaan berpikir maupun berpendapat sehingga penggunaan hak pilih tersebut menjadi hak penuh warga negara. Pada akhirnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang melarang adanya penggunaan hak pilih untuk tidak memilih, golput, maupun no vote decision sebab sesungguhnya hal tersebut sepenuhnya menjadi hak setiap warga negara.

Terkait dengan kewajiban dasar yang mengikuti kebebasan dasar manusia dalam hal ini adalah hak pilih dan penggunaan hak pilih, maka dalam UU No. 10

Tahun 2008 ini diberikan batasan pada kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, serta keyakinan politik seseorang. Hal tersebut ditunjukkan dengan tercantumnya larangan dan ketentuan pidana bagi seseorang yang mengajak, membujuk, atau menganjurkan orang lain untuk golput. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 87 untuk larangan mengajak atau menganjurkan golput dan Pasal 274, 286, dan 287 untuk ketentuan pidananya. UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum memberikan batasan larangan bagi pelaksana kampanye untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain agar peserta kampanye tidak menggunakan hak pilihnya atau membuat orang lain menggunakan hak pilihnya agar hak pilih tersebut tidak sah. Hal tersebut disebutkan dalan UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 87, “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar:

a. tidak menggunakan hak pilihnya;

b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;

c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;

d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau

e. memilih calon anggota DPD tertentu,

dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Pelaksana kampanye yang menganjurkan seseorang untuk golput ini, berlaku ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 274 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 274 menyatakan bahwa, “Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)

bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.

Selain ancaman pidana bagi pelaksana kampanye yang menganjurkan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya agar hak pilihnya tersebut tidak sah, UU No. 10 Tahun 2008 juga memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang bukan hanya pelaksana kampanye, yang menganjurkan seseorang untuk golput, baik dengan tidak menggunakan hak pilihnya maupun menggunakan hak pilihnya namun sengaja untuk membuat hak pilihnya tersebut tidak sah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 286 dan 287 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 286 UU No. 10 Tahun 2008 memberikan ancaman pidana pada seseorang yang menganjurkan golput dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain sebagai imbalan. Pasal ini menyatakan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

Adapun Pasal 287 UU No. 10 Tahun 2008 memberikan ancaman pidana bagi seseorang yang menggunakan kekerasan atau ancaman agar orang lain golput. Dinyatakan dalam pasal ini bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”

2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Indonesia adalah negara hukum. HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa jaminan perlindungan HAM merupakan elemen esensial konstruk Indonesia modern (Majda el Muhtaj, 2008: 59). Hal tersebut telah dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum menurut Djokosutono adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subjek hukum dalam arti Rechtstaat (badan hukum publik). Oleh sebab itu, menurut Sudargo Gautama, dalam negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap perseorangan sebab Negara tidaklah Maha Kuasa sehingga tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Batasan itulah yang mencirikan apakah suatu negara merupakan negara hukum.

Para ahli Eropa Kontinental menyebut negara hukum sebagai rechstaat, sedangkan ahli hukum Anglo Saxon memakai istilah rule of law (Masyur Effendi, 2005: 42). Stahl menyebutkan empat unsur rechtstaat, yaitu pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM), pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan unsur rule of law, menurut A.V. Dicey adalah HAM dijamin lewat undang-undang, persamaan kedudukan di muka hukum (equalitiy before the law), dan supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) serta tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.

Dalam konferensi Internasional di Bangkok pada tahun 1965, International Commission of Jurists memperluas konsep Rule of Law dari A.V. Dicey dan Immanuel Kant. Dalam menerapkan ‘the dynamics of The Rule of Law’, terdapat syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law. Syarat-syarat tersebut adalah:

2. perlindungan atas hak-hak individu serta penentuan cara proseduril untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin

3. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak 4. pemilihan umum yang bebas

5. kebebasan untuk menyatakan pendapat

6. kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi 7. pendidikan kewarganegaraan (civic education)

Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum, yaitu:

1. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum atau peraturan pernundang-undangan;

2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia; 3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle). Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggungjawab atas tegaknya supremasi hukum (Majda el Muhtaj, 2005: 93). Jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia (Majda el Muhtaj, 2005: 94).

Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran keterlibatan negara dalam pemenuhan HAM. Pembagian ini tidak berdasarkan baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya (Rusi Patria Medhawati, 2009:31).

Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, bila negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka semakin terhambat pula pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya. Peminimalisiran peran negara dalam pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty).

Pengakuan dan perlindungan universal atau jaminan normatif atas terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (international covenant on economic, social and culture rights). Ada sepuluh hak yang diakui dalam kovenan tersebut. Hak-hak tersebut dapat diuraikan sebaagai berikut. Pertama, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kedua, hak atas pekerjaan. Ketiga, hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, peluang karir dan liburan. Keempat, hak berserikat dan mogok kerja bagi buruh. Kelima, hak atas jaminan sosial. Keenam, hak atas perlindungan keluarga termasuk ibu dan anak. Ketujuh, hak atas standar hidup yang layak, yakni sandang, pangan dan perumahan. Kedelapan, hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat. Kesembilan, hak atas pendidikan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan.

Dengan adanya pengakuan HAM dalam konstitusi Indonesia serta peraturan perundang-undangan lain, maka baik MUI maupun pilihan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput mendapatkan tempatnya masing-masing. Namun demikian, sebagai negara hukum yang mendasarkan setiap aktivitas kenegaraan pada hukum, maka fatwa yang dikeluarkan MUI itu sendiri belum mendapatkan kepastian hukum mengenai nilai hukumnya.

MUI adalah organisasi yang berusaha semaksimal mungkin menangani, menyelesaikan, dan mengeluarkan fatwa keagamaan hukum Islam dengan model dan ala Indonesia, yang tentunya tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum Islam yakni Al Qur’an dan Al Hadist. Sebab dalam majelis ini berkumpul

para ahli/ pakar, sehingga persoalan yang timbul dapat diecahkan dengan pelbagai disiplin ilmu (interdisipliner) yang diarahkan agar hukum Islam dapat diterapkan dan diaplikasikan secara proporsional (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41).

Fatwa memiliki interdependensi dengan ijtihad sebab hasil ijtihad para ahli atau ulama dilahirkan dalam bentuk fatwa (Rohadi Abd. Fatah, 1991:41). Dilihat dari jumlah pelakunya, ijtihad terbagi atas ijtihad individual dan ijtihad kolektif. Ijtihad individual adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja. Sedangkan ijtihad kolektif adalah ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persolan hukum tertentu (Mohammad Daud Ali, 2005:117). Oleh karena itu, fatwa sebagai hasil ijtihad juga terbagi atas dua bentuk yaitu fatwa perorangan dan fawa kolektif. Fatwa perorangan merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama, sebagai contoh adalah fatwa Syekh Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, dan fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal. Fatwa kolektif merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh suatu lembaga atau komisi yang bersifat kolektif. Fatwa MUI termasuk dalam Fatwa Kolektif karena dikaji dan ditetapkan melalui komisi fatwa.

Fatwa MUI ada tiga macam. Pertama adalah fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika. Kedua adalah fatwa tentang perekonomian Islam, dan ketiga adalah fatwa tentang masalah sosial seperti masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan. Penetapan fatwa tentang kehalalan produk makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI bekerjasama dengan LP. POM MUI. Komisi Fatwa menetapkan kehalalannya berdasarkan hasil penelitian dan auditing LP POM MUI. Sedangkan fatwa tentang masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya dikaji dan ditetapkan Komisi Fatwa MUI. Penetapan fatwa oleh MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif (Wajidi Sayadi, 2009: http://pontianakpost.com).

Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat

Dokumen terkait