• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB.4. HASIL

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di 10 Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Siabu, 2 Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Sihepeng, Poliklinik Anak RSUD Penyabungan dan Klinik Pusat Penanggulangan Malaria Penyabungan, Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara.

Enam ratus duapuluh tiga anak yang diberi informasi tentang penelitian dan dilakukan penapisan. Duaratus orang anak ditemukan

Plasmodium falciparum monoinfeksi pada pemeriksaan darah tepi dan direncanakan untuk mendapat terapi. Kemudian dirandomisasi dengan menggunakan amplop tertutup menjadi 2 kelompok dimana 100 anak untuk kelompok artesunat-klindamisin dan 100 anak untuk kelompok kinin-klindamisin.

Selama pemantauan obat dijumpai pasien yang hilang pantau sebanyak 11 anak, yaitu 3 anak pada kelompok artesunat-klindamisin oleh karena sakit muntah-muntah, demam, mencret sedangkan kelompok kinin-klindamisin sebanyak 8 anak yang disebabkan 5 anak tidak bersedia dilakukan pemeriksaan darah kembali dan 3 anak sakit, demam, muntah dan sakit kepala.(Gambar 4.1)

Gambar 4.1. Profil penelitian

Anak yang positif menderita Malaria falsiparum (N=200 )

Randomisasi

Grup I: Artesunat-Klindamisin (n=100)

Grup II: Kinin- klindamisin (n=100)

Hilang pantau n=8 Hilang pantau n=3

100 anak menyelesaikan penelitian dan dianalisis

100 anak menyelesaikan penelitian dan dianalisis

Anak yang diskrining Malaria falsiparum

Tabel 4.1. Karakteristik dasar partisipan Karakteristik Kelompok artesunat-klindamisin (n = 100) Kelompok kinin-klindamisin (n = 100) Jenis Kelamin, n (%) Laki-Laki 43 (43) 57 (57) Perempuan 57 (57) 43 (43) Umur, mean (SD) 10.5 (10.28) 9.49 (1.66) Berat Badan, mean (SD) 22.0 (6.18) 23.2 (5.19) Tinggi Badan, mean (SD) 120.5 (12.18) 121.1 (9.67) Status nutrisi, n (%) Malnutrisi berat 11 (11) 2 (2) Malnutrisi sedang Malnultrisi ringan 5 (5) 17 (17) 7 (7) 18 (18) Normal 51 (51) 54 (54)

Berat badan berlebih 12 (12) 16 (16) Obes Keluhan, n(%) Riwayat demam Demam Pucat Lemah Sakit kepala Batuk Muntah Mencret Hepatomegali Splenomegali Jumlah parasitemia, mean (SD) 4 (4) 37 (37) 46 (46) 50 (50) 40 (40) 32 (32) 22 (22) 5 (5) 16 (16) 8 (8) 31 (31) 1157.1(86.33) 3 (3) 38 (38) 40 (40) 39 (39) 45 (45) 30 (30) 18 (18) 4 (4) 11 (11) 5 (5) 29 (29) 1173.7 (99.11)

Dari tabel 4.1. terlihat bahwa rerata umur kedua kelompok responden adalah kelompok artesunat-klindamisin 10.5 tahun dan kinin-klindamisin 9.5 tahun. Status nutrisi pada mayoritas kedua kelompok adalah normal. Gejala klinis paling banyak adalah demam, pucat dan lemah. Sebelum diberi pengobatan rerata parasitemia pada kelompok anak yang menerima terapi artesunat-klindamisin dan kinin-klindamisin masing-masing sebanyak 1157.1 parasit dan 1173.7 parasit.

Respon terapi dinilai dengan menilai kegagalan pengobatan dinilai pada hari ke-3 sampai hari ke-28. Kegagalan pengobatan pada hari ke-3 disebut early treatment failure (ETF), sedangkan kegagalan pengobatan setelah hari ke-3 sampai ke-28 disebut late treatment failure (LTF). Kesembuhan pasien dengan menilai keefektifan obat diberikan yang disebut adequate clinical parasitology response (ACPR).

Tabel 4.2 Perbedaan respon terapi kelompok pengobatan

Respon terapi Kelompok artesunat- klindamisin (n = 100) Kelompok kinin-klindamisin (n = 100) P

Waktu bebas parasit, mean (SD) 7.1 (0.71) 8.5 (2.90) 0.0001 ETF 2 (2) 4(4) 0.109 LTF 2 (2) 29 (29) 0.0001 ACPR 94(94) 62(62) 0.0001

PCT = Parasite Clearance Time; ETF = Early Treatment Failure; LTF = Late Treatment Failure; ACPR = Adequate Clinical and Parasitological Response

Tabel 4.2. menunjukkan kelompok anak yang menerima artesunat-klindamisin tampak lebih awal terbebas dari parasit malaria. Dari tabel 4.2, diketahui bahwa rerata waktu terbebas malaria pada kelompok artesunat-klindamisin adalah 7 hari sedangkan pada kelompok kinin dan artesunat-klindamisin membutuhkan waktu hingga 8.5 hari dengan nilai P= 0.0001.

Respon terapi ditunjukkan lebih baik oleh anak yang menerima terapi artesunat-klindamisin. Jumlah anak-anak yang sembuh pada kelompok ini jauh melebihi kesembuhan dari kelompok kinin-klinidadamisin, yaitu masing-masing sebanyak 95 orang (95%) dan 61 orang (61 %). ETF pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna namun LTF secara signifikan lebih tinggi dijumpai pada kelompok kinin-klindamisin

Tabel 4.3. Perbedaan angka kesembuhan pada kelompok pengobatan

Angka kesembuhan, % Setelah terapi Kelompok artesunate-klindamisin (n = 100) Kelompok kinin-klindamisin (n = 100) P Hari ke- 3 97 81 0.0001 Hari ke-7 95 85 0.019 Hari ke-14 97 92 0.122 Hari ke-28 96 92 0.236

Tabel 4.3. menunjukkan angka kesembuhan berbeda signifikan hanya pada hari ketiga dan ketujuh setelah pemberian terapi. Angka kesembuhan pada kelompok artesunat- klindamisin tampak lebih baik bila dibandingkan dengan angka kesembuhan yang dicapai oleh kelompok kinin - klindamisin, dari pengamatan hari ketiga sampai hari ke-28.

Angka kesembuhan tertinggi pada kelompok terapi artesunat-klindamisin dicapai pada hari ketiga dan ke-14 yaitu sebesar 97%. Sedangkan pada kelompok terapi kinin-klindamisin, angka kesembuhan yang paling baik adalah pada hari ke-14 dan ke-28 setelah pemberian terapi, dengan tingkat kesembuhan mencapai 92%.

Tabel 4.4. Perbedaan angka penurunan parasit

Hari ke- Kelompok artesunat-klindamisin (n= 100) Kelompok kinin-klindamisin (n = 100) P Hari ke-3 81.16 76.16 0.0001 Hari ke-7 96.51 89.22 0.02 Hari ke-14 97 .00 92 .00 0.122 Hari ke-28 96 .00 92 .00 0.236

Dari tabel 4.4. menunjukkan penurunan persentase parasit pada kelompok anak yang mendapat artesunat-klindamisin lebih besar dibandingkan kelompok anak yang memperoleh terapi kinin-klindamisin. Pada hari ketiga dan ketujuh setelah pemberian kedua terapi, terdapat perbedaan yang signifikan dimana pada kelompok dengan terapi artesunat-klindamisin penurunan parasit mencapai 81.16% dan 96.5% sedangkan pada kelompok terapi yang lain hanya 76.16% dan 89.22%. Pada pengamatan hari ke-14 dan ke-28 persentase penurunan parasit pada responden yang memperoleh kinin-klindamisin sudah mencapai 92%, tidak berbeda bermakna dengan penurunan parasit pada anak yang memperoleh terapi artesunat-klindamisin yaitu sebesar 97% dan 96% (P>0.05)

Tabel 4.5. Efek Samping yang dialami anak selama 28 hari pengamatan

Efek samping Kelompok artesunat – klindamisin (n = 100) Kelompok kinin – klindamsin (n = 100) P Mual Muntah Sakit kepala Diare 7 (7.0) 2 (2.0) 0 (0) 0(0) 12 (12.0) 5 (5.0) 2(2) 0(0) 0.459 0.105 0.497 -

Tabel 4.5. menunjukkan beberapa efek samping dapat timbul pada pemberian obat. Efek samping yang timbul adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Efek samping ini terjadi pada hari pertama pemberian obat, baik pada kelompok artesunat-klindamisin maupun pada kelompok kinin-klindamisin. Tidak dijumpai perbedaan yang signifikan kejadian efek samping antara kedua kelompok .

Gambar 4.2. Perbedaan penurunan jumlah parasit setelah mendapat terapi kombinasi artesunat-klindamisin dan kinin-klindamisin 0 20 40 60 80 100 120

Hari ke 3 Hari ke 7 Hari ke 14 Hari ke 28

a ng k a pe nur una n pa ra si t, % Artesunate-Klindamisin Kinin-Klindamisin

BAB 5. PEMBAHASAN

Masalah utama pada pengobatan malaria adalah terjadinya kegagalan

pengobatan yang disebabkan oleh regimen yang tidak tepat dan makin

meningkatnya resistensi Plasmodium falciparum terhadap obat antimalaria.11

Kecepatan penyebaran resistensi obat antimalaria tidak sama pada

masing-masing daerah atau negara. Beberapa faktor yang menyebabkan

berkembangnya resistensi yaitu kemampuan parasit untuk melakukan mutasi

genetik, penggunaan obat yang tidak tepat, karakteristik obat, dan perpindahan

penduduk endemis ke daerah endemis lainnya dengan membawa parasit

resisten.27,28 Resistensi obat mengakibatkan meningkatnya kasus malaria 21

Salah satu upaya untuk memperlambat perkembangan resistensi adalah dengan

pengobatan kombinasi yang berbasis artemisinin dengan tujuan untuk

meningkatkan efikasi tanpa meningkatkan toksisitas.28

Penelitian in vivo tahun 2001 di Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi

Sumatera Utara tercatat kasus resistensi terhadap klorokuin sebesar 47.5% dan

sulfadoksin-pirimetamin 50%.7 Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal

pada tahun 1994 telah dinyatakan Departemen Kesehatan RI sebagai daerah

yang resisten klorokuin dengan penyebaran tidak merata.11 Tingginya angka

resistensi pada kabupaten ini menjadi salah satu alasan kami untuk melakukan

penelitian di daerah ini dengan memberikan terapi kombinasi berbasis

artemisinin. Pada penelitian kami dari 623 anak yang dilakukan pemeriksaan

darah tepi didapatkan 200 anak yang positif malaria falsiparum dengan

Gambar 5.1. Peta kabupaten Mandailing Natal30

Subyek penelitian kami adalah anak sekolah dasar dengan rerata usia 10

tahun dengan jumlah anak laki-laki dan perempuan hampir sama pada kedua

kelompok. Malaria masih merupakan penyebab penyakit yang menyebabkan

morbiditas dan mortalitas tingggi khususnya anak di daerah tropis. Kelompok

risiko terserang malaria adalah anak dan wanita hamil terutama kelompok sosial

ekonomi rendah 29 Penelitian yang dilakukan di beberapa sekolah di Nigeria

menunjukkan bahwa PR sangat tinggi pada anak usia sekolah 8 sampai 10 tahun

dengan insidens 26 per 100 anak sekolah per tahun.31 Morbiditas anak sekolah

dasar biasanya 30% lebih rendah dibandingkan anak usia prasekolah. Penelitian

di Srilangka menunjukkan malaria tanpa komplikasi dapat mengakibatkan

penurunan kemampuan kognitif anak dan ketidakhadiran anak di sekolah dimana

tiap kali serangan rata-rata anak absen 2 sampai 5 hari.32

Pada penelitian ini, status nutrisi anak terbanyak adalah normal bila dilihat

berdasarkan tinggi badan terhadap umur dan berat badan terhadap tinggi badan

bahkan ada status nutrisinya obes. Namun perlu penelitian lebih lanjut tentang

hubungan antar status nutrisi dengan kepadatan parasit. Malaria falsiparum dan

malnultrisi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak

walaupun hubungan antara keduanya masih belum jelas diketahui. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa infeksi Plasmodium falciparum dapat

menyebabkan kehilangan berat badan akut. Lima penelitian yang dilakukan di

Madagaskar, Nigeria, Chad, Gambia, dan Senegal menunjukkan pasien gizi

buruk 1,3 sampai 3,5 kali lebih banyak yang meninggal dibandingkan gizi

baik.33,34 Anak yang kurang gizi akan meningkatkan kecenderungan menderita

malaria yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti penurunan limfosit T,

gangguan formasi antibodi, penurunan formasi komplemen, atrofi timus serta

jaringan limfoid lain yang tidak mempunyai kekebalan yang adekuat terhadap

parasit malaria.35

Penelitian kami mendapatkan keluhan paling banyak adalah demam,

pucat dan lemah. Beberapa subjek penelitian didapati hepatomegali dan

splenomegali. Namun splenomegali lebih banyak ditemukan. Splenomegali

berhubungan dengan densitas parasit yang lebih tinggi daripada densitas parasit

pada anak tanpa splenomegali, namun tidak kami nilai pada penelitian ini. Kami

juga tidak dapat menyimpulkan adanya tropical splenomegaly syndrom pada

subjek penelitian ini karena tidak dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG.

Salah satu cara untuk penanganan penyakit malaria secara cepat, tepat

sering dilaporkan adalah demam, sakit kepala, nyeri sendi, muntah, nafsu makan

menurun, kelemahan umum, gangguan pencernaan, pucat dan pada

pemeriksaan fisik terdapat splenomegali.1 Demam sebagai salah satu gejala

klasik malaria, tidak selalu harus ditemukan pada penderita malaria, terutama di

daerah endemis malaria.36,37 Di daerah tropis dan endemis malaria dapat

dijumpai tropical splenomegaly syndrome yaitu splenomegali yang menetap

setelah pengobatan antimalaria hati disertai peningkatan kadar IgM dan IgG.10,38

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi kombinasi

artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria

Falciparum tanpa komplikasi pada anak. Penelitian kami dilakukan dengan uji

klinis acak terbuka dengan 200 subjek penelitian didapatkan angka kesembuhan

artesunat-klindamisin mencapai 94% dibandingkan dengan kinin-klindamisin

mencapai 62% pada hari ke-28. Waktu hilangnya parasit pada kelompok

artesunat-klindamisin lebih cepat dibandingkan kinin-klindamisin. Tidak dijumpai

perbedaan bermakna pada ETF di kedua kelompok namun LTF lebih tinggi

secara bermakna dijumpai pada kelompok kinin-klindamisin. Penelitian ini

berdasarkan intention to treat analysis sehingga subyek penelitian yang hilang

pantau tetap ikut dianalisis.

Pengobatan kombinasi berbasis artemisinin/ ACT merupakan terapi

terbaik yang digunakan saat ini untuk mengatasi resistensi obat di Afrika,

Amerika dan Asia.39 Penelitian metaanalisis di Uganda mendapatkan kombinasi

berbasis artemisinin mempunyai efikasi yang lebih baik daripada kombinasi

dengan non artemisinin.40 Penelitian di Vietnam mendapatkan monoterapi

artemisinin dapat menurunkan gejala klinis dan membersihkan parasit dengan

yaitu 5 sampai 7 hari.41 Tujuan pengobatan kombinasi adalah untuk

meningkatkan efikasi, mempersingkat pengobatan, meningkatkan kepatuhan dan

menurunkan resistensi dengan menggunakan dua jenis obat skizontosidal atau

lebih yang memiliki kerja yang berbeda dengan target biokimiawi parasit yang

berbeda pula.18

Penelitian di Gabonese menunjukkan perbandingan artesunat dan

klindamisin dengan kinin-klindamisin dengan pemberian dua kali perhari selama

tiga hari berturut-turut didapatkan angka kesembuhan tidak berbeda secara

bermakna pada hari ke 28 (87% dan 94%) namun waktu hilangnya parasit lebih

cepat pada kelompok artesunat-klindamisin.8

Penelitian kami mendapatkan angka kesembuhan tertinggi pada

kelompok artesunat-klindamisin telah dicapai pada hari ketiga dan ketujuh yaitu

97% (P=0.001) sementara pada kelompok kinin-klindamisin kesembuhan

tertinggi dicapai pada hari ke-14 dan 28 yaitu 92% (P=0.236). Penurunan jumlah

parasit pada hari ke-3 dan ke-7 lebih cepat pada kelompok artesunat-klindamisin

dibandingkan kelompok kinin-klindamisin sementara pada penurunan jumlah

parasit hari ke-14 dan ke-28 tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada

kedua kelompok pengobatan.

Efikasi sangat ditentukan oleh pasangan kombinasi derivat artemisinin

tersebut. Kombinasi artemisinin dengan klindamisin mempunyai efek yang

sinergis dan tidak dijumpai efek yang berlawanan pada kedua obat.39 Klindamisin

sering dikombinasi dengan obat lama yaitu kinin dimana telah digunakan secara

luas di Amerika Selatan dan telah terbukti efektif pada dewasa dan anak

kasus Plasmodiumfalciparum resisten terhadap kinin sudah dilaporkan walaupun

dampaknya belum meluas dan berat, dan juga sering tidak disukai oleh karena

menyebabkan tinnitus pada anak maka kombinasi artesunat dan klindamisin

dapat menjadi pilihan.8,42

Penelitian ini dilakukan pemberian obat selama tiga hari dengan cara

pemberian dua kali sehari sehingga sering menyebabkan ketidaknyamanan

terhadap subjek. Obat kombinasi artemisinin umumnya merupakan regimen tiga

hari. Artesunat yang merupakan salah satu derivat artemisinin bekerja lebih

cepat daripada kinin. Kombinasi berbasis ACT hanya diberikan bila pada

pemeriksaan darah tepi maupun pemeriksaan RDT dijumpai parasit malaria.43

Kombinasi klindamisin dengan obat yang bekerja cepat sangatlah

dibutuhkan dan menguntungkan dalam pengobatan malaria.Klindamisin adalah

antibiotik linkosamid yang menpunyai efek antiplasmodium yang dapat diberikan

pada anak.42 Monoterapi klindamsin untuk pengobatan malaria falsiparum tidak

direkomendasikan karena bekerja lambat sehingga dapat meningkatkan

resistensi dan memperlama kesembuhan .24 Klindamisin merupakan obat yang

efektif dan aman digunakan secara kombinasi dalam pengobatan malaria

falsiparum yang resisten.44

Pada penelitian ini, tidak dijumpai efek samping diare namun dijumpai

mual, muntah, dan sakit kepala. Efek samping ini terjadi pada hari pertama

pemberian obat, baik pada kelompok artesunat-klindamisin maupun pada

kelompok kinin-klindamisin. Tidak dijumpai perbedaan bermakna kejadian efek

dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada efek samping pada

kedua grup.

Pemberian dosis yang tidak sesuai dapat meningkatkan efek samping

sehingga perlu dilakukan pemantauan efek samping selama masa pengobatan.

Efek samping artemisinin kurang toksik dibandingkan dengan antimalaria

golongan kuinolon. Penelitian di Nigeria menunjukkan efek samping ACT lebih

ringan dan dapat ditoleransi baik.45 Efek samping lebih sering muncul pada

kombinasi kinin-klindamisin adalah kinkonisme berupa telinga berdenging dan

pusing.42 Klindamisin dilaporkan dapat menyebabkan diare pada 2 sampai 20%

sehingga harus diberikan hati-hati pada pasien dengan penyakit gastrointestinal

terutama yang mempunyai riwayat kolitis. Efek yang lain dari klindamisin adalah

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Kombinasi artesunat- klindamisin memiliki efikasi yang lebih tinggi daripada

kombinasi kinin-klindamisin untuk pengobatan anak dengan Malaria Falsiparum

tanpa komplikasi. Penelitian ini juga mendapatkan bahwa kedua gabungan obat

ini aman digunakan pada anak.

6.2. SARAN

Bagi pemerintah Kabupaten Mandailing Natal khususnya Dinas Kesehatan

setempat, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan sebagai obat

alternatif jika terdapat kendala dalam penggunaan terapi standar pada anak

penderita Malaria Falsiparum tanpa komplikasi. Dan perlu dilakukan sosialisasi

kepada petugas-petugas kesehatan di kecamatan mengenai resistensi

pengobatan yang dapat terjadi bila membeli obat secara bebas dan penggunaan

obat yang tidak benar.

Perlunya dilakukan pemeriksaan malaria secara berkala disertai

pengobatan ke sekolah-sekolah agar proses pendidikan dapat berjalan dengan

baik dan diharapkan kerjasama yang baik dari pihak sekolah, masyarakat, dan

RINGKASAN

Malaria merupakan infeksi parasit yang menyebabkan kematian dan

kesakitan pada anak dan orang dewasa di negara-negara tropis dan subtropis. Di

Indonesia terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kasus kematian setiap

tahunnya. Kematian disebabkan oleh Plasmodium falciparum diperkirakan 46%.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia sejak akhir tahun 2004

merekomendasikan artemisinin based combination therapy yang disingkat

dengan ACT untuk mengatasi kasus resistensi. Selain gabungan

artesunate-amodiakuin, kombinasi lain yang dianjurkan WHO yaitu kombinasi artesunate

dengan klindamisin.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi kombinasi

artesunat-klindamisin dengan kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria

Falciparum tanpa komplikasi pada anak.

Uji klinis acak terbuka yang dilaksanakan pada bulan Oktober sampai

November 2010 di Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini

dilakukan pada anak usia 7 sampai 12 tahun. Kelompok I menerima kombinasi

artesunat-klindamisin (artesunat, 2mg/kg, dan klindamisin, 7mg/kg, perdosis).

Kelompok II menerima kombinasi kinin-klindamisin (kinin, 15 mg/kg, dan

klindamisin, 7mg/kg, per dosis). Kedua kelompok tersebut diberikan obat dua kali

sehari selama tiga hari berturut-turut. Hasil yang dinilai berupa ACPR, waktu

bebas parasit, penurunan jumlah parasit dan efek samping. Analisis didasarkan

intention to treat analysis.

Penelitian dengan jumlah sampel dua ratus anak ini didapatkan ACPR hari ke 28 dari artesunat-klindamisin dijumpai berbeda secara bermakna

kelompok tidak berbeda bermakna namun LTF secara signifikan lebih tinggi

dijumpai pada kelompok kinin-klindamisin. Kesembuhan artesunat-klindamisin

dicapai hari ke-3 dan ke-14 97% (P=0.001). Kesembuhan kinin-klindamisin

dicapai pada hari ke-14 dan ke-28 92% (P= 0.236). Pada pengamatan tidak

dijumpai efek samping yang bermakna.

Sebagai kesimpulan kombinasi artesunat-klindamisin memiliki efikasi

lebih tinggi daripada kinin-klindamisin pada pengobatan Malaria Falsiparum

SUMMARY

Malaria is still a major health problems in tropical and sub tropical areas in the

world. In Indonesia, 15 thousands malarial cases with annual death 38.000 every

year, 46% were caused by Plasmodium falciparum infection. Since the end of

2004, Health Department of Indonesia Republic changed the protocol therapy of

malaria falciparum to artemisinin based combination therapy. The first choice is

artesunate-amodiakuine. Another combination was recommended by WHO is

artesunate-clindamycin.

The aim of this study is to compare of the efficacy of

artesunate-clindamycin and quinine-artesunate-clindamycin for treating uncomplicated falciparum

malaria in children.

A randomized, open label controlled trial was conducted on October to

November 2010 at Mandailing Natal, North Sumatera Province. This study was

done at 7 until 12 years old children. Group I received artesunate-clindamycin

combination (artesunate, 2 mg/kg, and clindamycin, 7 mg/kg, per dose). Group II

received a standart quinine-clindamycin regimen (quinine, 15 mg/kg, and

clindamycin, 7 mg/kg, perdose). Both groups recieved twice daily for 3

consecutive days. The outcomes were ACPR, parasite reduction, parasite

clearance time, and adverse events. Analysis was based on intention to treat.

In this study, two hundred children enrolled to study. ACPR on day 28 of

artesunate-clindamycin was comparable to quinine clindamycin 94% and 62%

respectively (P= 0.0001). Highest cure rates on artesunate clindamycin group

significant difference but LTF was higher significant in quinine-clindamycin.

Highest cure rates on quinine-clindamycin in was achieved at the 14tn and 28 th

92 %. No serious adverse events were obtained.

As conclusion, artesunate-clindamycin combination has higher efficacy

than quinine-clindamycin combination for the treatment uncomplicated

Dokumen terkait