• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

79

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Rizkyasri Suminar Putri NIM. E 0005276

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF

HAK ASASI MANUSIA

Disusun oleh :

RIZKYASRI SUMINAR PUTRI NIM : E. 0005276

Disetujui untuk Dipertahankan

Pembimbing I

SUNARNO DANUSASTRO, S.H., MH NIP. 130 516 359

Pembimbing II

(3)

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF

HAK ASASI MANUSIA

Oleh

RIZKYASRI SUMINAR PUTRI NIM. E. 0005276

Telah diterima dan dipertahankan oleh di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada : Hari : Senin

Tanggal : 1 Februari 2010 DEWAN PENGUJI

1. Suranto, S.H, M.H : ... Ketua

2. Sunarno Danusastro, S.H., M.H : ... Sekretaris

3. DR. Hari Purwadi, S.H., M.Hum : ... Anggota

Mengetahui : Dekan,

(4)

MOTTO

Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kau selalu menghargai kemanusiaan,

baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan

hanya sebagai sarana, melainkan sekaligus sebagai tujuan.

(Immanuel Kant)

Agama ini untuk Allah, namun tanah air ini adalah milik kita semua

(pepatah Arab)

…maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani

memenangkan ¾ dunia!!!

(R.A. Kartini via Pramoedya Ananta Toer)

Sukses sering datang kepada orang yang berani bertindak. Jarang kepada

penakut yang tidak berani menerima konsekuensi.

(5)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya kecilku ini untuk ayahku dengan ketegasan dan sikap

keras sebagai dukungan luar biasa untuk mempersiapkan putrinya menjadi

orang dewasa yang bertanggungjawab,

Untuk ibuku yang senantiasa menyebut namaku di setiap doa dan sholat

malamnya serta kasih tulus dan cintanya yang tidak pernah bersyarat,

Untuk mbak Annie, yang masih bisaselalu tersenyum di setiap kondisi,

Untuk mbak Anna, atas lecutan semangat bahwa aku bisa, bahwa kita satu tak

(6)

PERNYATAAN

Nama : Rizkyasri Suminar Putri

NIM : E0005276

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi ini).

Surakarta, Januari 2010 Yang membuat pernyataan

(7)

ABSTRAK

RIZKYASRI SUMINAR PUTRI, 2010. PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pilihan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau no vote decision atau golongan putih (golput) termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan bagaimanakah nilai hukum dari fatwa haram MUI tentang golput tersebut dengan melakukan penelitian terhadap UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, menemukan jaminan HAM atas golput dan nilai hukum fawa haram MUI tentang Golput. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu UUD 1945, UU UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah studi kepustakaan dan cybermedia. Dalam melakukan analisis bahan hukum digunakan logika deduksi dan interpretasi atau penafsiran teleologis atau sosiologis, serta interpretasi sistematis untuk menjawab kedua permasalahan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu, penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau no vote decision atau golongan putih (golput) adalah hak politik seseorang yang merupakan kebebasan dasar dan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan atas golput sebagai bagian dari hak politik setiap orang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2), serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 25. Kedua, Fatwa haram MUI tentang Golput tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena fatwa bersifat saran dan anjuran, dan MUI bukan lembaga negara sehingga produk hukumnya tidak mengikat.

(8)

ABSTRACT included in Human Rights and how the legal value of the MUI’s fatwa on golput unlawful by doing research on UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election spending.

This research is a perscriptively normative legal research, finding Human Rights’s legal security of golput and legal value of MUI’s fatwa haram on golput, or fatwa ”undecided voters is forbidden”. The sources on legal materials that being used are of primary legal materials of UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election. Secondary law materials that should be applied as investigating material with the technique of collecting the law materials study documents or literary reviews both printed and electronic (internet) sources are used. The analysis of legal materials use deductive logic, the sociological or teleological interpretation and systematic interpretation to answer the both of research problems.

Based on research results and discussion, conclussion is being generated. The first one, the using of right to not vote or ‘no vote decision’ or golput is the political rights of person that is a basic freedoms and included in Human Rights. Legal security of goput as a part of the political rights of each person set forth in UUD 1945 (the constitution) Article 28D paragraph (3), Article 28I paragraph (1), and Article 28J paragraph (2); Act No. 39/ 1999 on Human Rights Article 23 paragraph (1), Article 23 paragraph (2), and Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights Article 18, 19, and 25. Second, unlawful MUI’s fatwa haram of golput not conflict with Human Rights because of legal opinion and recommendations are suggestion, and MUI is not the State Institution so that MUI’s rulling, so does fatwa, is not binding.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul : “PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”.

Penulisan hukum ini mencoba untuk mengetahui apakah keputusan seseorang untuk tidak memilih atau no vote decision atau yang biasa disebut dengan golput merupakan HAM atau tidak. Selain itu penulisan hukum ini juga membahas mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif HAM. Permasalahan golput, fatwa MUI, serta HAM merupakan hal yang menarik perhatian penulis. Fenomena golput akhir-akhir ini semakin merebak, dan hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka golput di berbagai pemilihan umum serta pemilihan umum daerah. Namun demikian, penulis merasa bahwa pengeluaran fatwa golput oleh MUI tersebut bukanlah sesuatu yang tepat. Oleh karenanya, dalam perspektif HAM, penulis kemudian mencoba untuk mengetahui nilai hukum dari fatwa golput haram MUI tersebut.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Suranto, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III dan atas segala bimbingan dan bantuan selama penulis menjadi mahasiswa.

(10)

pengarahan secara bijak kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan hukum ini.

4. Bapak DR. Hari Purwadi, S.H., M. Hum sebagai pembimbing yang telah berhasil memacu motivasi penulis untuk terus belajar.

5. Ibu Erna Dyah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis sebagai bekal untuk menggapai masa depan, beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Ayahku tercinta, Ibunda terkasih, Kakakku tersayang. Karena kalian aku ada dan berjuang untuk selesaikan kewajiban ini....

8. Untuk seseorang yang selalu sangat hidup dalam mimpiku. Guru terbaik atas semua yang terjadi, akan terjadi, dan telah tidak akan terjadi lagi. Menyerah bukan berarti kalah dan salah, sebab menyerah adalah karena banyak hal lain yang ternyata belum sempat dicintai. Selaksa rasa, berjuta pengalaman, dan akhirnya berakhir pada mengerti dan memaafkan.... Ternyata mencintai tidak cukup untuk saling memiliki. Namun mencintai memang untuk dapat saling memiliki, Kanda Rahmad Winarto S.H.

(11)

10. Ucapan terimakasih secara khusus untuk Okky Meidia Fajar, Arif Maulana S.H, Nurrahman Aji Utomo, Rendy Harindraputra S.Ked, dan Wisnu Wicaksono, yang bersedia meluangkan waktu serta memaklumi untuk terus membantu proses ini, dari berdiskusi, mengantar ke pembimbing hingga mengisikan printer,,,, J

11. Sahabatku tersayang Windarizti Yuniastried Putri dan Cahya Dwi Wardhani, terima kasih atas persahabatan yang telah kita jalin dengan hangat selama ini. 12. Kawan-kawan Kos Kinasih 2 shift A: Mbak Dian, Mbak Nova, Mbak Pinta,

Mbak Rina, Mbak Kristy, Mbak Harmy, Mbak Dinar, Te-Je.... dan Shift B: Achi, Mbak Niken, Rahma, Lita, Sari, Wury.... terimakasih, karena kalian terkadang aku tersadar bahwa aku perempuan juga... Senyum, dong?

13. Mayang Mayurantika S.H., semoga kita sudah sempat bersenang-senang karena kita memang akhirnya hanya menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan...terimakasih dan semoga kita masih bisa dipertemukan dengan kondisi yang jauh lebih baik.

14. Seluruh teman–teman program strata satu reguler Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2005 yang telah memberikan bantuan dan saran dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini.

15. Seluruh pihak yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis sendiri, kalangan akademis, praktisi serta masyarakat umum.

Surakarta, Januari 2010

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv

PERNYATAAN………. vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR BAGAN...xiv

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian……….. . 9

E. Metode Penelitian………...……… 10

F. Sistematika Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...17

A. Kerangka Teori ... 17

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum……… a. Hukum……….……….. 17

b. Arti Hukum ……….. 20

2. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia a. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia……….. 22

b. Tinjauan Tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia……….. 23

3. Tinjauan Tentang Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih ... 24

a. Tinjauan Tentang Hak Pilih ... 27

b. Tinjauan Tentang Golput ... 30

(13)

a. Pengertian Hukum Islam ………. 32

b. Jenis Sumber Hukum Islam ………...……….. 35

5. Tinjauan Tentang MUI dan Fatwa ……… 39

a. Tinjauan Tentang MUI ………. 39

b. Tinjauan Tentang Fatwa ……….. 41

B. Kerangka Pemikiran ... 44

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Hasil Penelitian ... 47

B. Pembahasan 1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ... ...59

2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ... ...64

BAB IV PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan... 77

B. Saran ... 77

(14)

DAFTAR BAGAN

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Golongan Putih (Golput) selalu menjadi fenomena di setiap perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu). Meningkatnya angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya cukup menjadi sorotan dalam setiap Pemilu. Rendahnya partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya tidak hanya terjadi dalam Pemilu Legislatif namun juga dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam Kompas edisi Selasa, 17 Juni 2008 dinsebutkan bahwa partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 %. Pada pemilu legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi turun menjadi 84,07 %. Adapun tingkat partisipasi pada Pemilu Presiden 2004 di putaran I dan putaran II masing-masing sebesar 78,23 % dan 77,44 %. (Kompas, 17/06/2008). Menurut catatan LBH Jakarta, persentase yang diperoleh golput pada Pemilu 2004 cukup signifikan yaitu 23,34%.

Dalam Pilkada yang diselenggarakan menjelang Pemilu 2009, angka Golput juga cukup tinggi. Di Jawa Timur, pada putaran pertama angka golputnya mencapai 39,20 %. Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 % dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 % atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 %. Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 % dan NTT 20 %. (http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/).

(16)

rakyat. Para anggota legislatif, Kepala Daerah maupun Presiden yeng terpilih pun akhirnya hanya mendapatkan legitimasi dari para pemilih aktif yang menggunakan hak pilihnya, bukan dari seluruh masyarakat. Pada akhirnya, ekses dari setiap kebijakan yang dikeluarkan Dewan Legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) masih sangat dimungkinkan untuk terjadi. Tidak maksimalnya pemerintahan dan pembangunan diprediksi dapat menjadi akibat lanjutan dari tingginya angka golput tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan golput sebagai topik populer untuk menjadi bahan perbincangan maupun diskusi. Banyak tokoh politik menghendaki adanya aturan tegas untuk melarang golput di dalam Pemilu 2009.

Lontaran pertama mengenai desakan untuk pengeluaran fatwa mengenai golput adalah dari Hidayat Nur Wahid, yang ketika itu menjabat menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kader dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua bulan sebelum Sidang Ijtima’ Komisi Fatwa MUI digelar di Padang Panjang, pada bulan November 2008, Hidayat Nurwahid mengusulkan fatwa haram golput tersebut. Saat menjawab pertanyaan wartawan tentang pendapatnya atas usulan Dien Samsudin tentang poros tengah jilid II ia menjawab,

Poros tengah jilid II berarti bicara tentang hasil pemilu. Sementara yang terjadi sekarang ini ada orang mengajak golput. Fenomena golput begitu meruyak di mana-mana. Golput pada Pilkada meninggi luar biasa (Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009).

MUI akhirnya mengeluarkan fatwa haram tentang golput. Fatwa tersebut dikeluarkan pada forum Ijtima’ Ulama III yang dihadiri para utusan pengurus MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI Daerah di Padang Panjang Sumatera Barat. Dalam forum yang berlangsung pada tanggal 24-25 Januari 2009 tersebut, juga dibahas mengenai masalah kontemporer lain seperti yoga, pernikahan usia dini, dan rokok (http://www.mediaumat.com/content/view/).

(17)

1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa,

2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama,

3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat,

4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib, dan 5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana

disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Secara lebih lanjut, MUI juga memberikan rekomendasi dari fatwa tersebut. Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas (amar makruf nahi munkar). Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi (http://biotis.co.id/felix/2009/01/29/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi/).

(18)

Ketika seorang individu dihadapkan pada posisinya sebagai umat muslim yang wajib untuk berpartisipasi dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya maka haram baginya untuk menjadi Golput. Namun, sebagai Warga Negara Indonesia, setiap individu memiliki kemerdekaan penuh atas dirinya. Termasuk dalam menyampaikan atau tidak menyampaikan pendapatnya. Bahkan, beberapa pelaku Golput menyatakan bahwa Golput pun merupakan cara untuk menyalurkan aspirasinya.

Istilah golput sendiri pertama kali muncul menjelang pemilu orde baru tahun 1971. Pencetus gerakan golput antara lain Arief Budiman, Julius Usman, dan Almarhum Imam Malujo Sumali. Kemunculan Golput terutama setelah terjadi ketidakpuasan sejak lahirnya UU No. 16/ 1969 dan Peraturan Menteri No. 12/ 1969 yang dinilai tidak demokratis dan dipaksakan oleh Partai Politik. Pada intinya, peraturan perundang-undangan tersebut telah mematikan tampilnya kekuatan politik baru dalam pemilu selain parpol-parpol yang sudah ada dan Golongan Karya (Golkar).

Golput ketika itu merupakan bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Golkar adalah pendukung terbesar dari kekuasaan orde baru.

Suharto’s “New Order” regime created Golkar, a progovernment party based on bureaucratic and military interests. The government also embarked on a development program that helped the economy grow by an annual average of 7 percent for three decades. By the 1990s, Suharto’s children and cronies were the major beneficiaries of state privatization schemes and in many cases ran business monopolies with little oversight (http://www.freedomhouse.org/).

(19)

Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah.

Di dalam wacana yang selama ini berkembang, Golput sesungguhnya tidak selalu murni kesengajaan. Apabila dicermati, terdapat tiga alasan yang menyebabkan munculnya golput. Pertama yaitu alasan administratif, misalnya yaitu nama pemilih yang bersangkutan tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT). Kedua adalah alasan teknis ketika pemilih tersebut tidak berada di lingkungan tempatnya terdaftar dalam DPT sehingga tentu saja tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Ketiga adalah alasan ideologis. Pemilih tersebut memang sengaja untuk tidak mempergunakan hak pilihnya karena berbagai hal. Diantaranya yang paling menonjol adalah karena mereka menganggap pemilu yang akan berlangsung tersebut tidak akan memberikan perbaikan maupun pengaruh positif apapun terhadap masyarakat.

Adalah sebuah realitas yang harus dihadapi, termasuk dalam Ketatanegaraan Indonesia, bahwa di Indonesia terdapat pluralitas agama yang tidak dapat dihindari.

Indonesia officially recognizes Islam, Protestantism, Roman Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. Members of unrecognized religions have difficulty obtaining national identity cards. Atheism is not accepted. Concern remains regarding the national government’s failure to respond to intolerance in recent years (http://www.freedomhouse.org/).

(20)

negara sekuler, yang secara tegas memisahkan antara kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama. Hal tersebut ditunjukkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 3, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaanyang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Pluralitas agama maupun dianutnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia tak jarang menjadi sebuah problematika bila berhadapan dengan sistem demokrasi dan hak asasi manusia yang diterapkan. Agama merupakan hak pribadi setiap individu yang otonom. Namun, hak tersebut memiliki implikasi sosial dalam masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Anshari Thayib, 1997: v).

Islam sarat dan menjunjung tinggi HAM, antara lain dengan disusunnya piagam Madinah. Sedangkan adanya anggapan adanya pengaruh HAM dari budaya barat sesungguhnya merupakan bagian dari sifat universal HAM itu sendiri. Sehingga HAM perlu dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan muatan adat dan agama serta nilai-nilai universalnya.

HAM merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, di negara maju pun HAM merupakan isu yang tak pernah berhenti dibicarakan. Untuk dapat berbicara tentang HAM dengan baik, seseorang memerlukan komitmen yang tulus. Komitmen yang tulus selalu berakar dalam kesadaran tentang makna dan tujuan hidup, yang umumnya diajarkan oleh agama. Tanpa akar keagamaan, pengertian tentang HAM dan komitmen kepada nilai-nilainya dapat terasa hambar dan dangkal (Nurcholis Madjid, 1997: 57).

(21)

Berbagai persoalan kemudian dibenturkan terhadap fatwa tersebut, termasuk masalah HAM.

Pascaperang Dunia II, terdapat banyak kecaman terhadap ekses-ekses dalam industrialisasi dan sistem kapitalis sehingga muncul paham bahwa pemerintah dilarang campurtangan dalam bidang sosial ekonomi. Namun, paham staats-onthouding dan laissez faire tersebut lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa

pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada perkembangannya, negara tersebut dikenal sebagai Welfare State (Negara Kesejahteraan) maupun Social Service State (negara yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat). Oleh karena itu,

isu hak asasi manusia kemudian muncul sebagai salah satu wujud penghargaan terhadap manusia dan mewujudkan Welfare State atau Social Service State.

PBB, dalam salah satu rumusan yang dikemukakan pada tahun 1974 menekankan bahwa, bicara soal HAM, “don’t speak the biological need, we mean those condition of life which allow as fully to developed and use our human

qualities of intelligence and conscience and to satisdy our spiritual need.”

Dengan demikian, bicara HAM, selain terkait dengan kebutuhan biologis (terpenuhinya sandang, pangan, dan papan) juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (adanya kondisi yang kondusif terjaminnya perkembangan dan kebutuhan rohani manusia (Masyur Effendi, 2005: 11).

(22)

Berdasarkan pertimbangan dan berbagai latar belakang permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengadakan penelitian apakah pengeluaran fatwa golput haram oleh MUI tersebut bertentangan dengan HAM. Oleh karena itu, penulis memilih judul penulisan hukum ini adalah:

“PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupakan hak asasi seseorang yang masuk di dalam Hak Asasi Manusia (HAM)?

2. Bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif Hak Asasi Manusia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi dua tujuan, yaitu: 1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupan hak asasi manusia (HAM).

(23)

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis melalui suatu penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum Tata Negara yang berhubungan dengan demokrasi dan hak asasi manusia serta dalam bidang Hukum dan Masyarakat khususnya Hukum Politik Islam dan perspektif Hukum Islam dalam penegakan demokrasi serta Hak Asasi Manusia (HAM).

b. Untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan penulis dalam penyusunan skipsi untuk diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Untuk memberikan pandangan lebih luas kepada penulis dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai Warga Negara Indonesia yang baik sekaligus umat Muslim yang taat.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran pada Ilmu Hukum pada umumnya untuk kemudian memberikan kontribusi pada perkembangan Hukum Tata Negara pada khususnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia serta Hukum dan Masyarakat dalam hal ini Hukum Islam.

(24)

c. Memberikan masukan dan membuka wacana dengan menambah referensi mengenai adanya keterkaitan antara Hukum Islam dengan hukum positif Negara Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Meningkatkan daya kritis dan pola pikir penulis sebagai implementasi pengetahuan hukum yang diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum UNS.

b. Memberikan referensi serta wacana terhadap pihak-pihak yang terkait untuk membantu sinkronisasi antara hukum positif Indonesia dengan Hukum Islam, sebab meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas Warga Negara Indonesia. c. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat agar tetap

menjalankan syariat Islam secara benar disamping menjalankan fungsi dan peran sebagai Warga Negara Indonesia yang baik tanpa menafikan hak konstitusional yang dimiliki masing-masing individu tersebut.

E. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Dimana metodologis itu berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Kemudian sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 2005 : 42).

Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian guna mendapatkan bahan yang sesuai dengan tujuan penelitian juga untuk mempermudah pengembangan data kelancaran penyusunan penulisan hukum.

(25)

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya (Soerjono Soekanto, 2005 : 43).

Metode penelitian yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenisnya, maka penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan pustaka atau data-data sekunder dan selanjutnya dilakukan rekonstruksi menjadi suatu rangkaian hasil penelitian. Jenis penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi terhadap pengertian pokok atau dasar dalam hukum.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengharapkan jawaban right, appropriate, inappropriate, atau wrong (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

Dilihat dari jenisnya, penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian preskriptif, karena dalam penelitian ini dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi bahwa golput merupakan HAM serta konsep baru mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif HAM.

3. Pendekatan Penelitian

(26)

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93).

Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis melakukan beberapa pendekatan. Pertama, penulis menggunakan pendekatan undang-undang dengan menelaah UUD 1945 dan Undang-undang yang terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, serta UU No. 10

Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum. Penulis melakukan pendekatan kasus dengan menelaah mengenai fatwa MUI yang menyatakan bahwa golput haram termasuk landasan fatwa tersebut dikeluarkan. Penulis melakukan pendekatan konseptual mengenai posisi ideal MUI di Indonesia termasuk kewenangan dan kedudukannya dalam negara Republik Indonesia.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hukum. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).

(27)

1. Undang-undang Dasar 1945

2. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

3. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Right

4. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah buku teks, jurnal, koran, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku, karangan ilmiah, makalah, dan koran. Selain melalui dokumen-dokumen maupun data-data tertulis, penulis juga menggunakan cyber media, yaitu pengumpulan bahan melalui internet untuk mendapatkan perkembangan berita yang up to date.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

(28)

bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain. Interpretasi Historis yaitu makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah, diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum. Berikutnya ada penafsiran komparatif yaitu interpretasi yang hendak memperoleh penjelasan dengan jalan memperbandingkan hukum, Interpretasi futuristik merupakan metode penafsiran yang bersifat antisipatif yaitu hendak memperoleh penjelasan dari ketentuan perundangan dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode interpretasi pada kenyataannya sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau penjelasan undang-undang mencakup berbagai jenis penafsiran (Sudikno Mertokusumo, 2003: 170-173).

Berkenaan dengan pengkajian masalah penelitian dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknis analisis interpretasi teleologis atau sosiologis dan penafsiran sistematis. Melalui interpretasi teleologis, penulis berupaya untuk menafsirkan golput maupun fatwa haram MUI tentang golput berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Selanjutnya penulis menggunakan interpretasi sistematis dengan menafsirkan Undang-undang Dasar 1945 serta Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Right, dan Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum sebagai undang-undang yang mengatur mengenai masalah hak politik warga negara dalam hal ini golput.

(29)

F. Sistematika Penulisan Hukum

(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Hukum a. Hukum

Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hukum dapat didefinisikan secara memuaskan. Menurut pendapat Immanuel Kant, Lemaire, Gustav Radbruch, dan Walter Burkhardt, hukum merupakan sesuatu yang abstrak dan luas cakrawalanya. Oleh karena itu, hukum tidak dapat didefinisikan secara memuaskan. Pandangan berbeda dinyatakan oleh Aristoteles, Hugo de Groot (Grotius), Thomas Hobbes, van Vollen Hoven, Bellefroid, Hans Kelsen, dan Utrecht. Menurut mereka, meski tidak memuaskan, definisi hukum tetap harus diberikan karena memberikan manfaat minimal sebagai pegangan sementara bagi pemula yang mempelajari hukum (http://pengantarhukum.indonetwork.co.id/).

(31)

Hukum dalam bahasa Belanda dinamakan ”Recht” yang berasal dari bahasa Latin “Rectum” yang berarti kebaikan, kebajikan. Selanjutnya kata latin lainnya tentang hukum adalah “Ius” yang berarti hukum, berasal dari kata “lubere” artinya mengatur, memerintah. Kata “Ius” bertalian erat dengan “lustitia” atau keadilan. Pengertian hukum (law) dalam Black’s Law Dictionary yaitu: “That which is laid down, ordained, or established. A rule or method according to which phenomena or actions co-exist or

fallow each other. Law, in its generic sense, is a body of rules of action or

conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal

force”. (Henry Campbell Black, 1979:795).

Paul Scholten dalam “Algemeen Deel” dijelaskan bahwa untuk mengerti tentang hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham tentang kedudukan manusia di dalam masyarakat, dengan memperhitungkan keduanya secara bersama-sama. Selanjutnya untuk memberi batasan tentang hukum harus mengandung unsur-unsur :

a) Hukum adalah perintah

Yang dimaksud dengan perintah adalah peraturan yang berasal dari negara kepada individu dan masyarakat. Umumnya diberlakukan di bidang publik, dimana setiap pelanggaran memberikan kewenangan kepada negara untuk mengambil tindakan. Contoh hukum pidana, dimana negara dengan perantara perlengkapannya mengambil inisiatif untuk menahan, menangkap dan selanjutnya diajukan ke muka pengadilan.

b) Hukum adalah suatu ijin

(32)

c) Hukum adalah suatu janji

Maksudnya yaitu janji yang diucapkan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, adalah merupakan hukum atau undang-undang bagi pihak-pihak yang berjanji. Hal ini dikenal dengan asas “pacta sunt servanda”, yang artinya setiap janji harus ditepati.

d) Hukum yang disediakan

Maksud dari hukum yang disediakan adalah peraturan undang-undang yang telah dibuat oleh negara untuk dipergunakan kepada setiap warga negara, seandainya diantara perjanjian yang dibuat oleh para pihak belum lengkap syarat-syaratnya (Soeroso, 1993: 31-34). Mochtar Kusumaatmadja mengatakan: Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:15).

Menurut Wiryono Kusumo, Hukum merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum memiliki beberapa unsur yaitu :

a) Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa b) Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis c) Mengatur kehidupan masyarakat

(33)

b. Arti Hukum

Hukum memiliki arti sebagai berikut : 1) Hukum dalam Arti Ketentuan Penguasa

Hukum adalah perangkat-peraturan peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah melalui badan-badan yang berwenang.

2) Hukum dalam Arti Para Penguasa

Hukum adalah dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam dan bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan warga masyarakat, seperti petugas Polisi patroli, Jaksa dan hakim dengan toganya. Disini hukum dilihat dalam arti wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran orang-orang yang bertugas menegakkan hukum.

3) Hukum dalam arti sikap tindak

Yaitu hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. Hukum ini tidak nampak seperti dalam arti petugas yang patroli, yang memeriksa orang yang mencuri atau hakim yang mengadili, melainkan hidup bersama dengan perilaku individu terhadap yang lain secara terbiasa dan senantiasa terasa wajar serta rasional. Dalam hal ini sering disebut hukum sebagai suatu kebiasaan (hukum kebiasaan).

4) Hukum dalam arti sistem kaidah

a) Suatu tata kaidah hukum yang merupakan sistem kaidah-kaidah secara hirarkis

(34)

- Kaidah-kaidah individual dari badan2 pelaksana hukum terutama pengadilan

- Kaidah-kaidah umum didalam UU hukum atau hukum kebiasaan

- Kaidah-kaidah konstitusi

c) Sahnya kaidah2 hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan oleh kaidah2 yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.

5) Hukum dalam arti jalinan nilai

Hukum dalam artian ini bertujuan mewujudkan keserasian dan kesinambungan antar faktor nilai obyektif dan subyektif dari hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan dalam hubungan antara individu di tengah pergaulan hidupnya. Nilai objektif tersebut misalnya tentang baik buruk, patut dan tidak patut (umum), sedangkan nilai subjektif memberikan keputusan bagi keadilan sesuai keadaan pada suatu tempat , waktu dan budaya masyarakat (khusus). Inilah yang perlu diserasikan antara kepentingan publik, kepentingan privat dan dengan kepentingan individu.

6) Hukum dalam arti tata hukum

Hukum disini adalah tata hukum atau kerapkali disebut sebagai hukum positif yaitu hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat tertentu (sekarang misalnya di Indonesia). Hukum positif tersebut misalnya hukum publik (HTN, HAN, Pidana, internasional publik), hukum privat (perdata, dagang).

7) Hukum dalam ilmu hukum

(35)

kaidah atau sistem kaidah-kaidah, dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum. Dalam arti ini hukum dilihatnya sebagai ilmu pengetahuan atau science yang merupakan karya manusia yang berusaha mencari kebenaran tentang sesuatu yang memiliki ciri-ciri, sistimatis, logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif. Normwissenschaft adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah/norma,

sedangkan Sollenwissenschaft adalah ilmu pengetahuan tentang seharusnya.

8) Hukum dalam arti disiplin hukum atau gejala sosial

Dalam hal ini hukum sebagai gejala dan kenyataan yang ada ditengah masyarakat. Secara umum disiplin hukum menyangkut ilmu hukum ((ilmu pengertian, ilmu kaidah dan ilmu kenyataan),

politik hukum dan filsafat hukum

(http://arifnurahmanblog.blogspot.com).

Adapun nilai-nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu: 1. Keadilan

2. Kemanfaatan, dan

3. Kepastian hukum (http://arifnurahmanblog.blogspot.com).

4. Hukum dan Hak Asasi Manusia a. Hak Asasi Manusia

(36)

Dalam berbagai versi sejarah munculnya Hak Asasi Manusia, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa HAM memang berasal dari barat. Pendapatnya tersebut serupa dengan pendapat Baehr yang menyatakan bahwa “tidak ada keraguan, bahwa ide perlindungan HAM pertama-tama dirumuskan di Barat.” Dokumen-dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of The Rights of Man and of The Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika, 1791) (Muladi_edt, 2005: 217).

Pengakuan dunia Internasional atas Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam Universal Declaration of Human Right, deklarasi yang kemudian menjadi dasar didirikannya PBB. Universal Declaration of Human Right tersebut mengandung dua makna, makna ke dalam dan makna ke luar yang berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia tersebut harus senantiasa menjadi kriteria obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya (Peter Baehr dkk, 2001: xx).

b. Hukum dan Hak Asasi Manusia

(37)

manusia, berarti hak dan sekaligus perseorangan diakui,dihormati dan dijunjung tinggi (Masyur Effendi, 1994: 27).

Kaitan antara hukum dan hak asasi manusia sangatlah erat, seperti yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, “negara hukum (allgemeine staatslehre) akan lahir, apabila sudah dekat identieit der Staatsordnung mit

der rechtsordnung, semakin bertambah keinsafan hukum dalam

masyarakat, berarti semakin dekat kita dalam pelaksanaan negara hukum yang sempurna”. Oleh karenanya, negara hukum hanya dapat disebut sebagai negara hukum apabila dalam praktik kenegaraannya mengakui dan menghormati sendi-sendi hak asasi manusia.

Dalam pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jimly Ashidiqie membagi ketentuan Hak Asasi Manusia UUD 1945 ke dalam beberapa kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan;

3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan; 4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; 5. Setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani; 6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; 7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan

pemerintahan;

(38)

9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;

10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;

11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;

12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi:

1. setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai;

2. setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;

3. setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

4. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;

5. setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;

6. setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi;

7. setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;

(39)

9. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;

10. setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfat dari ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;

11. negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;

12. negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;

13. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:

1. setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;

2. hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;

3. hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;

(40)

5. setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;

6. setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; 7. kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara

dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksud untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:

1. setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2. dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetpkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam msyarakat yang demokratis; 3. negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan,

dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;

4. untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

(41)

a. Hak Pilih

Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara, yaitu orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28D ayat (3) ).

Pada tanggal 28 Oktober 2005, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right atau Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan disahkannya UU No. 12 Tahun 2005. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal-Pasal dan berisikan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Ratifikasi ini menjadikan kovenan tersebut mengikat secara hukum di Indonesia.

Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dan Hak Asasi Manusia dalam bidang politik. Hal tersebut diwujudkan dengan adanya hak pilih dalam pemilu yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1), “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

(42)

Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 19 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa yang memiliki hak memilih adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin serta terdaftar dalam daftar pemilih oleh penyelenggara Pemilu.

Hak pilih pasif merupakan hak setiap warga negara Indonesia untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada. Setiap Warga Negara Indonesia berhak untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada apabila memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang. Pasal 50 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota harus memenuhi persyaratan:

a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),

Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

(43)

i. terdaftar sebagai pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu;

k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang tidak dapat ditarik kembali;

l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan;

m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;

o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

b. Golongan Putih (Golput)

(44)

kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau ‘No Voting Decision’ tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai

dengan tata cara yang berlaku (http://leo4kusuma.blogspot.com).

Dengan kata lain, “golput” dapat digolongkan dalam beberapa bentuk dan cara, berupa: (a) merusak kartu suara, misalnya dengan sengaja mencoblos lebih dari satu gambar atau pilihan; (b) membiarkan kartu suara tidak dicoblos sehingga tidak terdefi nisi pilihannya, dan (c) tidak menggunakan haknya dengan cara absen dari tempat pemungutan suara (TPS). Sedangkan jika diklasifikasikan berdasarkan spiritnya, “golput” dapat dilakukan dengan: Pertama, cara tidak sengaja (kecelakaan semata) yang bisa terjadi karena alasan teknis administratif, misalnya lupa, tidak/belum terdaftar, atau karena kendala dan halangan darurat yang tidak dikehendaki; Kedua, ketidakpedulian politik (apatisme) yang biasanya terjadi karena berpendirian bahwa pemilu bukan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan dirinya secara langsung; dan Ketiga, semangat kesengajaan yang biasanya dilandasi oleh prinsip perlawanan (pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan sistem pemilu, tidak sesuai dengan partai kontestan, atau karena melihat adanya fakta-fakta manipulasi (Muntoha, 2009: 59).

(45)

1. Dibentuknya aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas negara. Stabilitas politik telah menjadi “bahasa resmi” dalam setiap kebijakan pemerintah dan militer selama masa Orde Baru itu, maka dibentuklah berbagai lembaga untuk mendukungnya, seperti BKIN, Kopkamtib, dan Opsus;

2. Proses depolitisasi massa agar negara dapat memutuskan perhatian pada pembangunan ekonomi. Depolitisasi massa dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan pembangunan ekonomi. Aktivitas mobilisasi massa dalam proses politik biasanya dilakukan oleh Parpol pada massa Orde Baru itu;

3. Emaskulasi dan restrukturisasi partai-partai politik yang dominan selain Golkar, terutama sebelum pemilu; dan

4. Dikeluarkannya hukum-hukum pemilu dan aturan pemerintahan sedemikian rupa untuk memungkinkan partai yang didukung oleh pemerintah/militer (Golkar) selalu menang dalam pemilu, seperti dalam proses seleksi calon, kampanye, dan intervensi pemerintah dalam kehidupan parpol (Muntoha, 2009: 61).

Golput sesungguhnya merupakan fenomena politik ‘mata pedang demokrasi’. Dari perspektif pelakunya Golput bertujuan mendelegitimasi pemilu yang diselenggarakan pemerintah, sedangkan dari perspektif demokrasi justru memberikan legitimasi terhadap demokrasi yang berlangsung dimana itu membuktikan bahwa pemerintah telah memberikan ruang aspirasi bagi kepentingan kelompok ekstra parlementer. Pendeknya, golput adalah barometer kualitas demokrasi. Arief Budiman menyatakan bahwa golput bukan organisasi, tanpa pengurus dan hanya pertemuan solidaritas (Arbi Sanit, 1992: 178).

(46)

a. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2005: 42). Berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka sebelum melangkah lebih lanjut perlu adanya sedikit pembahasan mengenai beberapa istilah yang berhubungan dengan penggunaan istilah hukum Islam tersebut. Beberapa istilah tersebut yaitu:

1) Hukm dan Ahkam

Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhan, manusia lain, dirinya sendiri, mupun dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm. Adapun ahkam adalah bentuk jamak dari hukm tersebut (Mohammad Daud Ali,

2005:43).

Hukm menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud

Ali adalah norma atau kaidah, yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Istilah ini memang hampir sama dengan hukum, sebab perkataan hukum yang dipergunakan di Indonesia berasal dari kata hukm tersebut. Dalam hukm inilah kemudian dikenal adanya hukum

taklifi menurut Masyfuk Zuhdi, yaitu norma atau kaidah hukum Islam

yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu perbuatan. Disebut juga sebagai al-ahkam al-khamsah menurut Sajuti Thalib, yaitu ja’iz atau mubah atau ibahah, sunnat, makruh, wajib, dan haram (Mohammad Daud Ali, 2005: 44).

(47)

wajib, pengaruhnya adalah kewajiban, yang dituntut pelaksanaannya adalah wajib. Dan jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan, maka hukum itu ialah sunnat, pengaruhnya adalah kesunatan, yang dituntuk pelaksanaannya adalah yang disunnatkan (al-mandub). Dan apabila menghendaki larangan suatu pekerjaan, maka jika

tuntutan itu atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah haram, pengaruhnya adalah keharaman, yang dituntut berupa larangan suatu pekerjaan itu adalah yang diharamkan (al-muharram). Dan jika tuntutannya itu tidak atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah makruh, pengaruhnya adalah kemakruhan, yang dituntut berupa meninggalkan pekerjaan itu adalah makruh. Dan apabila menghendaki memerintah memilih kepada mukallaf di antara mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah. Pengaruhnya adalah kebolehan dan pekerjaan yang disuruh memilih di antara melaksanakan dan meninggalkan adalah mubah (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 162).

2) Syariat

Syariat secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan

lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Mohammad Daud Ali, 2005: 46).

3) Fiqih

(48)

diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Hasil pemahaman tentang hukum Islam itu disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqih dan disebut hukum fiqih (Mohammad Daud Ali, 2005:48). Yang dimaksud dengan hukum fiqih adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam (Mohammad Daud Ali, 2005:51).

b. Jenis Sumber Hukum Islam 1) Alquran

Al-Quran adalah kalam (diktum) Allah SWT yang diturunkan olehNya dengan perantaraan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah dengan lafazh (kata-kata) Bahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasul SAW dalam penakuannya sebagai Rasulullah. Juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibacanya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 22).

Sayyid Hussein Nasr menyatakan bahwa Alquran adalah intisari semua pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di dalam Alquran hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja (Mohammad Daud Ali, 2005: 79). Di dalamnya terdapat ajaran yang memberi pengetahuan tentang struktur (susunan) kenyataan alam semesta dan posisi berbagai makluk termasuk manusia serta benda di jagad raya, petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Selain itu, dalam Alquran berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa karena berasal dari firman Tuhan (Mohammad Daul Ali, 2005: 81).

(49)

a) hukum-hukum i’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari pembalasan, kada dan kadar;

b) hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk ‘menghiasi’ dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela;

c) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-huum yang bersangkutan dengan perkataan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerjasama antarsesama manusia. Terbagi atas:

1. hukum ibadah, yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dalam mendirikan salat, melakasanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji; 2. hukum-hukum muamalah, yakni semua hukum yang mengatur

hubugnan manusia dengan manusia, baik hubungan antarpribadi maupun hubungan antarorang perorangan dalam masyarakat.

2) As-Sunnah (Al Hadist)

As-Sunnah atau Al-Hadist adalah sumber hukum Islam kedua

setelah Alquran, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fo’liyah), dan sikap diam (sunnah taqriyah atau sunah sukutiyah) Rasulullah yang sekarang tercatat dalam kitab-kitab hadist.

Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Alquran (Mohammad Daud Ali, 2005: 97).

(50)

tujuan dan persesuaian atau situasi (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 47).

3) Akal Pikiran (al-Ra’yu atau ijtihad)

Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Alquran, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang diterapkan pada kasus tertentu (Mohammad Daud Ali, 2005:112). Secara harfiah ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan. Seseorang yang

memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana disebut orang yang mempunyai ra’yu atau dzu’l ra’y (Mohammad Daud Ali, 2005:115).

Menurut Othman Ishak sebagaimana dikutip Mohammad Daud Ali, ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada serta dilakukan oleh ahli hukum yang memenuhi syarat yang ada untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran atau Sunah Rasul (Mohammad Daud Ali, 2005:116). Adapun metode dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut.

1. Ijma’

Ijma’ ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat

(51)

hukum syar’i mengenai suatu kejadian/ kasus (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 64).

2. Qiyas

Al Qiyas menurut bahasa ialah mengukur sesuatu dengan benda

lain yang dapat menyamainya. Dapat juga dikatakan Qiyas ialah menyamakan, karena mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya, berarti menyamakan di antara dua benda tersebut. Sedangkan menurut Ulama Ushul, Qiyas ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian tersebut dalam illat hukumnya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 76).

3. Istidal

Menurut A. Siddik (A.Siddik, 1982: 225) sebagaimana dikutip Mohammad Daud Ali, istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan hukum Islam.

4. Al-masalih al-mursalah

Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah

adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Alquran maupun dalam kitab-kitab hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum (Mohammad Daud Ali, 2005:121).

(52)

keuntungan bagi mereka dan menolak mudharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 127).

5. Istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,

sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar) (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 120).

6. Istishab

Istishab menurut bahasa Arab adalah mengakui adanya

hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul, Istishab yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya

sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan atas perubahannya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 137).

7. ‘urf.

‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 134).

4. MUI dan Fatwa 1. MUI

Referensi

Dokumen terkait

Bimbingan oleh guru pamong juga dilakukan setelah pelaksanaan praktik mengajar yaitu dengan memberikan kritik dan saran mengenai tampilan praktik mengajar yang telah

Tingginya kebutuhan masyarakat akan pengelolaan dokumen membuat tinggi pula permintaan akan pemenuhan jasa tersebut, produk Self Service Document Centre Box merupakan

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam proses pembelajran yang berlangsung. 2) Lembar observasi kerja sama siswa yang digunakan untuk mengamati dan. mengukur kerja

Pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan, yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan

Kredit macet dapat disebabkan oleh beberapa faktor ekstern, kredit macet yang terjadi pada suatu bank dipengaruhi oleh kondisi ekonomi secara makro sedangkan faktor

Diberikannya kebebasan oleh Spanyol kepada Rusia untuk turut serta mengembangkan sektor wisatanya yang dirancang dalam kerengka kerja strategic partnership tersebut juga merupakan

Hal tersebut sesuai dengan definisi masyarakat yang merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat- istiadat tertentu yang